Share

2 - TEMAN MASA KECIL

Di sisi lain, seorang pria turun dari mobil mewah miliknya.

Potongan rambut buzz cut menampilkan kesan rapi dan memancarkan aura seorang pemimpin. Penampilannya makin menarik di tunjang dengan setelan kaos polo berwarna biru tua dan celana putih.

Jangan lupakan kacamata hitam yang menutup warna mata hazel si empunya yang juga memiliki tubuh atletis itu.

Membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa ingin bersandar di bahu pria yang memiliki jambang tipis. 

Banyu Ocean Adnan memandang vila milik keluarganya yang sudah lama sekali tak ia kunjungi. Terakhir kali mungkin sekitar 8 tahun lalu.

Banyu begitu rindu dengan vila yang sangat sejuk tepat berada di bawah kaki gunung yang menghubungkan dua provinsi. Bertahun-tahun berlalu, Banyu merasa bersyukur bahwa lingkungan tempat vila miliknya tidak berubah.

Drrt!

Ponsel Banyu berdering, membuat pria yang tengah asyik memperhatikan hijaunya pemandangan itu harus mengalihkan tatapannya ke benda pipih yang sudah memunculkan nama pemanggil. 'Ibuku Sayang'.

“Halo, Bu.”

Suara bariton Banyu terdengar indah bagi wanita yang mendengarnya.

“Banyu udah sampe, Bu. Baru aja sampe. Belum masuk rumah. Banyu istirahat dulu, Nanti banyu telepon Ibu lagi,” sambung Banyu sambil mempersilahkan Pak Marno membantunya membawa beberapa koper besarnya memasuki vila.

“Iya, nanti banyu sampaikan salam Ibu ke Lila. Udah, ya? Bye, Bu!” ucap Banyu yang setelahnya mematikan telepon dengan tergesa.

Banyu dengan tanggap mengambil beberapa barang bawaan lainnya dari Pak marno karena melihat pria paruh baya itu kesulitan membawa barangnya.

“Gak apa-apa, Mas. Bapak kelihatannya saja yang tua, fisiknya masih. Kuaaaatt!” ucap Pak Marno sambil memperagakan tangan naik turun ala binaragawan.

Banyu tersenyum lebar melihat tingkah Pak Marno. Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan, karena ia belum mengenal siapa pria paruh baya yang menyambutnya. Setahunya, Dimas yang menjaga vila mereka. Harusnya pria itu ada di sini sekarang. Tapi ia tak melihat batang hidung pria yang lebih tua satu tahun darinya itu.

“Saya Banyu, Pak.”

“Saya Marno, Mas. Panggil Pak Marno aja. Monggo, saya antar ke kamar Mas Banyu,” ucap Pak Marno sambil mempersilahkan Banyu untuk berjalan terlebih dahulu.

Banyu mengangguk, lalu melangkah melewati setiap ruangan yang ia tahu adalah rancangan Ibunya. Ia sudah pasti tahu bahwa ruangan ini sangat khas dengan desain milik Diani, Ibunya. Keramik dan warna putih mendominasi seluruh ruangan di vila, membuat vila itu terlihat bersih dan nyaman. Jangan lupakan bangunan itu terlihat elegan dan berkelas.

Banyu yakin, kenyamanan di vila ini karena campur tangan perempuan yang menjaga vila miliknya. Senyum tiba-tiba mengembang dari wajah Banyu saat ingatannya sampai pada kenangannya bersama gadis kecil dengan pipi menggemaskan yang senang menatap Banyu dengan tatapan dalam.

“Mas Banyu, kamarnya di lantai dua,” ucap Pak Marno yang membuat langkah Banyu terhenti dan melihat Pak marno dengan senyumnya sedang berdiri agak jauh dari tempat Banyu berhenti.

Banyu memutar tubuhnya dan matanya menangkap punggung kecil tengah mengupas sesuatu sambil menatap kolam renang. Banyu dengan cepat mengikuti langkah Pak Marno, namun senyuman tipis terkembang di bibirnya.

Banyu menemukan sosok gadis kecilnya. Ia akan menyapanya nanti. Sebelumnya, ia perlu membersihkan dirinya sebelum bertemu dengan perempuan kecil yang menurutnya adalah teman baiknya saat masih berusia tujuh tahun. Perempuan itu mungkin saja sudah memiliki anak, ia mendengar dari Ibunya sekitar dua tahun lalu, perempuan yang sangat ia sukai dan ia anggap saudara perempuannya itu menikahi penjaga vila bernama Dimas.

Banyu kaget kala itu, namun ia juga bersyukur akhirnya Lila memiliki keluarga yang sesungguhnya. Ia harus segera membersihkan dirinya dan melepas rindu dengan perempuan kecilnya.

“Mas, nanti kalau butuh apa-apa, bisa panggil saya atau Saimah. Nanti kami bantu, Mas.”

“Saimah?” tanya Banyu dengan bingung. Kenapa ada orang baru lagi selain pak Marno?

“Mbok Saimah ini yang bantu-bantu Lila bersih-bersih di rumah ini, Mas.”

Banyu hanya manggut-manggut saja dan mengucapkan terima kasih pada Pak Marno. Setelahnya, Pak Marno berlalu dan Banyu mendekat ke arah pembatas kaca. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat ruang keluarga yang bersebelahan dengan dapur.

Banyu bisa melihat perempuan dengan baju merah muda selutut itu kesusahan bergerak. Banyu jadi tertawa tertahan saat melihat Lila berjalan. Wanita yang sedari berada di Jakarta sudah mencuri perhatian dan pikiran Banyu.

Asyik mengamati Lila, Banyu akhirnya sadar bahwa perempuan itu tengah mengandung. Perutnya yang besar terlihat tidak proporsional dengan tubuhnya yang kecil. Banyu tak sabar ingin menemui Lila. Ia pun segera masuk ke dalam kamarnya dan mandi sebelum menyapa Lila, Perempuan kecil berpipi gembul yang kini gembulnya berpindah ke perut.

Dalam pikiran Banyu, ia masih tak menyangka perempuan itu sudah dewasa dan akan memiliki anak. Rasanya baru kemarin ia bercanda dan menggoda Lila yang remaja. Waktu benar-benar berjalan sangat cepat.

***

Banyu baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Ia bahkan memakai bajunya saat ponsel miliknya yang ada di kasur berdering.

Banyu segera menyambar ponsel itu sambil menyugar rambutnya yang masih basah untuk menghilangkan air dari sana.

“Halo, kenapa Tar?”

“Udah, sampe lo?”

“Baru aja, kenapa?”

“Gue mau lapor bagian apa aja yang perlu lo tinjau ulang. by the way, lo beneran gak butuh gue buat bantuin lo disana?”

Banyu menggeleng dan melupakan bahwa mereka sedang berada di sambungan telepon tanpa video.

“Gue bisa, Tar. Gue bakalan selesein sendiri. Bengkel di sini kan baru. Lagipula gue kenal juga siapa yang ngelola.”

"Nah itu, Nyu. Karena lo kenal, lo kudu teliti. Laporannya menurut gue aneh. Belum lagi tingkat turnover yang menurut gue lumayan tinggi buat bengkel yang udah lumayan mumpuni kayak kita. Lo better check bener-bener," ucap Attar yang terdengar khawatir dan berhasil membuat Banyu ikut khawatir.

"Iya, nanti gue cek. Lo kirimin datanya ya. Sekalian mau gue bandingin sama data-data lama pertama kali kita buka bengkel."

"Siap, bosku!"

"Ya udah, gue–"

"Elah, telpon kerjaan doang! Buru-buru banget lo nutup telpon gue," potong Attar terdengar kesal.

"Anjrit, kayak pacar kagak mau ditutup telponnya lu!"

Attar terdengar tertawa renyah dari ujung telepon. "Kangen gue sama elo! Jangan lama-lama lo disono. Gue gak ada temen jomblo lainnya yang bisa gue ajakin main. Temen gue udah pada punya buntut semua!"

"Jijik! Lu kalau telepon gue terus, gimana mau cari cewe,sih!"

"Gak telepon lo juga, gue mau cari dimana?"

"Sedapetnya!"

"Si Malih! Sembarangan bener mulut lo kalau ngomong! Lo kan udah pernah ditinggal gara-gara sedapetnya. Mau lo ulangin lagi?!"

"Amit-amit! Udah, berisik lo. Bye!" ucap Banyu yang langsung saja menutup teleponnya. Ia kemudian melempar ponselnya ke atas kasur.

Bersama itu, Banyu menjatuhkan dirinya. Ia menatap langit-langit kamar dengan kosong. Diingatkan tentang status dudanya, membuat Banyu bertanya pada dirinya. Sudah hilangkah traumanya akan berumah tangga? Apakah ia harus memulai membuka hatinya? Atau memang, tanpa perempuan pun hidupnya akan baik-baik saja?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status