Pada siang hari di kantor, Gilang memaksa Arini untuk ikut makan siang dengannya. Setelah kemarin rencananya untuk membuat Arini menggugurkan kandungan gagal, kini dia membuat rencana baru. Pria itu merasa sangat kesal dan ingin marah pada Arini kemarin. Kalo ini dia harus bisa memaksa Arini untuk tidak mempertahankan kehamilannya.
Gilang mengemudikan mobil ke suatu tempat yang agak sepi di pinggiran kota. Dia belokkan mobilnya ke sebuah hotel kecil yang ada di sisi kiri jalan."Kok ke sini?" tanya Arini dengan perasaan bingung. Dia heran mengapa pria itu malah membawanya ke sebuah hotel kecil. Arini merasa takut Gilang akan melakukan sesuatu yang buruk padanya."Ikut saya turun!" ucap Gilang dengan memaksa.Arini pun mengikuti Gilang masuk ke hotel. Pria itu memesan sebuah kamar untuk mereka. Dia bawa Arini ke kamar itu dan memintanya menunggu sebentar. Gilang keluar dari kamar hotel untuk meminta bantuan dari karyawan hotel untuk membelikan makanan dan minuman untuknya dan Arini.Tidak lupa juga Gilang meminta karyawan hotel itu memasukkan obat dalam minuman yang akan diberikan pada Arini. Ia tinggal menunggu karena sudah tidak sabar untuk melihat rencananya berhasil."Mau apa kita ke sini, Mas?" Arini merasa semakin takut."Sudah jangan banyak tanya. Nanti juga kamu tahu sendiri!"Gilang sungguh-sungguh tidak mau melihat Arini mempertahankan calon anak mereka. Anak itu akan menjadi boomerang yang akan menghancurkannya suatu hari nanti.Tak lama kemudian, makanan dan minuman pesanan Gilang datang dan diantar ke kamar. Dia berikan satu untuk Arini termasuk minuman yang sudah diberikan obat."Makan!" Gilang menatap Arini dengan sorot mata yang dingin dan seakan tajam.Dengan perasaan takut yang tidak menentu Arini menerima makanan dari Gilang. Dia mulai makan makanan itu. Arini tetap merasa curiga dengan sikap Gilang, tetapi dia masih belum bisa menjebak hal apa yang akan menimpa dirinya setelah makan.Arini sudah menghabiskan makanan dan minuman pemberian Gilang. Gilang terus memperhatikan gerak-gerik Arini. Kemudian dia berdiri sambil memegang ponsel."Aku keluar dulu sebentar, mau menelepon seseorang."Gilang keluar dari kamar itu. Pria itu tidak akan kembali lagi ke kamar. Gilang tetap berada di mobil, menunggu Arini memberikan kabar tentang apa yang akan terjadi padanya.Tak lama kemudian, obat yang diberikan Gilang mulai bereaksi. Arini merasakan sakit di bagian perut bawah. Dia curiga Gilang memasukkan sesuatu dalam minumannya tadi. Sebelum makan dia merasa perutnya baik-baik saja. Namun, setelah makan dia mulai merasa ada yang tidak beres dengan perutnya.Arini merasa harus menanyakan itu pada pria yang telah mengajaknya ke hotel itu. Namun, Gilang tak kunjung datang. Ia pun menelepon Gilang."Kamu di mana, Mas? Kok belum balik lagi ke kamar?" Rasa sakit yang dialami Arini semakin terasa menyiksa."Aku dah balik ke kantor. Tadi lupa ngabarin kamu soalnya ada urusan mendesak.""Tapi kamu kan bisa telepon aku, Mas. Biar aku keluar dari sini terus ikut Mas balik ke kantor.""Aku lupa, tadi telepon beberapa orang lagi sambil jalan ke kantor.""Terus aku gimana?""Kamu balik kantor sendiri. Pake taksi atau ojek online juga boleh."Arini marah dengan perlakuan Gilang padanya. Dia pikir pasti pria itu sengaja meninggalkannya di sana sendirian setelah memberikan sesuatu padanya.Semakin lama rasa sakit itu semakin menyiksa Arini. Perutnya terasa kram. Dia pun merasa dari bagian bawah tubuhnya mengalir sesuatu. Arini menelepon Wisnu untuk meminta bantuan dari suaminya."Mas tolong jemput aku di hotel A, kamar 505. Bisa kan, Mas?""Kamu ngapain di sana? Kok jauh banget." Dari suara Wisnu terdengar jika pria itu khawatir pada Arini."Perutku sakit banget, Mas. Tolong cepat ke sini, ya!" Rasa sakit di perut Arini membuatnya tidak bisa menceritakan apa yang sudah terjadi padanya."Ok, Mas ke sana sekarang!" Kali ini dari suara Wisnu terdengar kalau pria itu merasa panik saat tahu Arini sakit perut.Satu jam kemudian, Wisnu tiba di hotel itu dengan mengendarai sebuah mobil. Dia masuk ke kamar tempat Arini berada sekarang. Perempuan itu terbaring lemah di ranjang hotel.Dengan gerak cepat, Wisnu membawa Arini ke mobil dengan menggendongnya. Pria itu syok melihat darah yang mengalir di kaki Arini."Perut kamu masih kerasa sakit?" Dari raut wajahnya terlihat Wisnu sangat khawatir terjadi sesuatu pada kandungan Arini.Perempuan itu menganggukkan kepala dengan lemah."Kita ke rumah sakit sekarang.""Mas kok bawa mobil, punya siapa?""Mas pinjem mobil temen. Tadi kamu bilang sakit perut, Mas khawatir kalau bawa kamu pakai motor."Wisnu membawa Arini ke rumah sakit terdekat. Jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel tadi. Pria itu ingin Arini segera diperiksa keadaannya.Tiba di rumah sakit, Wisnu membawa Arini ke UGD agar segera mendapat tindakan. Perawat memeriksa keadaan Arini. Lalu perawat memberikan saran pada Wisnu untuk membawa Arini ke klinik kandungan yang ada di rumah sakit yang sama.Arini dibawa ke klinik itu dengan kursi roda. Perawat di UGD membersihkan sisa darah yang ada di kakinya. Tidak perlu menunggu lama di klinik, Wisnu dan Arini diizinkan masuk ruangan praktek dokter kandungan.Dokter memeriksa kandungan Arini dengan alat USG. Dari sana dokter dapat mengetahui apa yang terjadi pada kandungan Arini. Setelah melakukan pemeriksaan wajah dokter tetap terlihat tenang. Berbeda dengan Wisnu yang masih merasa cemas dan tidak sabar menunggu apa yang akan disampaikan oleh dokter."Apa ibu pernah mengkonsumsi obat yang digunakan untuk menggugurkan kandungan?"Arini merasa cemas. Dia merasa Gilang memberikan itu padanya tadi saat mereka berada di hotel."Saya enggak pernah minum obat seperti itu, Dok."Namun, Wisnu curiga Arini minum obat itu tadi saat dia berada di hotel."Kamu benar enggak minum obat itu, Rin?""Enggak, Mas. Ini pasti perbuatan Mas Gilang. Dia ngasih obat itu yang dicampur minumanku tadi siang."Dokter melanjutkan penjelasannya. "Obat itu membuat kandungan Ibu Arini menjadi lemah. Ibu harus banyak istirahat. Jangan banyak gerak dulu, ya. Saya resepkan obat penguat kandungan.""Artinya janin dalam rahim Arini masih bisa diselamatkan, Dok?"Wisnu mengira Arini mengalami keguguran saat melihat darah yang mengalir di kakinya tadi."Alhamdulillah masih diselamatkan. Yang penting sekarang Bu Arini tidak boleh banyak aktivitas dulu.""Oh ya, baik Dokter."Pulang dari rumah sakit, Wisnu membawa Arini ke rumah. Dia meminta istrinya untuk makan, minum obat dan istirahat. Sebelum kembali bekerja, Wisnu menitipkan Arini pada ibunya.Pagi hari Arini bersiap akan ke kantor. Dia membuka lemari untuk memilih pakaian. Wisnu melihat itu lalu menghampiri Arini."Kamu mau ke mana, Rin?""Ke kantor, Mas, aku mau kerja."Dahi pria itu berkerut saat tahu istrinya tetap akan ke kantor. "Dokter bilang kamu harus istirahat di rumah. Kandungan kamu lemah, belum boleh banyak gerak dulu."Pria itu ingin Arini lebih memikirkan diri sendiri dan kehamilannya daripada memikirkan pekerjaan. Kondisi kehamilan Arini masih rentan."Aku enggak bisa diem di rumah cuma tidur-tiduran gitu. Rasanya lebih capek."Wisnu menarik lengan Arini lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang. Dia harus membuat Arini berubah pikiran agar fokus pada kehamilannya."Lebih baik kamu di rumah ya. Mas takut terjadi apa-apa sama kandungan kamu. Kamu enggak mau kan kehilangan calon bayi kamu?"Arini diam. Apa yang dikatakan Wisnu benar. Dia belum siap kalau harus kehilangan bayinya. Walaupun anak itu tidak diterima oleh ayahnya, dia tidak boleh egois hanya memikirka
Esok paginya, Arini baru keluar dari kamar mandi. Raut wajahnya terlihat panik setelah melihat bercak darah di pakaian dalamnya. Perempuan itu bergegas menuju kamar mencari suaminya. "Mas, pagi ini bisa anter ke dokter kandungan enggak?" Arini terlihat cemas dengan kandungannya. Wisnu terperanjat mendengar ucapan Arini. "Kenapa? Ada yang kerasa sakit?" Pria itu memang bahu Arini dengan perasaan khawatir. Arini menceritakan apa yang baru saja dia alami. Wisnu berpikir sesaat, tidak mungkin dia membawa Arini dengan motor pada kondisi kandungan istrinya yang lemah itu. "Kamu sabar dulu, ya. Mas mau telepon dokter kandungan. Nanti hasilnya Mas kasih tahu kamu." Arini menganggukkan kepala. Namun, dia juga merasa bingung, sejak kapan suaminya bisa dengan bebas menelepon dokter kandungan.Wisnu meraih ponsel di atas nakas. Dia cari nomor telepon dokter kandungan kemarin. Panggilan tersambung. "Halo, Dok. Istri saya pagi ini ngeflek. Harus dibawa ke sana untuk konsultasi apa saya bisa b
Wisnu baru pulang ke rumah. Saat dia masuk kamar melihat Arini sedang berbaring dengan mata sembab. Pria itu merasa penasaran dengan apa yang menyebabkan Arini menangis. Dia menghampiri istrinya lalu duduk di tepi ranjang. "Habis nangis?" Arini bergeming. Tidak menatap Wisnu sama sekali. "Kenapa?" tanya Wisnu lagi. "Tadi katanya mau wawancara besok, kok malah nangis?" Arini bangun lalu duduk di sebelah Wisnu dengan wajah sendu. "Aku enggak jadi aja wawancaranya, Mas." Perempuan itu mengusap wajah dengan kasar. "Ada masalah?" Pria itu terlihat khawatir pada Arini. Arini bangkit. Dia menunjukkan perut yang mulai membuncit pada suaminya. "Tadi aku coba pake kemeja sama rok yang biasanya aku pake kerja dulu, tapi perut aku keliatan kayak orang hamil, Mas." Arini menghela napas. Wisnu paham dengan maksud Arini. Dengan penampilan seperti itu dia merasa pasti tidak akan lolos wawancara. Artinya dia tidak akan diterima kerja di perusahaan itu. "Emang keliatan banget?" "Enggak terla
Arini melapor ke meja registrasi lalu mendapat nomor urut antrian wawancara. Dia duduk bergabung dengan pelamar lainnya. Perempuan itu mengamati pelamar yang ada di sana. Kebanyakan dari mereka sama dengan dia yang dulu saat baru lulus kuliah.Saat itu juga dia duduk bersama pelamar lainnya sama seperti sekarang. Namun, dulu dia begitu bersemangat. Beda dengan hari ini, dia terlihat tidak semangat dan tidak percaya diri.Perempuan itu memandangi dirinya sendiri yang tengah hamil empat bulan. Dengan perut yang mulai terlihat membuncit dan akan semakin besar seolah memaksakan diri untuk bekerja.Belum lagi saingan lainnya lebih muda dan masih belum menikah. Sebenarnya mungkin dari segi usia tidak jauh berbeda dengan Arini, tetapi kondisi Arini berbeda jauh dengan dirinya. Seandainya saja kejadian itu tidak menimpa dirinya, Arini pasti masih bekerja bersama dengan teman-temannya. Seketika dia merindukan sosok teman-teman kerjanya dulu."Berapa orang yang wawancara hari ini?" sayup Arini
Arini tengah sibuk memilih sepatu. Dia tidak tahu jika kepergiannya tadi tanpa pamit ternyata membuat sebuah masalah kecil. Dia bahkan tidak mendengar jika sedari tadi ponselnya berdering berkali-kali.Baru setelah dia selesai membayar pesanan dan keluar dari toko sepatu, Arini mendengar suara ponselnya. Dia keluarkan ponselnya dari dalam tas. "Halo, Mas Wisnu, ada apa ya?" "Kamu di mana, Rin? Kok baru angkat telepon sih?" Terdengar nada khawatir dari suara pria yang ada di seberang panggilan telepon. "Lagi di luar, Mas. Ada apa?" "Kamu pergi enggak bilang Mama. Mama khawatir banget sama kamu. Ditelepon enggak diangkat, diSMS enggak dibales. Mama takut ada apa-apa sama kamu. Mas juga ditelepon disuruh nyariin kamu. Mas bingung harus nyariin kamu ke mana." Pria itu berkata panjang lebar karena terlalu cemas dengan Arini. Arini baru menyadari jika dia tadi memang pergi tanpa pamit pada Ratih. Dia tidak menyangka jika mamanya akan panik mencarinya. "Duh, maaf ya Mas. Aku tadi lupa
Arini duduk menunggu di kantor PT. Kalingga. Sebentar lagi namanya akan dipanggil masuk. Debaran jantungnya semakin cepat karena semakin dekat dengan waktu dia akan dipanggil masuk ke ruangan wawancara kedua. Pada wawancara kedua kali ini, hanya ada dua puluh orang yang lolos. Dari seleksi terakhir ini hanya lima orang saja yang akan diterima. Arini sudah pasrah, dia sadar kesempatan dia untuk diterima di perusahaan itu sangat kecil karena dia melihat peserta lain lebih kompeten dari pada dia. Arini akan memberikan jawaban terbaik untuk wawancara terakhir ini. Dia sudah tidak berharap pada hasilnya."Arini Puspasari, silakan masuk ruangan."Namanya sudah dipanggil masuk. Arini menarik napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya.Perempuan itu masuk ruangan sendiri. Duduk di kursi yang ada di sana. Dia menatap lurus ke depan. Apa pun pertanyaan yang diberikan akan dia jawab dengan baik.Satu persatu pertanyaan dilontarkan pada Arini. Dia bisa menjawab dengan tenang berkat usahan
Dalam ruang pemeriksaan, Arini tengah berbaring untuk diperiksa kandungannya. Dokter memeriksa dengan alat USG. Wisnu merasa takjub melihat perkembangan janin dalam perut Arini yang terlihat tumbuh dengan baik. Walaupun itu bukan anak kandungnya, dia tetap menyayangi janin dalam kandungan Arini seperti anaknya sendiri."Perkembangan janinnya bagus. Usia kandungan 17 minggu. Kalau dilihat ini jenis kelaminnya laki-laki."Mendengar penuturan dokter membuat Wisnu merasa sangat senang. Begitu juga dengan Arini. Pancaran kebahagiaan terlihat di wajah keduanya."Nanti ke sini satu bulan lagi, ya! Saya resepkan vitamin seperti biasanya."Dokter meletakkan foto hasil USG Arini di meja. Wisnu mengambilnya. Sesaat kemudian wajahnya terlihat sedih karena melihat janin yang tidak bersalah itu hampir saja berakhir oleh ayahnya sendiri. Dia hanya bisa berharap janin dalam kandungan Arini semakin sehat dan lahir dalam keadaan sempurna."Terima kasih ya, Dokter."Wisnu dan Arini pamit pada dokter lal
Arini sudah tiba di lobi kantor PT. Kalingga. Dia menuju kantor itu dengan ojek online. Arini tidak menelepon sang suami karena dia takut suaminya tidak bisa mengantar. Perempuan itu hanya mengirimkan pesan pada suaminya jika dia mendapat panggilan dari PT. Kalingga.Sampai di sana, Arini merasa bingung harus menuju ruangan mana. Kemudian dia ingat kata-kata sekretaris direktur yang tadi menelepon dia, dia harus menelepon pria itu jika sudah tiba di kantor. Arini pun mengeluarkan ponsel lalu menghubungi nomor pria yang menelponnya tadi.Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua juga sama. Sampai panggilan ketiga belum juga ada jawaban. Arini mulai bingung. Dia merasa sudah ditipu mentah-mentah karena ternyata sekretaris itu tidak menepati janjinya. Arini meremas ponsel sambil berpikir apa yang akan dia lakukan di sana. Tetapi menunggu atau pulang ke rumah. Sebelum memutuskan untuk pulang, Arini melihat ada meja dan seseorang yang berdiri di belakangnya. Arini mendekati meja d