Share

Bab 4 | Selalu sial!

Author: fnzaxa
last update Last Updated: 2024-08-06 12:09:37

Keduanya kini berjalan menuntun motor Fianna yang—ajaibnya—tetap cling tanpa satu pun goresan atau noda lumpur. Mungkin karena motor itu punya kekuatan magis, atau mungkin karena semua lumpurnya pindah ke tubuh mereka berdua.

Fianna melirik ke sebelah, melihat Abian menyeret langkah dengan wajah datar, rambut masih meneteskan air, dan baju kantor yang sudah tidak layak tampil di publik. Dirinya sendiri juga tak kalah mengenaskan—kaus basah, celana belepotan, dan bau got yang entah kenapa makin terasa jelas tiap kali angin lewat.

Beberapa meter kemudian, rumah Abian muncul di hadapan mereka. Sebuah rumah besar bergaya modern yang tampak rapi dan sunyi, dengan garasi terbuka yang langsung menyambut kedatangan dua manusia setengah hidup ini.

Abian menyuruh Fianna untuk memasukkan motor itu ke dalam teras garasi sementara dirinya melangkah masuk.

Fianna hanya bisa ternganga saat Abian, tanpa banyak bicara, mengambil selang dari sudut garasi lalu memutar keran.

“Eh, Pak. Bapak mau—”

BYUURRRR!

Fianna menjerit tertahan saat semburan air dingin menyapa tubuhnya. Abian mulai menyemprot dirinya sendiri juga.

“Pak Abian! Bapak nyiram saya kayak tanaman!”

“Ssst. Jangan gerak. Biar bersih.”

Fianna mencoba menghindar, tapi lumpur di bajunya lengket banget. Ia akhirnya pasrah, berdiri seperti patung air mancur sambil memeluk dirinya sendiri karena dingin. Sementara itu, Abian kini dengan hati-hati membersihkan tubuh Fianna dari lumpur.

“Gila… Ini definisi totalitas banget, ya,” gumamnya sambil menggigil. “Lembur bareng, nyemplung bareng, mandi juga bareng. Next level bonding.”

Abian menyemprot bagian belakang celana Fianna yang penuh tanah. “Diam, Fianna.”

Fianna mendengus, rasa takutnya pada Abian kini seolah mengalir hilang begitu saja. “Ini pengalaman kerja yang gak akan pernah saya lupakan. Mungkin nanti saya masukin ke portofolio: pernah nyelam ke got bersama atasan lalu dimandikan pakai selang.”

Abian menahan tawa, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit. “Kalau kamu berhenti ngoceh, prosesnya bisa selesai lebih cepat.”

“Kalau saya berhenti ngoceh, saya pingsan, Pak. Ini dingin banget! Ini salah satu cara saya agar tetap waras dan hidup.”

Akhirnya, setelah lima menit, keduanya kini sudah bersih dari lumpur. Hanya saja mereka berdua masih basah kuyup, dengan bau got yang tetap setia menempel.

“Masuk dulu, kamu mandi dan ganti baju. Saya gak mau kamu sakit.”

Itu adalah kalimat dengan nada ramah dan terpanjang yang keluar dari mulut Abian. Fianna yang sudah menggigil kini mengangguk dan mengikuti langkah Abian masuk ke dalam rumah. Rumah itu tampak rapi dengan beberapa bagian yang lampunya mati.

Fianna naik ke lantai 2 dan masuk ke dalam sebuah kamar dengan nuansa abu-abu, sangat rapi dan wangi. Sungguh kamar ini memang mencerminkan bagaimana sosok Abian yang perfectionist dan penuh perhitungan.

Abian berjalan menuju lemari besar yang ada di sisi dinding, membukanya dan mengambil beberapa potong pakaian dari dalam sana. “Kamu mandi dulu sana, kamu bau.”

“Gara-gara siapa saya begini?!!” ketus Fianna yang langsung menerima pakaian itu dan buru-buru masuk ke kamar mandi.

Busa kini memenuhi tubuh Fianna, namun sayangnya, bau got masih menempel. Fianna lantas membilas badannya untuk kedua kalinya tanpa memperdulikan ia yang mulai bersin-bersin.

Saat hendak menyabuni tubuhnya lagi, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

“Hah?!” Fianna tersentak, panik. Ia langsung meraba-raba dinding, mencari handuk sambil tubuhnya masih basah kuyup.

“PAK ABIANNNNNNNNNNN!” teriaknya panik, berhasil menemukan handuk dan membalut tubuhnya dengan cepat. Rambut panjangnya masih menetes dan menguntai di punggung. “HWEEE PAK ABIANNN!”

Dari balik pintu terdengar suara Abian, suaranya terdengar khawatir dan sedikit meninggi.

“Fianna? Kamu bisa keluar? Udah pakai baju?”

“DIMANA PINTUNYA?! SAYA TAKUT JATUH!” balasnya sambil meraba-raba dalam gelap, masih berdiri di lantai kamar mandi yang licin.

Pintu kamar mandi mendadak terbuka. Cahaya dari luar langsung menerobos masuk, menyinari wajah Fianna yang ketakutan dan hampir menangis. Abian berdiri di ambang pintu, membawa senter dari ponselnya dan menatap Fianna dengan ekspresi campur aduk antara khawatir dan bingung.

Fianna berdiri kaku di tempat, hanya terbalut handuk, wajahnya merah padam. “Listriknya mati ya?” tanyanya dengan suara kecil.

Abian mengangguk. “Sepertinya saklarnya korslet.” Ia lantas mengalihkan pandangannya. “A-ayo keluar dulu,”

Tangan Abian dengan hati-hati menggenggam tangan Fianna dan menuntun gadis itu keluar dari kamar mandi. Dan wajah Fianna memerah padam saat menyadari pemandangan di depannya adalah punggung polos milik Abian yang tidak terlapisi apa-apa.

Fianna berdehem kecil dan lebih memilih mengeratkan pegangan tangannya pada handuk yang melilit tubuhnya. Baru saja sampai di kamar Abian, pintu tiba-tiba di dobrak keras disusul dengan sorotan lampu dan teriakan keras dari seseorang.

“KHAELL BANGUN MATI LAM-...” Sosok itu membeku di ambang pintu saat melihat Abian dan Fianna yang hmm mencurigakan di tengah gelap seperti ini. “..pu… Kha… Khael…?”

Teriakan itu, suara itu tidaklah asing. Fianna menggeleng panik, astaga, suara Aryan bahkan terdengar seperti terompet sangkakala saat ini. Seolah memiliki firasat kuat, Abian langsung mengambil selimut dan menutupi tubuh Fianna dan memeluk tubuh itu agar Aryan tidak melihat wajah Fianna.

Sayangnya, ternyata orang yang disebut Bunda tepat berada di belakang Aryan sedari tadi dan tengah mematung kaku karena terkejut.

“BUNDAAAAA, KHAEL BERBUAT MESUM!”

Aryan masih berdiri di ambang pintu, menunjuk dengan dramatis sambil tubuhnya setengah membungkuk seperti akan jatuh pingsan. Matanya membelalak, mulut terbuka seperti singa menguap, dan tangan satunya lagi sudah siap menekan speed dial polisi moral imajiner.

Fianna, masih dalam balutan handuk plus tambahan selimut dari Abian, nyaris tenggelam dalam rasa malu. “Astaga Pak Aryan! Ini gak seperti yang Bapak pikirkan!”

“FIANNAAAAAA?” Aryan berteriak dramatis saat suara di balik selimut itu terdengar. Membuatnya semakin melangkah mendekat dan mencoba mengintip. “TERNYATA KAMU SAMA MIKHAEL ADA HUBUNGAN?”

“GAK ADAAA!!” sanggah Fianna panik. Wajahnya kini menoleh pada Aryan di antara sela-sela lengan Abian yang memeluknya erat. “PAK ARYAN SALAH PAHAM!”

“GIMANA SAYA GAK SALAH PAHAM. KALIAN BERDUA NGAPAIN GAK PAKE BAJU MALEM-MALEM?!” Aryan teriak lagi, kini sudah setengah panik sambil menatap sang ‘Bunda’ yang berdiri membeku di belakangnya.

Perempuan paruh baya itu tampak elegan meskipun dalam piyama satin dan sandal rumah. Wajahnya penuh ekspresi bingung, antara ingin menjerit atau terkesima.

“Abian Aiden Mikhael…” Suaranya akhirnya keluar. Pelan. Bergetar. Menegangkan. dan terdengar seperti akan meledak.

Abian menoleh lelah. “Ini hanya kesalahpahaman, Bunda..”

“…Dalam keadaan telanjang berdua?”

Fianna ingin mengubur diri. Atau teleport. Atau apa pun selain berdiri seperti burrito rasa skandal di depan dua saksi hidup ini.

Bu Dewi, atau yang kerap disapa Bunda kini berjalan mendekat lalu menjewer telinga Abian dengan keras. “ANAK BADUNG. PANTAS SAJA KAMU DIJODOHKAN TIDAK MAU, PACARAN PUN TIDAK JELAS. RUPANYA KAMU BEGINI YA,”

Abian mengaduh dan tubuhnya mengikuti jeweran sang ibu, namun ia tidak melepaskan pelukan itu. “Aduh Bun.., bukan begitu, Bun…”

“Bu Dewi… ini salah paham!!”

Bu Dewi kini memandang galak Fianna dan sebelah tangannya terangkat untuk mencubit pipi kanan Fianna. “Kamu juga Fianna! Kenapa tidak bilang jika kamu itu kekasih anak saya? Jadi saya tidak perlu capek-capek menjodohkan kamu dengan Arkian atau Aryan!”

“Aw… Bu Dewi…”

Trak!

Lampu tiba-tiba menyala kembali dan kini suara derap langkah beberapa orang terdengar. Fianna yang tahu siapa yang akan datang langsung menenggelamkan wajahnya pada dada Abian dan berharap jika semua ini hanyalah mimpi. Lagi dan lagi, kesialan selalu ia dapatkan jika bersama Abian.

“Listrik sudah diperbaiki. Ada apa ini bunda?” suara kharismatik Pak Malik terdengar. Ia melangkah masuk dan memproses apa yang sedang terjadi.

"Demi menyelamatkan harga diri kalian, Bunda akan mencoba mengerti. Dan untuk itu kalian berdua harus segera menikah!!"

"Apa?!"

Bu Dewi sontak menggeleng. "Tidak tidak. Maksud Bunda adalah, besok kalian harus menikah. Tidak ada perlawanan! Besok pagi kami berangkat menuju rumah mu Fianna, kami akan membawa lamaran dan penghulu sekaligus."

“APAAA?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dipersunting Dadakan oleh Bos Galak   Bab 15 | Keluh kesah

    Jam makan siang tiba. Seperti biasa, empat sekawan itu kembali ke basecamp kesayangan mereka—sebuah pohon besar di belakang gedung kantor, tempat rahasia yang selalu mereka pakai buat recharge pikiran. Tirta dan Sonia sudah sibuk di atas, panjat-memanjat sambil memetik jambu demi persiapan merujak. Sementara itu, di bawah pohon, Fianna sedang serius mengulek sambal rujak, dan Aryan duduk bersila di sebelahnya sambil mengupas mangga muda. Setelah melewati lembur semalaman dan pagi yang menyebalkan, ritual merujak ini bagaikan pelampiasan atas segala penderitaan hidup mereka – sedikit berlebihan tapi memang benar adanya. “Khael kayaknya cemburu,” celetuk Aryan tiba-tiba, suaranya tenang tapi mengandung senyum-senyum nakal. Fianna berhenti mengulek. “Hah?” Ia menoleh, menatap Aryan curiga. “Cemburu kenapa?” “Ya ini pertama kalinya dia kayak gitu. Tadi pagi mukanya asem banget liat kamu sama Tirta. Aneh, cemburunya malah baru sekarang,” Fianna menghela napas pelan. “Kalau dia

  • Dipersunting Dadakan oleh Bos Galak   Bab 14 | Abian vs Tirta?

    Beberapa saat berlalu. Ruangan itu tadinya penuh suara—awalnya semua orang berebut pasta gigi dan sabun, lalu diskusi heboh soal siapa yang harus berkorban pergi ke lobi untuk ambil sarapan. Tapi kini, kehebohan itu sirna. Keheningan menyelimuti ruangan. Alasannya? Tentu saja karena Abian. Memangnya hal apa yang membuat tim super berisik itu tenang kecuali Abian. Entah kenapa, pria yang sejak kedatangannya ke perusahaan tidak pernah sekalipun berbaur dengan karyawan, kini justru duduk manis di antara mereka dengan semangkuk bubur di tangan. Kemeja putihnya sudah rapi, rambutnya disisir ke belakang, dan wajahnya yah, terlalu bersih untuk jam segini, berbanding terbalik dengan semua orang yang masih dengan wajah bantal mereka. Di sebelahnya, Aryan tampak sibuk memilih antara telur puyuh atau usus untuk topping buburnya, seolah tidak keberatan dengan adanya Abian diantara mereka. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan,” ucap Abian datar, tapi cukup membuat semua orang langsung tunduk, s

  • Dipersunting Dadakan oleh Bos Galak   Bab 13 | Gosip

    Fianna terbangun saat pipinya terasa ditusuk lembut oleh sebuah jari. Kelopak matanya perlahan membuka, dan pandangannya langsung disambut senyum geli dari Abian yang menatapnya hangat. Fianna mengerjap pelan, mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Tapi begitu ingatan tentang kejadian dini hari tadi melintas, ia langsung bangkit setengah duduk dan menatap Abian dengan ekspresi terkejut. “Selamat pagi, Mbak Istri,” sapa Abian sambil mengecup keningnya dengan lembut. Pipinya langsung merona. Pemandangan seperti ini—Abian yang manis dan penuh kasih—masih terasa seperti mimpi baginya. Dan sejujurnya, ia masih belum terbiasa dengan ini, rasanya masih canggung dan malu. Tentu saja begitu, karena bulan lalu ia masih melajang bahkan tidak dekat dengan lelaki manapun. Fianna menyikut dada Abian pelan dan mendongak menatap wajah suaminya lekat-lekat. Ia ingin menyimpan momen ini dalam ingatannya sebelum jam kerja datang dan Abian berubah kembali menjadi ‘iblis kantor’. “Pagi,” bal

  • Dipersunting Dadakan oleh Bos Galak   Bab 12 | Lembur

    Lembur telah usai. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hari sudah berganti, tapi esok—lebih tepatnya nanti—Fianna tetap harus kembali bekerja. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke pojok ruangan, tempat teman-temannya telah menggelar karpet, bantal, dan selimut. Perlengkapan lengkap yang memang sengaja disiapkan untuk menghadapi malam-malam mendadak lembur seperti ini. Fianna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet. Otot-ototnya yang sempat kaku mulai rileks, rasa lelah menyergap seluruh tubuhnya. Teman-temannya juga ikut merebahkan diri, tidur berjajar sambil menatap langit-langit seperti sekumpulan korban peperangan yang kehabisan energi. “Beres juga,” desah Andrew lemah, lalu langsung memeluk Tirta dari samping. “Kapan gue punya pacar kalau lembur terus…” “Gak lembur aja gak ada yang mau sama lo,” ucap Tirta dengan ketus sambil mendorong tubuh Andrew. “Jauh jauh lo!” “Lo bisa ngomong gitu ke gue kalau lo juga punya pacar ya, Tirta! Kurang ajar lo!” Bahkan dalam kondisi

  • Dipersunting Dadakan oleh Bos Galak   Bab 11 | Siapa Khael?

    Fianna masuk ke dalam ruangannya dengan terburu-buru dengan sepatu masih di tangan dan wajah yang merah padam seperti kepiting rebus. Begitu sampai di kursinya, ia langsung duduk dan membenamkan wajahnya di telapak tangan. Ruangan pemasaran masih sepi—hampir semua orang sedang keluar mencari udara segar atau kopi di jam istirahat. Tangan Fianna kini menutup bibirnya, terbayang jelas momen beberapa menit lalu saat wajah Abian begitu dekat dengannya terlalu dekat. Perutnya seperti dikerubungi kupu-kupu, bukan karena lapar, tapi karena gugup yang tak ada ujung. Ia langsung menjatuhkan kepala ke meja dengan satu tarikan napas panjang. "LOH, Fianna! Kita nyariin kamu loh!" Suara Tirta mengejutkannya. Fianna langsung mendongak dengan rambut yang berantakan, pipi memerah, dan sorot matanya terlihat menerawang. "Are you okay, besttt? Kamu kenapa?" Tirta berjalan mendekat, meletakkan tumbler kopi di meja Fianna. "Tadi aman kan sama Pak Abian? Gak dimarahin lagi, kan?" Fianna hanya me

  • Dipersunting Dadakan oleh Bos Galak   Bab 10 | Makan Siang

    "Haduhh..." Fianna menghela napas, agak menyesali keputusannya mengenakan rok hari ini. Gara-gara itu, ia kesulitan untuk naik ke atas pohon. Ia mendongak ke atas, menatap Tirta dan Sonia yang sudah duduk santai di cabang pohon sambil membuka bekal makan siang mereka. "Bisa gak, Best?" tanya Tirta, nada suaranya malas tapi terdengar menyebalkan, jelas tidak berniat membantu. "Tumben, monyet gak bisa naik pohon." Fianna melotot kesal. Ia buru-buru melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat, lalu nekat menaikkan sedikit roknya dan memanjat. Saat berhasil duduk di atas cabang pohon, tepuk tangan dan tawa mengejek dari Tirta dan Sonia langsung menyambut. Pohon jambu ini adalah basecamp mereka sejak hari pertama masuk kerja. Tempat yang teduh, jauh dari keramaian, dan sempurna untuk mengurangi stres akibat pekerjaan. Di sinilah mereka bisa bebas menggosip, curhat, atau bersembunyi dari orang-orang yang dulu suka mengusik mereka. "Ian kayaknya lagi disidang, tuh. Gegar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status