"Kau benar-benar percaya dia sudah mati?""Jadi kamu berpikir aku berbohong? atau justru menganggap aku yang telah dibodohi?" Bram menatap datar Tiara, merasa tidak perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, buang-buang waktu. "Dia kecelakaan saat ingin mengunjungiku ke rumah sakit setelah melahirkan Nana. Walaupun aku tidak sempat melihat jasadnya, tapi Sari juga mengatakan jika hari itu adalah hari kematian Ziyan ""Setidaknya itu hukuman yang pantas untuknya." Merasa tidak perlu lagi mendengar omong kosong Tiara, Bram memilih menghidupkan musik dan kembali berkonsentrasi mengemudi. 'Pantaskah peristiwa naas itu kamu sebut sebagai hukuman untuk pria sebaik Ziyan? lantas, hukuman apa yang pantas untuk wanita sepertiku?' Tiara memilih kembali memandang keluar, musik bergenre Slow yang Bram pilih setidaknya bisa mempengaruhi suasana hatinya agar lebih cepat membaik. Ia benar-benar butuh hiburan, rentetan peristiwa yang terjadi kurang dari dua bulan terakhir, benar-benar telah meng
"Sungguh, kamu Tiara?" tanya seorang wanita memastikan.Tiara coba mengingat-ngingat siapa wanita yang mungkin seusia dirinya itu. Sepertinya tidak asing. Tapi siapa namanya, Tiara masih belum berhasil mengingat.Senyum kaku Tiara muncul, manakala mendengar wanita itu terus saja berbicara ngalor-ngidul tanpa jeda. Sedangkan, otaknya belum juga berhasil mengingat siapa nama dari wanita itu."Tiara! kenapa kamu hanya diam saja, ngomong dong. Gimana kabar kamu? Udah nikah kan? Terus punya anak berapa sekarang?" tanya wanita itu lagi beruntun."Maaf sebelumnya, apa kamu Wulan?" tanya Tiara tagu.Mendapati wanita itu mengangguk antusias, senyum sumringah Tiara seketika terbit. Rupanya, wanita cantik itu tak lain teman dekatnya dulu, saat masih duduk dibangku SMA.Wulan, yah, Tiara baru mengingatnya. Bagaimana ia tidak lupa tadi, temannya itu sekarang sangat jauh berbeda, terlihat lebih anggun. Dibandingkann dengan yang dulu. Wulan, memang mengalami perubahan dratis. Dulu, wanita itu lebih s
Tiara berdiri gelisah di dalam kamarnya, waktu sudah mendekati pukul tujuh malam. Itu artinya, orang suruhan Bram pasti sudah dalam perjalanan."Mama mau kemana?" tanya Nana yang berhasil mengejutkan Tiara. "Mama mau pergi?"Sambil memperhatikan penampilan Tiara, Nana berjalan mendekat."Iya sayang, mama hanya sebentar. Nana malam ini tidur dengan mbak Sari dulu ya, jangan menunggu mama pulang," jelas Tiara menampilkan senyum terbaiknya."Iya ma," jawab Nana patuh.Tiara merendahkan tubuh saat tahu Nana sudah ada di depannya. Wanita itu mengusap sayang pipi putrinya, meluapkan segenap rasa yang tidak bisa terurai lewat kata-kata.Entah mengapa, sekarang rasa bersalah selalu timbul manakala ia melihat tatapan polos putrinya. Jika dulu, ia berpikir tidak memberitahu kebenarannya adalah keputusan yang terbaik. Namun sekarang, setelah pertemuannya dengan Bram, Tiara merasa menjadi pihak yang paling bersalah.Tiara dilema, di tengah keraguan hati."Tapi janji, mama harus pulang ya … jangan
"Kenapa tidak langsung masuk, bukannya kak Bram sudah menunggumu, di dalam?" tanya Thomas."Kamu tahu dia ada di dalam?" tanya Tiara balik."Kami datang bersama tadi, dan aku pamit keluar karena ada panggilan masuk," jelas Thomas.Tiara mengangguk mengerti, bukan hal yang aneh juga jika Thomas, selalu bersama Bram kemanapun pria itu pergi. Mengingat, selain adik, Thomas juga merangkap sebagai orang kepercayaan Bram. Sehingga, wajar jika pria itu selalu mendampingi sang kakak.Tapi, bukankah malam itu hanya bertemu dengannya, perlukan kehadiran Thomas di antara mereka?Tiara masih berusaha membaca situasi yang ada, mencoba berpikir realistis. Mungkin Bram, memang tidak pernah bisa lepas dari para antek-anteknya, termasuk Thomas."Ayo masuk, jangan buat kakakku menunggu. Tentu kamu belum lupa bagaimana tabiatnya," ujar Thomas seraya membuka pintu.Tiara hanya bisa kembali mengangguk, masih jelas di ingatan, bagaimana marahnya Bram kemarin sampai akhirnya mengendarai mobil seperti orang k
Tiara tertegun, membaca apa saja yang tertulis dalam surat perjanjian yang hendak ia tandatangani. Jika dulu ia syok, begitu membaca tuntutan Bram yang fantastik, kini ia tidak bisa lagi berkata-kata saat harus kembali dihadapkan dengan rentetan keinginan pria itu.Bram, benar-benar gila!Macam mana, pria itu bisa menuntut dirinya harus melahirkan dalam waktu dua tahun sekali, dan dengan jumlah dua puluh anak. Bukankah itu permintaan di luar nalar manusia pada umumnya?Dan, apa dia pikir melahirkan semudah itu?'Rasa sakit melahirkan Nana saja, rasanya masih terasa hingga sekarang, apalagi ini?' Batin Tiara masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia baca.Bagaimana tidak, Tiara menatap ngilu banyaknya jumlah anak yang Bram inginkan, begitu dirinya setuju menjadi istri diam-diam pria itu, dua puluh. Bukan lagi angka normal, walaupun ada segelintir pasangan yang memiliki banyak anak. Tapi, apakah Tiara sanggup melahirkan anak sebanyak itu untuk Bram?"Inisih .. ternak anak," guma
"Aku tidak menyangka, kau bisa meminta anak sebanyak itu darinya, kak. Kau pikir gampang melahirkan?" cetus Thomas."Kau berbicara, seolah sudah pernah melihat wanita melahirkan saja," balas Bram acuh."Aku memang belum pernah melihatnya langsung. Tapi, setidaknya dulu pernah mendengar dari mendiang mama. Kalau melahirkan itu sakit. Makanya mama tidak mau punya anak lagi, walaupun papa ingin," jelas Thomas menggebu.Bram yang sebelumnya fokus menyetir, menoleh sebentar ke arah Thomas. Tapi tidak berkomentar apapun, ia memilih enggan menanggapi ucapan adiknya.Kini, keduanya berada di dalam mobil Bram. Mereka memutuskan pulang, setelah Tiara pergi meninggalkan restoran lebih dulu. Dan sekarang, keduanya masih di perjalanan menuju pulang ke rumah."Bahkan jika bisa, aku ingin dia melahirkan anakku setiap tahun," ujar Bram tiba-tiba, setelah hening sesaat. "Itu hukuman untuk dia, karena dulu sudah berani meninggalkan aku, dan melahirkan anak untuk pria lain," lanjutnya."Hah! salahmu Tiar
Hari semakin larut, keheningan terasa menyergap bumi, suara serangga semakin jelas di telinga. Tapi, rasa kantuk belum juga menghampiri.Tiara masih setia terjaga, meski Nana, sudah kembali pulas dalam dekapannya.Pikiran Tiara, berkelana jauh tak tentu arah. Tapi sialnya, kepingan bahagia masa lalu, datang mendominasi. Sampai akhirnya, keputusan salah menjadi pilihan, hanya karena satu alasan, peduli.Enam tahun lalu."Mawar, ibu mohon, sayang. Jangan lakukan itu, nak," ujar Suti."Kita bisa bicara baik-baik, Mawar. Tenang dulu, jangan gegabah bertindak dan kami semua menyayangimu, nak. Sungguh, bapak tidak berbohong!" seru Wisnu."Cukup! aku muak mendengarnya, kamu hanya pandai membual. Karena nyatanya, baik kamu ataupun ibu, kalian tidak pernah sayang padaku. Kalian hanya menyayangi Tiara," teriak Mawar.Kala itu, Tiara yang baru selesai berpakaian setelah mandi, buru-buru keluar dari kamarnya saat mendengar suara keributan. Terlebih, ketika ia mendengar suara Mawar yang melengking
"Kasihani kakakmu, Ara. Apa susahnya kamu melepaskan Bram. Toh, kamu masih muda, bapak yakin, kamu pasti bisa dengan cepat mendapat pengganti pemuda itu," terang Wisnu."Tapi, pak," sela Tiara."Setidaknya kamu lebih beruntung daripada Mawar. Kamu punya tubuh yang sehat, dan kekebalan tubuh yang baik. Sementara dia?" imbuh Wisnu yang sengaja menjeda kalimatnya."Tapi Ara mencintai Bram, pak. Dan rasanya, mustahil Ara sanggup melakukan itu," ungkap Tiara dengan suara berubah parau. Wisnu berang, pria itu sampai menajamkan pandangan.Sementara Tiara, tertunduk semakin dalam, saat tahu tatapan sang ayah mengintimidasi padanya. Ia yang duduk di ranjang sementara-Wisnu berada di kursi dan menghadapnya. Membuat Tiara tidak berani mengangkat kepala, barang sebentar saja. Sebab, wajah garang Wisnu, selalu berhasil membuat Tiara takut.Setelah ketegangan yang terjadi di ruang tengah, Wisnu membawa Tiara memasuki kamar gadis itu, untuk bicara berdua. Karena menurut Wisnu, dengan begitu, ia bis