"Terus kalau nggak tinggal sama Kak Bian, aku harus tinggal sama siapa? Rasanya nggak punya siapa-siapa lagi selain dia," batin Dea merasa galau.
Lelaki tampan itu sudah mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia hendak masuk ke dalam rumah."Kak Bian, tunggu!" teriak Dea sambil berlari. Terpaksa ia menuruti kemauan kakaknya.Gadis itu membungkuk. Nafasnya ngos-ngosan."Dea mau tinggal sama Kakak," ucapnya kemudian."Sudah berubah pikiran?"Bian melirik sekilas ke arah Dea sambil tersenyum miring. Ia segera masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju dapur.Dea segera duduk di kursi ruang tamu. Tubuhnya terasa letih. Hatinya masih tidak baik-baik saja. Bayangan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya membuat dadanya ngilu."Minum, dulu."Bian datang dari arah dapur membawakan orange juice yang terlihat sangat segar.Mata Dea berbinar. Ia sangat menyukai jus jeruk sejak kecil dan dulu selalu menikmati berdua bersama kakak angkatnya itu."Kak Bian bisa peka juga, ya?" ucapnya lirih sambil tersenyum dan merebut gelas dari tangan Bian."Begitu caranya?" Bian ikut duduk di samping Dea.Dea teringat sesuatu. Kakak angkatnya tersebut adalah orang yang haus akan ucapan terima kasih. Gadis itu kemudian meletakkan gelas yang dibawa setelah menyeruput sedikit isinya.Dea menatap ke arah kakaknya. Ia mendekatkan wajahnya. "Makasih Kak Bian yang paling ganteng."Dea mencoba tersenyum. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan kakaknya.Seketika Bian mengalihkan pandangannya. Ia berdiri kemudian melangkah ke arah kamar."Itu hidung kamu banyak ingusnya. Jorok banget!"Dea berdecak kesal. Ia pikir kakaknya akan salah tingkah karena ulahnya. Teryata dugaannya tidak benar.Gadis itu segera menghabiskan jus buatan sang kakak. Kemudian memilih untuk membersihkan wajahnya dengan sebuah tisu."Kak Bian kok lama banget di dalam kamar, ngapain ya?"Dea memilih untuk menyusul kakaknya. Ia masuk ke kamar yang sama dengan kamar yang dimasuki Bian."Kakak?""Em, kamu pasti capek, ya?" Ternyata Bian baru mengganti sprei dan merapikan kamar itu agar nyaman ditempati Dea."Kakak nggak perlu repot-repot. Dea juga bisa kok ganti spreinya sendiri. Kenapa Kakak tinggal di tempat seperti ini?" tanya Dea yang penasaran sejak melihat rumah sederhana itu."Nggak suka?" tanya Bian dengan ekspresi yang sulit ditebak."Bukan begitu, Kak Bian."Dea jadi serba salah. Ia tidak masalah tinggal di manapun. Yang ia heran kenapa kakaknya tidak tinggal di rumah mewah bersama orang tua kandungnya."Mama sama papa sudah lama di luar negeri. Kakak disuruh ngurusin perusahaan yang berada di Jakarta. Dan rumah ini rumah peninggalan nenek. Kakak lebih suka tinggal di sini."Dea manggut-manggut. Tidak menyangka jika Bian masih bergaya sederhana seperti dulu."Sebenarnya Nenek berpesan sebelum meninggal. Ia ingin melihat kakak menikah terlebih dahulu. Tetapi umur siapa yang tahu."Dea memperhatikan kakaknya dengan seksama. Ia baru sadar jika selama ini tidak pernah melihat Bian dekat dengan wanita manapun."Terus Kakak kapan nikahnya? Udah mau kepala empat loh," celetuk Dea tanpa disaring lebih dulu pertanyaannya.Bian terdiam. Ia tampak berpikir. Andai Dea tahu jika lelaki tampan itu hanya mencintainya, mungkin hubungan mereka tak akan lagi sama. Bahkan merenggang dan Dea tidak mau tinggal bersamanya.Bian tidak ingin hal itu terjadi kepadanya. Ia mencintai Dea sejak mereka berdua dinyatakan bukan saudara kandung. Lelaki itu sangat takut kehilangannya."Em, maaf Kak. Nggak usah dijawab juga nggak papa. Dea bisa kok nanti mencarikan calon buat Kakak."Bian mengangkat bahunya. Tetap bersikap tenang meski bukan hal itu yang ia mau. Ia hanya tidak ingin memperpanjang masalah dan terus membualkan soal pernikahan."Oh, iya. Itu kamar mandinya lagi rusak. Nanti biar diperbaiki dulu. Sementara kamu mandi di luar, ya? Atau bisa juga mandi di kamar kakak kalau—""Di dekat dapur aja!" sahut Dea cepat.Bian mengangguk dan segera keluar dari kamar adiknya. Ia mulai memeriksa ponselnya yang sejak tadi berdering tanpa sepengetahuannya.Sementara Dea ingin mengistirahatkan tubuh dan otaknya. Ia bergegas untuk mandi agar merasa rileks.Setelah beberapa menit lamanya, Dea menyelesaikan mandinya."Duh, kenapa aku cuma bawa handuk ya? Mana nggak bawa baju ganti."Dea hendak membawa pakaian kotornya, namun tiba-tiba ada seekor kecoak di atas bajunya.Aaaaaaaa !Gadis itu berteriak sangat kencang. Mengagetkan Bian yang baru saja keluar dari kamarnya."Dea, kenapa dia?"Bian langsung mendorong dengan kuat pintu kamar mandi itu. Ia hendak menghampiri adiknya, namun terpeleset dan jatuh menimpa tubuh Dea."Kak Bian! Apa yang Kakak lakukan?" tanya Dea syok."Ma–maaf, Dea."Bian hendak beranjak, tetapi terdengar rombongan orang-orang mendekat ke arah mereka."Lihat Pak RT. Benar 'kan kata saya. Mereka berbuat yang tidak-tidak di sini.""Reno?" lirih Dea.Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Ia tidak menyangka jika Reno mengetahui keberadaannya. Dan bisa-bisanya berusaha memfitnah Dea dengan Bian.Gadis itu merasa sangat malu. Bahkan ia hanya mengenakan handuk saja.Menyadari Dea yang sedang bersedih, Bian melepaskan jaket pada tubuhnya. Lalu memakaikannya kepada Dea.Padahal tadi Bian sudah bersiap hendak menemui seseorang. Ia pikir Dea sudah tidur di kamarnya."Laporkan saja lelaki ini, Pak. Mereka bukan saudara kandung. Tidak ada hubungan darah. Jangan sampai mencemari nama baik kampung ini." Reno sangat senang mengompori Pak RT."Benar! Benar!" Yang lain ikut menimpali.Pak RT menenangkan para warga. Ia berucap dengan tenang."Baiklah, saya berikan dua pilihan."Para warga menyimak dengan seksama. Sedangkan Reno merasa gelisah karena lelaki itu masih diberikan pilihan.Padahal ia ingin Bian dipenjara. Sehingga perusahaan papanya tidak harus bersaing lagi dengan perusahaan orang tua Bian yang kini dipegang oleh kakak angkat Dea tersebut."Kamu saya laporkan atau kalian harus menikah."Seketika Reno terbelalak mendengar penuturan dari Pak RT. Begitupun Bian dan Dea. Mereka saling berpandangan sesaat.Dea merasa galau. Tidak mungkin ia menikah dengan kakaknya sendiri. Tetapi ia juga tidak mau jika lelaki yang sejak kecil menemaninya itu dipenjara."Baik, saya akan menikahi Dea sekarang juga."Dea terperanjat. Memasang wajah tidak percaya kepada kakaknya."Pak, tolong maafkan kami. Ini semua salah paham. Tidak seperti yang kalian bayangkan. Saya bisa jelaskan semuanya.""Pak, saya juga tidak setuju jika mereka dinikahkan. Penjarakan saja lelaki ini," ucap Reno sambil menunjuk ke arah Bian.Dea menggeleng lemah. Ia semakin membenci Reno."Sudah, sudah. Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Kita tetap adakan sebuah pernikahan agar mereka tetap bisa tinggal di sini."Pak RT mendampingi proses pernikahan siri antara Bian dan Dea.Hari itu Bian sibuk mempersiapkan segalanya. Sedangkan Dea hanya terdiam di kamarnya."Dea, bagaimana kalau kamu kabur saja. Ayo ikut bersamaku. Tinggal di apartemen pemberian papaku."Sebuah pesan dari Reno sukses membuat Dea menjadi resah.Meski Dea mengucapkan jika ia sudah tak percaya lagi dengan cinta, namun hatinya masih mengingat nama Reno yang sejak dulu mengisi hari-harinya setiap waktu."Balas Dea. Aku menantimu di bawah. Sebenarnya aku masih mencintaimu.""Nggak! Aku nggak boleh percaya lagi sama Reno. Aku yakin dia hanya ingin memanfaatkan kelemahanku kembali."Sebuah suara kecil mengejutkan Dea. Ia dapat melihat pintu kamar yang terbuka perlahan. Menampilkan sesosok perempuan paruh baya. Ia adalah mama Dea."Sayang, kamu sudah siap?""Mama!" Dea segera memeluk sang mama.Amelia membelai lembut kepala putrinya. Ia tahu jika Dea belum mau menikah. Apalagi baru saja diselingkuhi oleh tunangannya."Mama percaya 'kan sama Dea? Dea dan Kak Bian nggak nglakuin apa-apa.""Maafkan mama, Sayang."Amelia ikut bersedih. Ia merasa bersalah kepada putri kesayangannya tersebut."Ada apa, Ma? Kenapa Mama minta maaf?" tanya Dea penasaran."Sebenarnya Bian hendak membatalkan pernikahan ini. Tetapi mama yang memintanya untuk menikahimu. Papa tirimu meninggalkan banyak hutang Dea. Hanya Bian yang bisa menolong."Dea membelalakkan matanya. Ia sangat terkejut mendengar penuturan sang mama."Mama?" Dea kesulitan untuk berkata-kata lagi."Kamu akan bersama B
Bian membuka kedua matanya. Ia berucap dengan tenang. Sudah memprediksikan sebelumnya jika Dea akan histeris karena ulahnya."Masih pagi Dea. Kenapa berteriak seperti itu?"Bian memandangi Dea tanpa rasa bersalah sama sekali. Meski sebenarnya hatinya merasa takut jika Dea bertambah marah dan benci kepadanya."Kenapa Dea bisa tidur di sini?"Dea melihat tubuhnya dibalik selimut. Takut jika Bian memanfaatkan keadaan."Pasti Kakak sengaja, ya?" Meski pakaian yang dikenakan gadis itu masih sama seperti tadi malam, Dea tetap tidak terima. Ia menganggap Bian sengaja ingin tidur berdua dengannya.Bian hanya geleng-geleng kepala. Ia bangun dari tidurnya dengan tubuh bagian atas yang tidak mengenakan apa-apa.Dea berusaha tetap tenang. Sudah lama ia tidak melihat Bian seperti itu. Dulu kakak angkatnya tersebut sangat kurus dan tidak berotot. Tetapi kini sungguh berbeda jauh."Kenapa kamu mengunci pintu kamarmu? Kamu ketiduran di mobil. Dan kakak bangunkan berkali-kali tetap tidak mau membuka
"Dea, kakak mau bicara sama kamu!" Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Bian segera menarik tangan gadis itu untuk meninggalkan David yang masih terbengong di tempatnya."Kakak?" David tidak begitu paham mengapa mereka terlihat sangat dekat.Setelah keluar dari area kantin, Bian masih menggenggam tangan Dea begitu kuat. Ia membawa gadis itu masuk ke dalam lift yang kebetulan sepi."Ih, lepaskan! Apa-apaan sih, Kak Bian! Sakit!" rintih Dea. Ia merasa kesal dengan sikap kakaknya."Kenapa kamu dekat-dekat sama cowok lain?" ujar Bian tegas. Kali ini ia benar-benar merasa cemburu."Bukan urusan Kakak!" Dea sedikit membentak. Ia tidak suka diatur-atur oleh siapapun.Bian terdiam. Ia mencoba menahan emosinya agar tidak meledak hingga menyakiti wanita yang dicintainya.Bian mendorong tubuh istrinya hingga gadis itu tidak dapat bergerak. Ia mengunci tubuh Dea dan menautkan jemarinya pada jari-jari gadis bertubuh mungil itu."Aku ini suami kamu, Dea!" lirih Bian seraya mendekatkan wajahnya. Ia pand
Dea menggeser posisinya ke kanan sedangkan lelaki berpenampilan urakan itu ikut duduk tepat di sisi kirinya."Sa–saya mau pulang Bang," jawab Dea terbata.Gadis itu terus membatin di dalam hatinya. Berharap ada seseorang berhati baik yang mau menolong."Bagaimana kalau kita bersenang-senang sebentar dengannya, Bos. Mumpung lagi sepi," ucap salah satu anak buah lelaki itu sambil memperhatikan keadaan sekeliling."Sepertinya dia anak baru di sini," ujar yang lain ikut menimpali."Saya harus pergi."Tanpa berpikir panjang lagi Dea segera meninggalkan tempat itu. Lebih baik ia berjalan menuju keramaian. Tetapi sayangnya para preman itu terus mengikuti Dea. Semakin Dea mempercepat langkah kakinya, semakin para lelaki itu bersemangat untuk mengejarnya.Hingga akhirnya mereka berhasil mengepung Dea. Gadis itu tidak bisa lagi bergerak untuk kabur."Apa yang kalian inginkan! Tolong pergi! Jangan sakiti saya."Dea mengiba. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil menundukkan kepalanya."Kamu tidak p
Bian berniat untuk menggantikan pakaian istrinya agar tidak merasa sesak. Namun sungguh di luar kuasanya. Lelaki itu justru terpesona dengan kulit putih dan bersih milik Dea."Jangan hiraukan itu Bian! Kau bisa membuatnya semakin membencimu."Setelah beberapa menit lamanya, Bian sudah berhasil mengganti pakaian Dea dengan piyama tidur yang longgar.Lalaki itu bangga dengan dirinya sendiri karena masih bisa untuk mengontrol diri agar tidak bertindak lebih kepada istrinya.Bian segera menyelimuti tubuh Dea hingga ke lehernya. Setelah itu ia keluar dari kamar dan berniat untuk tidur di kamarnya sendiri.***Pagi harinya Bian bersemangat untuk membuat sarapan nasi goreng. Ia sengaja menyediakan dua porsi untuk dirinya sendiri juga untuk istrinya."Aaaaa....!!!!"Sebuah teriakan melengking dari kamar Dea mengejutkan Bian seketika. Lelaki itu hampir saja menjatuhkan makanannya."Kenapa lagi dengan Dea?"Bian segera berjalan menuju kamar istrinya. Ia mencoba untuk membuka pintu kamar Dea, tet
"Kenapa kamu mau menjadi sekretaris di perusahaan ini?"Bian berdiri dari tempatnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celananya."Kau masih jadi simpanan Papa Reza? Bagaimana jika dia selingkuh dengan sekretarisnya?" ucap Bian dengan santai. Ia ingin Mawar sadar bahwa semua tindakannya tidak benar."Aku tidak peduli Pak Bian. Sepertinya sekarang aku mulai tertarik denganmu. Aku akan membuatmu bertekuk lutut kepadaku," balas Mawar tak kalah santai.Ia sangat yakin bisa meluluhkan hati Bian. Tidak ada lelaki yang bisa menolak pesonanya.Bian segera menjauh dari tubuh Mawar ketika menyadari wanita itu mulai berulah lagi."Jangan pernah berharap. Dan mulai besok, gunakan pakaian yang lebih sopan."Bian meninggalkan Mawar seorang diri. Ia keluar dari ruangannya hendak menemui seseorang yang mengadakan janji temu dengannya."Lebih baik aku tidak mengajak Mawar."CEO tampan itu melangkah dengan tenang. Di saat itu teleponnya berdering. Bian berbicara sambil berjalan, namun langkahnya
"Auh! Kakiku!" keluh Dea. Ia merasakan kakinya sakit. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada kaki kanannya.Bian menyadari perubahan raut wajah Dea. Seolah gadis itu merasa tidak nyaman. "Apa yang terjadi Dea?" tanya Bian khawatir. Ia masih menopang tubuh istrinya.Tanpa menunggu jawaban dari Dea, CEO tampan itu segera mengangkat tubuh istrinya ala bridal style. Membuat pandangan orang-orang tertuju kepada mereka. Tak terkecuali dengan Reno yang menghentikan dansanya bersama Mawar.Bian langsung membawa Dea ke dalam mobil dan berniat untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Ia tak peduli dengan tatapan tajam dari semua orang."Sial! Pasti dia sengaja memanas-manasiku!" umpat Reno tidak terima. Lelaki itu pun mengajak Mawar pergi dari acara makan malam tersebut.Setelah menunggu beberapa menit, seorang dokter telah selesai memeriksa Dea."Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" ucap Bian merasa khawatir dengan keadaan Dea."Bapak tidak perlu khawatir. Kakinya hanya keseleo saja."Dea
Sebuah suara jeritan memenuhi ruang kamar kecil itu. Dea menahan rasa sakit yang luar biasa pada inti tubuhnya. Begitu menyakitkan baginya.Air mata terus mengalir deras dari kedua mata milik Dea. Namun Bian tak peduli sama sekali. Ia terus bergerak sesuka hatinya sambil sesekali meracau menyebut nama Dea."Cukup Kak," ucap Dea namun tersekat di tenggorokannya.Beberapa jam berlalu. Bian mulai terkapar lemah di sebelah Dea. Gadis itu menangis hingga ikut tertidur di samping seorang lelaki yang telah merenggut kesuciannya.Keesokan harinya Dea terbangun terlebih dahulu. Ia masih merasakan sakit yang tiada terkira.Perlahan gadis yang tak lagi perawan itu mulai bangun. Ia mencoba melangkah menuju kamar mandi. Jalannya tertatih seakan sangat sulit untuk bergerak bebas.Dea mengahabiskan waktunya di bawah kucuran air shower. Hatinya sakit meski sebenarnya akan lebih sakit jika Bian melakukan hal itu dengan Mawar."Kenapa Kak Bian tega?"Dea memejamkan sejenak kedua matanya. Tanpa terasa a