Share

Drama Sang Mertua

___________

"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.

Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.

Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.

Kening mengernyit dengan cepat.

"Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.

Aku tersenyum pelan. "Hem, jadi benar Ibu, Ibunya suamiku?" Aku kembali memastikan. Supaya dia lebih yakin kalau aku masih amnesia.

Dengan cepat ibu meraih tas dan mengeluarkan sesuatu. Seperti sebuah lembar kertas. Dan ya, tepatnya selembar kertas foto. Lalu ibu memapahku untuk duduk.

"Ini, ini kamu lihat. Ini foto pernikahan kamu sama anak Ibu. Ini Ibu. Ibu ini kan sudah menjanda, jadi Ibu hanya hidup sendiri," jelasnya sambil memperlihatkan foto wedding kami. Disana memang ada aku, Mas Andri dan ibu. Aku  memang masih ingat.

"Bu? Ini foto pernikahan? Sepertinya mewah sekali ya, Bu?" ungkapku basa-basi.

"Iya, Andri itu memang loyal sama kamu. Dia sayang sekali sama kamu. Sampai-sampai pesta pernikahan ini Andri siapkan dengan matang. Kamu tahu gak? Uang yang dihabisakan untuk pesta kalian. Lebih dari satu milyar, lho! Kamu harus bangga." Bu Lasmi lebih pintar mencari pujian. Dan begitu saja. Tanpa ada rasa curiga pada ingatanku yang sudah kembali. Dia fikir aku masih tetapi amnesia.

Aku belum tahu perihal sepengetahuan ibu tentang Maya. Apa mereka sudah kongkalikong dan satu kubu? Atau ibu tidak tahu soal Maya? Ah pas waktu yang tepat aku akan bertanya. Karena kalau aku bertanya tiba-tiba, bisa-bisa ia curiga.

"Lalu kenapa Ibu tak tinggal bersama kami? Bukannya Ibu sudah menjanda?" tanyaku lagi.

"Iya, Ibu kan tidak sendirian. Ada asisten rumah tangga banyak di rumah. Nah sekarang, Ibu kesini di suruh Andri, supaya Ibu bisa rawat kamu," jelas ibu lagi. Bu, aku tahu, ibu tak tinggal bersamaku karena memang ibu sudah dibelikan rumah olehku. Dan bukan anak ibu yang keluarkan uang untuk pesta pernikahan kami, tapi aku.

"Hem, gitu ya, Bu. Kalau begitu, terima kasih ya, Bu. Sejak kecelakaan aku hanya ingat suamiku saja, Bu, maaf ya Bu kalau Aurel sempat tidak mengenal Ibu." Kupasang raut wajah pilu supaya ibu makin percaya.

"Iya, tidak apa-apa. Ibu ngerti, kok. Andri sudah jelaskan semuanya sama Ibu. Kamu akan Ibu rawat dengan baik. Dan Ibu akan selalu pastikan kamu minum obat dengan teratur dan tepat waktu." Aku mengangguk mendengar celotehannya. Ibu ternyata sama saja. Dia mendukung anaknya untuk berbuat hal yang tidak baik. Padahal dulu ibu selalu menampakkan sisi baiknya. Walaupun selalu berkomentar.

***

Malam harinya.

"Bu, ini. Ini perhiasan milik Aurel. Dia tidak tahu punya perhiasan sebanyak ini. Dan ini harus Ibu simpan." Terdengar percakapan jahil di telinga ini. Niatku akan ke dapur, eh aku melihat Mas Andri masuk ke kamar ibu mengendap-endap. Kuselidikilah mereka.

"Waaww, ini semuanya bagus-bagus banget. Pasti harganya mahal. Ini buat Ibu?" Terdengar ibu bahagia dan histeris melihat semua perhiasanku sudah ada di tangannya.

Aku memang punya banyak perhisan, dan kusimpan di laci lemari. Memang selama ini aku tak pernah bahas pada Mas Andri, dan aku fikir, Mas Andri tak akan lakukan ini.

"Ini bukan malah lagi. Tapi ini milyaran, Bu," jawab Mas Andri sembari memperlihatkan satu persatu perhiasanku yang kudapat dari almarhumah mama. Untung saja pintunya sedikit membuka, jadi aku bisa dengar. Tak lupa kurekam pula pembicaraan dan gerak-gerik mereka sedikit.

"Ini kamu belikan buat si Aurel dulu?" Ibu menanyakan perihal kepemilikan perhiasan itu. Sepertinya ia fikir kalau Mas Andri yang belikan dari hasilnya ia mengurus kantorku.

"Bukan, ini sudah ada sejak dulu. Ini pasti perhiasan warisan, Bu. Andri kan selama ini juga gak menjabat direktur di kantor. Tetap Aurel, mana aku punya uang." Mas Andri jujur perihal jati dirinya. Dia memang tak bisa jalankan perusahaan. Paling dia bantu-bantu saja.

"Terus, gimana kalau si Aurel nanyain? Bisa-bisa kita di sangka maling," ujar ibu panik. Jari jemarinya masih usil memegangi perhiasanku.

"Aurel gak ingat, Bu. Pas dia hilang ingatan dan dia pulih lagi, aku langsung sembunyikan ini. Dan aku juga berikan beberapa pada Maya." Benar-benar keterlaluan. Aku harus rebut balik semuanya. Termasuk dari tangan si Maya. Pantas saja aku tak melihat dimana perhiasanku, dan belum ada waktu yang pas untuk menanyakan. Jadi Mas Andri yang sembunyikan? Dan ibu juga sudah tahu soal Maya? Dasar, satu keluarga tak ada bedanya.

"Waduh, jadi kita tajir mendadak dong. Oh ya, Ibu sudah jual rumah kita yang di kasih si Aurel waktu itu." Hah?

"Ibu jual rumah?" Mas Andri kaget. Sama sepertiku. Bisa-bisanya ibu menjual rumah tanpa sepengetahuan anaknya.

"Iya, kamu tinggal belikan saja rumah baru dan lebih mewah dari sebelumnya. Gampang 'kan? Dan Ibu akan pastikan, kamu dapatkan semua harta istri kamu itu. Termasuk rumah ini. Dia kan amnesia. Jadi gampang. Kamu pasti tahu caranya." Ibu kembali bermuslihat. Mereka berdua sama saja. Sebagai seorang ibu bukannya menyadarkan, malah mempropokasi.

"Ya sudah, Bu, aku ke kamar dulu. Takutnya Aurel curiga."

Aku langsung pelan-pelan pergi ke arah dapur. Dan nanti akan pura-pura membawakan Mas Andri minuman juga cemilan. Awas kamu, Mas!

***

Keesokan paginya setelah Mas Andri berangkat ke kantor. "Bu, ini ada uang untuk Ibu shopping. Aurel dapat ini dari mas Andri. Kalau Ibu mau, Ibu bisa shopping ke mall yang Ibu suka." Aku memberi celah supaya ibu pergi.

"Wah? Banyak banget, Rel?" Katanya orang kaya. Dikasih uang segitu saja pun histeris sekali. Bola matanya bulat-bulat kesana kemari.

"Em, eu, gak usah. Ibu juga punya, kok. Kamu simpen saja," jawab ibu. Apa dia baru ngeuh kalau ekspresi dirinya tak mencerminkan seorang ibu yang baik yang punya banyak uang?

"Padahal Aurel berikan ini sebagai rasa maaf Aurel karena kemarin Aurel mungkin sakiti hati Ibu dengan Aurel tak mengenali Ibu." Aku berkata dengan sendu. Bola mata ibu terus memperhatikan uang berwarna merah muda cap dua bapak-bapak tanpa henti. Pasti dia terbuai.

"Aurel," katanya.

"Bu, Aurel akan merasa sangat bersalah kalau Ibu tak terima ini. Ya Ibu boleh belanjanya kapan-kapan, kalau sekarang pun, nanti diantar sama sopir. Kalau Aurel jangan di bolehkan dulu pergi sama mas Andri. Kenapa ya, Bu?" Sengaja supaya ibu makin tidak curiga.

"Aduh, ya sudah. Ibu akan terima. Dan ya, kamu gak boleh kemana-mana dulu. Kamu kan harus segera pulihkan ingatan kamu. Dan kalau begitu, Ibu keluar dulu deh sama pak sopir. Ibu juga ada yang perlu di beli." Terpancing juga. Dasar mertua mata duitan.

"Ibu mau pergi sekarang?" Aku harus memastikan. Kutanya saja dengan tatapan heran supaya ia tak curiga.

"Iya, ya sudah. Makasih, ya. Dan kamu gak usah ngerasa gak enak. Ibu gak apa-apa, kok," jawabnya mulai ceria. Ibu, Ibu. Dia langsung bergegas pergi untuk siap-siap.

***

Ibu telah pergi.

"Ya, gimana?" Aku bicara dengan seseorang yang kutugaskan menyelidiki perihal obat yang diberikan oleh Maya. Katanya untuk kesembuhan ingatanku.

"Aurel, obat ini berfungsi untuk merusak syaraf-syaraf di bagian otak. Seseorang tak sampai minum obat ini 'kan?" Dikejauhan sana Heru menjawab dan panik dengan dugaannya. Ia sahabatku. Heru adalah seorang apoteker. Kemarin aku kirimkan obat itu padanya.

Dugaanku benar. Mas Andri dan Maya berniat ingin membunuhku pelan-pelan. Rasa hancur dan kecewa sudah lenyap, yang ada hanyalah kemarahan dan tak sabar ingin membuat hidup mereka kembali menderita.

"Aurel?"

Tiba-tiba suara Heru memecah lamuannku. "Em, a, iya. Jadi bener itu bukan obat untuk memulihkan seseorang yang terkena amnesia?" selidikku lagi. Netra ini masih menatap kosong ke arah dedaunan yang berjejer dan melambai-lambai di taman belakang.

"Iya, ini justru sebaliknya. Dengan meminum obat ini, syaraf-syaraf di otak perlahan tidak akan bekerja. Aku sudah siapkan semua laporan yang kamu minta. Nanti aku akan sampaikan langsung dokumen ini ke rumah kamu." Kembali Heru jelaskan.

"Iya, makasih ya, Ru. Maaf sudah merepotkan." Dan tak lama kami pun mengakhiri percakapan.

"Non, ada telepon dari mas Irlan. Katanya hubungi Non gak bisa, sibuk. Nih teleponnya, Non!" Simbok mengagetkan. Ia lalu memberikanku gagang telepon yang sudah terhubung dengan Irlan.

Segera kuraih dan mulai bicara. "Ya, Irlan?"

Irlan mulai bicara. "Bu, saya sudah selidiki semua data tamu. Dan saya juga sudah dapat alasan mengapa mereka tiba-tiba check out. Saya bisa dapat bukti ini dengan cepat karena mereka pun mengungkapkan tentang hotel Ibu. Saya sudah bawa semuanya. Dan saya juga sudah tahu siapa orang yang sabotase hotel Ibu." Irlan mengungkapkan dari kejauhan.

"Oke, kita bertemu di taman dekat rumah saya. Lima menit saya sampai."

"Baik, Bu."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status