Share

Disayang Duda Kaya
Disayang Duda Kaya
Author: Ahgisa

1 - MUAK DAN MUAL

Alila Larasati menatap kosong foto pernikahannya sembari mengusap pelan perutnya yang membuncit.

Lila merasa sesak dalam dadanya karena Dimas, sang suami, banyak berubah sejak bekerja di salah satu bengkel besar milik majikan mereka.

Pria itu seolah lupa diri dan suka pulang malam. Bahkan, Dimas enggan mengantarkan Lila pergi memeriksakan kandungannya.

Sebagai gadis desa yang hanya memiliki ijazah paket C, Lila tak memiliki kecurigaan. Ia fokus menjadi kepala pelayan di Villa milik sang majikan dan mempersiapkan masa depan sang anak nanti. Tapi, mengapa dia merasa Dimas semakin jauh darinya?

“La, jangan ngelamun aja. Itu suamimu dateng. Ladenin, Nduk. Nanti dia ngamuk-ngamuk lagi,” ucap salah satu penjaga Villa tempatnya bekerja.

"Dia baru sampe, Mbok Saimah?"

Wanita paruh baya itu mengangguk saja sambil memasang senyumnya. 

Melihat itu, Lila segera beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya terbatas karena membawa bayi tiga puluh minggu di dalam perut dengan badan mungilnya sungguh tidak mudah.

Ketika memasuki kamar, Lila melihat Dimas dengan baju yang sudah tak beraturan dan wajah yang nampak lesu. 

"Mau di siapin air mandi, Mas?" ucapnya sambil membantu Dimas melepaskan bajunya.

Hanya saja bau menyengat seperti parfum menusuk hidung Lila, hingga gadis itu mual.

Hal ini justru membangkitkan kekesalan Dimas. Pria itu tampak risih dan menatap Lila tak suka.

“Aku udah mandi di kantor tadi. Sengaja supaya gak perlu lihat kamu yang ngomel karena gak suka aku pakai parfum. Sampai kapan kamu ngidam?! Aku gak mungkin kan ketemu klien dalam keadaan bau terus-terusan. Nyusahin banget!” omelnya jengah.

Lila hanya bisa menggigitbibir bawahnya. Ia tak mau suaminya makin muak dengan air matanya yang mudah menetes di kehamilannya ini. Wanita itu beralih dengan menaruh pakaian kotor Dimas ke keranjang baju kotor.

“Kamu udah ke Bidan belum? Udah tanya-tanya soal kehamilanmu yang gampang muntah ini gak? Sampai kapan katanya? Aku diceritain sama orang kantor katanya istrinya cuma ngerasain satu dua bulan aja. Kamu lebay banget sampe berbulan-bulan gak selesai!” cerocos pria itu lagi.

Lila menghela nafas panjang mencoba menguatkan dirinya dengan menggenggam erat tangannya.

“Udah, aku udah tanya, Mas. Tapi, Bu Bidan malah balik nanya, kapan kamu mau nemenin aku kontrol? Bu Bidan bilang harus sama kamu, Mas supaya bisa langsung jelasin ke kamu,” ucap Lila dengan gugup.

“Lemot, sih! Makanya Bidan gak mau jelasin ke kamu,” ucap Dimas sambil menatap lekat manik mata Lila dengan tatapan jengah.

Jantung Lila bertalu dengan kencang. Perasaan sakit hati atas jawaban Dimas juga rasa takut jika suaminya yang memilki perawakan lebih besar dari dirinya menggunakan tangan untuk memukul Lila.

“Ka—kamu kok ngomongnya gitu, Mas?” tanya Lila sambil menahan isak tangisnya.

Dimas hanya memutar matanya dan menghela nafas panjang. Ia berlalu dari hadapan Lila dan mengambil kaos yang sudah disiapkan Lila.

“Gak usah drama!”

“Drama apa sih, Mas! Memangnya gak mau lihat anak kita, Mas? Kamu gak mau lihat anak kita perempuan atau laki-laki? Kamu gak mau tahu dia didalem perutku ngapain aja?!” tanya Lila berani dengan air mata yang sudah mulai jatuh membasahi pipinya.

Dimas kembali menghela nafas panjang.

“Kapan?” tanya Dimas sambil memakai kaos yang ada ditangannya. Ia merasa terlalu lelah untuk meladeni Lila yang akan mengomelinya panjang dan lebar.

“Sabtu. Kalau Mas libur,” jawab Lila dengan tak yakin.

“Puskesmas gak libur kalau Sabtu?”

Lila hanya menggeleng.

"Oh," itu saja yang keluar dari mulut Dimas.

Mendengar pertanyaan Dimas, Lila berharap kali ini ia bisa pergi ke puskesmas di dampingi suami. Sama seperti Ibu-Ibu yang lain yang bersama dengan suami yang sangat antusias untuk menemui anak mereka. Setidaknya, jika bukan Lila, anak dalam kandungannya bisa mendapatkan perhatian Dimas. Ia tak mau anaknya memilki nasib yang sama dengan dirinya yang ditinggal kabur Ayahnya setelah di lahirkan.

Lila pikir punya sosok Ayah pasti menyenangkan. Apalagi juga punya Ayah dan Ibu, anaknya pasti tidak perlu iri dan bisa ikut membanggakan orang tuanya. Hal itu pasti sangat keren bagi anaknya karena anaknya nanti tak perlu merasa berkecil hati bahkan rendah diri seperti yang Lila alami. Lila terlalu yakin akan hal itu.

“Jangan ngelamun aja, dong! Aku mau kopi. Bikinin kopi sana. Kerjaan aku masih banyak, nanti anter aja ke ruang kerja!” pinta Dimas sambil membawa laptopnya dan keluar menuju ruang kerja keluarga Adnan.

Lila hanya mengangguk saja.

Ia tidak memberikan respon apapun lagi selain memandang punggung suaminya dengan perasaan yang tak bisa ia gambarkan.

Semua orang berumah tangga pasti ada masa renggang. Asalkan keduanya bisa bekerja sama, pasti bisa diselesaikan. Namun, rasanya, ada yang salah dengan rumah tangga mereka,.

Lila juga mulai tak yakin dengan Dimas.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status