Share

Terlalu Pengecut

“Ayo,” kata Venus dengan sorot mata penuh luka.

Mereka keluar dari pintu darurat.

“Lewat sini,” kata Archio menuntun Venus ke pintu lift yang lain.

“Kenapa lewat sini?” Venus bertanya bingung.

“Lift ini langsung ke basement, kamu punya kunci aksesnya ‘kan?”

Venus mengangguk, dia memberikannya kepada Archio.

“Pegang aja,” kata pria itu enggan menerima.

“Siapa tadi nama istrinya, Mas Archi?” Venus bertanya setelah mereka berada di dalam lift.

“Wulan,” jawab Archio sembari menoleh menatap Venus.

Mendengar nama Wulan, Venus jadi ingat kejadian setahun lalu.

“Aku pernah baca pesan mesra antara Wulan sama Al di hapenya Al setahun lalu, kita bertengkar hebat … Al bilang kalau dia cuma iseng dan dia berjanji enggak akan mengulanginya lagi … bodohnya aku percaya, sampai berani menerima lamaran dia.”

“Setahun yang lalu?” Archio bergumam.

Venus tidak bersuara, hanya memandang Archio yang tengah menatap kosong ujung sepatunya.

Tampaknya Archio lebih terluka karena Wulan mengkhianati janji suci pernikahan mereka.

Keduanya keluar setelah pintu lift terbuka.

Mereka disambut suasana temaram dari dalam basement.

“Setahun yang lalu Wulan keguguran tapi dia enggak terlihat terpukul atau sedih … dia seperti enggak menginginkan bayi itu.” Archio jadi curhat padahal baru pertama kali bertemu Venus.

“Turut berduka cita ya, Mas.” Venus mencoba ikut merasakan kepedihan Archio.

Archio mengangguk sembari menatap Venus.

Kening mereka mengkerut karena sama-sama berpikir kalau mungkinkah anak yang tengah dikandung Wulan setahun lalu adalah anak hasil hubungan terlarang dengan Altezza?

Keduanya kompak memutus tatap, menghempaskan pikiran negetif tersebut tanpa mengungkapkan apa yang benak mereka pikirkan.

Di dalam hati Venus dan Archio masih ada cinta yang besar untuk pasangan mereka.

Archio berjalan di depan menuntun Venus melalui jalan setapak khusus pejalan kaki.

“Kita jalan dulu sedikit baru nyebrang biar mereka enggak sadar dengan kehadiran kita.” Archio memberi instruksi dan Venus mengangguk setuju.

Keduanya berjalan menyusuri trotoar yang pavingblock-nya sudah rusak membuat Venus kesulitan berjalan dengan heels tujuh sentinya.

“Hati-hati,” kata Archio menatap ngeri cara berjalan Venus menggunakan heels belum lagi Venus masih menggunakan seragam kerjanya berupa stelan blazer dengan rok pendek.

“Kamu boleh pegang tangan saya,” kata Archio dengan raut serius, tidak sedikitpun terlihat sedang menggoda Venus.

Pria itu langsung merentangkan tangannya.

Karena terpaksa khawatir jatuh dan berguling-guling di aspal, akhirnya Venus memegang lengan Archio.

Mereka kemudian menyeberang jalan besar yang padat kendaraan.

“Kamu tahu dari mana Altezza ada di hotel ini?” Archio kembali bersuara.

“Aku ngikutin dia dari kantornya, hari ini harusnya kita fitting baju pengantin tapi kata dia … dia ada meeting sampai malam … entah kenapa aku enggak percaya, jadi aku pinjem mobil teman dan nungguin dia keluar dari kantor … aku kaget waktu mobilnya keluar dari parkiran padahal dia bilang ada meeting, terus aku ikutin dia,” tutur Venus menjelaskan.

“Kalau Mas Archi, tahu dari mana istrinya di sini?”

“Tadi malem tiba-tiba Wulan ijin untuk perjalanan dinas ke Jakarta, tanpa banyak tanya saya ijinin walau hati saya curiga … dari Surabaya dia naik penerbangan siang dan pagi sekali sebelum dia pergi saya pamit kerja padahal saya naik penerbangan pagi ke Jakarta … saya menunggu dia di Bandara lalu mengikutinya ke sini ….”

“Jadi Mas Archi dari Surabaya?”

Archio mengangguk menjawab pertanyaan Venus.

“Tahan dulu … kita liat situasi.” Archio menghentikan langkahnya setelah mereka sudah berada sangat dekat dengan Caffe yang dituju.

Mata mereka berdua mengedar ke dalam melalui dinding jendela Caffe tersebut.

“Mereka enggak ada di dalam,” kata Venus ragu.

“Iya … mereka enggak ada di dalam.” Archio setuju.

“Mungkin duduk di meja bagian belakang Caffe,” cetus Venus karena dia ingat Caffe tersebut memiliki area depan dan area belakang yang dibatasi oleh taman.

“Berarti kita harus masuk.” Archio sedang meminta pendapat, dia menoleh menatap Venus.

Venus mengangguk. “Aku mau ngelabrak mereka.”

“Nanti saya yang videoin, karena saya juga butuh bukti untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.”

Ternyata Archio sudah mantap bercerai dengan istrinya.

“Aku duluan ya, Mas … kita jangan sampai terlihat bersama.”

“Oke ….”

Mereka baru bertemu tapi sudah seperti partner agen mata-mata yang solid.

Venus masuk sendirian di ikuti Archio dengan menjaga jarak.

“Untuk berapa orang, Kak?” Seorang pelayan menyambut Venus.

“Teman saya di dalam, saya akan cari sendiri.”

“Silahkan.” Sang pelayan mempersilahkan.

Venus mulai melangkah masuk sambil mengedarkan pandangan mencari sosok Altezza dan wanita bernama Wulan yang baru tadi dia lihat wajahnya secara langsung.

Di bagian dalam Caffe, Venus tidak menemukan Altezza, dia mencari di bagian belakang sambil mengendap-ngendap tapi tidak menemukan pria dan wanita yang dia cari.

Venus juga memeriksa toilet dan mushola.

Altezza dan Wulan seperti hilang di telan bumi, padahal jelas terdengar kalau Altezza mengajak Wulan ke sini.

Venus membalikan badan, tatapannya bertemu dengan Archio, dia lantas menggelengkan kepala memberitahu Archio kalau Altezza dan Wulan tidak ada di Caffe ini.

Archio berjalan mendekat. “Mungkin mereka berubah pikiran, enggak makan di Caffe ini.”

“Iya mungkin.” Venus bergumam.

Tubuhnya terasa lemas sekali, dia menjatuhkan bokongnya di kursi salah satu meja.

Seorang pelayan datang memberikan buku menu tanpa diminta.

Archio duduk di depan Venus yang tengah menundukan kepala dengan kedua tangan menahan kening.

“Kamu mau pesen apa?”

Wajah sendu Venus mendongak.

“Saya belum makan dari pagi,” kata Archio sembari membaca buku menu.

Mereka sudah kehilangan jejak Altezza dan Wulan sedangkan hanya ada satu tempat makan di depan hotel.

Mungkin Altezza dan Wulan berubah pikiran dan memutuskan makan di tempat lain lalu pergi ke basement mencari mobil Altezza menggunakan pintu yang satunya ketika Archio dan Venus keluar dari pintu basement yang lain.

 “Apa aja lah.” Venus terdengar putus asa.

Bahkan Venus tidak bisa berpikir untuk memilih makanan atau minuman yang akan dipesannya.

Archio yang memilihkan untuk Venus.

“Kira-kira mereka ke mana ya? Kita harus cari mereka.”

Venus semangat sekali ingin melabrak Altezza, dia menyesal malah bersembunyi ketika tadi mengetahui Altezza akan keluar dari kamarnya.

Dia terlalu panik dan belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi.

Atau sebenarnya tadi Venus belum ingin mempercayai apa yang terjadi.

Gedung sudah di-booking, gaun pengantin, catering, MUA semuanya sudah dibayar DP.

Hanya tinggal menyebar undangan, tidak lucu kalau dia dan Altezza tidak jadi menikah.

“Saya enggak tahu.” Archio menggelengkan kepala lemah menjawab pertanyaan Venus.

“Mas Archi masih bisa dapet bukti perselingkuhan istri Mas dengan menggerebek mereka, Mas punya aksesnya ‘kan?”

“Saya enggak punya kartu akses, saya naik ke lantai tiga menunggu tamu yang juga turun di lantai itu.”

“Terus Mas tahu dari mana kalau Susan ada di kamar tiga kosong lima?”

“Tadi sewaktu Susan di resepsionis meminta kunci, saya bersembunyi di balik pembatas toilet yang berada di belakang meja resepsionis … saya dengar resepsionis menyebutkan nomor kamar … lalu saya menunggu tamu yang akan turun di lantai tiga … setelahnya saya hanya mengamati dari jauh selama beberapa jam lalu saya melihat seorang pria masuk ke kamar tiga kosong lima dan ketika hendak saya dekati, saya menemukan kamu juga berhenti di depan pintu itu.”

“Jadi Mas nunggu dari jam tiga di sini?”

“Ya ….”

“Ya ampun, pantesan kelaperan.” Venus membatin.

“Ini kartunya, Mas gerebek mereka aja nanti malam.”

Archio menatap keycard di atas meja.

Dia seperti bimbang.

“Mas takut liat apa yang mungkin dilakukan istri Mas sama Al di kamar itu ya?”

“Saya takut semakin terluka.” Archio mengaku.

“Sama ….” Venus melirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status