"Nggak! Aku nggak boleh percaya lagi sama Reno. Aku yakin dia hanya ingin memanfaatkan kelemahanku kembali."
Sebuah suara kecil mengejutkan Dea. Ia dapat melihat pintu kamar yang terbuka perlahan. Menampilkan sesosok perempuan paruh baya. Ia adalah mama Dea."Sayang, kamu sudah siap?""Mama!" Dea segera memeluk sang mama.Amelia membelai lembut kepala putrinya. Ia tahu jika Dea belum mau menikah. Apalagi baru saja diselingkuhi oleh tunangannya."Mama percaya 'kan sama Dea? Dea dan Kak Bian nggak nglakuin apa-apa.""Maafkan mama, Sayang."Amelia ikut bersedih. Ia merasa bersalah kepada putri kesayangannya tersebut."Ada apa, Ma? Kenapa Mama minta maaf?" tanya Dea penasaran."Sebenarnya Bian hendak membatalkan pernikahan ini. Tetapi mama yang memintanya untuk menikahimu. Papa tirimu meninggalkan banyak hutang Dea. Hanya Bian yang bisa menolong."Dea membelalakkan matanya. Ia sangat terkejut mendengar penuturan sang mama."Mama?" Dea kesulitan untuk berkata-kata lagi."Kamu akan bersama Bian. Mama tidak mau jika papa tirimu nanti menjualmu, Dea. Itu bisa saja terjadi jika kamu tidak segera menikah."Amelia segera memeluk putrinya. Berkali-kali ia meminta maaf karena salah lagi dalam memilih suami."Dea benci sama Kak Bian," lirih gadis itu sendu."Nggak boleh kayak gitu, Dea. Walau bagaimanapun nanti Bian akan menjadi suamimu. Kamu harus taat dan nurut sama dia."Dea hanya bisa terdiam dan pasrah. Ia akan melakukan yang terbaik untuk mamanya meski harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.Dengan segala rasa bersalah, sang mama membujuk putrinya agar segera keluar dari kamar. Warga terdekat dari rumah itu sudah menanti sejak tadi.Dengan mengenakan make up tipis dan gaun sederhana pemberian mamanya, Dea keluar untuk menemui Bian dan yang lainnya.Gadis itu hendak duduk di samping Bian. Sesaat pendangan mereka saling bertemu. Dea masih merasa kesal. Ia kecewa dengan keputusan sepihak dari Bian.Sedangkan Bian menatap Dea dengan segala kekagumannya. Meski Dea hanya mengenakan bedak tipis-tipis dan lipstik natural, ia terlihat begitu menawan.'Dea, kamu sangat cantik!' batin Bian tidak dapat berdusta.Sebuah tepukan mendarat di pundak Bian. Seketika ia menundukkan kepalanya sejenak."Dilanjut nanti malam. Halalkan dulu."Bian hanya terdiam. Ia merasa malu. Perasaannya saat ini benar-benar tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.Di sana juga ada papa kandung Dea. Memang Bian yang memohon agar lelaki paruh baya itu menjadi wali nikah putrinya. Sayang sekali papa Dea menyanggupinya setelah Bian memenuhi sebuah syarat darinya.Dengan lantang dan penuh keyakinan Bian mengucapkan ijab kabul.Terdengar ucapan hamdalah yang saling bersahutan setelah Bian berhasil menghalalkan Dea—perempuan yang sangat ia cintai.Berbeda dengan Dea. Tidak ada kebahagiaan yang ia rasakan. Ia justru semakin membenci Bian.Satu per satu para warga berpamitan. Begitu pula papa dan mama Dea. Mereka langsung meninggalkan Bian dan Dea di rumahnya.Dea segera masuk ke dalam kamarnya. Ia sudah merasa gerah."Kamu beneran mau tidur di sini?" tanya Bian seraya dagunya menunjuk ke arah kamar yang ditempati Dea."Jangan harap Dea mau tidur satu ranjang dengan Kakak. Nggak akan pernah!" ancam Dea tegas.Bian hanya mampu menghembuskan nafas berat. Tanpa berkata-kata ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Bian mengetik nama Dea pada sebuah kertas, lalu memberikannya kepada gadis itu."Baca dan tanda tangani," ucap Bian santai.Dea menaikkan sebelah alisnya. Tangannya meraih kertas itu dan membacanya."Surat perjanjian pernikahan?"Bian mengangguk yakin. "Satu tahun pernikahan kontrak ini. Setelah itu kamu bebas berbuat apapun yang kamu mau. Bahkan kamu berhak mendapatkan sebagai harta pemberian dari papaku."Dea memandangi kertas di tangannya. 'Jadi karena itu Kak Bian bersikeras mau menikahiku. Untuk mendapatkan warisan dari keluarganya.'Dengan cepat Dea menandatangani surat perjanjian itu. Ia meyakinkan diri jika satu tahun bukan waktu yang lama."Dea sudah menandatanganinya." Gadis itu menyerahkan kembali kertas itu kepada Bian.CEO tampan itu segera kembali ke kamarnya. Ia berniat untuk mengemasi baju-baju Dea dari almari.Melihat Bian sudah pergi, Dea berusaha untuk melepaskan pakaiannya. Ia cukup kesulitan karena gaunnya menggunakan resleting panjang di bagian belakang."Ya ampun! Ini kenapa susah sekali. Tangan Dea kurang panjang."Tiba-tiba saja Bian sudah berdiri di ambang pintu kamar Dea."Butuh bantuan?" tanya Bian lirih."Kenapa Kakak ke sini? Buat apa? Awas ya, jangan macam-macam.""Kakak cuma mau anterin baju-baju buat kamu. Kakak pikir kamu mau tidur di kamar utama. Ini baju-baju baru dan sisanya masih ada di kamar sana," terang Bian sambil menunjuk ke arah kamarnya.Bian meletakkan baju-baju itu di atas ranjang. Kemudian berjalan ke luar kamar."Eh, mau ke mana?" teriak Dea."Mau cari makan di luar. Mau ikut?" tanya Bian santai."Ini tolongin dulu. Tega banget!" gerutunya.Bian tersenyum tipis. Ia berjalan menghampiri Dea dan membantu melepaskan pakaian istri barunya tersebut.***Dea mengurungkan niatnya untuk mandi. Ia hanya mencuci wajah saja dan segera menyusul Bian yang sudah menantinya di depan rumah."Kenapa sih, perut nggak bisa diajak kompromi. Mana laper banget!" Dea kembali menggerutu seorang diri.Gadis itu segera menghampiri kakak angkat yang kini sudah menjadi suaminya.Bian hendak menggandeng tangan Dea, namun dengan cepat gadis itu menarik tangannya dan berjalan mendahului Bian menuju mobil.Bian masih berusaha bersikap tenang. Dulu mereka terbiasa jalan beriringan dan saling bergandengan tangan.Sepanjang perjalanan, Dea hanya diam. Ia lebih suka melihat ke arah luar. Tidak peduli Bian akan membawanya ke mana.Teryata Bian mengajak Dea makan di sebuah restoran yang cukup mewah. Padahal biasanya hanya makan di warung pinggir jalan.Kini mereka duduk bersebrangan dengan sebuah meja di tengah-tengahnya. Dea hanya bisa memainkan jari-jarinya. Ia ketuk-ketukkan ke atas meja sesuka hatinya. Sementara Bian sibuk dengan ponselnya."Sebel banget!" Karena terburu-buru, ponsel Dea ketinggalan di kamarnya.Dea sudah merasa bosan, tetapi sesaat kemudian makanan dan minuman yang dipesan telah datang.Semua yang ada di atas meja adalah menu makanan favorit Dea. Dan yang memesan adalah Bian."Makan yang banyak biar tidak stress," celetuk Bian tanpa melihat ke arah istrinya."Suka-suka Dea lah," balas gadis itu sambil melirik kesal ke arah suaminya.Tiada percakapan lagi setelah itu. Bian sibuk menikmati makanan. Sementara Dea melirik sekilas ke arah kakaknya. Ia langsung mengambil ponsel Bian tanpa meminta ijin terlebih dahulu.Gadis itu sibuk mengambil foto beraneka macam makanan favorit yang ada di depannya tanpa merasa bersalah sama sekali."Ternyata masih sama. Ponselnya nggak pakai pin."Bian hanya mampu geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah Dea."Tidak pernah berubah!"Dea merasa tersindir. Harusnya ia mampu menjaga image malam itu.Gadis itu segera meletakkan ponsel yang ia pegang lalu menikmati makanannya. Takut jika kejadian dulu terulang kembali.Kala itu Bian sudah terlalu lama menunggu Dea. Akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya seorang diri tanpa melakukan pembayaran terlebih dahulu.Dea sampai harus mencuci piring waktu itu karena lupa membawa dompet. Dan tiba di rumah justru Bian menertawakannya."Kenapa terburu-buru?" tanya Bian kemudian."Takut ditinggalin!" jawab Dea jujur.Bian terkekeh. Padahal ia tidak terpikirkan hal itu sama sekali. Mana mungkin ia meninggalkan istri cantiknya seorang diri di tempat itu."Pelan-pelan saja. Kakak tidak sibuk malam ini. Apalagi tidak bisa unboxing!"Bian segera membuang muka saat menyadari ekor mata milik Dea melihatnya dengan tajam.'Apa maksudnya ngomong begituan? Nyebelin banget.'Dea tak ingin ambil pusing. Ia melahap habis semua makanan yang ada sampai kekenyangan.Setelah merasa kenyang, keduanya memilih untuk langsung pulang ke rumah.Belum ada setengah perjalanan, Dea sudah ketiduran. Bahkan ia tertidur sangat lelap saat mobil Bian telah berhenti di depan rumahnya.Mulanya Bian berusaha untuk membangunkan Dea, tetapi gadis itu tidak juga membuka kedua matanya."Kasihan sekali kamu, Dea. Pasti ini karena kamu terlalu banyak menangis."Dengan hati-hati Bian menggendong tubuh Dea ala bridal style. Tidak peduli jika gadis itu akan marah saat menyadarinya.Tubuh Dea cukup berat. Bian cukup kesulitan saat membuka pintu rumahnya. Dan saat hendak membuka pintu kamar Dea, rupanya pintunya terkunci."Ada-ada saja, Dea. Pakai dikunci segala."Terpaksa Bian membawa Dea ke kamarnya. Membaringkan tubuh sang istri di ranjangnya.Sesaat Bian bisa menikmati wajah lelah Dea yang membuatnya semakin bertambah sayang."Maafkan aku, Dea. Hanya dengan cara ini aku bisa melindungi dan menjaga kamu setiap waktu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu."Malam itu mereka tidur di ranjang yang sama dan satu selimut. Bian merasa sangat bahagia. Ia benar-benar puas bisa memandang wajah sang istri begitu dekat.Keesokan harinya Dea terbangun terlebih dahulu. Ia merasakan tangannya tengah memeluk sesuatu yang membuatnya merasa nyaman. Begitu menyadari ada yang salah, ia berteriak cukup kencang."Aaaaaa ...!!!"Gadis itu merasa syok melihat wajah Bian begitu dekat dengannya. Bahkan bibir mereka hampir saling menyentuh.Bian membuka kedua matanya. Ia berucap dengan tenang. Sudah memprediksikan sebelumnya jika Dea akan histeris karena ulahnya."Masih pagi Dea. Kenapa berteriak seperti itu?"Bian memandangi Dea tanpa rasa bersalah sama sekali. Meski sebenarnya hatinya merasa takut jika Dea bertambah marah dan benci kepadanya."Kenapa Dea bisa tidur di sini?"Dea melihat tubuhnya dibalik selimut. Takut jika Bian memanfaatkan keadaan."Pasti Kakak sengaja, ya?" Meski pakaian yang dikenakan gadis itu masih sama seperti tadi malam, Dea tetap tidak terima. Ia menganggap Bian sengaja ingin tidur berdua dengannya.Bian hanya geleng-geleng kepala. Ia bangun dari tidurnya dengan tubuh bagian atas yang tidak mengenakan apa-apa.Dea berusaha tetap tenang. Sudah lama ia tidak melihat Bian seperti itu. Dulu kakak angkatnya tersebut sangat kurus dan tidak berotot. Tetapi kini sungguh berbeda jauh."Kenapa kamu mengunci pintu kamarmu? Kamu ketiduran di mobil. Dan kakak bangunkan berkali-kali tetap tidak mau membuka
"Dea, kakak mau bicara sama kamu!" Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Bian segera menarik tangan gadis itu untuk meninggalkan David yang masih terbengong di tempatnya."Kakak?" David tidak begitu paham mengapa mereka terlihat sangat dekat.Setelah keluar dari area kantin, Bian masih menggenggam tangan Dea begitu kuat. Ia membawa gadis itu masuk ke dalam lift yang kebetulan sepi."Ih, lepaskan! Apa-apaan sih, Kak Bian! Sakit!" rintih Dea. Ia merasa kesal dengan sikap kakaknya."Kenapa kamu dekat-dekat sama cowok lain?" ujar Bian tegas. Kali ini ia benar-benar merasa cemburu."Bukan urusan Kakak!" Dea sedikit membentak. Ia tidak suka diatur-atur oleh siapapun.Bian terdiam. Ia mencoba menahan emosinya agar tidak meledak hingga menyakiti wanita yang dicintainya.Bian mendorong tubuh istrinya hingga gadis itu tidak dapat bergerak. Ia mengunci tubuh Dea dan menautkan jemarinya pada jari-jari gadis bertubuh mungil itu."Aku ini suami kamu, Dea!" lirih Bian seraya mendekatkan wajahnya. Ia pand
Dea menggeser posisinya ke kanan sedangkan lelaki berpenampilan urakan itu ikut duduk tepat di sisi kirinya."Sa–saya mau pulang Bang," jawab Dea terbata.Gadis itu terus membatin di dalam hatinya. Berharap ada seseorang berhati baik yang mau menolong."Bagaimana kalau kita bersenang-senang sebentar dengannya, Bos. Mumpung lagi sepi," ucap salah satu anak buah lelaki itu sambil memperhatikan keadaan sekeliling."Sepertinya dia anak baru di sini," ujar yang lain ikut menimpali."Saya harus pergi."Tanpa berpikir panjang lagi Dea segera meninggalkan tempat itu. Lebih baik ia berjalan menuju keramaian. Tetapi sayangnya para preman itu terus mengikuti Dea. Semakin Dea mempercepat langkah kakinya, semakin para lelaki itu bersemangat untuk mengejarnya.Hingga akhirnya mereka berhasil mengepung Dea. Gadis itu tidak bisa lagi bergerak untuk kabur."Apa yang kalian inginkan! Tolong pergi! Jangan sakiti saya."Dea mengiba. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil menundukkan kepalanya."Kamu tidak p
Bian berniat untuk menggantikan pakaian istrinya agar tidak merasa sesak. Namun sungguh di luar kuasanya. Lelaki itu justru terpesona dengan kulit putih dan bersih milik Dea."Jangan hiraukan itu Bian! Kau bisa membuatnya semakin membencimu."Setelah beberapa menit lamanya, Bian sudah berhasil mengganti pakaian Dea dengan piyama tidur yang longgar.Lalaki itu bangga dengan dirinya sendiri karena masih bisa untuk mengontrol diri agar tidak bertindak lebih kepada istrinya.Bian segera menyelimuti tubuh Dea hingga ke lehernya. Setelah itu ia keluar dari kamar dan berniat untuk tidur di kamarnya sendiri.***Pagi harinya Bian bersemangat untuk membuat sarapan nasi goreng. Ia sengaja menyediakan dua porsi untuk dirinya sendiri juga untuk istrinya."Aaaaa....!!!!"Sebuah teriakan melengking dari kamar Dea mengejutkan Bian seketika. Lelaki itu hampir saja menjatuhkan makanannya."Kenapa lagi dengan Dea?"Bian segera berjalan menuju kamar istrinya. Ia mencoba untuk membuka pintu kamar Dea, tet
"Kenapa kamu mau menjadi sekretaris di perusahaan ini?"Bian berdiri dari tempatnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celananya."Kau masih jadi simpanan Papa Reza? Bagaimana jika dia selingkuh dengan sekretarisnya?" ucap Bian dengan santai. Ia ingin Mawar sadar bahwa semua tindakannya tidak benar."Aku tidak peduli Pak Bian. Sepertinya sekarang aku mulai tertarik denganmu. Aku akan membuatmu bertekuk lutut kepadaku," balas Mawar tak kalah santai.Ia sangat yakin bisa meluluhkan hati Bian. Tidak ada lelaki yang bisa menolak pesonanya.Bian segera menjauh dari tubuh Mawar ketika menyadari wanita itu mulai berulah lagi."Jangan pernah berharap. Dan mulai besok, gunakan pakaian yang lebih sopan."Bian meninggalkan Mawar seorang diri. Ia keluar dari ruangannya hendak menemui seseorang yang mengadakan janji temu dengannya."Lebih baik aku tidak mengajak Mawar."CEO tampan itu melangkah dengan tenang. Di saat itu teleponnya berdering. Bian berbicara sambil berjalan, namun langkahnya
"Auh! Kakiku!" keluh Dea. Ia merasakan kakinya sakit. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada kaki kanannya.Bian menyadari perubahan raut wajah Dea. Seolah gadis itu merasa tidak nyaman. "Apa yang terjadi Dea?" tanya Bian khawatir. Ia masih menopang tubuh istrinya.Tanpa menunggu jawaban dari Dea, CEO tampan itu segera mengangkat tubuh istrinya ala bridal style. Membuat pandangan orang-orang tertuju kepada mereka. Tak terkecuali dengan Reno yang menghentikan dansanya bersama Mawar.Bian langsung membawa Dea ke dalam mobil dan berniat untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Ia tak peduli dengan tatapan tajam dari semua orang."Sial! Pasti dia sengaja memanas-manasiku!" umpat Reno tidak terima. Lelaki itu pun mengajak Mawar pergi dari acara makan malam tersebut.Setelah menunggu beberapa menit, seorang dokter telah selesai memeriksa Dea."Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" ucap Bian merasa khawatir dengan keadaan Dea."Bapak tidak perlu khawatir. Kakinya hanya keseleo saja."Dea
Sebuah suara jeritan memenuhi ruang kamar kecil itu. Dea menahan rasa sakit yang luar biasa pada inti tubuhnya. Begitu menyakitkan baginya.Air mata terus mengalir deras dari kedua mata milik Dea. Namun Bian tak peduli sama sekali. Ia terus bergerak sesuka hatinya sambil sesekali meracau menyebut nama Dea."Cukup Kak," ucap Dea namun tersekat di tenggorokannya.Beberapa jam berlalu. Bian mulai terkapar lemah di sebelah Dea. Gadis itu menangis hingga ikut tertidur di samping seorang lelaki yang telah merenggut kesuciannya.Keesokan harinya Dea terbangun terlebih dahulu. Ia masih merasakan sakit yang tiada terkira.Perlahan gadis yang tak lagi perawan itu mulai bangun. Ia mencoba melangkah menuju kamar mandi. Jalannya tertatih seakan sangat sulit untuk bergerak bebas.Dea mengahabiskan waktunya di bawah kucuran air shower. Hatinya sakit meski sebenarnya akan lebih sakit jika Bian melakukan hal itu dengan Mawar."Kenapa Kak Bian tega?"Dea memejamkan sejenak kedua matanya. Tanpa terasa a
"Mawar apa yang sedang kamu lakukan?" Bian menaikkan sebelah alisnya sambil membetulkan dasinya."P–Pak Bian?" Tergagap Mawar menjawab pertanyaan dari sang atasan.Bian melihat jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Seharusnya mereka sudah berada di ruangan kerja masing-masing."Ikut ke ruangan saya!" perintah Bian kepada sekretarisnya. Ia ingin Mawar tidak bertindak seenaknya sendiri saat di kantor tempatnya bekerja.Mawar pun hanya menurut saja. Tidak mungkin ia melawan saat di kantor. Ia pun tidak mau dipecat secepat itu.Sementara dari kejauhan, Dea tengah memperhatikan. Kini ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ada rasa cemburu tiap kali melihat Bian dengan Mawar. Apalagi setelah kejadian tadi malam."Apa benar Kak Bian mencintaiku? Atau dia juga ada affair dengan Mawar?"Meski kesal dan sangat sakit hati dengan Mawar, Dea tidak ingin bertindak gegabah. Ia harus bisa membalaskan dendamnya kepada Mawar dengan cara yang licik.Gadis itu pun tidak ingin terba