Begitu pintu lift tertutup dan para tamu turun ke lobi, suasana di penthouse mendadak terasa lengang. Adellia berdiri mematung di dekat jendela, matanya menatap bias lampu kota malam hari, sementara Keenan berjalan perlahan ke arahnya dengan gelas anggur di tangan.
"Dia menjengkelkan," ucap Keenan pelan.
Adellia tak perlu bertanya siapa yang dimaksud. “Dia memang begitu. Tapi tak seburuk Rico.”
Keenan menghela napas, lalu meletakkan gelasnya di meja dekat sofa. “Kupikir aku cukup ahli membaca niat orang. Tapi Qalest... dia lebih beracun dari yang kuduga.”
Adellia menoleh. “Dia ingin tempatku. Itu sudah jelas sejak dulu.”
“Aku tahu.” Keenan menyandarkan tubuh ke sandaran sofa. “Tapi aku tak suka dia mengganggumu. Terutama di rumah ini.”
Kata “rumah” terdengar asing, tapi hangat. Membuat dada Adellia sedikit sesak.
“Kamu tidak perlu repot membelaku,” gumamnya. “Ini cuma sementara, kan?”
Keenan mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Justru karena sementara... aku ingin memastikan kamu tenang selama di sini.”
Tatapan mata mereka bertemu. Tidak setegang sebelumnya, tapi belum sepenuhnya lunak.
“Aku akan pastikan Qalest atau Rico tak bisa menyentuhmu. Rumah ini, batas mereka. Dan kamu... berada di pusatnya.”
Adellia ingin menjawab, tapi mulutnya seakan terkunci. Ada ketegangan aneh yang menggantung di antara mereka—bukan karena konflik, tapi karena perlindungan yang terdengar... tulus.
Keenan mengangkat bahu, santai. “Lain kali dia datang, aku akan pastikan dia tak keluar dengan senyum.”
Adellia tersenyum samar. “Mengerikan juga ya, punya suami mafia kaya kamu.”
“Mengerikan?” Keenan mengangkat alis, berjalan mendekat dan berbisik, “Tunggu sampai kamu lihat aku marah betulan.”
Adellia tertawa pelan. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa... sedikit lebih aman.
**
Mobil hitam berkilap sudah menunggu, mobil yang sengaja disiapkan Keenan untuk menjemput sekaligus mengantar keluarga Mahesa. Keenan berdiri tegak di samping Adellia, satu tangannya melingkari pinggang istrinya dengan santai namun penuh penguasaan. Adellia sempat kaku, tapi saat tangan Keenan sedikit menekan lembut punggungnya, ia terpaksa menyesuaikan diri—tampak alami.
“Terima kasih, Keenan,” ujar Bram, terlihat sedikit tersentuh. “Kami lega... melihat kalian tampak serasi. Mungkin kami memang terlalu terburu-buru menilai.”
Maya mengangguk, matanya menyapu seisi penthouse dengan senyum tipis penuh arti. “Ternyata kamu bisa juga berdandan seperti nyonya rumah, Adellia. Aku sempat khawatir kamu akan menjatuhkan citra keluarga di tempat semewah ini.”
Adellia membalas senyuman itu dengan sopan tapi datar. “Syukurlah, seleraku rupanya masih cukup pantas untuk dinilai oleh selera ibu.”
Qalest berdiri setengah memutar wajahnya. Bibirnya mengatup keras, menyimpan amarah yang membara. Tapi ia tetap menjaga senyum tipis di hadapan para orang tua, tak ingin memperlihatkan amarahnya terlalu jelas.
“Adellia,” Qalest berkata, mendekat selangkah. “Kau beruntung punya Keenan. Jangan sia-siakan, ya.”
Nada suaranya terdengar manis, tapi matanya menusuk.
Adellia mengangguk pelan. “Tenang saja. Aku tahu apa yang harus kulakukan dengan yang menjadi milikku.”
Keenan tertawa kecil mendengar itu. “Dan aku tahu bagaimana mempertahankan milikku,” timpalnya, lalu memiringkan wajah dan mencium kening Adellia dengan tenang, tepat di hadapan mereka semua.
Sentuhan lembut itu mengejutkan Adellia—tapi ia tidak mundur. Sebaliknya, ia menahan napas dan tersenyum pada Keenan, seolah ciuman itu bukan bagian dari akting, melainkan bagian dari keseharian mereka.
Maya mendesah pelan, lalu menepuk tangan kecilnya dua kali. “Pertunjukan yang mengesankan. Kalau aku tahu kalian bisa sekongkol sebaik ini, mungkin dulu aku tidak perlu terlalu khawatir dengan masa depanmu, Adellia.” Bisiknya menusuk.
Adellia tetap tenang. “Maaf mengecewakan harapan Ibu yang... sangat rendah itu.” Balasnya.
Keenan lalu membukakan pintu mobil untuk ketiga tamu itu. Setelah mereka masuk, ia berdiri tegak, mengangkat satu tangan sebagai salam perpisahan. Adellia berdiri di sampingnya, menggenggam lengan Keenan tanpa diminta.
Begitu mobil meluncur menjauh, Keenan berbisik di telinganya. “Kau aktor alami.”
Adellia menatapnya cepat. “Dan kamu, sutradara penuh kejutan.”
Mereka tertawa pelan, lalu berjalan beriringan kembali masuk ke penthouse. Tapi jauh di dalam hati, keduanya tahu—apa yang mereka tampilkan barusan bukan sekadar pertunjukan.
**
Langkah kaki Rico terdengar tergesa di koridor panjang rumah keluarga Mahendra. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Dua penjaga pribadi sang kakek hanya membungkuk hormat ketika pintu ruang kerja terbuka, dan Rico menerobos masuk tanpa mengetuk.
“Kakek!” suaranya membelah ruangan yang dipenuhi buku dan lukisan klasik.
Di balik meja kayu jati besar, sang kepala keluarga, Mahendra Gunawan, tetap duduk tenang. Tangan kirinya memegang cangkir teh yang belum disentuh, matanya menatap keluar jendela besar seolah kehadiran cucunya tak terlalu penting.
Rico mengepalkan tinjunya. “Apa yang Kakek lakukan?! Menikahkan Adellia dengan Keenan? Itu memalukan!”
Mahendra akhirnya menoleh, sorot matanya tajam bagai belati. “Memalukan? Tidak, Rico. Memalukan adalah kamu, yang berselingkuh dengan adik tirinya dan hampir menghancurkan nama baik keluarga.”
Rico melangkah maju. “Tapi aku tunangannya! Kakek tahu sendiri, selama ini aku yang Kakek persiapkan untuk menikah dengan Adellia! Lalu datang Keenan—orang yang bahkan sudah disingkirkan dari silsilah keluarga! Kenapa Kakek memberinya jalan kembali?!”
Mahendra meletakkan cangkir dengan pelan, bunyinya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Rico diam sesaat.
“Kamu tunangannya... sampai kamu merusak semua yang sudah kami bangun.” Ia berdiri, tubuh tuanya tetap memancarkan wibawa tak tergoyahkan. “Aku tidak butuh orang yang lemah dan ceroboh. Aku butuh penerus yang bisa menjaga kehormatan keluarga. Dan Keenan—meski kau benci mengakuinya—adalah pilihan yang lebih layak saat ini.”
Rico menatap sang kakek dengan mata membara. “Aku tidak akan tinggal diam, Kek. Aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku. Termasuk Adellia.”
Mahendra mendekat, berdiri di hadapan cucunya, hanya terpaut beberapa inci.
“Kalau kau benar-benar ingin membuktikan dirimu, lakukan dengan kepala dingin, bukan dengan emosi. Tapi satu hal yang harus kau ingat, Rico...” Suaranya menurun, tetapi menggema dalam. “Jika kau menyentuh Adellia atau Keenan tanpa perhitungan, maka bukan hanya warisan yang akan kau kehilangan—tapi juga nama Mahendra dari belakang namamu.”
“Slide keempat tolong diganti. Visualnya terlalu padat, kita butuh sesuatu yang lebih clean tapi tetap powerful,” ujar Adellia sambil berdiri di depan layar besar ruang meeting privat Divisi Kreatif.Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana panjang hitam, rambutnya diikat rapi. Wajahnya penuh konsentrasi, meski ada lelah yang samar terlihat.“Presentasi kita ke investor tinggal lima hari. Aku nggak mau ada satu pun celah,” lanjutnya tegas.Timnya mencatat dengan cepat, sebagian menatap layar laptop, sebagian lagi mengikuti arah tangan Adellia yang menunjukkan poin demi poin penting di slide.Setelah tiga hari kembali bekerja, Adellia kembali jadi versi dirinya yang paling tajam. Profesional, tegas, dan nyaris tanpa cela. Keberadaan Rico di ruang rapat sebelumnya memang sempat mengusik fokusnya—tapi hanya sebentar. Ia menolak membiarkan masa lalu mendikte masa depannya.“Tim riset, pastikan data pengguna dari kuartal terakhir benar-benar uptodate. Aku ingin angka yang valid, buk
“Dan semua tetap terkendali,” gumam Adellia sambil menatap ke piring kosong di depannya. “Kau sungguh profesional, Tuan Daviero.”Keenan tersenyum tipis. Tapi tak ada kehangatan di dalamnya.“Profesionalisme menyelamatkan kita dari banyak hal. Termasuk dari patah hati.”“Kalau begitu,” ucap Adellia, fokusnya kembali ke piring yang sedang ia bilas, “mari pastikan tidak ada yang melenceng dari kontrak. Bahkan sekadar genggaman tangan.”Keenan terdiam. Lalu, ia mengambil gelas wine-nya dan berjalan perlahan ke arah jendela besar yang menghadap kota.“Catatan yang bagus, Nyonya Daviero,” ujarnya, menyesap anggurnya. “Aku akan mengingatnya baik-baik.”**Langit pagi itu mendung, seolah ikut mencerminkan perasaan Adellia yang setengah enggan melangkah keluar dari mobilnya. Ia berdiri di depan gedung perusahaan keluarganya, Mahesa Group.Tiga hari sejak pernikahan kontrak itu. Tiga hari penuh adaptasi, kejutan, dan sandiwara yang harus ia jalani bersama Keenan.Dan hari ini, pertunjukan kemb
Pintu penthouse terbuka dengan bunyi klik lembut, memperlihatkan interior megah yang menyambut dengan suasana dingin, hening. Seperti biasa.Keenan masuk lebih dulu tanpa sepatah kata pun. Jasnya langsung dilempar asal ke sofa, dasinya ditarik kasar, dan tubuhnya melayang ke bar stool dapur terbuka. Matanya menatap kosong ke arah city lights yang memantul dari jendela besar.Adellia berdiri di depan pintu, memperhatikan punggung tegap itu dengan napas yang pelan. Ia bisa merasakan dentuman emosi dari pria itu—campuran marah, kecewa, dan entah apa lagi. Walaupun emosinya sempat mencair sesaat, waktu dalam perjalan pulang tadi.Kaki Adellia melangkah perlahan, ke arah Keenan berada.“Kau baik-baik saja?” tanyanya hati-hati.Keenan tak menjawab. Tangannya sibuk menuang air putih dari dispenser, menenggaknya dalam satu tegukan.“Jika diam berarti ‘ya’, maka aku akan berhenti bertanya,” gumam Adellia, setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.Tetap sunyi.Adellia mendekat, menaruh clu
“Apa yang dia bicarakan?”Nada Keenan terdengar datar saat mereka kembali duduk di meja utama. Namun, sorot matanya berkata lain—tajam, gelap, menyelidik.Adellia meliriknya sekilas, lalu menarik napas pendek. “Bukan hal penting.”Keenan menoleh penuh ke arahnya, rahangnya mengeras. Sorot matanya menusuk.“Sungguh? Bukan hal penting?”Kata-kata itu bukan pertanyaan, lebih seperti tuduhan yang terbungkus dalam nada pelan.Adellia menahan tawa kecil. “Keenan, kau berakting terlalu serius.”Ia menyesap wine di hadapannya sebelum menatap sekeliling. Para tamu masih tenggelam dalam percakapan hangat, gelas beradu pelan, tawa-tawa ringan terdengar di udara.“Di sini tidak ada yang mendengar percakapan kita,” bisiknya, masih tersenyum. “Santailah sedikit.”Namun Keenan tetap tak bergeming. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, pandangan tetap menusuk wajah Adellia.“Dia menyentuhmu.”“Dan kau sudah menghentikannya,” jawab Adellia tenang. “Itu cukup, bukan?”Keenan tak menjawab. Tapi sikapn
Langit sore menggantung sendu ketika Adellia berdiri di balkon penthouse, mengenakan gaun satin biru tua dan secangkir teh hangat di tangan. Angin berembus pelan, mengibaskan ujung rambutnya. Di balik gelas kristal, matanya menatap kota yang terus bergerak tanpa peduli perasaan siapa pun.Ia tahu... badai belum benar-benar usai.“Kamu kelihatan terlalu tenang untuk seorang pengantin baru,” suara Keenan terdengar dari balik pintu geser. Ia baru saja selesai menerima panggilan, dasi dilepas, kemeja sedikit terbuka di leher.Adellia menoleh, tersenyum tipis. “Atau aku hanya sedang menyimpan tenang itu untuk nanti.”Keenan menyandarkan tubuhnya di kusen pintu, menatap Adellia dalam diam. Ada sesuatu dalam sorot matanya—campuran antara kekaguman dan kewaspadaan. Lalu ia berjalan pelan, berdiri di samping Adellia.“Rico sudah menemui Kakek,” ucapnya. “Dia tidak senang. Dan itu membuatku semakin yakin, keputusan Kakek bukan sekadar strategi. Tapi juga pelajaran.”Adellia mendesah. “Kamu piki
Begitu pintu lift tertutup dan para tamu turun ke lobi, suasana di penthouse mendadak terasa lengang. Adellia berdiri mematung di dekat jendela, matanya menatap bias lampu kota malam hari, sementara Keenan berjalan perlahan ke arahnya dengan gelas anggur di tangan."Dia menjengkelkan," ucap Keenan pelan.Adellia tak perlu bertanya siapa yang dimaksud. “Dia memang begitu. Tapi tak seburuk Rico.”Keenan menghela napas, lalu meletakkan gelasnya di meja dekat sofa. “Kupikir aku cukup ahli membaca niat orang. Tapi Qalest... dia lebih beracun dari yang kuduga.”Adellia menoleh. “Dia ingin tempatku. Itu sudah jelas sejak dulu.”“Aku tahu.” Keenan menyandarkan tubuh ke sandaran sofa. “Tapi aku tak suka dia mengganggumu. Terutama di rumah ini.”Kata “rumah” terdengar asing, tapi hangat. Membuat dada Adellia sedikit sesak.“Kamu tidak perlu repot membelaku,” gumamnya. “Ini cuma sementara, kan?”Keenan mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Justru karena sementara... aku ingin memast
Ketukan keras di pintu utama mengagetkan keduanya. Adellia meletakkan garpunya, menoleh ke arah sumber suara. Keenan langsung bangkit, menyalakan layar kecil di dinding yang menampilkan kamera luar.Wajah Rico.Keenan menghela napas pelan. “Sial.”“Aku harus sembunyi?” tanya Adellia cepat.Keenan menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Tidak. Ini rumahmu juga sekarang.”Ia berjalan ke pintu dan membukanya.“Wah, pagi-pagi sudah datang tanpa undangan. Kau kehilangan sopan santunmu, Rico?” nada Keenan datar.Rico menerobos masuk tanpa menunggu izin. “Kau pikir aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan, paman?”Matanya langsung mencari-cari sosok Adellia, dan menemukannya berdiri di dapur, mengenakan jubah sutra tipis dan wajah tanpa riasan. Natural. Cantik. Dan sangat milik orang lain sekarang.“Pagi yang menyenangkan, Rico,” sapa Adellia, berusaha terdengar tenang.“Kita bisa bicara baik-baik, bukan?”Keenan menyilangkan tangan. “Bicara tentang apa? Tentang bagaimana kau meningg
Keenan menoleh, menatapnya dengan tatapan sulit dibaca. “Bukan takut. Aku hanya tak ingin jadi pria pertama yang kau benci... di ranjang.”Pintu tertutup perlahan.Dan untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan itu, Adel merasa, tidak yakin siapa yang sebenarnya bermain api di pernikahan kontrak ini.Aroma rosemary dan bawang putih memenuhi seluruh lantai atas penthouse malam itu. Lampu gantung kristal menyala lembut di atas meja makan marmer panjang, yang kini hanya dihuni dua piring dan dua gelas wine.Adel memandang pemandangan di hadapannya dengan canggung. Pria yang kini sah menjadi suaminya duduk di ujung meja, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Tangan kirinya sibuk menuang anggur ke gelasnya sendiri, sementara tangan kanan menekan sesuatu di ponsel."Benar-benar romantis," gumam Adel sarkastik. Ia menyibak anak rambut dari wajahnya, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang entah datang dari mana.Keenan mengangkat alis, masih belum menatapnya. "Kita sepakat ini
“Pernikahan, kontrak?” gumam Adellia, nyaris tak percaya. “Kamu tidak sedang mabuk, kan?”Keenan hanya menghela napas pendek, lalu melangkah perlahan ke arah sofa. Ia duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuh ke sandaran seolah tak terburu waktu.“Rico mengincar warisan keluargamu. Qalest menginginkan posisi dan pengaruh.” Nada suaranya tetap tenang, tapi sarat dengan ketegasan. “Dan kamu... hanyalah batu sandungan yang mereka rencanakan untuk disingkirkan setelah akad.”Adellia menelan ludah. Kata-kata itu seperti cambuk yang menyayat kesadarannya. Tapi Keenan belum selesai.Ia menatapnya lurus, sorot matanya setajam belati.“Kamu ingin mereka menang, Adellia?” tanyanya pelan, tapi dinginnya menusuk seperti baja.“Apa kamu, sudah tahu soal Rico dan Qalest?”Keenan terdiam sejenak sebelum menjawab.“Sudah cukup lama. Tapi kamu butuh melihatnya sendiri untuk percaya, bukan?”Adellia merasa lututnya lemas. Ia menggigit bibir, mencoba menahan luapan emosi yang kembal