Share

Bab 3. Memaksa Arini

"Maaf ya, Mas. Aku membiarkan semuanya biar hubunganku dan Mas Gilang dulu enggak terdeteksi mereka."

Wisnu hanya tersenyum mendengar penuturan Arini.

"Enggak apa-apa. Mas seneng aja dimanfaatkan karena itu jadi seperti doa, kamu jadinya nikah sama Mas.”

Arini hanya tersenyum mendengar penuturan laki-laki di depannya ini.

Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.

Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.

“Mbak Arini, kok tiba-tiba nikah gitu sih? Enggak ada kabar-kabar sama kita?”

“Iya nih, atau jangan-jangan, terpaksa nikah aja tuh, soalnya…”

“Hushh! Mana mungkin wanita sholeh seperti Arini melakukan itu,” ucap salah satunya dengan nada mengejek.

Beberapa orang cekikikan menatap Arini yang wajahnya merah menahan malu. Lalu, buru-buru Arini pergi ke mejanya.

Dua orang teman satu bagian dengan Arini menghampirinya. Mereka saling bertukar senyuman.

“Selamat yaa Rin atas nikahan kamu… Ehh kenapa, kamu kok nangis?”

Dewi yang tadinya ingin memberikan kejutan pada Arini tiba-tiba berhenti, begitu juga Lidia.

“Iya Rin, kamu kenapa sembab begitu?”

Arini hanya menggeleng sambil mengambil tissue untuk mengelap air matanya. Ia tak ingin bercerita pada dua sahabat baiknya di kantor, sebab bagu Arini kehadiran mereka sudah menenangkan hatinya.

“Enggak kok, Dew, Lid. Aku cuman kelilipan aja.”

“Kelilipan tapi ngambil tissuenya banyak banget. Pasti karena orang kantor sebelah ya? Awas aja kalo mereka ganggu kamu lagi!”

“Iya Rin, aku juga bakal buat perhitungan sama mereka kalau mereka ganggu kamu lagi.”

Arini tersenyum, “Terima kasih ya.”

Namun, baru saja mereka akan berbincang tentang pernikahan Arini, tiba-tiba ponselnya mengeluarkan bunyi.

Gilang : Ke ruanganku sekarang!

Setelah membaca pesan itu Arini bangkit menyebabkan Dewi merasa bingung melihatnya.

"Mau ke mana, Rin? Baru aja duduk loh. Kok udah mau keluar lagi?"

Arini tiba-tiba memegangi perutnya. Dia mencari alasan untuk keluar dari ruangan itu.

"Duh, aku kebelet banget nih. Mau ke toilet dulu ya Mbak."

Arini segera keluar dari ruangan menuju ruangan General Manajer di mana Gilang menjabat itu di PT. Maheswara.

Tiba di depan ruangan GM, Arini masuk. Dia duduk di kursi yang ada ruangan Gilang. Pria itu masih fokus memeriksa berkas.

"Kamu udah ngegugurin kandungan kamu?!" bentak Gilang saat baru saja Arini masuk ke ruangannya.

"Kenapa? Aku sudah punya suami, kenapa harus mengugurkan kandungan ini, Mas? Janin dalam perut ini enggak salah apa-apa.”

"Aku enggak peduli, pokoknya kamu haru gugurin kandungan itu atau aku sendiri yang akan melakukannya!”

Arini terpaku mendengar ancaman dari Gilang. Ia tak kuasa menahan rasa kesalnya.

"Aku tetap pada pendirianku, Mas! Aku enggak akan menggugurkan kandungan ini apapun yang terjadi!"

“Dasar Jalang!”

Gilang lalu menggebrak mejanya dan menatap Arini dengan tajam.

"Aku enggak mau janin dalam rahim kamu itu lahir ke dunia ini!"

Arini melihat tatapan Gilang berubah menjadi mengerikan. Pria itu terlihat kesal seakan ingin menelan Arini hidup-hidup.

"Tapi, kenapa Mas enggak mau janin ini lahir? Apa salah dia, Mas?"

"Kalau dia sampai lahir maka dia akan mencoreng nama baik keluarga Maheswara. Bisa hancur perusahaan ini Arini! Kamu paham enggak? Kalau perusahaan ini hancur kamu mau kerja di mana? Atau jangan-jangan kamu mau perusahaan ini hancur?"

"Mas Gilang lebih sayang sama perusahaan ini daripada anak kandung Mas sendiri? Kalau begitu biar aku urus anak ini sendiri tanpa bantuan Mas Gilang, dan aku enggak akan bilang pada siapa pun kalau ini anakmu, Mas!"

"Enggak ada yang bisa menjamin kamu enggak akan ngomong sama orang banyak Arini. Suatu hari kamu bisa saja secara enggak sengaja bilang kalau itu anakku."

"Aku bisa membuktikan kalau aku akan merahasiakan siapa ayah kandung dari bayi ini."

"Aku enggak percaya kamu akan diam."

"Terus aku harus ngapain supaya Mas percaya sama aku?"

"Ikut saya sekarang!" Gilang bangkit dari kursinya mengajak Arini ke suatu tempat. Keduanya menuju tempat itu dengan mobil yang dikendarai oleh Gilang.

Sepanjang perjalanan, Arini terus bertanya-tanya dia akan diajak ke mana. Perjalanan kali ini agak jauh, hampir menuju pinggiran kota. Mobil Gilang berhenti di sebuah bangunan tua yang terlihat sepi di depannya. Dengan perasaan ragu Arini turun dari mobil mengikuti langkah Gilang.

"Kita di mana, Mas?"

"Di klinik. Aku mau kamu gugurkan kandungan itu di tempat ini."

"Apa? Aku enggak mau, Mas. Aku mau balik ke kantor lagi."

"Iya, kita akan balik ke kantor setelah kamu gugurkan kandungan itu!"

"Aku enggak mau mengugurkan kandungan ini, Mas!" Arini menolak keras keinginan Gilang.

"Tapi kamu harus gugurkan kandungan itu, Rin. Kamu enggak boleh hamil!"

"Berapa kali pun Mas Gilang menyuruh aku untuk menggugurkan kandungan ini, aku enggak akan pernah mau. Apa perlu aku telepon polisi sekarang? Aku bakalan bilang ke polisi Mas Gilang nyuruh aku melakukan aborsi!" Gantian Arini yang mengancam Gilang.

"Berani kamu mengancam saya?" Pria itu mencengkram dagu Arini dengan keras karena sudah dibuat kesal dan marah dengan ancaman Arini.

"Aku enggak takut, Mas!" Arini menghubungi nomor kantor polisi di hadapan Gilang lalu dia angkat ponsel itu ke atas.

Gilang yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari Arini dengan mudah merebut ponsel itu dan memutuskan panggilan telepon ke kantor polisi. Dengan perasaan kesal, Gilang tinggalkan Arini menuju mobil. Dia lajukan mobilnya tanpa memedulikan Arini. Tubuh Arini luruh di atas tanah. Dia menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Dia luapkan perasaan kesal dan marah dalam tangisnya.

***

Malam harinya Arini sedang duduk di kamar saat Wisnu baru saja pulang. Ia melepas jaket lalu menggantung di pintu. Wisnu mendekati Arini sambil terus memperhatikan wajahnya yang terlihat cemas.

"Sudah makan?" tanya Wisnu dengan suara lembut pada Arini.

"Sudah, Mas. Mas udah makan?"

"Tadi Mas makan di jalan. Kamu kenapa? Ada masalah?"

Arini belum mau menceritakan apa yang sudah terjadi padanya. Untuk menghindari pertanyaan Wisnu, Arini berbaring di ranjang.

"Aku mau tidur dulu, Mas. Seharian ini kerjaan di kantor banyak, jadi keras capek banget." Arini membalikkan badan memunggungi Wisnu lalu ia memejamkan mata mencoba untuk tidur.

Wisnu menyadari jika Arini menghindar. Ia merasa perempuan itu menyembunyikan sesuatu. Membuat Wisnu merasa harus mencari tahu apa yang terjadi pada istrinya itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Safiiaa
satu kebohongan akan menciptakan kebohongan yang lainnya...
goodnovel comment avatar
b3kic0t
kenapa kamu nggak jujur aja sih Rin sama suami sendiri kan Wisnu jadi bisa ngelindungin kamu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status