"Nak Wisnu mau menikah dengan Arini? Ini Ibu enggak salah denger, kan?"
Ratih terpana mendengar ucapan Wisnu. Ternyata masih ada orang baik yang mau bertanggung jawab untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan."Iya, saya akan menikahi Arini, bertanggung jawab pada janin yang ada dalam rahimnya dan akan menjaganya seumur hidup saya."Ratih menjadi terharu, air matanya mengalir deras. "Nak Wisnu enggak perlu bertanggung jawab dengan Arini seperti ini. Kamu anak baik harus menikah dengan perempuan baik-baik juga." Ratih memegangi tangan Wisnu dan menepuk perlahan."Arini juga perempuan baik, Bu, tapi pasti Gilang itu yang merusaknya, pria seperti itu tidak pantas menjadi suami untuk Arini. Hanya akan membuat Arini semakin sakit hati.""Ibu juga tidak mengharap Gilang menikahi Arini.""Kalau begitu biar saya saja yang menikahi Arini, Bu." Wisnu terus meyakinkan Ratih."Tapi anak itu sudah tidak suci lagi. Apa Nak Wisnu bisa menerima kekurangan Arini?""Saya tidak peduli dengan itu. Saya lebih peduli pada perasaan Arini. Apa dia sanggup menjalani masa kehamilannya tanpa suami. Belum lagi fitnah pasti akan menyebar ke mana-mana. Saya takut Arini enggak sanggup menghadapi semuanya sendirian."Ratih melihat tatapan tulus dari Wisnu padanya. Dia yakin Wisnu tidak akan menyakiti perasaan Arini karena Wisnu yang dia kenal adalah orang baik. "Nak Wisnu yakin tidak akan menyesal menikah dengan Arini?""Justru saya akan menyesal kalau tidak menikah dengan Arini.""Baiklah kalau begitu, nikahi Ibu besok karena semakin lama ditunda perut Arini akan semakin membesar dan fitnah padanya akan semakin menjadi-jadi. Apa Nak Wisnu bisa?""Bisa, Bu," ucap pria itu dengan mantap dan yakin.Arini keluar dari kamar menemui Wisnu dan Ratih. Sebenarnya dia sudah mendengar obrolan antara Ratih dan Wisnu sayup-sayup dari kamarnya. Ia terkesiap saat tahu Wisnu mau menikahinya. Perempuan itu masih belum percaya Wisnu secepat itu akan menikahinya."Mas yakin mau nikah sama aku? Aku hamil anak orang, Mas, bukan anak Mas Wisnu!""Rin, anakmu butuh seorang ayah. Kalau dia lahir ke dunia tanpa ayah maka semua orang akan menghakiminya sebagai anak haram."Arini tertunduk lemas, dia terpaksa setuju dengan apa yang diucapkan Wisnu. "Aku setuju dinikahi Mas Wisnu."***Besoknya, Wisnu dan Arini dibawa menuju KUA. Baik Wisnu atau Arini mengenakan pakaian sederhana, tetapi rapi dan terlihat formal.Arini didampingi Ratih sementara Wisnu didampingi oleh Pamannya yang baru datang dari kampung. Orang tuanya tidak bisa datang karena ada pekerjaan di kampung yang tidak bisa ditinggal.Urusan administrasi sudah diselesaikan semua. Sebelum pernikahan dilaksanakan, Ratih bertanya lagi pada Wisnu."Ibu tanya untuk yang terakhir kalinya, Nak Wisnu masih bisa mundur. Apa Nak Wisnu yakin tidak akan menyesal menikah dengan Arini anak Ibu?""Keputusan saya sudah bulat, Bu. Saya tidak akan pernah menyesal menikah dengan Arini.""Baik, sekarang Nak Wisnu sudah tidak bisa mundur lagi. Menikahlah dengan Arini sekarang, Ibu merestui pernikahan kalian!"Akad nikah berlangsung dengan khidmat, tangis haru Ratih mewarnai akad nikah antara Wisnu dan Arini. Dia merasa sangat bersyukur dibalik musibah masih ada hal baik setelahnya.Sekarang Ratih bisa merasa sedikit lega karena sudah menikahkan Arini dengan Wisnu, tetapi suatu saat dia harus siap jika Gilang tiba-tiba datang untuk menuntut haknya sebagai ayah dari janin dalam kandungan Arini.Setelah pernikahan sederhana itu usia, malam harinya, Ratih menggoda Arini di kamarnya saat Wisnu sedang berada di kamar mandi. "Gimana suami pilihan Mama? Mantap, kan?""Aku kok curiga, jangan-jangan dulu Mama pernah ngarep Mas Wisnu nikah sama aku, soalnya prosesnya cepet banget dan mudah.""Itu artinya jodoh kamu bukan Gilang. Sudah pacaran lama eh malah nikah sama yang lain."Arini hanya mengangguk kecil. Namun, dalam hatinya ia termenung, benarkah Wisnu mencintainya?"Banyak-banyak mohon ampun sama Allah. Kita ini manusia gudangnya dosa. Terus banyakin syukur, biar enggak lupa sama Allah."Ratih keluar dari kamar Arini menuju kamarnya. Wisnu duduk di tepi ranjang di sebelah Arini. Dia mengambil jarak sedikit."Mas mau bilang sesuatu sama kamu, boleh?""Boleh. Mas Wisnu mau ngomong apa?""Sekarang Mas sudah jadi suami kamu, Mas akan berusaha jadi suami yang baik dan bertanggung jawab buat kamu dan calon anak kita.""Terima kasih sudah mau menikah denganku padahal ini bukan tanggung jawab Mas Wisnu. Aku akan berusaha melupakan Gilang dan menerima Mas Wisnu sebagai suami.""Iya, kamu yang lebih paham sama perasaanmu sendiri. Sebelum tidur kita salat jamaah dulu, yuk. Kamu wudu dulu, Mas tadi sudah wudhu. Mas tunggu di sini, ya."***Arini sudah berpakaian rapi. Kemarin dia mengajukan cuti menikah, hari ini dia akan kembali bekerja. Wisnu juga sudah siap untuk mengantar Arini berangkat ke kantor."Kok udah kerja lagi sih? Kamu kan bisa cuti dulu barang sehari atau dua hari itu. Jalan berdua sama suamimu, anggap aja bulan madu. Apa perlu Mama bookingin hotel buat bulan madu?""Enggak usah, Ma," teriak Wisnu dan Arini bersamaan."Kompak banget jawabnya. Kalian masih malu-malu ternyata. Ya sudah nanti Mama cariin hotel buat malam minggu untuk kalian atau mau ke luar kota?""Enggak usah, Ma. Simpan aja uang Mama. Saya masih bisa ngajak Arini nginep di hotel atau jalan. Biar saya yang ngurus semuanya.""Iya deh. Ya sudah jalan aja sana. Hati-hati di jalan, ya."Arini dan Wisnu bergantian menyalami tangan Ratih lalu keluar dari rumah bersamaan. Seperti biasa Wisnu mengantar Arini menuju kantor dengan motor."Temen kamu di kantor bakalan ngerasa aneh enggak Rin kalau tahu kamu tiba-tiba nikah?" tanya Wisnu di perjalanan menuju kantor Arini."Enggak, Mas. Selama ini Mas Gilang sama aku merahasiakan hubungan kami. Jadi, selama dua tahun ini enggak ada tahu tahu kalau kami pacaran.""Oh, terus nanti temen kantor kamu bakalan penasaran dong kamu nikah dengan siapa?""Enggak, kan mereka mikir selama ini kita pacaran Mas. Mereka tahu kita nikah. Cuma kaget aja kenapa nikahnya terkesan buru-buru gitu.""Mereka ngira kita pacaran? Kok bisa?""Karena Mas Wisnu selalu nganter aku ke kantor setiap hari.""Terus reaksi kamu gimana waktu mereka ngira kita pacaran?"Sementara itu, dari sebuah mobil mewah, seseorang memandangi kedua pengantin baru itu dengan tajam sambil mengepalkan tangan.Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Malam itu Wisnu sudah membuat reservasi di sebuah restoran mewah untuk makan malam bersama Ratih dan keluarganya. Ratih merasa sangat senang diajak jalan oleh Wisnu bersama Arini dan Rasyid. Seketika perempuan paruh baya itu merasa kebahagiaannya lengkap bersama anak dan cucu."Nu, Mama sudah bahagia bersama kalian. Semoga kehidupanmu dan Arini beserta anak kalian bahagia juga selalu."Wisnu tersenyum bahagia mendapat doa yang baik dari Ratih. Dia pun merasa kebahagiaannya lengkap bersama Airin dan Rasyid walaupun. Perjuangannya menunggu Arini tidak pernah sia-sia."Aamiin. Makasih doanya ya, Ma. Semoga kita semua selalu bahagia."Selesai makan malam, Wisnu tidak langsung mengajak pulang kembali ke hotel. Dia mengajak mertua, istri dan anaknya mengelilingi kota Bogor. Baru kemudian kembali ke hotel.Malam itu Ratih tiba-tiba ingin mengajak Rasyid tidur bersamanya."Nu, tolong bawa Rasyid ke kamar Mama. Mama lagi enggak pengen tidur sendiri. Biar kamu menikmati waktu bersama Arini mala
Saat Rasyid sudah berusia dua tahun, Wisnu mulai mengajak Arini untuk membicarakan soal anak kedua pada Arini. Namun, Arini masih enggan untuk hamil lagi apalagi menambah jumlah anak. Wisnu terus membujuknya untuk memikirkan soal anak kedua. "Ayolah. Rin. Rasyid kan sudah dua tahun. Kasian dia kalau sendirian terus. Jadi, enggak ada teman mainnya." Begitulah salah satu cara Wisnu membujuk Arini. Arini menghela napas. "Mas, aku masih ingat gimana rasanya melahirkan itu. Jadi, aku masih belum mau hamil dan melahirkan lagi dalam waktu dekat." Arini sedikit trauma dengan yang namanya melahirkan itu. Dia masih berusaha untuk menghindarinya. "Gitu, ya? Ya sudah deh nanti aja kalau gitu." Arini tahu suaminya kecewa dengan penolakannya, tetapi dia memang masih belum mau untuk hamil lagi. Kali ini dia masih berusaha menolak sebisanya sebelum, tetapi jika nanti ternyata Arini hamil, dia akan menerima itu bukan karena terpaksa. Sebisa mungkin dia akan menghindari perasaan itu. ***Wisnu su
Wisnu sudah menyerahkan hasil pemeriksaan tes DNA pada Baskara. Pria itu menunggu jawaban dari sang papa saat setelah membaca hasil pemeriksaan itu.'Maaf katena sudah berbohong, Pa, tapi Rasyid juga butuh pengakuan. Jangan abaikan dia hanya karena dia bukan anak kandungku,' ucap Wisnu dalam hati sambil berdoa semoga hati Baskara mau melunak."Jadi, Rasyid benar anak kandungmu?" tanya Baskara untuk memastikan apa yang dia baca itu adalah benar adanya."Iya, Pa. Kan aku sudah bilang Rasyid itu anakku. Sekarang Papa percaya kan setelah melihat hasil tes DNA ini?""Sekarang Papa percaya jika Rasyid adalah cucu Papa. Maaf karena sudah mengabaikannya selama ini. Untuk urusan berita murahan itu kamu tidak usah khawatir lagi, Nu. Semua sudah selesai.""Iya, Pa."Baskara menepuk lengan Wisnu beberapa kali. "Kerja bagus. Kalau ada waktu main ke rumah bawa Arini dan Rasyid sekalian. Papa mau bertemu dengan mereka."Wisnu diliputi perasaan bahagia. Dia belum pernah sebahagia itu bisa mempertemuk
"Karena cuma kamu yang tahu arini hamil dan itu anak kamu, tapi selama ini kamu selalu mengelak dan tidak mengakui kalau itu anakmu, lantas kenapa sekarang kamu bilang anak Arini bukan anakku?" Wisnu tahu jika Gilang memang sengaja melakukan itu untuk mendapatkan sesuatu. Entah itu menghancurkan citra PT. Kalingga atau meminta uang. "Karena aku mau melihat kamu hancur!" Gilang tertawa di hadapan Wisnu. Jika Wisnu bisa hancur, Gilang akan merasa senang karena bisa membalaskan dendamnya pada pria itu. "Kamu tidak akan pernah bisa menghancurkanku!" Wisnu jelas tidak mau kalah dengan Gilang. Memang dia bersama Arini sudah membalaskan dendam Arini pada Gilang, sekarang setelah dia hancur dia pun tidak tinggal diam melihat Wisnu hidup bahagia bersama Arini. "Oh ya, mumpung kita sudah ketemu, aku akan mengakui. Memang aku yang menyebarkan berita itu dan aku juga bisa menyetop tersebarnya berita itu semakin luas lagi. Aku ada penawaran menarik buat kamu, gimana kalau kita barter aja?" Wis