Share

4. Dinikahi CEO Tampan

"Nggak! Aku nggak boleh percaya lagi sama Reno. Aku yakin dia hanya ingin memanfaatkan kelemahanku kembali."

Sebuah suara kecil mengejutkan Dea. Ia dapat melihat pintu kamar yang terbuka perlahan. Menampilkan sesosok perempuan paruh baya. Ia adalah mama Dea.

"Sayang, kamu sudah siap?"

"Mama!" Dea segera memeluk sang mama.

Amelia membelai lembut kepala putrinya. Ia tahu jika Dea belum mau menikah. Apalagi baru saja diselingkuhi oleh tunangannya.

"Mama percaya 'kan sama Dea? Dea dan Kak Bian nggak nglakuin apa-apa."

"Maafkan mama, Sayang."

Amelia ikut bersedih. Ia merasa bersalah kepada putri kesayangannya tersebut.

"Ada apa, Ma? Kenapa Mama minta maaf?" tanya Dea penasaran.

"Sebenarnya Bian hendak membatalkan pernikahan ini. Tetapi mama yang memintanya untuk menikahimu. Papa tirimu meninggalkan banyak hutang Dea. Hanya Bian yang bisa menolong."

Dea membelalakkan matanya. Ia sangat terkejut mendengar penuturan sang mama.

"Mama?" Dea kesulitan untuk berkata-kata lagi.

"Kamu akan bersama Bian. Mama tidak mau jika papa tirimu nanti menjualmu, Dea. Itu bisa saja terjadi jika kamu tidak segera menikah."

Amelia segera memeluk putrinya. Berkali-kali ia meminta maaf karena salah lagi dalam memilih suami.

"Dea benci sama Kak Bian," lirih gadis itu sendu.

"Nggak boleh kayak gitu, Dea. Walau bagaimanapun nanti Bian akan menjadi suamimu. Kamu harus taat dan nurut sama dia."

Dea hanya bisa terdiam dan pasrah. Ia akan melakukan yang terbaik untuk mamanya meski harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

Dengan segala rasa bersalah, sang mama membujuk putrinya agar segera keluar dari kamar. Warga terdekat dari rumah itu sudah menanti sejak tadi.

Dengan mengenakan make up tipis dan gaun sederhana pemberian mamanya, Dea keluar untuk menemui Bian dan yang lainnya.

Gadis itu hendak duduk di samping Bian. Sesaat pendangan mereka saling bertemu. Dea masih merasa kesal. Ia kecewa dengan keputusan sepihak dari Bian.

Sedangkan Bian menatap Dea dengan segala kekagumannya. Meski Dea hanya mengenakan bedak tipis-tipis dan lipstik natural, ia terlihat begitu menawan.

'Dea, kamu sangat cantik!' batin Bian tidak dapat berdusta.

Sebuah tepukan mendarat di pundak Bian. Seketika ia menundukkan kepalanya sejenak.

"Dilanjut nanti malam. Halalkan dulu."

Bian hanya terdiam. Ia merasa malu. Perasaannya saat ini benar-benar tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Di sana juga ada papa kandung Dea. Memang Bian yang memohon agar lelaki paruh baya itu menjadi wali nikah putrinya. Sayang sekali papa Dea menyanggupinya setelah Bian memenuhi sebuah syarat darinya.

Dengan lantang dan penuh keyakinan Bian mengucapkan ijab kabul.

Terdengar ucapan hamdalah yang saling bersahutan setelah Bian berhasil menghalalkan Dea—perempuan yang sangat ia cintai.

Berbeda dengan Dea. Tidak ada kebahagiaan yang ia rasakan. Ia justru semakin membenci Bian.

Satu per satu para warga berpamitan. Begitu pula papa dan mama Dea. Mereka langsung meninggalkan Bian dan Dea di rumahnya.

Dea segera masuk ke dalam kamarnya. Ia sudah merasa gerah.

"Kamu beneran mau tidur di sini?" tanya Bian seraya dagunya menunjuk ke arah kamar yang ditempati Dea.

"Jangan harap Dea mau tidur satu ranjang dengan Kakak. Nggak akan pernah!" ancam Dea tegas.

Bian hanya mampu menghembuskan nafas berat. Tanpa berkata-kata ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Bian mengetik nama Dea pada sebuah kertas, lalu memberikannya kepada gadis itu.

"Baca dan tanda tangani," ucap Bian santai.

Dea menaikkan sebelah alisnya. Tangannya meraih kertas itu dan membacanya.

"Surat perjanjian pernikahan?"

Bian mengangguk yakin. "Satu tahun pernikahan kontrak ini. Setelah itu kamu bebas berbuat apapun yang kamu mau. Bahkan kamu berhak mendapatkan sebagai harta pemberian dari papaku."

Dea memandangi kertas di tangannya. 'Jadi karena itu Kak Bian bersikeras mau menikahiku. Untuk mendapatkan warisan dari keluarganya.'

Dengan cepat Dea menandatangani surat perjanjian itu. Ia meyakinkan diri jika satu tahun bukan waktu yang lama.

"Dea sudah menandatanganinya." Gadis itu menyerahkan kembali kertas itu kepada Bian.

CEO tampan itu segera kembali ke kamarnya. Ia berniat untuk mengemasi baju-baju Dea dari almari.

Melihat Bian sudah pergi, Dea berusaha untuk melepaskan pakaiannya. Ia cukup kesulitan karena gaunnya menggunakan resleting panjang di bagian belakang.

"Ya ampun! Ini kenapa susah sekali. Tangan Dea kurang panjang."

Tiba-tiba saja Bian sudah berdiri di ambang pintu kamar Dea.

"Butuh bantuan?" tanya Bian lirih.

"Kenapa Kakak ke sini? Buat apa? Awas ya, jangan macam-macam."

"Kakak cuma mau anterin baju-baju buat kamu. Kakak pikir kamu mau tidur di kamar utama. Ini baju-baju baru dan sisanya masih ada di kamar sana," terang Bian sambil menunjuk ke arah kamarnya.

Bian meletakkan baju-baju itu di atas ranjang. Kemudian berjalan ke luar kamar.

"Eh, mau ke mana?" teriak Dea.

"Mau cari makan di luar. Mau ikut?" tanya Bian santai.

"Ini tolongin dulu. Tega banget!" gerutunya.

Bian tersenyum tipis. Ia berjalan menghampiri Dea dan membantu melepaskan pakaian istri barunya tersebut.

***

Dea mengurungkan niatnya untuk mandi. Ia hanya mencuci wajah saja dan segera menyusul Bian yang sudah menantinya di depan rumah.

"Kenapa sih, perut nggak bisa diajak kompromi. Mana laper banget!" Dea kembali menggerutu seorang diri.

Gadis itu segera menghampiri kakak angkat yang kini sudah menjadi suaminya.

Bian hendak menggandeng tangan Dea, namun dengan cepat gadis itu menarik tangannya dan berjalan mendahului Bian menuju mobil.

Bian masih berusaha bersikap tenang. Dulu mereka terbiasa jalan beriringan dan saling bergandengan tangan.

Sepanjang perjalanan, Dea hanya diam. Ia lebih suka melihat ke arah luar. Tidak peduli Bian akan membawanya ke mana.

Teryata Bian mengajak Dea makan di sebuah restoran yang cukup mewah. Padahal biasanya hanya makan di warung pinggir jalan.

Kini mereka duduk bersebrangan dengan sebuah meja di tengah-tengahnya. Dea hanya bisa memainkan jari-jarinya. Ia ketuk-ketukkan ke atas meja sesuka hatinya. Sementara Bian sibuk dengan ponselnya.

"Sebel banget!" Karena terburu-buru, ponsel Dea ketinggalan di kamarnya.

Dea sudah merasa bosan, tetapi sesaat kemudian makanan dan minuman yang dipesan telah datang.

Semua yang ada di atas meja adalah menu makanan favorit Dea. Dan yang memesan adalah Bian.

"Makan yang banyak biar tidak stress," celetuk Bian tanpa melihat ke arah istrinya.

"Suka-suka Dea lah," balas gadis itu sambil melirik kesal ke arah suaminya.

Tiada percakapan lagi setelah itu. Bian sibuk menikmati makanan. Sementara Dea melirik sekilas ke arah kakaknya. Ia langsung mengambil ponsel Bian tanpa meminta ijin terlebih dahulu.

Gadis itu sibuk mengambil foto beraneka macam makanan favorit yang ada di depannya tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Ternyata masih sama. Ponselnya nggak pakai pin."

Bian hanya mampu geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah Dea.

"Tidak pernah berubah!"

Dea merasa tersindir. Harusnya ia mampu menjaga image malam itu.

Gadis itu segera meletakkan ponsel yang ia pegang lalu menikmati makanannya. Takut jika kejadian dulu terulang kembali.

Kala itu Bian sudah terlalu lama menunggu Dea. Akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya seorang diri tanpa melakukan pembayaran terlebih dahulu.

Dea sampai harus mencuci piring waktu itu karena lupa membawa dompet. Dan tiba di rumah justru Bian menertawakannya.

"Kenapa terburu-buru?" tanya Bian kemudian.

"Takut ditinggalin!" jawab Dea jujur.

Bian terkekeh. Padahal ia tidak terpikirkan hal itu sama sekali. Mana mungkin ia meninggalkan istri cantiknya seorang diri di tempat itu.

"Pelan-pelan saja. Kakak tidak sibuk malam ini. Apalagi tidak bisa unboxing!"

Bian segera membuang muka saat menyadari ekor mata milik Dea melihatnya dengan tajam.

'Apa maksudnya ngomong begituan? Nyebelin banget.'

Dea tak ingin ambil pusing. Ia melahap habis semua makanan yang ada sampai kekenyangan.

Setelah merasa kenyang, keduanya memilih untuk langsung pulang ke rumah.

Belum ada setengah perjalanan, Dea sudah ketiduran. Bahkan ia tertidur sangat lelap saat mobil Bian telah berhenti di depan rumahnya.

Mulanya Bian berusaha untuk membangunkan Dea, tetapi gadis itu tidak juga membuka kedua matanya.

"Kasihan sekali kamu, Dea. Pasti ini karena kamu terlalu banyak menangis."

Dengan hati-hati Bian menggendong tubuh Dea ala bridal style. Tidak peduli jika gadis itu akan marah saat menyadarinya.

Tubuh Dea cukup berat. Bian cukup kesulitan saat membuka pintu rumahnya. Dan saat hendak membuka pintu kamar Dea, rupanya pintunya terkunci.

"Ada-ada saja, Dea. Pakai dikunci segala."

Terpaksa Bian membawa Dea ke kamarnya. Membaringkan tubuh sang istri di ranjangnya.

Sesaat Bian bisa menikmati wajah lelah Dea yang membuatnya semakin bertambah sayang.

"Maafkan aku, Dea. Hanya dengan cara ini aku bisa melindungi dan menjaga kamu setiap waktu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu."

Malam itu mereka tidur di ranjang yang sama dan satu selimut. Bian merasa sangat bahagia. Ia benar-benar puas bisa memandang wajah sang istri begitu dekat.

Keesokan harinya Dea terbangun terlebih dahulu. Ia merasakan tangannya tengah memeluk sesuatu yang membuatnya merasa nyaman. Begitu menyadari ada yang salah, ia berteriak cukup kencang.

"Aaaaaa ...!!!"

Gadis itu merasa syok melihat wajah Bian begitu dekat dengannya. Bahkan bibir mereka hampir saling menyentuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status