"Ini Anita, anak dari almarhumah tante Ratih. Kamu masih ingat, kan, Mas sama dia? Anita ini teman kecil kamu dulu, loh."
Aku menatap sendu wanita yang duduk di samping ibu. Tak kusangka, ibu akan membawanya ke rumah kami secepat ini. Wanita itu begitu cantik. Tubuhnya ramping, rambut hitamnya panjang terurai dengan poni menghiasi dahinya, bulu matanya lentik dan kedua pipinya memiliki lesung pipit. Benar-benar definis cantik sekaligus manis di saat bersamaan. Seolah tahu apa yang kurasakan, Mas Damian tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya. Aku menoleh padanya, mendapati dirinya tersenyum kecil padaku dengan sorot mata penuh arti. Ia seolah memintaku untuk percaya padanya. "Mas," panggil ibu dengan tampang jengkel. Mungkin ia kesal karena penjelasannya tadi tak digubris Mas Damian. "Mas Mian, ini Anita mau kenalan, lho, sama kamu." "Ibu bilang kami pernah berteman saat kecil, kan? Itu artinya, kami sudah saling mengenal. Jadi tidak perlu berkenalan lagi," balas Mas Damian acuh tak acuh. "Tapi, kan, kita sudah lama tidak bertemu, Mas," sahut Anita tiba-tiba. Suaranya halus sekali. Dan tatapannya yang tertuju pada Mas Damian begitu lembut dan tersirat ketertarikan. Ia tak menatapku sama sekali. Seolah menganggapku tak ada. "Terakhir kita bertemu saat berumur sepuluh tahun. Kita dulu bertetangga, jadi sering main bersama. Tapi, sayangnya aku harus pindah ke Jogja kala itu." "Oh." Mas Damian tampak tak tertarik. Mungkin ia sedang menjaga perasaanku juga, itu sebabnya tak mau terlalu meladeni calon istri keduanya ini. Anita tampak kecewa dengan sikap Mas Damian. Kali ini, ia melirikku. Hanya sebentar, karena setelah itu ia menurunkan pandangannya dan menatap tanganku yang digenggam erat oleh Mas Damian. Meski ekspresinya biasa-biasa saja, tapi aku bisa merasakan aura cemburu menguar dari dirinya. Apalagi mengingat dia ternyata teman kecil Mas Damian, bisa saja kan kalau dia ternyata memang sudah menyukai Mas Damian sejak lama? Buktinya, ia sampai rela menjadi istri kedua. "Aku lupa memperkenalkan diri pada istri pertama Mas Damian," ucapnya tiba-tiba, dengan senyum kembali mengembang. "Mbak Airin, kan? Salam kenal, Mbak. Aku Anita." "A-ah, iya ...." Aku bingung harus merespon seperti apa atas keramahannya padaku yang begitu tiba-tiba. Lagipula kalau dipikir-pikir, untuk apa aku bersikap ramah pada calon maduku? "Semoga kita bisa akur, ya, Mbak, ke depannya." Apa katanya? Aku sontak saja mengernyitkan dahi. Yakin sekali wanita ini akan dinikahi Mas Damian sampai berkata begitu padaku. "Airin, ayo ikut Ibu dulu. Biarkan Damian dan Anita bicara berdua. Mereka butuh privasi untuk mengenal lebih dalam," celetuk ibu membuatku melebarkan mata. Tidak ... aku tidak mau meninggalkan Mas Damian berdua dengan wanita ini. "Biarkan Airin di sini, Bu," sahut Mas Damian, semakin mengeratkan genggamannya pada tanganku. "Tidak bisa begitu—" "Biarkan istriku di sini atau aku tidak akan mau bicara dengan dia." Mas Damian menunjuk Anita begitu saja membuat wanita itu terkejut. Baru kali ini Mas Damian menyanggah ucapan ibunya. Mungkin ia masih sensitif karena aku kemarin mengatakan akan pergi darinya. Oleh sebab itu, kini Mas Damian tidak membiarkan diriku berjauhan darinya sedikit pun. Ah, seandainya dia bisa sekalian menolak pernikahan kedua ini. "Tidak apa-apa, Tante. Biarkan saja Mbak Airin di sini. Dia istri pertama Mas Damian, dia juga berhak ikut dalam pembicaraan ini," timpal Anita, terlihat penuh sopan santun. "Baiklah kalau begitu. Damian, bicaralah yang banyak dengan Anita. Dan kamu, Airin, cukup menyimak saja. Jangan mengusik mereka. Ibu mau ke dapur dulu." Aku hanya diam dengan kepala tertunduk. Kenapa ibu seperti ini? Kenapa sekarang ia begitu tega padaku? Apa dia sudah tidak menganggapku sebagai menantunya lagi? "Ai ...." Mas Damian tiba-tiba meraih wajahku membuatku menoleh padanya. "Kamu baik-baik aja, Sayang?" "Menurut, Mas?" Aku menghembuskan napas lelah. "Memangnya aku bisa baik-baik saja dalam situasi ini?" "Maafkan Mas, Sayang. Kamu lelah? Ingin istirahat di kamar saja?" "Mas," sela Anita, "mbak Airin lagi sakit? Sakit apa, Mas?" Aku kembali mengerutkan dahi melihat sikap wanita ini. Entah kenapa, aku merasa sangat tidak menyukainya. "Mbak, aku sebenarnya seorang perawat, lho. Mbak mau aku periksa?" "Tidak perlu. Kamu tidak akan bisa menyembuhkanku. Lagipula, rasa sakitku ini berasal dari kedatanganmu di rumah ini," jawabku ketus. Meski begitu, Anita tetap mempertahankan senyumnya. "Maaf jika kedatanganku di sini membuatmu terganggu, Mbak. Aku hanya ingin membantu." "Membantu katamu?" "Iya. Aku hanya ingin mewujudkan impian Mas Damian dan ibunya. Selain itu aku juga bermaksud membantu Mbak Airin sebenarnya." Aku berdecih mendengarnya. Meski diucapkan dengan suara halus dan lembut, aku tahu ia bermaksud menyindirku. "Anita, bisakah kamu menolak permintaan Ibu untuk menjadi istri keduaku? Aku tidak bisa menikahimu. Aku tidak butuh istri kedua," ujar Mas Damian membuatku mereka dibela olehnya. "Tapi, Mas ...." "Lagipula, kenapa kamu mau menjadi istri kedua? Kamu bisa mendapatkan pria lain di luar sana. Yang belum beristri tentunya." "Aku hanya ingin membantu Tante Arum, Mas. Aku mengenal baik ibumu sejak kecil. Saat beliau meminta bantuan dan menceritakan keadaanmu, aku merasa ikut sedih dan tidak tega untuk menolak permintaannya." Lagi, aku berdecih pelan mendengar balasan Anita. Kenapa ia bisa berucap semudah itu? Ia pikir bantuan macam apa yang dilakukannya saat ini? Bantuan untuk meruntuhkan rumah tanggaku? Tidak masuk akal sekali wanita cantik dan berpendidikan sepertinya mau menjadi istri kedua dengan alasan ingin membantu suami yang memiliki istri mandul. Satu-satunya alasan yang masuk akal adalah ia memang sudah mengincar Mas Damian sejak lama. "Aku tidak butuh bantuan apa pun, Anita. Aku sudah cukup bahagia sekarang bersama dengan istriku, Airin. Kami tidak butuh apa-apa lagi." Anita terdiam beberapa saat. Tampak kalah telak karena maksud baiknya ditolak mentah-mentah. Namun, ia tentu masih memiliki senjata ampuh. "Kalau begitu bilang saja pada ibumu, Mas. Aku tak enak hati jika harus menolak permintaan beliau. Kamu saja yang memberitahunya jika memang tidak menginginkan istri kedua," tegas Anita, "tapi kamu perlu tau, Mas, betapa ibumu menginginkan cucu darimu. Beliau selalu bercerita jika ia menginginkan kamu bahagia sebagai seorang ayah. Tante Arum sungguh putus asa saat tahu istrimu mandul." Aku sontak kembali menatap Anita dengan tatapan tak bersahabat. Seandainya wanita ini tahu kalau rahimku sehat dan subur, ia pasti akan malu karena sindiran halusnya itu salah besar! Melihat Mas Damian terdiam dengan kepala tertunduk, Anita tersenyum dan kembali berbicara, "Tenang saja, Mas. Aku hanya ingin membantu. Aku tidak akan mengambil posisi Mbak Airin atau meminta hak-hak yang sama sebagai istri kedua. Aku hanya ingin ibumu yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri bahagia." "Baiklah—" "Mas!" tegurku cepat. "Airin, kamu ingat, kan, ucapan Mas kemarin? Jangan khawatir, Sayang. Ini tidak akan berlangsung lama." "Tapi, Mas ...." "Tolong mengertilah, Ai. Mas mohon. Mas berjanji akan menyelesaikannya secepatnya. Lalu kita akan kembali seperti dulu." Aku mendengus kasar dan membuang pandanganku ke arah lain. Mas Damian menganggapnya sebagai persetujuanku. Suamiku itu lalu kembali menatap wanita di depan kami. "Baiklah, saya akan menyetujuinya. Tapi, saya peringatkan lebih dulu kalau kamu tidak akan mendapatkan perlakuan seperti Airin. Kamu bahkan mungkin tidak akan saya anggap istri nanti. Jadi, daripada menyesal nanti, kamu bisa mengundurkan diri sekarang juga." "Aku tidak akan mundur, Mas. Aku akan menerimanya dengan ikhlas." Cih. Sungguh wanita ini sangat pandai berpura-pura baik. "Pernikahan kita akan dilakukan secara tertutup dan hanya mengundang beberapa kerabat saja. Tolong jangan mengharapkan apa pun karena saya tidak mau orang luar mengetahui pernikahan kedua saya ini." "Baik, Mas. Aku mengerti." Sudah kuduga ... wanita ini memang menyukai—ah, bahkan sepertinya ia mencintai Mas Damian. Jika tidak, mana ada wanita yang mau menjadi istri kedua dengan segala peringatan yang diucapkan Mas Damian tadi? Tidak menguntungkan sama sekali. Justru malah merugikan. "Tapi, Mas, aku boleh meminta satu? Satu saja. Dan aku akan menuruti semua syarat dari Mas Damian tadi." "Apa?" "Tujuh hari dalam seminggu, tolong luangkan waktumu satu atau dua hari khusus untukku," pintanya, membuatku terbelalak. "Untuk apa aku melakukan itu?" "Kita harus membuat anak kalau kamu lupa," jawab Anita enteng. Frontal sekali wanita ini! Aku sudah ingin membalas ucapannya, tapi Mas Damian tiba-tiba semakin mengeratkan genggaman tangannya seolah memintaku untuk bersabar. "Baiklah. Tapi hanya satu hari dalam seminggu. Selain itu, jangan coba-coba mengganggu saya dan Airin," pungkas Mas Damian yang langsung diangguki Anita. Walaupun hanya satu hari dalam seminggu, aku tetap tidak rela suamiku menghabiskan waktu dengan wanita ini. Membayangkannya saja sudah membuatku panas, apalagi jika itu benar-benar terjadi nanti. Lantas aku menepis tangan Mas Damian dan bangkit dari sofa. Setelah itu, aku langsung beranjak pergi meninggalkan mereka. Meski Mas Damian terus memanggil-manggil namaku, aku tak mempedulikannya. Hatiku begitu sakit menyaksikan suamiku dan calon istri keduanya merencanakan pernikahan mereka nanti. Jadi kuputuskan untuk pergi saja.Hari ini adalah hari pernikahan Mas Damian dan Anita. Ya, pernikahan yang tidak kuharapkan itu benar-benar terjadi meski aku sudah bersusah payah melakukan berbagai cara untuk membatalkannya. Tapi, ibu mertuaku yang selalu teguh pada pendirian itu tetap memaksa melaksanakan pernikahan kedua putranya bagaimanpun keadaannya. Bahkan, jika aku tengah jatuh sakit seperti ini sekalipun.Hatiku berdenyut nyeri melihat Mas Damian dengan pakaian rapinya duduk berdampingan dengan wanita lain selain diriku. Teringat dulu aku lah yang duduk di sana, di tempat Anita. Memakai kebaya putih dan tersenyum gugup melihat Mas Damian mengucapkan ijab kabul. Tapi sekarang, posisiku itu telah digantikan oleh wanita baru.Anita ... wanita itu tampak benar-benar bahagia di samping Mas Damian. Ia seolah tidak mempedulikan statusnya yang hanya menjadi istri kedua dan pernikahan ini yang hanya pernikahan siri. Anita tampak terus menatap Mas Damian dengan tatapan mendamba seolah merasa Mas Damian akan menjadi mil
"Ini Anita, anak dari almarhumah tante Ratih. Kamu masih ingat, kan, Mas sama dia? Anita ini teman kecil kamu dulu, loh."Aku menatap sendu wanita yang duduk di samping ibu. Tak kusangka, ibu akan membawanya ke rumah kami secepat ini. Wanita itu begitu cantik. Tubuhnya ramping, rambut hitamnya panjang terurai dengan poni menghiasi dahinya, bulu matanya lentik dan kedua pipinya memiliki lesung pipit. Benar-benar definis cantik sekaligus manis di saat bersamaan.Seolah tahu apa yang kurasakan, Mas Damian tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya. Aku menoleh padanya, mendapati dirinya tersenyum kecil padaku dengan sorot mata penuh arti. Ia seolah memintaku untuk percaya padanya."Mas," panggil ibu dengan tampang jengkel. Mungkin ia kesal karena penjelasannya tadi tak digubris Mas Damian. "Mas Mian, ini Anita mau kenalan, lho, sama kamu.""Ibu bilang kami pernah berteman saat kecil, kan? Itu artinya, kami sudah saling mengenal. Jadi tidak perlu berkenalan lagi," balas Mas Dam
"Airin," panggil Mas Damian saat memasuki kamar kami. Aku tak menjawab panggilannya. Bersikap seolah tak mendengar suara dan tak merasakan kehadirannya. Aku yang kini berbaring di ranjang dan membelakangi pintu, tengah sibuk terisak pilu."Sayang ...."Kemudian kurasakan ranjang bergerak, menandakan Mas Damian kini mengisi tempat kosong di sampingku. Sepersekian detik kemudian lengan kekarnya sudah melilit perutku. Pria itu menarik pelan tubuhku, mendekatkan pada tubuhnya sendiri hingga kini punggungku bersentuhan dengan dada bidangnya. Aku masih tak merespon sedikit pun bahkan saat Mas Damian menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku."Ai ...," bisiknya lirih, "sayang, Mas minta maaf."Aku tidak butuh maaf darimu, Mas! Yang kubutuhkan adalah penolakan tegasmu atas kehendak ibu!"Airin, jangan mendiamkan Mas begini." Mas Damian semakin mengeratkan pelukannya. Napasnya yang menerpa tengkukku terasa panas. Sepertinya Mas Damian masih kurang enak badan.Ah ... bahkan saat marah dan kecewa
Hari ini aku mulai mengerjakan tugas-tugasku sebagai seorang istri lantaran sudah berbaikan dengan Mas Damian. Seperti biasa, setelah sholat subuh aku tak lanjut tidur lagi, aku akan pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Lalu lanjut mempersiapkan kebutuhan Mas Damian dan kebutuhan diriku sendiri.Mas Damian hari ini sudah kembali mengajar. Katanya, banyak tugas-tugas dari mahasiswanya yang belum ia periksa. Untuk itu ia bisa menyerahkan ke asdos (asisten dosen), tapi hari ini ia juga harus mempersiapkan soal UTS para mahasiswanya. Itu sebabnya ia tetap harus ke kampus. Suamiku ini adalah dosen pengampu mata kuliah Linguistik Umum. Ia mengajar di fakultas FKIP, lebih tepatnya Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.Sedangkan aku adalah seorang pengajar di Taman Kanak-kanak. Kebetulan hari ini aku juga harus kembali mengajar setelah mengambil cuti tiga hari karena tidak bisa meninggalkan Mas Damian yang waktu itu masih terpuruk. Karena sekarang keadaan sudah membaik, kami pun haru
Fana merah jambu telah menyingsing, lukisan semesta pun tampak indah melengkung di langit setelah hujan reda. Tapi suasana hatiku begitu buruk untuk mengagumi keindahan alam saat ini. Diriku baru saja mengantar keluar ibu dan Mira yang memutuskan pulang. Sebelumnya, ibu berencana ingin menginap dan membicarakan tentang masalah rahimku yang sebenarnya sehat-sehat saja. Tapi, Mas Damian meminta mereka pulang dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang penting berdua bersamaku. Meski Mas Damian mengatakannya secara halus, ibu tetap merasa seperti diusir. Wanita paruh baya itu pulang dengan ekspresi kesal dan perasaan dongkol. "Mas." setelah mobil Mira dan ibu benar-benar pergi, aku langsung masuk kembali ke rumah dan menghampiri Mas Damian yang masih duduk di sofa ruang tamu. Pria itu tampak memijit pelipisnya dengan ekspresi lelah. "Apa maksud Mas Damian tadi? Kenapa berkata seperti itu pada Ibu?" tuntutku meminta penjelasan. Mas Damian bangun dari tempat duduknya dan berdiri di ha
"Terima kasih telah bersedia menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak." Kalimat itu kudapatkan bersamaan dengan ciuman hangat di kening. Hanya selang beberapa saat, ia kembali menatap mataku dalam, memancarkan aura mendamba yang begitu kentara. Senyum indah tak luntur dari bibirnya. Kurasakan kedua pipiku yang direngkuh olehnya memanas saat menyadari ke mana arah netra itu memandang. "M-mas," cicitku gugup. Menurunkan pandangan karena tak mampu lagi menatapnya. Pria yang beberapa jam lalu resmi menjadi suamiku itu tersenyum. Mengusap suraiku dengan penuh kelembutan. Mengangkat daguku agar kembali menatapnya. Lalu berujar, "Hari ini, malam ini, kita sudah resmi dipersatukan. Kamu, istriku, akan menjadi satu-satunya wanita yang berdampingan denganku hingga akhir hayat nanti." Hatiku menghangat mendengar penuturannya. Mas Damian dengan segala kelembutannya tak akan pernah berhenti membuat jantungku berdebar. "Mas, bimbing aku agar menjadi Istri yang pantas untukmu, ya? Ak