“Bagaimana aku tahu? Ayolah, gunakan otakmu. Ingat masa lalumu baik-baik,” desis Olivia, sinis.
Senang sekali rasanya bisa mengusik jiwa Emily. Sekejap mata, Olivia mengerang kesakitan ketika Emily mendadak mencengkeram lehernya. Terasa nyata betapa tajamnya kuku wanita berotak rusak ini di kulit mulusnya. “Kau ingin mempermainkan aku, Olive? Asal kau tahu, wanita gila sepertiku tak mengenal arti sabar. Katakan sejujurnya atau kau mati di sini!” Netra Emily berubah tajam dan dia semakin mengetatkan cengkaman di leher Olivia. ‘Sial! Wanita gila ini benar-benar ingin membunuhku.’ Dengan tangan dan kaki terikat, Olivia tak bisa mempertahankan diri. Urat lehernya menegang. Mukanya memerah kala berusaha menarik napas. Namun semuanya terasa sukar. Tak lama, dadanya seperti terbakar gara-gara kekurangan oksigen. Bibirnya perlahan bertukar warna kebiru-biruan. “Kau cantik sekali. Andai saja kau bisa melihat wajahmu yang sedang sekarat, Olive.” Emily memuji dengan nada sarkastis. Segaris senyum penuh kegilaan dan kebencian menghiasi mukanya. ‘Dasar wanita sakit jiwa! Psikopat! Tunggu saja, Emily. Meski aku mati, aku akan datang kembali untuk membunuhmu.’ Olivia berseru marah di dalam hati. Melihat kondisi Olivia yang hampir mengucap salam kepada malaikat maut, Fred segera menarik kasar tangan sang majikan hingga genggamannya terlepas. “Hentikan, nona!” Tubuh Emily ditolak keras, menjauh dari Olivia. Saking kerasnya dorongan Fred, lutut Emily sampai terluka dan berdarah. “Dasar bajingan. Beraninya kau menyakiti tuan yang telah memberimu makan!” bentak Emily, tak percaya. Mata bulatnya menusuk pupil Fred seakan-akan mau menguliti pria itu. “Maafkan saya, nona. Saya terpaksa menghentikan Anda. Ini sudah keterlaluan. Jika sampai Nona Olivia mati di tangan Anda, keluarga Hudson pasti akan menuntut bela,” terang Fred, bersungguh-sungguh. Di sisi lain, Olivia terbatuk-batuk. Ujung matanya berair saat berusaha menghirup udara sebanyak yang dia mampu. Telinganya sama sekali tidak mendengarkan butir bicara Emily dan Fred. Dia cuma memedulikan paru-parunya yang membutuhkan oksigen untuk terus hidup. Emily bangkit berdiri setelah mengeluarkan belati dari tasnya. Dia mengayunkan langkah menghampiri Fred. Dahinya sempat berkerut ketika rasa sakit di pinggul menjalar hingga ke tulang punggung. Namun, sedaya upaya dia menekan rasa itu agar tidak terlihat nyata di wajahnya. Tegak bertumpu pada kaki, Emily berkata, “ah, aku mengerti sekarang. Kau lebih mengutamakan perasaan keluarga Hudson dibandingkan aku.” Rahang Fred mengetat. Kenapa sukar sekali untuk membuat wanita ini mengerti? “Saya hanya tidak mau keluarga Grant binasa di tangan penguasa barbar Hudson,” balas Fred, tegas. Kali ini, tidak ada kegugupan apalagi ketakutan bersarang dalam jiwa. “Benarkah? Entah mengapa aku masih mencium aroma dusta dalam bicaramu.” Emily tersenyum pahit. “Taat setia saya cuma untuk keluarga Grant. Saya yakin anda sangat tahu akan hal itu.” Emily mengangguk kecil, berpuas hati dengan jawaban Fred. “Baiklah. Aku percaya.” Sesaat kemudian, tatapan matanya berubah galak. “Namun, aku menginginkan bukti.” Olivia menelan air liurnya. Rasa cemas memalu jantung. ‘Sial, jangan-jangan dia masih mengincar nyawaku.’ “Bukti apa yang anda mau, Nona Emily?” tanya Fred, tak gentar. Emily mengulurkan belati kepada sang bodyguard. “Pilih antara dua. Habisi Olive atau khianati aku?” Emily memberi pilihan terakhir. Tanpa suara, Fred mengambil belati tersebut lalu mendekati Olivia. Dia lantas memutuskan ikatan tali baik di tangan, kaki dan juga tubuh wanita itu. “Selamatkan diri anda, nona. Saya akan menahan Nona Emily di sini.” Dengan berbisik, Fred memberi perintah. Setelah memberikan persetujuan lewat anak mata, Olivia segera mengangkat kaki lalu berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Sempat telinganya menangkap jeritan berang yang terlontar dari mulut Emily. “Dasar pengkhianat! Matilah kau!” Kaki Olivia menuruni anak tangga menuju lantai satu. Dalam kekalutan yang menyiksa diri, dia mencapai kunci mobil di atas meja lalu berlari keluar dari vila. Setelah hidungnya mencium udara segar, barulah dia bisa membuang napas lega. Namun, takdir masih tidak puas mempermainkannya. Mesin mobilnya tidak bisa dihidupkan! Seketika terasa bangun bulu kuduk Olivia karena terlampau takut. “Ya Tuhan! Ujian apa lagi ini? Ayolah, jangan bikin hidupku sama seperti film horor. Aku tak mau mati di tangan si gila itu,” sungut Olivia, hampir putus asa. “Kau mau lari ke mana, jalang sialan?!” pekik Emily ketika berlari ke arah mobil Olivia sambil menggenggam belati berlumur darah di tangan kanannya. Deg! Jantung Olivia semakin kencang berdetak. “Ayolah, kau harus hidup agar aku bisa hidup.” Dia masih berusaha menghidupkan mesin mobilnya sambil memukul kemudi. Sewaktu jemari Emily menyentuh jendela mobil, Tuhan langsung mengabulkan permintaan Olivia. Mesin mobilnya hidup dan dia segera menginjak pedal gas lalu meninggalkan vila kepunyaan Nyonya Serena itu. “Argh, sial!” Emily menjerit sekuat hati bahkan dia turut membanting belati ke tanah untuk melampiaskan rasa kesal di dada. Segera wanita itu memasuki mobilnya. Dia menatap sejenak wajah pucat Darren lalu mengukir senyum jahat. “Jangan khawatir, Darren. Sebentar saja lagi, aku akan membawa Olive kepadamu. Jadi, kamu tidak akan kesepian di alam akhirat sana.” *** Lama Adam Knight merenung langit dari jendela mobil. Banyak perkara bermain dalam kepalanya hingga dia hanyut dalam kesunyian yang menyelimuti malam. “Kamu yakin mau bertemu Emily sekarang? Robert sendiri bilang dia sedang menggila, Adam.” Suara halus dan sentuhan jemari Hilda Montgomery sukses membuyarkan lamunan Adam Knight. Hilda menggigit bibir. Mukanya terlihat resah. Bagaimana, tidak? 30 menit yang lalu, Adam telah menerima panggilan telepon dari mata-matanya, Robert Lewis. Robert mengatakan bahwa Emily coba melukai Nona Hudson setelah mengetahui wanita itu membeli vila kesayangan Nyonya Serena. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Nona Hudson sekarang. Entah hidup, entah mati. “Terus, kamu mau melihat dia memenggal leher Nona Hudson?” kelakar Adam lalu dia tertawa kecil. ‘Ya, bagus juga kalau itu terjadi. Gara-gara dia, rencana honeymoon kita batal.’ Hilda membatin kejam. Namun, bicara batin dan lahirnya berbeda. “Bukan itu maksudku. Menurutku, lebih baik kita menyerahkan urusan ini pada pihak kepolisian,” sahutnya penuh kelembutan. Sejujurnya dia juga takut untuk menghadapi Emily yang masih berdendam padanya. Pasti wanita itu akan marah besar sampai kalap saat melihatnya datang ke vila milik keluarga Grant. ‘Bagaimana kalau Emily tega membunuhku?’ Hilda pantas menyentuh lehernya. ‘Tidak! dia tidak akan berani menyentuh walau satu inci pun kulitku karena ada Adam yang melindungiku.’ “Aku tidak mau mengecewakan Papa. Dia tidak suka masalah keluarga diketahui publik.” Adam mendesah pelan. Rasa letih setelah perjalanan panjang masih belum hilang, namun beban di pundaknya makin bertambah. “Masalah keluarga? Nona Hudson bahkan bukan anggota keluarga Knight,” ujar Hilda, ketus. Wajahnya menunjukkan kecemburuan. “Iya, kamu benar. Aku juga bingung bagaimana Papa bisa menganggap perempuan itu sebagai putrinya,” balas Adam seraya memejamkan kelopak mata. Hilda berdecih. “Mungkin dia perempuan yang bermulut manis, sebab itu papa lebih menyayanginya. Oh iya, apa kamu pernah bertemu dengan Nona Hudson?” Rasa ingin tahu Hilda meledak. “Seingatku, terakhir kali aku melihatnya… Yah, 20 tahun yang lalu.” Adam menjawab, acuh tak acuh. Lagian, hal itu bukanlah sesuatu yang penting baginya. Mata Hilda langsung terbelalak. “Serius? Kamu tidak bercanda kan?”Olivia berjalan perlahan-lahan di hamparan rumput yang luas. Sinar matahari pagi yang hangat menerangi setiap helai rumput berwarna hijau segar. Langit biru cerah tanpa awan membuat suasana menjadi begitu tenang nan damai. Angin bersilir-silir menyapa sekujur tubuh Olivia. Nyaman sekali. "Tempat apa ini?” Suara seraknya memecah kesunyian. Riak bingung terpahat di wajahnya. Olivia masih ingat dengan jelas. Dia dikejar Emily sebelum terlibat dalam kecelakaan. Kepalanya terbentur setir bahkan mobil mewahnya jatuh ke jurang. Segera dia menyentuh kepala dan memeriksa tangan dan kakinya. Bagaimana bisa tidak ada luka walau satu goresan pun? Ajaib! “Apa aku sudah mati atau aku sedang bermimpi?" gumamnya, tak mengerti. Mata Olivia liar memandang ke kiri kanan guna mencari sosok manusia dan hewan. Akan tetapi, tiada makhluk bernyawa yang ditangkap oleh netranya. Mengabaikan rasa takut, dia membiarkan kedua-dua tungkainya terus mengatur langkah. Sampai di puncak bukit kecil, dia me
“Jawab aku, apa kamu pernah memikirkan Adam? Puluhan tahun dia membesar dengan pertelingkahan kalian yang tidak pernah usai. Fisiknya memang baik-baik saja tapi aku yakin, jiwa dan mentalnya sakit saat melihat Xavier menyiksamu. Apa kamu tahu itu?” tanya Tuan Dennis, gusar. Lisa mengatup tirai mata. Wajah Adam sewaktu kecil memenuhi benaknya. Anak itu… Tidak pernah memperlihatkan kesedihan walau sedikit. Dia sering tersenyum senang saat coba membujuknya setelah Xavier selesai melampiaskan segenap amarah di tubuhnya. Lisa masih ingat dengan jelas. Tangan mungil itu menyeka air mata yang membasahi pipinya dengan penuh kasih sayang. ‘Mama, jangan menangis. Ada Adam di sini.’ Hati kecil Lisa terenyuh. Dia kembali membuka mata. “Aku tahu.” Suaranya lirih sekali. “Kamu tahu tapi sengaja mengabaikannya! Adam butuh ibu yang bahagia agar dia juga bisa bahagia, Lisa.” Tuan Dennis menggeram. Tinjunya terkepal erat. “Setiap kali aku mendengar Xavier mengurungmu di penjara bawah tana
Tuan Dennis Hudson melangkah pelan menuju kamar rawat inap VVIP yang ditempati putrinya. Sempat ia melemparkan senyum kepada ibu-ibu yang sedang menunggu lift. “Lihat! Tuan Hudson sudah datang.” Seorang perawat berbisik dengan antusias kepada temannya yang sedang mengisi data pesakit di komputer. “Hmmm.” Temannya hanya menyahut acuh tak acuh. “Kamu kenapa, June?” Dia merasa heran dengan reaksi temannya. Bukan ini yang dia harapkan. “Tidak apa-apa, Lina. Aku cuma pernah mendengar cerita dari beberapa senior kita bahwa Tuan Hudson itu sangat membenci wanita setelah kematian istrinya. Saking bencinya, dia hanya menerima laki-laki sebagai sekretaris pribadi,” ujar June. Lina melongo tak percaya. “Benarkah? Maksudmu, dia sudah menjadi pria yang suka beradu pedang?” Belum sempat June membalas, kepala perawat yang mendengar obrolan mereka segera memberi peringatan keras. “Jangan mudah percaya dengan omongan senior di sini. Berhentilah menggunjing dan lanjutkan kerja
“Xavier!” seru Tuan Marcus dengan suara yang sarat keputusasaan. Dengan terpaksa dia menyeret langkah kecil nan berat mendekati pasangan Knight. Bola mata Tuan Xavier Knight memindai wajah sedih Tuan Marcus Grant. Sementara itu, Alora menutup mulut dengan tangan sembari matanya terbelalak melihat kedua tangan pria gundul itu berlumur darah. “Mana putrimu? Bukankah aku telah menyuruhmu menyeret Emily kemari?” tanya Tuan Besar Knight, ketus. Alora mendekati suaminya lalu berbisik cepat, “Xavier, lihat tangannya.” Rasa marah berganti cemas secepat kilat. Tuan Xavier segera mendekati sahabatnya. “Bagaimana bisa tanganmu berdarah? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku!” Kedua tangannya menggenggam erat lengan sahabatnya. Perlahan, netra basah Tuan Marcus menumbuk wajah khawatir Tuan Xavier. “Putriku… Dia… sudah… ma… mati.” Usai bicara, seluruh tulangnya terasa lemah lalu tubuhnya memerosot menyentuh lantai dingin rumah sakit. “Xavier, dia pingsan! Ya Tuhan, apa yang harus kita
“Kau pasti sedang tidur di dalam peti mati saat ‘Lucas’ bertengkar dengan kakeknya.” Peter menyindir seraya melengos. “Langsung saja ke inti, apa sebenarnya yang telah terjadi?” Meski wajah Lucas tampak tenang, sorot matanya berubah sedingin kutub syamali. Peter mendesah sebal kala melihat binar menusuk dari mata sang alter ego Lucas yakni Lucky Luke. Ia tahu benar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain berkata jujur. Bagi Lucky Luke, hukuman yang pantas buat sang penipu adalah kematian. “Olivia kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit milik keluarga Knight. Dia masih hidup tapi…” “Tapi apa?” potong Lucas. Suaranya naik satu oktaf. Serentak, jantungnya berdenyut kencang. “Kedua kakinya lumpuh,” balas Peter, enteng. Dia telah menerima pesan khusus dari Carlos ketika membawa Fiona kepada Lucas. Ketenangan Lucas langsung buyar berganti amarah yang bergelegak. Lidahnya cepat mengeluarkan umpatan, “sialan!” Sontak satu tendangan singgah di bokong berotot Peter menyebabkan
‘Firasatku benar. Aaron sengaja mengincarku,’ batin Lucas sambil mengangguk puas. Aaron Xavier Knight, satu-satunya anggota keluarga Knight yang sangat suka mengusik hidup Lucas. Jika ditanya apa alasannya? Jawabannya hanya satu, cinta tulus Aaron pernah ditolak mentah-mentah oleh Olivia Hudson. Konyol, bukan? “Sebentar. Aku masih ada satu pertanyaan untukmu.” Lucas berdiri. Sigaret yang ada di antara dua jarinya dibuang. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dengarkan baik-baik, Fiona,” tutur Lucas, dingin. Fiona mengangguk-angguk cemas dengan napas tertahan. “Aktris terkenal berinisial O –yang pernah membintangi film Wanita Yang Membenci Mentari– terluka parah setelah mobil mewahnya jatuh ke jurang dalam posisi terbalik. Seorang saksi berkata, Olivia sempat bertemu aktor tampan berinisial L di sebuah kafe sebelum kecelakaan itu terjadi.” Lucas mengalihkan tatapan dari layar ponsel lalu menikam iris biru Fiona yang tampak mengembun. “Kau sengaja menulis judul film yan