Share

3. Pesan Dari Mantan

"Terus kalau nggak tinggal sama Kak Bian, aku harus tinggal sama siapa? Rasanya nggak punya siapa-siapa lagi selain dia," batin Dea merasa galau.

Lelaki tampan itu sudah mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia hendak masuk ke dalam rumah.

"Kak Bian, tunggu!" teriak Dea sambil berlari. Terpaksa ia menuruti kemauan kakaknya.

Gadis itu membungkuk. Nafasnya ngos-ngosan.

"Dea mau tinggal sama Kakak," ucapnya kemudian.

"Sudah berubah pikiran?"

Bian melirik sekilas ke arah Dea sambil tersenyum miring. Ia segera masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju dapur.

Dea segera duduk di kursi ruang tamu. Tubuhnya terasa letih. Hatinya masih tidak baik-baik saja. Bayangan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya membuat dadanya ngilu.

"Minum, dulu."

Bian datang dari arah dapur membawakan orange juice yang terlihat sangat segar.

Mata Dea berbinar. Ia sangat menyukai jus jeruk sejak kecil dan dulu selalu menikmati berdua bersama kakak angkatnya itu.

"Kak Bian bisa peka juga, ya?" ucapnya lirih sambil tersenyum dan merebut gelas dari tangan Bian.

"Begitu caranya?" Bian ikut duduk di samping Dea.

Dea teringat sesuatu. Kakak angkatnya tersebut adalah orang yang haus akan ucapan terima kasih. Gadis itu kemudian meletakkan gelas yang dibawa setelah menyeruput sedikit isinya.

Dea menatap ke arah kakaknya. Ia mendekatkan wajahnya. "Makasih Kak Bian yang paling ganteng."

Dea mencoba tersenyum. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan kakaknya.

Seketika Bian mengalihkan pandangannya. Ia berdiri kemudian melangkah ke arah kamar.

"Itu hidung kamu banyak ingusnya. Jorok banget!"

Dea berdecak kesal. Ia pikir kakaknya akan salah tingkah karena ulahnya. Teryata dugaannya tidak benar.

Gadis itu segera menghabiskan jus buatan sang kakak. Kemudian memilih untuk membersihkan wajahnya dengan sebuah tisu.

"Kak Bian kok lama banget di dalam kamar, ngapain ya?"

Dea memilih untuk menyusul kakaknya. Ia masuk ke kamar yang sama dengan kamar yang dimasuki Bian.

"Kakak?"

"Em, kamu pasti capek, ya?" Ternyata Bian baru mengganti sprei dan merapikan kamar itu agar nyaman ditempati Dea.

"Kakak nggak perlu repot-repot. Dea juga bisa kok ganti spreinya sendiri. Kenapa Kakak tinggal di tempat seperti ini?" tanya Dea yang penasaran sejak melihat rumah sederhana itu.

"Nggak suka?" tanya Bian dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Bukan begitu, Kak Bian."

Dea jadi serba salah. Ia tidak masalah tinggal di manapun. Yang ia heran kenapa kakaknya tidak tinggal di rumah mewah bersama orang tua kandungnya.

"Mama sama papa sudah lama di luar negeri. Kakak disuruh ngurusin perusahaan yang berada di Jakarta. Dan rumah ini rumah peninggalan nenek. Kakak lebih suka tinggal di sini."

Dea manggut-manggut. Tidak menyangka jika Bian masih bergaya sederhana seperti dulu.

"Sebenarnya Nenek berpesan sebelum meninggal. Ia ingin melihat kakak menikah terlebih dahulu. Tetapi umur siapa yang tahu."

Dea memperhatikan kakaknya dengan seksama. Ia baru sadar jika selama ini tidak pernah melihat Bian dekat dengan wanita manapun.

"Terus Kakak kapan nikahnya? Udah mau kepala empat loh," celetuk Dea tanpa disaring lebih dulu pertanyaannya.

Bian terdiam. Ia tampak berpikir. Andai Dea tahu jika lelaki tampan itu hanya mencintainya, mungkin hubungan mereka tak akan lagi sama. Bahkan merenggang dan Dea tidak mau tinggal bersamanya.

Bian tidak ingin hal itu terjadi kepadanya. Ia mencintai Dea sejak mereka berdua dinyatakan bukan saudara kandung. Lelaki itu sangat takut kehilangannya.

"Em, maaf Kak. Nggak usah dijawab juga nggak papa. Dea bisa kok nanti mencarikan calon buat Kakak."

Bian mengangkat bahunya. Tetap bersikap tenang meski bukan hal itu yang ia mau. Ia hanya tidak ingin memperpanjang masalah dan terus membualkan soal pernikahan.

"Oh, iya. Itu kamar mandinya lagi rusak. Nanti biar diperbaiki dulu. Sementara kamu mandi di luar, ya? Atau bisa juga mandi di kamar kakak kalau—"

"Di dekat dapur aja!" sahut Dea cepat.

Bian mengangguk dan segera keluar dari kamar adiknya. Ia mulai memeriksa ponselnya yang sejak tadi berdering tanpa sepengetahuannya.

Sementara Dea ingin mengistirahatkan tubuh dan otaknya. Ia bergegas untuk mandi agar merasa rileks.

Setelah beberapa menit lamanya, Dea menyelesaikan mandinya.

"Duh, kenapa aku cuma bawa handuk ya? Mana nggak bawa baju ganti."

Dea hendak membawa pakaian kotornya, namun tiba-tiba ada seekor kecoak di atas bajunya.

Aaaaaaaa !

Gadis itu berteriak sangat kencang. Mengagetkan Bian yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Dea, kenapa dia?"

Bian langsung mendorong dengan kuat pintu kamar mandi itu. Ia hendak menghampiri adiknya, namun terpeleset dan jatuh menimpa tubuh Dea.

"Kak Bian! Apa yang Kakak lakukan?" tanya Dea syok.

"Ma–maaf, Dea."

Bian hendak beranjak, tetapi terdengar rombongan orang-orang mendekat ke arah mereka.

"Lihat Pak RT. Benar 'kan kata saya. Mereka berbuat yang tidak-tidak di sini."

"Reno?" lirih Dea.

Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Ia tidak menyangka jika Reno mengetahui keberadaannya. Dan bisa-bisanya berusaha memfitnah Dea dengan Bian.

Gadis itu merasa sangat malu. Bahkan ia hanya mengenakan handuk saja.

Menyadari Dea yang sedang bersedih, Bian melepaskan jaket pada tubuhnya. Lalu memakaikannya kepada Dea.

Padahal tadi Bian sudah bersiap hendak menemui seseorang. Ia pikir Dea sudah tidur di kamarnya.

"Laporkan saja lelaki ini, Pak. Mereka bukan saudara kandung. Tidak ada hubungan darah. Jangan sampai mencemari nama baik kampung ini." Reno sangat senang mengompori Pak RT.

"Benar! Benar!" Yang lain ikut menimpali.

Pak RT menenangkan para warga. Ia berucap dengan tenang.

"Baiklah, saya berikan dua pilihan."

Para warga menyimak dengan seksama. Sedangkan Reno merasa gelisah karena lelaki itu masih diberikan pilihan.

Padahal ia ingin Bian dipenjara. Sehingga perusahaan papanya tidak harus bersaing lagi dengan perusahaan orang tua Bian yang kini dipegang oleh kakak angkat Dea tersebut.

"Kamu saya laporkan atau kalian harus menikah."

Seketika Reno terbelalak mendengar penuturan dari Pak RT. Begitupun Bian dan Dea. Mereka saling berpandangan sesaat.

Dea merasa galau. Tidak mungkin ia menikah dengan kakaknya sendiri. Tetapi ia juga tidak mau jika lelaki yang sejak kecil menemaninya itu dipenjara.

"Baik, saya akan menikahi Dea sekarang juga."

Dea terperanjat. Memasang wajah tidak percaya kepada kakaknya.

"Pak, tolong maafkan kami. Ini semua salah paham. Tidak seperti yang kalian bayangkan. Saya bisa jelaskan semuanya."

"Pak, saya juga tidak setuju jika mereka dinikahkan. Penjarakan saja lelaki ini," ucap Reno sambil menunjuk ke arah Bian.

Dea menggeleng lemah. Ia semakin membenci Reno.

"Sudah, sudah. Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Kita tetap adakan sebuah pernikahan agar mereka tetap bisa tinggal di sini."

Pak RT mendampingi proses pernikahan siri antara Bian dan Dea.

Hari itu Bian sibuk mempersiapkan segalanya. Sedangkan Dea hanya terdiam di kamarnya.

"Dea, bagaimana kalau kamu kabur saja. Ayo ikut bersamaku. Tinggal di apartemen pemberian papaku."

Sebuah pesan dari Reno sukses membuat Dea menjadi resah.

Meski Dea mengucapkan jika ia sudah tak percaya lagi dengan cinta, namun hatinya masih mengingat nama Reno yang sejak dulu mengisi hari-harinya setiap waktu.

"Balas Dea. Aku menantimu di bawah. Sebenarnya aku masih mencintaimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status