"Airin," panggil Mas Damian saat memasuki kamar kami. Aku tak menjawab panggilannya. Bersikap seolah tak mendengar suara dan tak merasakan kehadirannya. Aku yang kini berbaring di ranjang dan membelakangi pintu, tengah sibuk terisak pilu.
"Sayang ...." Kemudian kurasakan ranjang bergerak, menandakan Mas Damian kini mengisi tempat kosong di sampingku. Sepersekian detik kemudian lengan kekarnya sudah melilit perutku. Pria itu menarik pelan tubuhku, mendekatkan pada tubuhnya sendiri hingga kini punggungku bersentuhan dengan dada bidangnya. Aku masih tak merespon sedikit pun bahkan saat Mas Damian menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku. "Ai ...," bisiknya lirih, "sayang, Mas minta maaf." Aku tidak butuh maaf darimu, Mas! Yang kubutuhkan adalah penolakan tegasmu atas kehendak ibu! "Airin, jangan mendiamkan Mas begini." Mas Damian semakin mengeratkan pelukannya. Napasnya yang menerpa tengkukku terasa panas. Sepertinya Mas Damian masih kurang enak badan. Ah ... bahkan saat marah dan kecewa begini, aku masih memikirkan keadaannya. "Mas minta maaf, Ai. Maaf karena membuatmu berada di posisi ini. Maaf sudah bersikap egois." "Minta maaf juga karena hanya diam saat aku dihina, Mas. Lalu tolak permintaan poligami itu. Aku sungguh tidak rela." akhirnya aku membalas meski suaraku terdengar lemah dan parau. "Ai ... ketahuilah Mas juga tidak suka kamu diperlakukan seperti tadi. Mas berusaha menahan diri—" "Kenapa harus menahan diri, Mas?" selaku sarkas, "bilang saja kamu memang tidak berani melawan perkataan ibumu." "Sayang ... Mas mohon maafkan Mas." dirinya kini malah langsung memohon untuk dimaafkan. Aku yakin Mas Damian sebenarnya sadar akan kesalahannya itu. Tapi sekali lagi, ia memang tidak berdaya jika menyangkut dengan ibunya. "Jangan menangis lagi, Airin. Mas tidak tega melihatmu seperti ini," katanya sendu. Bukannya membuatku berhenti, air mata ini malah semakin deras berjatuhan. Aku sampai terisak dan tubuhku pun bergetar. Mas Damian semakin erat memelukku sampai aku merasa sedikit sesak. "Kamu tidak akan menolak kemauan ibumu, kan, Mas?" tanyaku getir. "Aku tahu kamu akan menurutinya. Meski itu menghancurkanku sekalipun." Mas Damian bungkam. Aku yakin ia tidak bisa mengelak karena memang itulah yang akan ia lakukan. Tadi, saat ibu memberi pilihan tidak masuk akal itu, bukannya menjawab, aku lebih memilih pergi ke kamar dengan bercucuran air mata. Mas Damian tak langsung datang menyusulku, aku yakin ibu melarangnya dan tetap membicarakan kelanjutan dari poligami yang direncanakannya. Bahkan mungkin saja, Mas Damian sudah selesai memilih wanita yang disiapkan oleh ibu untuk dijadikan istri keduanya. "Aku tidak sanggup, Mas ... aku tidak sanggup jika diduakan," paparku kelewat lirih. Tapi aku yakin Mas Damian masih bisa mendengarnya. "Aku mohon, kali ini saja, tolak permintaan Ibu, Mas. Aku tidak ingin dipoligami. Aku tidak bisa melihatmu memiliki wanita lain." "Airin ... Mas mohon, mengertilah." "Apa aku masih kurang mengerti dirimu, Mas?" tanyaku retoris, "aku telah berkorban demi menyelamatkan harga dirimu. Apa aku harus berkorban lagi?" "Sayang, Mas juga tidak menginginkan ini. Mas sudah berusaha menolaknya." "Mas hanya berusaha menolaknya. Bukan menolaknya secara mutlak tanpa bisa diganggu gugat. Mas selalu bersikap pasrah pada keputusan ibu." Aku menghela napas berat. Berusaha menetralkan napasku dan berhenti menangis. "Jika aku memilih pilihan pertama dari yang ditawarkan Ibu, bagaimana menurutmu, Mas?" Seketika Mas Damian menarik tubuhku hingga telentang. Sedetik kemudian pria itu sudah berada di atasku dan menatapku tegas. "Kamu ingin bercerai dengan Mas, Ai?" Tunggu, bukankah sebelumnya ia bahkan sempat berniat ingin menceraikanku? Kenapa sekarang malah ia yang tampak tidak ingin bercerai? "Terpaksa, Mas. Aku tidak memiliki pilihan lain." "Airin!" Mas Damian ternyata sungguh marah sekarang. "Kamu sudah berjanji tidak akan meninggalkan Mas bagaimanapun keadaannya! Kamu ingin mengingkari janjimu semalam?" "Lantas aku harus ikhlas dipoligami? Begitu, Mas? Setelah semua yang kulakukan untukmu?" Mas Damian tampak tersinggung karena aku terkesan menyindirnya. "Kita cari jalan keluarnya dulu, Ai. Kita pikirkan dengan kepala dingin." "Tidak perlu membuang tenaga dengan berpikir, Mas. Aku tahu ujungnya Mas Damian pasti akan menuruti perintah Ibu." "Airin," tegur Mas Damian. Namun aku membalasnya dengan senyum getir, "Aku menyerah, Mas." Ia tak membalas dengan ucapan. Mulutnya sekarang malah dipakai untuk membungkam bibirku. Ciumannya cukup kasar dan seperti tergesa-gesa. Aku berusaha membuang wajah ke samping untuk melepaskan pangutan ini, namun Mas Damian memegangi wajahku agar tak bisa menghindarinya lagi. Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Inikah caranya mengekspresikan emosinya sekarang? Suasana hatiku begitu buruk, dan aku masih sangat emosional. Aku tidak menyukai perlakuannya ini. Lantas segera kudorong tubuhnya dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Saat ciuman panas itu terlepas, aku langsung mendelik padanya sambil terengah-engah. Sementara Mas Damian ... tidak seperti yang kukira, ia malah terlihat seperti akan menangis sekarang. Astaga, kenapa ia memasang ekspresi menyedihkan seperti ini? Aku lah yang seharusnya berekspresi seperti itu sekarang! "Mas—" "Mas mencintaimu, Ai. Mas sangat mencintaimu," selanya cepat. Suaranya terdengar bergetar hebat. Wajahnya begitu merah dengan air mata menggenang di pelupuk mata. "Mas tidak ingin kamu pergi ...." "Mas ... tolong jangan seperti ini. Jangan membuat diriku berada di situasi lebih sulit lagi," balasku lirih. Mas Damian kembali memelas, "Tolong jangan pergi, Ai. Jangan tinggalkan Mas. Mas sadar betapa Mas mencintaimu setelah pertengkaran kita semalam. Mas tidak ingin kehilanganmu," tuturnya dengan air mata berjatuhan hingga mengenai wajahku. Jika Mas Damian lemah dengan perkataan ibu, maka aku lemah dengan permohonannya. Tapi ... aku benar-benar tidak sanggup dimadu. Memangnya, wanita mana yang rela suami tercintanya dimiliki wanita lain? "Maaf, Mas. Jika pilihannya hanya bercerai atau dimadu, maka aku terpaksa memilih opsi pertama. Aku tak sanggup melihatmu menikah dengan wanita lain nanti. Aku lebih memilih ... pergi." Lagi, Mas Damian tak menjawab lewat kata. Ia kembali menciumku dengan tergesa-gesa. Bahkan sekarang terasa lebih kasar dari sebelumnya. Untuk yang ini aku benar-benar bisa merasakan ada emosi dalam dirinya. "M-mas," cicitku, berusaha menghentikannya yang mulai berbuat lebih. Tangannya sudah meraba ke mana-mana. Membelai permukaan kulitku dengan kasar. Bibirnya bahkan sudah berpindah ke leherku. Sebelumnya, saat kami bercinta aku selalu melarangnya untuk membuat tanda di sana karena aku harus mengajar keesokan harinya. Tapi kini Mas Damian sama sekali tak peduli, ia dengan ganas mencium dan bahkan menggigit kecil tengkukku hingga menimbulkan ruam kemerahan di sana. "Mas, jangan!" Meskipun aku melarangnya untuk melanjutkan ini dan terus meronta, Mas Damian tak peduli dan tetap sibuk dengan pekerjaannya. Entah kenapa emosinya sekarang malah seperti tercampur dengan nafsu. Aku pun memutuskan pasrah. Percuma melawan, ia malah semakin gencar menyentuhku dengan kasar. Akhirnya aku memilih diam dan hanya bisa menangis sambil merintih. "Kamu milik Mas, Ai. Milik Mas. Jadi jangan berpikir untuk meninggalkan Mas karena kamu sudah berjanji akan tetap berada di sisi Mas bagaimanapun keadaannya," ujarnya di sela aktivitasnya. "Mas akan tetap mempertahankanmu." Azan Maghrib berkumandang saat Mas Damian baru selesai dengan tindakannya. Aku yang sudah begitu lelah, mendorong lemah tubuhnya dan memintanya untuk melepaskanku. Kali ini, ia baru mau menurut. Mungkin merasa sudah letih juga. Aku berusaha menetralkan detak jantung dan napasku yang masih ngos-ngosan. Permainan Mas Damian tadi berbeda dari biasanya. Aku sungguh kewalahan karena ia melakukannya dengan kasar. Tubuhku sampai terasa sakit semua. "Airin," panggilnya lagi sambil menaikkan selimut untuk menutupi tubuh kami. Setelah itu tangannya kembali menyentuh wajahku dan menyingkirkan anak rambut yang melekat di wajah karena basah oleh keringat. "Kamu tahu bahwa Mas lah yang mandul di sini, Ai. Itu berarti, mau Mas menikah lagi pun percuma." "Jadi kamu tidak perlu khawatir. Jika nanti Mas tetap terpaksa menikah lagi dengan wanita lain, wanita itu tetap tidak akan bisa hamil. Ibu pun pasti akan sadar dengan sendirinya siapa yang bermasalah di sini. Setelah itu, kita akan kembali hidup berdua tanpa ada siapa pun yang menggangu," papar Mas Damian. Aku hanya bisa menatapnya dengan sayu. Tak memiliki tenaga bahkan hanya untuk sekedar menjawab perkataannya. "Jadi tolong bertahan sebentar lagi. Tetaplah di sisi Mas. Mas berjanji posisimu tidak akan diusik siapa pun apalagi orang baru. Saat fakta terungkap sendiri nanti, mungkin Mas sudah siap untuk mengakuinya pada orang-orang. Setelah itu Mas akan menebus kesalahan Mas padamu dan kita berdua akan hidup bahagia selamanya. Hanya berdua."Hari ini adalah hari pernikahan Mas Damian dan Anita. Ya, pernikahan yang tidak kuharapkan itu benar-benar terjadi meski aku sudah bersusah payah melakukan berbagai cara untuk membatalkannya. Tapi, ibu mertuaku yang selalu teguh pada pendirian itu tetap memaksa melaksanakan pernikahan kedua putranya bagaimanpun keadaannya. Bahkan, jika aku tengah jatuh sakit seperti ini sekalipun.Hatiku berdenyut nyeri melihat Mas Damian dengan pakaian rapinya duduk berdampingan dengan wanita lain selain diriku. Teringat dulu aku lah yang duduk di sana, di tempat Anita. Memakai kebaya putih dan tersenyum gugup melihat Mas Damian mengucapkan ijab kabul. Tapi sekarang, posisiku itu telah digantikan oleh wanita baru.Anita ... wanita itu tampak benar-benar bahagia di samping Mas Damian. Ia seolah tidak mempedulikan statusnya yang hanya menjadi istri kedua dan pernikahan ini yang hanya pernikahan siri. Anita tampak terus menatap Mas Damian dengan tatapan mendamba seolah merasa Mas Damian akan menjadi mil
"Ini Anita, anak dari almarhumah tante Ratih. Kamu masih ingat, kan, Mas sama dia? Anita ini teman kecil kamu dulu, loh."Aku menatap sendu wanita yang duduk di samping ibu. Tak kusangka, ibu akan membawanya ke rumah kami secepat ini. Wanita itu begitu cantik. Tubuhnya ramping, rambut hitamnya panjang terurai dengan poni menghiasi dahinya, bulu matanya lentik dan kedua pipinya memiliki lesung pipit. Benar-benar definis cantik sekaligus manis di saat bersamaan.Seolah tahu apa yang kurasakan, Mas Damian tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya. Aku menoleh padanya, mendapati dirinya tersenyum kecil padaku dengan sorot mata penuh arti. Ia seolah memintaku untuk percaya padanya."Mas," panggil ibu dengan tampang jengkel. Mungkin ia kesal karena penjelasannya tadi tak digubris Mas Damian. "Mas Mian, ini Anita mau kenalan, lho, sama kamu.""Ibu bilang kami pernah berteman saat kecil, kan? Itu artinya, kami sudah saling mengenal. Jadi tidak perlu berkenalan lagi," balas Mas Dam
"Airin," panggil Mas Damian saat memasuki kamar kami. Aku tak menjawab panggilannya. Bersikap seolah tak mendengar suara dan tak merasakan kehadirannya. Aku yang kini berbaring di ranjang dan membelakangi pintu, tengah sibuk terisak pilu."Sayang ...."Kemudian kurasakan ranjang bergerak, menandakan Mas Damian kini mengisi tempat kosong di sampingku. Sepersekian detik kemudian lengan kekarnya sudah melilit perutku. Pria itu menarik pelan tubuhku, mendekatkan pada tubuhnya sendiri hingga kini punggungku bersentuhan dengan dada bidangnya. Aku masih tak merespon sedikit pun bahkan saat Mas Damian menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku."Ai ...," bisiknya lirih, "sayang, Mas minta maaf."Aku tidak butuh maaf darimu, Mas! Yang kubutuhkan adalah penolakan tegasmu atas kehendak ibu!"Airin, jangan mendiamkan Mas begini." Mas Damian semakin mengeratkan pelukannya. Napasnya yang menerpa tengkukku terasa panas. Sepertinya Mas Damian masih kurang enak badan.Ah ... bahkan saat marah dan kecewa
Hari ini aku mulai mengerjakan tugas-tugasku sebagai seorang istri lantaran sudah berbaikan dengan Mas Damian. Seperti biasa, setelah sholat subuh aku tak lanjut tidur lagi, aku akan pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Lalu lanjut mempersiapkan kebutuhan Mas Damian dan kebutuhan diriku sendiri.Mas Damian hari ini sudah kembali mengajar. Katanya, banyak tugas-tugas dari mahasiswanya yang belum ia periksa. Untuk itu ia bisa menyerahkan ke asdos (asisten dosen), tapi hari ini ia juga harus mempersiapkan soal UTS para mahasiswanya. Itu sebabnya ia tetap harus ke kampus. Suamiku ini adalah dosen pengampu mata kuliah Linguistik Umum. Ia mengajar di fakultas FKIP, lebih tepatnya Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.Sedangkan aku adalah seorang pengajar di Taman Kanak-kanak. Kebetulan hari ini aku juga harus kembali mengajar setelah mengambil cuti tiga hari karena tidak bisa meninggalkan Mas Damian yang waktu itu masih terpuruk. Karena sekarang keadaan sudah membaik, kami pun haru
Fana merah jambu telah menyingsing, lukisan semesta pun tampak indah melengkung di langit setelah hujan reda. Tapi suasana hatiku begitu buruk untuk mengagumi keindahan alam saat ini. Diriku baru saja mengantar keluar ibu dan Mira yang memutuskan pulang. Sebelumnya, ibu berencana ingin menginap dan membicarakan tentang masalah rahimku yang sebenarnya sehat-sehat saja. Tapi, Mas Damian meminta mereka pulang dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang penting berdua bersamaku. Meski Mas Damian mengatakannya secara halus, ibu tetap merasa seperti diusir. Wanita paruh baya itu pulang dengan ekspresi kesal dan perasaan dongkol. "Mas." setelah mobil Mira dan ibu benar-benar pergi, aku langsung masuk kembali ke rumah dan menghampiri Mas Damian yang masih duduk di sofa ruang tamu. Pria itu tampak memijit pelipisnya dengan ekspresi lelah. "Apa maksud Mas Damian tadi? Kenapa berkata seperti itu pada Ibu?" tuntutku meminta penjelasan. Mas Damian bangun dari tempat duduknya dan berdiri di ha
"Terima kasih telah bersedia menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak." Kalimat itu kudapatkan bersamaan dengan ciuman hangat di kening. Hanya selang beberapa saat, ia kembali menatap mataku dalam, memancarkan aura mendamba yang begitu kentara. Senyum indah tak luntur dari bibirnya. Kurasakan kedua pipiku yang direngkuh olehnya memanas saat menyadari ke mana arah netra itu memandang. "M-mas," cicitku gugup. Menurunkan pandangan karena tak mampu lagi menatapnya. Pria yang beberapa jam lalu resmi menjadi suamiku itu tersenyum. Mengusap suraiku dengan penuh kelembutan. Mengangkat daguku agar kembali menatapnya. Lalu berujar, "Hari ini, malam ini, kita sudah resmi dipersatukan. Kamu, istriku, akan menjadi satu-satunya wanita yang berdampingan denganku hingga akhir hayat nanti." Hatiku menghangat mendengar penuturannya. Mas Damian dengan segala kelembutannya tak akan pernah berhenti membuat jantungku berdebar. "Mas, bimbing aku agar menjadi Istri yang pantas untukmu, ya? Ak