Tatapan dua pasang mata berlawanan jenis itu tanpa sengaja bertemu. Beberapa detik Riska dan Ardian saling tatap dengan tatapan terkejut. Hingga akhirnya Riska segera memalingkan wajahnya mengakhiri pertemuan pandangan itu.
“Jadi Tante berpikir ini kedua orang tuaku ya?” Tanya Arsyana pada pelayanan. “Memangnya bukan ya?” Si pelayan balik bertanya. “Kalau ini memang ayahku, dan ini Bu guruku.” “Maaf kalau begitu.” “Tidak apa-apa, Tante. Malah tolong Tante doakan ya biar aku bisa punya bunda seperti Bu guru ini,” ujar Arsyana tanpa beban. “Tentu. Semoga apa yang adek inginkan diizinkan oleh Allah,” ucap si pelayan mendoakan. “Aamiin. Terima kasih, Tante...” “Sama-sama, cantik. Silakan dinikmati pesanannya. Permisi pak, Bu...”“Tidak sesederhana itu, pak. Saya belum mengenal dia dengan dekat. Permintaan Arsya itu bukan soal permintaan beli permen yang dengan mudah dapat langsung saya kabulkan. Dia minta bunda, minta ibu yang hubungannya dengan pernikahan. Apalagi yang namanya pernikahan itu hubungannya tidak hanya dua orang saja, tapi dua keluarga besar, lebih dari itu juga perjanjian pada Tuhan. Tidak sesimpel pemikiran Arsya, pak,” jawab Ardi mencoba menjelaskan. “Bapak tahu. Atau... kamu memang sudah ada calon?” Ardian menggeleng dan berkata, “Saya masih belum berani menggantikan Risa di kehidupan Arsya. Dia belum sepenuhnya diingat dan dikenal Arsya, kasihan pak. Kasihan jika nanti Risa justru tidak dikenal Arsya sebagai ibunya, padahal Risa orang yang mengandung dan melahirkan.” Pak Nugraha terdiam. Beliau tidak ingin memaksakan sesuatu pada anak laki-lakinya itu. Laki-laki tua itu pun sadar semua yang dikatakan oleh Ardi benar dan memang masalah pernikahan juga tidak bisa grasah-grusuh dan sembaran
‘Ini permintaan apa lagi? Kenapa Arsya selalu mengajukan permintaan yang rasanya tak mungkin untuk aku penuhi,' ujar Ardi di dalam hatinya. Untuk beberapa saat ayah satu anak itu terdiam bahkan tatapan matanya lurus namun kosong. Ardi mematung dan otaknya berputar dengan pikirannya sendiri karena ucapan sang anak. “Ayah... Ayah kok malah diam?” desak Arsyana yang berhasil menyadarkan Ardian kembali. “Eh iya... Gimana sayang?” jawab Ardian setelah tersadar dari lamunannya. “Bu Riska jadi bundaku ya, yah! Bu Riska ajak tinggal di rumah sama kita. Boleh kan yah?” ucap Arsya kembali. Ardian terdiam. Ia merasa bingung harus menjawab apa atas ucapan putrinya itu. “Assalamu’alaikum...” Terdengar suara salam yang dibarengi dengan pintu yang terbuka. Dari luar masuk Bu Nining dan pak Nugraha, ayah kandung Ardian. “Wa’alaikum s
Berkali-kali dibangunkan akhirnya mata Arsyana pun terbuka. Matanya tampak sayu dan wajahnya pucat. “Sayang... Apa yang kamu rasakan, nak?” tanya Ardian penuh kekhawatiran. “Ayah, aku lemas rasanya. Kepalaku pusing,” jawab Arsyana lemah. “Kita ke rumah sakit sekarang!” Ardian langsung menggendong putrinya keluar dari kamar dan mengajak budhe Mar untuk ikut serta. Ardian dengan cepat membawa putri kesayangannya itu ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Arsyana segera mendapat pertolongan dengan cepat. Ardian menghubungi orang kepercayaannya untuk menghandle pekerjaannya di toko. “Ya Allah, semoga semua baik-baik saja. Izinkan aku membesarkannya dan melihatnya tumbuh jadi gadis dewasa. Jangan ambil dulu putriku satu-satunya,” lirih Ardian sambil berdiri penuh kesedihan. Tak dapat lagi disembunyikan kesedihan ayah muda itu. Bahkan Ardian ta
Ardian mengusap wajahnya dengan kasar menutupi rona wajah yang berubah karena malu dan sedikit kesal pada putrinya itu. “Arsya, tidak sopan nak bicara seperti itu!” ujar Ardian penuh penekanan dan mata melotot kesal kepada putrinya. “Ayah jangan marah-marah ya! Kan nanti kalau aku punya bunda baru, kan ayah jadi punya teman juga di rumah. Kita kalau malam bertiga jadinya, yah,” jawab Arsyana tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ardian yang sudah sangat malu tak kuasa melihat ke arah Riska. Dirinya lantas berkata, “Arsya, kalau sudah selesai kita langsung pulang! Ayah harus balik lagi ke toko.” “Ayah, nanti dulu...” pinta Arsyana. “Arsya... Ayah nggak suka kalau kamu bicara seperti itu! Nggak sopan namanya! Ayah nggak pernah ngajarin kamu seperti ini! Kita pulang sekarang atau ayah marah?” Ardian bicara dengan nada tetap tenang namun penuh penekanan sehingga terlihat jelas ketegasanny
Tatapan dua pasang mata berlawanan jenis itu tanpa sengaja bertemu. Beberapa detik Riska dan Ardian saling tatap dengan tatapan terkejut. Hingga akhirnya Riska segera memalingkan wajahnya mengakhiri pertemuan pandangan itu. “Jadi Tante berpikir ini kedua orang tuaku ya?” Tanya Arsyana pada pelayanan. “Memangnya bukan ya?” Si pelayan balik bertanya. “Kalau ini memang ayahku, dan ini Bu guruku.” “Maaf kalau begitu.” “Tidak apa-apa, Tante. Malah tolong Tante doakan ya biar aku bisa punya bunda seperti Bu guru ini,” ujar Arsyana tanpa beban. “Tentu. Semoga apa yang adek inginkan diizinkan oleh Allah,” ucap si pelayan mendoakan. “Aamiin. Terima kasih, Tante...” “Sama-sama, cantik. Silakan dinikmati pesanannya. Permisi pak, Bu...”
“Maafkan anak saya, Bu... Arsyana itu keras kepala jika sudah berkeinginan,” ujar Ardian kemudian pergi mengejar putrinya. Ardian sedikit berlari mengejar gadis kecilnya itu dan menghentikan langkah Arsyana dengan cepat. “Sayang... Kamu tidak boleh seperti ini! Kasihan Bu guru jika kamu egois begini,” ujar Ardian sambil memegang kedua bahu putrinya. “Ayah, Bu Riska sudah janji padaku kemarin.” “Iya, tapi tidak seharusnya Bu Riska harus pergi dengan ayah juga. Itu bukan hal yang baik, sayang.” “Kenapa? Bukankah berteman itu tidak boleh membeda-bedakan? Terus bukankah kalau janji itu harus ditepati?” “Tapi Arsya_” “Di sekolah aja aku bermain sama siapa saja. Lalu kenapa orang dewasa justru pilih-pilih kalau berteman? Lagi pula Bu