"Maaf ya, Mas. Aku membiarkan semuanya biar hubunganku dan Mas Gilang dulu enggak terdeteksi mereka."
Wisnu hanya tersenyum mendengar penuturan Arini."Enggak apa-apa. Mas seneng aja dimanfaatkan karena itu jadi seperti doa, kamu jadinya nikah sama Mas.”Arini hanya tersenyum mendengar penuturan laki-laki di depannya ini.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.“Mbak Arini, kok tiba-tiba nikah gitu sih? Enggak ada kabar-kabar sama kita?”“Iya nih, atau jangan-jangan, terpaksa nikah aja tuh, soalnya…”“Hushh! Mana mungkin wanita sholeh seperti Arini melakukan itu,” ucap salah satunya dengan nada mengejek.Beberapa orang cekikikan menatap Arini yang wajahnya merah menahan malu. Lalu, buru-buru Arini pergi ke mejanya.Dua orang teman satu bagian dengan Arini menghampirinya. Mereka saling bertukar senyuman.“Selamat yaa Rin atas nikahan kamu… Ehh kenapa, kamu kok nangis?”Dewi yang tadinya ingin memberikan kejutan pada Arini tiba-tiba berhenti, begitu juga Lidia.“Iya Rin, kamu kenapa sembab begitu?”Arini hanya menggeleng sambil mengambil tissue untuk mengelap air matanya. Ia tak ingin bercerita pada dua sahabat baiknya di kantor, sebab bagu Arini kehadiran mereka sudah menenangkan hatinya.“Enggak kok, Dew, Lid. Aku cuman kelilipan aja.”“Kelilipan tapi ngambil tissuenya banyak banget. Pasti karena orang kantor sebelah ya? Awas aja kalo mereka ganggu kamu lagi!”“Iya Rin, aku juga bakal buat perhitungan sama mereka kalau mereka ganggu kamu lagi.”Arini tersenyum, “Terima kasih ya.”Namun, baru saja mereka akan berbincang tentang pernikahan Arini, tiba-tiba ponselnya mengeluarkan bunyi.Gilang : Ke ruanganku sekarang!Setelah membaca pesan itu Arini bangkit menyebabkan Dewi merasa bingung melihatnya."Mau ke mana, Rin? Baru aja duduk loh. Kok udah mau keluar lagi?"Arini tiba-tiba memegangi perutnya. Dia mencari alasan untuk keluar dari ruangan itu."Duh, aku kebelet banget nih. Mau ke toilet dulu ya Mbak."Arini segera keluar dari ruangan menuju ruangan General Manajer di mana Gilang menjabat itu di PT. Maheswara.Tiba di depan ruangan GM, Arini masuk. Dia duduk di kursi yang ada ruangan Gilang. Pria itu masih fokus memeriksa berkas."Kamu udah ngegugurin kandungan kamu?!" bentak Gilang saat baru saja Arini masuk ke ruangannya."Kenapa? Aku sudah punya suami, kenapa harus mengugurkan kandungan ini, Mas? Janin dalam perut ini enggak salah apa-apa.”"Aku enggak peduli, pokoknya kamu haru gugurin kandungan itu atau aku sendiri yang akan melakukannya!”Arini terpaku mendengar ancaman dari Gilang. Ia tak kuasa menahan rasa kesalnya."Aku tetap pada pendirianku, Mas! Aku enggak akan menggugurkan kandungan ini apapun yang terjadi!"“Dasar Jalang!”Gilang lalu menggebrak mejanya dan menatap Arini dengan tajam."Aku enggak mau janin dalam rahim kamu itu lahir ke dunia ini!"Arini melihat tatapan Gilang berubah menjadi mengerikan. Pria itu terlihat kesal seakan ingin menelan Arini hidup-hidup."Tapi, kenapa Mas enggak mau janin ini lahir? Apa salah dia, Mas?""Kalau dia sampai lahir maka dia akan mencoreng nama baik keluarga Maheswara. Bisa hancur perusahaan ini Arini! Kamu paham enggak? Kalau perusahaan ini hancur kamu mau kerja di mana? Atau jangan-jangan kamu mau perusahaan ini hancur?""Mas Gilang lebih sayang sama perusahaan ini daripada anak kandung Mas sendiri? Kalau begitu biar aku urus anak ini sendiri tanpa bantuan Mas Gilang, dan aku enggak akan bilang pada siapa pun kalau ini anakmu, Mas!""Enggak ada yang bisa menjamin kamu enggak akan ngomong sama orang banyak Arini. Suatu hari kamu bisa saja secara enggak sengaja bilang kalau itu anakku.""Aku bisa membuktikan kalau aku akan merahasiakan siapa ayah kandung dari bayi ini.""Aku enggak percaya kamu akan diam.""Terus aku harus ngapain supaya Mas percaya sama aku?""Ikut saya sekarang!" Gilang bangkit dari kursinya mengajak Arini ke suatu tempat. Keduanya menuju tempat itu dengan mobil yang dikendarai oleh Gilang.Sepanjang perjalanan, Arini terus bertanya-tanya dia akan diajak ke mana. Perjalanan kali ini agak jauh, hampir menuju pinggiran kota. Mobil Gilang berhenti di sebuah bangunan tua yang terlihat sepi di depannya. Dengan perasaan ragu Arini turun dari mobil mengikuti langkah Gilang."Kita di mana, Mas?""Di klinik. Aku mau kamu gugurkan kandungan itu di tempat ini.""Apa? Aku enggak mau, Mas. Aku mau balik ke kantor lagi.""Iya, kita akan balik ke kantor setelah kamu gugurkan kandungan itu!""Aku enggak mau mengugurkan kandungan ini, Mas!" Arini menolak keras keinginan Gilang."Tapi kamu harus gugurkan kandungan itu, Rin. Kamu enggak boleh hamil!""Berapa kali pun Mas Gilang menyuruh aku untuk menggugurkan kandungan ini, aku enggak akan pernah mau. Apa perlu aku telepon polisi sekarang? Aku bakalan bilang ke polisi Mas Gilang nyuruh aku melakukan aborsi!" Gantian Arini yang mengancam Gilang."Berani kamu mengancam saya?" Pria itu mencengkram dagu Arini dengan keras karena sudah dibuat kesal dan marah dengan ancaman Arini."Aku enggak takut, Mas!" Arini menghubungi nomor kantor polisi di hadapan Gilang lalu dia angkat ponsel itu ke atas.Gilang yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari Arini dengan mudah merebut ponsel itu dan memutuskan panggilan telepon ke kantor polisi. Dengan perasaan kesal, Gilang tinggalkan Arini menuju mobil. Dia lajukan mobilnya tanpa memedulikan Arini. Tubuh Arini luruh di atas tanah. Dia menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Dia luapkan perasaan kesal dan marah dalam tangisnya.***Malam harinya Arini sedang duduk di kamar saat Wisnu baru saja pulang. Ia melepas jaket lalu menggantung di pintu. Wisnu mendekati Arini sambil terus memperhatikan wajahnya yang terlihat cemas."Sudah makan?" tanya Wisnu dengan suara lembut pada Arini."Sudah, Mas. Mas udah makan?""Tadi Mas makan di jalan. Kamu kenapa? Ada masalah?"Arini belum mau menceritakan apa yang sudah terjadi padanya. Untuk menghindari pertanyaan Wisnu, Arini berbaring di ranjang."Aku mau tidur dulu, Mas. Seharian ini kerjaan di kantor banyak, jadi keras capek banget." Arini membalikkan badan memunggungi Wisnu lalu ia memejamkan mata mencoba untuk tidur.Wisnu menyadari jika Arini menghindar. Ia merasa perempuan itu menyembunyikan sesuatu. Membuat Wisnu merasa harus mencari tahu apa yang terjadi pada istrinya itu.Pada siang hari di kantor, Gilang memaksa Arini untuk ikut makan siang dengannya. Setelah kemarin rencananya untuk membuat Arini menggugurkan kandungan gagal, kini dia membuat rencana baru. Pria itu merasa sangat kesal dan ingin marah pada Arini kemarin. Kalo ini dia harus bisa memaksa Arini untuk tidak mempertahankan kehamilannya. Gilang mengemudikan mobil ke suatu tempat yang agak sepi di pinggiran kota. Dia belokkan mobilnya ke sebuah hotel kecil yang ada di sisi kiri jalan."Kok ke sini?" tanya Arini dengan perasaan bingung. Dia heran mengapa pria itu malah membawanya ke sebuah hotel kecil. Arini merasa takut Gilang akan melakukan sesuatu yang buruk padanya."Ikut saya turun!" ucap Gilang dengan memaksa.Arini pun mengikuti Gilang masuk ke hotel. Pria itu memesan sebuah kamar untuk mereka. Dia bawa Arini ke kamar itu dan memintanya menunggu sebentar. Gilang keluar dari kamar hotel untuk meminta bantuan dari karyawan hotel untuk membelikan makanan dan minuman untuknya dan Arini.
Pagi hari Arini bersiap akan ke kantor. Dia membuka lemari untuk memilih pakaian. Wisnu melihat itu lalu menghampiri Arini."Kamu mau ke mana, Rin?""Ke kantor, Mas, aku mau kerja."Dahi pria itu berkerut saat tahu istrinya tetap akan ke kantor. "Dokter bilang kamu harus istirahat di rumah. Kandungan kamu lemah, belum boleh banyak gerak dulu."Pria itu ingin Arini lebih memikirkan diri sendiri dan kehamilannya daripada memikirkan pekerjaan. Kondisi kehamilan Arini masih rentan."Aku enggak bisa diem di rumah cuma tidur-tiduran gitu. Rasanya lebih capek."Wisnu menarik lengan Arini lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang. Dia harus membuat Arini berubah pikiran agar fokus pada kehamilannya."Lebih baik kamu di rumah ya. Mas takut terjadi apa-apa sama kandungan kamu. Kamu enggak mau kan kehilangan calon bayi kamu?"Arini diam. Apa yang dikatakan Wisnu benar. Dia belum siap kalau harus kehilangan bayinya. Walaupun anak itu tidak diterima oleh ayahnya, dia tidak boleh egois hanya memikirka
Esok paginya, Arini baru keluar dari kamar mandi. Raut wajahnya terlihat panik setelah melihat bercak darah di pakaian dalamnya. Perempuan itu bergegas menuju kamar mencari suaminya. "Mas, pagi ini bisa anter ke dokter kandungan enggak?" Arini terlihat cemas dengan kandungannya. Wisnu terperanjat mendengar ucapan Arini. "Kenapa? Ada yang kerasa sakit?" Pria itu memang bahu Arini dengan perasaan khawatir. Arini menceritakan apa yang baru saja dia alami. Wisnu berpikir sesaat, tidak mungkin dia membawa Arini dengan motor pada kondisi kandungan istrinya yang lemah itu. "Kamu sabar dulu, ya. Mas mau telepon dokter kandungan. Nanti hasilnya Mas kasih tahu kamu." Arini menganggukkan kepala. Namun, dia juga merasa bingung, sejak kapan suaminya bisa dengan bebas menelepon dokter kandungan.Wisnu meraih ponsel di atas nakas. Dia cari nomor telepon dokter kandungan kemarin. Panggilan tersambung. "Halo, Dok. Istri saya pagi ini ngeflek. Harus dibawa ke sana untuk konsultasi apa saya bisa b
Wisnu baru pulang ke rumah. Saat dia masuk kamar melihat Arini sedang berbaring dengan mata sembab. Pria itu merasa penasaran dengan apa yang menyebabkan Arini menangis. Dia menghampiri istrinya lalu duduk di tepi ranjang. "Habis nangis?" Arini bergeming. Tidak menatap Wisnu sama sekali. "Kenapa?" tanya Wisnu lagi. "Tadi katanya mau wawancara besok, kok malah nangis?" Arini bangun lalu duduk di sebelah Wisnu dengan wajah sendu. "Aku enggak jadi aja wawancaranya, Mas." Perempuan itu mengusap wajah dengan kasar. "Ada masalah?" Pria itu terlihat khawatir pada Arini. Arini bangkit. Dia menunjukkan perut yang mulai membuncit pada suaminya. "Tadi aku coba pake kemeja sama rok yang biasanya aku pake kerja dulu, tapi perut aku keliatan kayak orang hamil, Mas." Arini menghela napas. Wisnu paham dengan maksud Arini. Dengan penampilan seperti itu dia merasa pasti tidak akan lolos wawancara. Artinya dia tidak akan diterima kerja di perusahaan itu. "Emang keliatan banget?" "Enggak terla
Arini melapor ke meja registrasi lalu mendapat nomor urut antrian wawancara. Dia duduk bergabung dengan pelamar lainnya. Perempuan itu mengamati pelamar yang ada di sana. Kebanyakan dari mereka sama dengan dia yang dulu saat baru lulus kuliah.Saat itu juga dia duduk bersama pelamar lainnya sama seperti sekarang. Namun, dulu dia begitu bersemangat. Beda dengan hari ini, dia terlihat tidak semangat dan tidak percaya diri.Perempuan itu memandangi dirinya sendiri yang tengah hamil empat bulan. Dengan perut yang mulai terlihat membuncit dan akan semakin besar seolah memaksakan diri untuk bekerja.Belum lagi saingan lainnya lebih muda dan masih belum menikah. Sebenarnya mungkin dari segi usia tidak jauh berbeda dengan Arini, tetapi kondisi Arini berbeda jauh dengan dirinya. Seandainya saja kejadian itu tidak menimpa dirinya, Arini pasti masih bekerja bersama dengan teman-temannya. Seketika dia merindukan sosok teman-teman kerjanya dulu."Berapa orang yang wawancara hari ini?" sayup Arini
Arini tengah sibuk memilih sepatu. Dia tidak tahu jika kepergiannya tadi tanpa pamit ternyata membuat sebuah masalah kecil. Dia bahkan tidak mendengar jika sedari tadi ponselnya berdering berkali-kali.Baru setelah dia selesai membayar pesanan dan keluar dari toko sepatu, Arini mendengar suara ponselnya. Dia keluarkan ponselnya dari dalam tas. "Halo, Mas Wisnu, ada apa ya?" "Kamu di mana, Rin? Kok baru angkat telepon sih?" Terdengar nada khawatir dari suara pria yang ada di seberang panggilan telepon. "Lagi di luar, Mas. Ada apa?" "Kamu pergi enggak bilang Mama. Mama khawatir banget sama kamu. Ditelepon enggak diangkat, diSMS enggak dibales. Mama takut ada apa-apa sama kamu. Mas juga ditelepon disuruh nyariin kamu. Mas bingung harus nyariin kamu ke mana." Pria itu berkata panjang lebar karena terlalu cemas dengan Arini. Arini baru menyadari jika dia tadi memang pergi tanpa pamit pada Ratih. Dia tidak menyangka jika mamanya akan panik mencarinya. "Duh, maaf ya Mas. Aku tadi lupa
Arini duduk menunggu di kantor PT. Kalingga. Sebentar lagi namanya akan dipanggil masuk. Debaran jantungnya semakin cepat karena semakin dekat dengan waktu dia akan dipanggil masuk ke ruangan wawancara kedua. Pada wawancara kedua kali ini, hanya ada dua puluh orang yang lolos. Dari seleksi terakhir ini hanya lima orang saja yang akan diterima. Arini sudah pasrah, dia sadar kesempatan dia untuk diterima di perusahaan itu sangat kecil karena dia melihat peserta lain lebih kompeten dari pada dia. Arini akan memberikan jawaban terbaik untuk wawancara terakhir ini. Dia sudah tidak berharap pada hasilnya."Arini Puspasari, silakan masuk ruangan."Namanya sudah dipanggil masuk. Arini menarik napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya.Perempuan itu masuk ruangan sendiri. Duduk di kursi yang ada di sana. Dia menatap lurus ke depan. Apa pun pertanyaan yang diberikan akan dia jawab dengan baik.Satu persatu pertanyaan dilontarkan pada Arini. Dia bisa menjawab dengan tenang berkat usahan
Dalam ruang pemeriksaan, Arini tengah berbaring untuk diperiksa kandungannya. Dokter memeriksa dengan alat USG. Wisnu merasa takjub melihat perkembangan janin dalam perut Arini yang terlihat tumbuh dengan baik. Walaupun itu bukan anak kandungnya, dia tetap menyayangi janin dalam kandungan Arini seperti anaknya sendiri."Perkembangan janinnya bagus. Usia kandungan 17 minggu. Kalau dilihat ini jenis kelaminnya laki-laki."Mendengar penuturan dokter membuat Wisnu merasa sangat senang. Begitu juga dengan Arini. Pancaran kebahagiaan terlihat di wajah keduanya."Nanti ke sini satu bulan lagi, ya! Saya resepkan vitamin seperti biasanya."Dokter meletakkan foto hasil USG Arini di meja. Wisnu mengambilnya. Sesaat kemudian wajahnya terlihat sedih karena melihat janin yang tidak bersalah itu hampir saja berakhir oleh ayahnya sendiri. Dia hanya bisa berharap janin dalam kandungan Arini semakin sehat dan lahir dalam keadaan sempurna."Terima kasih ya, Dokter."Wisnu dan Arini pamit pada dokter lal