Di sisi lain, seorang pria turun dari mobil mewah miliknya.
Potongan rambut buzz cut menampilkan kesan rapi dan memancarkan aura seorang pemimpin. Penampilannya makin menarik di tunjang dengan setelan kaos polo berwarna biru tua dan celana putih.
Jangan lupakan kacamata hitam yang menutup warna mata hazel si empunya yang juga memiliki tubuh atletis itu.
Membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa ingin bersandar di bahu pria yang memiliki jambang tipis.
Banyu Ocean Adnan memandang vila milik keluarganya yang sudah lama sekali tak ia kunjungi. Terakhir kali mungkin sekitar 8 tahun lalu.
Banyu begitu rindu dengan vila yang sangat sejuk tepat berada di bawah kaki gunung yang menghubungkan dua provinsi. Bertahun-tahun berlalu, Banyu merasa bersyukur bahwa lingkungan tempat vila miliknya tidak berubah.
Drrt!
Ponsel Banyu berdering, membuat pria yang tengah asyik memperhatikan hijaunya pemandangan itu harus mengalihkan tatapannya ke benda pipih yang sudah memunculkan nama pemanggil. 'Ibuku Sayang'.
“Halo, Bu.”
Suara bariton Banyu terdengar indah bagi wanita yang mendengarnya.
“Banyu udah sampe, Bu. Baru aja sampe. Belum masuk rumah. Banyu istirahat dulu, Nanti banyu telepon Ibu lagi,” sambung Banyu sambil mempersilahkan Pak Marno membantunya membawa beberapa koper besarnya memasuki vila.
“Iya, nanti banyu sampaikan salam Ibu ke Lila. Udah, ya? Bye, Bu!” ucap Banyu yang setelahnya mematikan telepon dengan tergesa.
Banyu dengan tanggap mengambil beberapa barang bawaan lainnya dari Pak marno karena melihat pria paruh baya itu kesulitan membawa barangnya.
“Gak apa-apa, Mas. Bapak kelihatannya saja yang tua, fisiknya masih. Kuaaaatt!” ucap Pak Marno sambil memperagakan tangan naik turun ala binaragawan.
Banyu tersenyum lebar melihat tingkah Pak Marno. Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan, karena ia belum mengenal siapa pria paruh baya yang menyambutnya. Setahunya, Dimas yang menjaga vila mereka. Harusnya pria itu ada di sini sekarang. Tapi ia tak melihat batang hidung pria yang lebih tua satu tahun darinya itu.
“Saya Banyu, Pak.”
“Saya Marno, Mas. Panggil Pak Marno aja. Monggo, saya antar ke kamar Mas Banyu,” ucap Pak Marno sambil mempersilahkan Banyu untuk berjalan terlebih dahulu.
Banyu mengangguk, lalu melangkah melewati setiap ruangan yang ia tahu adalah rancangan Ibunya. Ia sudah pasti tahu bahwa ruangan ini sangat khas dengan desain milik Diani, Ibunya. Keramik dan warna putih mendominasi seluruh ruangan di vila, membuat vila itu terlihat bersih dan nyaman. Jangan lupakan bangunan itu terlihat elegan dan berkelas.
Banyu yakin, kenyamanan di vila ini karena campur tangan perempuan yang menjaga vila miliknya. Senyum tiba-tiba mengembang dari wajah Banyu saat ingatannya sampai pada kenangannya bersama gadis kecil dengan pipi menggemaskan yang senang menatap Banyu dengan tatapan dalam.
“Mas Banyu, kamarnya di lantai dua,” ucap Pak Marno yang membuat langkah Banyu terhenti dan melihat Pak marno dengan senyumnya sedang berdiri agak jauh dari tempat Banyu berhenti.
Banyu memutar tubuhnya dan matanya menangkap punggung kecil tengah mengupas sesuatu sambil menatap kolam renang. Banyu dengan cepat mengikuti langkah Pak Marno, namun senyuman tipis terkembang di bibirnya.
Banyu menemukan sosok gadis kecilnya. Ia akan menyapanya nanti. Sebelumnya, ia perlu membersihkan dirinya sebelum bertemu dengan perempuan kecil yang menurutnya adalah teman baiknya saat masih berusia tujuh tahun. Perempuan itu mungkin saja sudah memiliki anak, ia mendengar dari Ibunya sekitar dua tahun lalu, perempuan yang sangat ia sukai dan ia anggap saudara perempuannya itu menikahi penjaga vila bernama Dimas.
Banyu kaget kala itu, namun ia juga bersyukur akhirnya Lila memiliki keluarga yang sesungguhnya. Ia harus segera membersihkan dirinya dan melepas rindu dengan perempuan kecilnya.
“Mas, nanti kalau butuh apa-apa, bisa panggil saya atau Saimah. Nanti kami bantu, Mas.”
“Saimah?” tanya Banyu dengan bingung. Kenapa ada orang baru lagi selain pak Marno?
“Mbok Saimah ini yang bantu-bantu Lila bersih-bersih di rumah ini, Mas.”
Banyu hanya manggut-manggut saja dan mengucapkan terima kasih pada Pak Marno. Setelahnya, Pak Marno berlalu dan Banyu mendekat ke arah pembatas kaca. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat ruang keluarga yang bersebelahan dengan dapur.
Banyu bisa melihat perempuan dengan baju merah muda selutut itu kesusahan bergerak. Banyu jadi tertawa tertahan saat melihat Lila berjalan. Wanita yang sedari berada di Jakarta sudah mencuri perhatian dan pikiran Banyu.
Asyik mengamati Lila, Banyu akhirnya sadar bahwa perempuan itu tengah mengandung. Perutnya yang besar terlihat tidak proporsional dengan tubuhnya yang kecil. Banyu tak sabar ingin menemui Lila. Ia pun segera masuk ke dalam kamarnya dan mandi sebelum menyapa Lila, Perempuan kecil berpipi gembul yang kini gembulnya berpindah ke perut.
Dalam pikiran Banyu, ia masih tak menyangka perempuan itu sudah dewasa dan akan memiliki anak. Rasanya baru kemarin ia bercanda dan menggoda Lila yang remaja. Waktu benar-benar berjalan sangat cepat.
***
Banyu baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Ia bahkan memakai bajunya saat ponsel miliknya yang ada di kasur berdering.
Banyu segera menyambar ponsel itu sambil menyugar rambutnya yang masih basah untuk menghilangkan air dari sana.
“Halo, kenapa Tar?”
“Udah, sampe lo?”
“Baru aja, kenapa?”
“Gue mau lapor bagian apa aja yang perlu lo tinjau ulang. by the way, lo beneran gak butuh gue buat bantuin lo disana?”
Banyu menggeleng dan melupakan bahwa mereka sedang berada di sambungan telepon tanpa video.
“Gue bisa, Tar. Gue bakalan selesein sendiri. Bengkel di sini kan baru. Lagipula gue kenal juga siapa yang ngelola.”
"Nah itu, Nyu. Karena lo kenal, lo kudu teliti. Laporannya menurut gue aneh. Belum lagi tingkat turnover yang menurut gue lumayan tinggi buat bengkel yang udah lumayan mumpuni kayak kita. Lo better check bener-bener," ucap Attar yang terdengar khawatir dan berhasil membuat Banyu ikut khawatir.
"Iya, nanti gue cek. Lo kirimin datanya ya. Sekalian mau gue bandingin sama data-data lama pertama kali kita buka bengkel."
"Siap, bosku!"
"Ya udah, gue–"
"Elah, telpon kerjaan doang! Buru-buru banget lo nutup telpon gue," potong Attar terdengar kesal.
"Anjrit, kayak pacar kagak mau ditutup telponnya lu!"
Attar terdengar tertawa renyah dari ujung telepon. "Kangen gue sama elo! Jangan lama-lama lo disono. Gue gak ada temen jomblo lainnya yang bisa gue ajakin main. Temen gue udah pada punya buntut semua!"
"Jijik! Lu kalau telepon gue terus, gimana mau cari cewe,sih!"
"Gak telepon lo juga, gue mau cari dimana?"
"Sedapetnya!"
"Si Malih! Sembarangan bener mulut lo kalau ngomong! Lo kan udah pernah ditinggal gara-gara sedapetnya. Mau lo ulangin lagi?!"
"Amit-amit! Udah, berisik lo. Bye!" ucap Banyu yang langsung saja menutup teleponnya. Ia kemudian melempar ponselnya ke atas kasur.
Bersama itu, Banyu menjatuhkan dirinya. Ia menatap langit-langit kamar dengan kosong. Diingatkan tentang status dudanya, membuat Banyu bertanya pada dirinya. Sudah hilangkah traumanya akan berumah tangga? Apakah ia harus memulai membuka hatinya? Atau memang, tanpa perempuan pun hidupnya akan baik-baik saja?
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag