Ketukan keras di pintu utama mengagetkan keduanya. Adellia meletakkan garpunya, menoleh ke arah sumber suara. Keenan langsung bangkit, menyalakan layar kecil di dinding yang menampilkan kamera luar.
Wajah Rico.
Keenan menghela napas pelan. “Sial.”
“Aku harus sembunyi?” tanya Adellia cepat.
Keenan menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Tidak. Ini rumahmu juga sekarang.”
Ia berjalan ke pintu dan membukanya.
“Wah, pagi-pagi sudah datang tanpa undangan. Kau kehilangan sopan santunmu, Rico?” nada Keenan datar.
Rico menerobos masuk tanpa menunggu izin. “Kau pikir aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan, paman?”
Matanya langsung mencari-cari sosok Adellia, dan menemukannya berdiri di dapur, mengenakan jubah sutra tipis dan wajah tanpa riasan. Natural. Cantik. Dan sangat milik orang lain sekarang.
“Pagi yang menyenangkan, Rico,” sapa Adellia, berusaha terdengar tenang.
“Kita bisa bicara baik-baik, bukan?”
Keenan menyilangkan tangan. “Bicara tentang apa? Tentang bagaimana kau meninggalkan Adellia di altar demi tidur dengan adik tirinya?”
“Dia bukan—” Rico hampir berteriak, tapi Keenan menatapnya tajam.
“Selesaikan kalimatmu. Aku penasaran apa versi ceritamu hari ini.”
“Pernikahan ini... lelucon.” Tegas Rico. “Kau pikir dia benar-benar ingin menikahimu? Dia dipaksa oleh kakek. Dan kau tahu itu.”
Adellia melangkah ke depan. “Dan kau pikir aku akan lebih memilih pria yang menusukku dari belakang tepat di hari pernikahan?”
Rico terdiam.
Keenan menambahkan, “Jika kau datang untuk mengambilnya kembali, kau terlambat. Bahkan hukum pun sudah mengikat kami sekarang.”
“Ini belum selesai,” desis Rico. “Aku akan cari celah. Aku akan buktikan pernikahan ini palsu. Dan ketika itu terjadi, kalian berdua akan jatuh... bersamaku.”
Ia berbalik, keluar dari sana dengan wajah merah padam.
Pintu tertutup kembali. Hening.
Adellia menoleh pada Keenan. “Kamu pikir... dia akan benar-benar mencoba menghancurkan kita?”
Keenan mengambil cangkir kopinya yang sudah mulai dingin. “Sudah pasti. Tapi tak perlu panik.”
“Kenapa?”
Ia menyesap pelan, lalu menjawab dengan tenang, “Karena aku lebih berbahaya dari dia.”
Dan Adellia, untuk pertama kalinya... benar-benar percaya.
Aroma manis vanilla dan kayu manis memenuhi seluruh ruangan saat Adellia berjalan cepat ke arah meja makan. Tangannya sibuk memastikan posisi sendok dan garpu sejajar, serbet terlipat rapi, dan bunga segar di tengah meja tak miring sedikit pun.
Ini bukan sekadar jamuan biasa.
Ini adalah makan malam resmi pertama sebagai nyonya rumah—peran yang belum pernah ia bayangkan akan dipegangnya dalam kehidupan yang serba mendadak ini.
“Semua sudah siap?” suara Keenan terdengar dari arah dapur.
Adellia menoleh dan mengangguk pelan. “Ya. Setidaknya... cukup layak untuk menyambut calon mertua.”
Keenan mendekat, mengenakan setelan navy yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. “Mereka bukan calon lagi. Kita sudah menikah, ingat?”
Ia mengulurkan tangan, merapikan helaian rambut Adellia dengan lembut. Sentuhan itu membuat jantungnya berdetak tak karuan—lagi.
Belum sempat Adellia menjawab, bel pintu berbunyi. Sekali. Dua kali. Dan dunia seolah berhenti sebentar.
Keenan yang membuka pintu. Di baliknya, berdiri Tuan dan Nyonya Mahesa dengan tampilan elegan dan sopan. Namun tak sendiri.
Qalest menyusul masuk, mengenakan gaun putih pucat yang nyaris menyaingi warna kulitnya yang dingin. Wajahnya tersenyum, tapi mata penuh bara.
“Selamat datang,” sambut Keenan hangat. “Silakan masuk.”
“Rumahmu... luar biasa,” gumam Tuan Mahesa, kagum menatap interior mewah penthouse yang seperti galeri seni hidup.
“Semua berkat istrimu, sepertinya,” tambah Nyonya Mahesa sambil melirik Adellia yang kini berdiri tegak di samping meja makan.
Adellia tersenyum, menunduk sopan. “Saya hanya memastikan semuanya terasa nyaman.”
“Kau terlihat... cocok di sini,” gumam Qalest, nadanya ambigu. “Seperti boneka pajangan yang dipoles rapi lalu dipamerkan.”
Keenan menoleh cepat. “Dan kamu terlihat seperti tamu yang belum diundang, Qalest. Tapi karena sudah terlanjur masuk, duduklah.”
Ucapan itu menusuk, bahkan sebelum kursi ditarik.
Makan malam berlangsung dalam percakapan sopan. Orang tua Adellia menanyakan tentang masa depan mereka, bagaimana pernikahan ini akan dijalani, bagaimana Keenan akan menjaga putri mereka.
“Dia akan mendapatkan segalanya yang tidak pernah diberikan pria lain padanya,” jawab Keenan mantap, sambil menatap Adellia. “Termasuk rasa hormat.”
Qalest mengepalkan jari di pangkuannya. Bibirnya tetap tersenyum, tapi napasnya mulai tak teratur.
Setelah hidangan penutup disajikan, Keenan berdiri, mengangkat gelas wine-nya.
“Saya ingin berterima kasih karena telah datang malam ini. Ini bukan sekadar makan malam. Ini awal dari kerja sama... keluarga. Saya ingin membangun kepercayaan, karena Adellia bukan sekadar istri, tapi juga bagian dari fondasi rumah ini.”
Semua mengangkat gelas.
Kecuali Qalest.
Yang hanya bisa menatap Adellia—yang duduk di ujung meja marmer panjang, dalam balutan gaun satin biru muda, dengan mata yang bersinar tenang dan senyum sederhana yang memenangkan semuanya malam itu.
Setelah makan malam usai, suasana bergeser menjadi lebih santai. Keenan tengah berbincang di ruang tamu bersama kedua orangtua Adellia, sementara Adel tengah membereskan piring kosong bersama staf dapur di balik pintu kaca geser.
Saat ia keluar dari dapur, Qalest sudah berdiri menunggunya di koridor.
“Boleh aku melihat-lihat penthouse ini?” tanyanya manis, senyum tipis bertengger di bibirnya. “Kapan lagi, kan, bisa masuk ke dunia mewah seperti ini.”
Adelia tersenyum sopan. “Tentu. Tapi aku harap kamu tidak keberatan kalau aku menemanimu.”
Qalest menyeringai kecil. “Oh, aku malah senang kau ikut. Siapa tahu aku bisa belajar sedikit... caranya menjadi istri dadakan.”
Mereka menyusuri lorong menuju balkon belakang yang menghadap langsung ke kota Amberlyn yang mulai gelap.
“Tempat ini benar-benar seperti istana,” gumam Qalest sambil menyentuh dinding kaca. “Siapa sangka kamu bisa naik kelas begitu cepat, Del.”
“Bukan soal kelas, Qalest. Ini hanya soal takdir... dan pilihan.”
Qalest tertawa pelan. “Lucu ya. Padahal kamu hampir saja jadi istri pria yang sama dengan yang kupilih. Tapi lihat sekarang, kamu malah jadi keponakan iparku.”
Tatapan Adellia mengeras. Tapi ia tetap tenang. “Dan kamu tetap jadi pengiring pengantin yang datang tak diundang.”
Qalest mendekat. Kini hanya sejengkal dari wajah Adellia. “Kau pikir ini akan bertahan lama? Kau pikir Keenan benar-benar peduli padamu? Semua ini hanya permainan. Dan ketika waktunya selesai, kamu akan kembali jadi tidak ada apa-apa.”
“Kau salah,” jawab Adellia, matanya tak berkedip. “Setidaknya, aku tak pernah menjual harga diriku hanya untuk duduk di meja makan pria kaya.”
“Tidak semua orang punya keberuntungan seperti itu,” bisik Qalest. “Tapi tenang saja... aku sabar menunggu. Karena cepat atau lambat, orang seperti Keenan akan kembali ke asalnya—dunia yang tidak kau pahami. Dan ketika itu terjadi... kita akan lihat siapa yang bertahan.”
Langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Keenan muncul, berdiri diam dengan tangan di saku celana.
“Ada yang butuh pemandu tur tambahan?”
Qalest langsung tersenyum manis. “Oh, Keenan! Kami hanya mengagumi desain interior penthouse-mu.”
Keenan tak membalas senyum itu. Matanya bergerak ke arah Adellia, seakan bertanya tanpa kata.
Adellia hanya mengangguk kecil. “Kami sudah selesai.”
Qalest mundur dengan anggun, tapi sorot matanya masih menusuk, penuh pesan.
Malam itu, ketenangan palsu menyelimuti penthouse Daviero. Tapi di balik senyum dan kilau lampu gantung kristal, satu hal menjadi jelas:
Perang diam di antara dua wanita baru saja dimulai.
“Slide keempat tolong diganti. Visualnya terlalu padat, kita butuh sesuatu yang lebih clean tapi tetap powerful,” ujar Adellia sambil berdiri di depan layar besar ruang meeting privat Divisi Kreatif.Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana panjang hitam, rambutnya diikat rapi. Wajahnya penuh konsentrasi, meski ada lelah yang samar terlihat.“Presentasi kita ke investor tinggal lima hari. Aku nggak mau ada satu pun celah,” lanjutnya tegas.Timnya mencatat dengan cepat, sebagian menatap layar laptop, sebagian lagi mengikuti arah tangan Adellia yang menunjukkan poin demi poin penting di slide.Setelah tiga hari kembali bekerja, Adellia kembali jadi versi dirinya yang paling tajam. Profesional, tegas, dan nyaris tanpa cela. Keberadaan Rico di ruang rapat sebelumnya memang sempat mengusik fokusnya—tapi hanya sebentar. Ia menolak membiarkan masa lalu mendikte masa depannya.“Tim riset, pastikan data pengguna dari kuartal terakhir benar-benar uptodate. Aku ingin angka yang valid, buk
“Dan semua tetap terkendali,” gumam Adellia sambil menatap ke piring kosong di depannya. “Kau sungguh profesional, Tuan Daviero.”Keenan tersenyum tipis. Tapi tak ada kehangatan di dalamnya.“Profesionalisme menyelamatkan kita dari banyak hal. Termasuk dari patah hati.”“Kalau begitu,” ucap Adellia, fokusnya kembali ke piring yang sedang ia bilas, “mari pastikan tidak ada yang melenceng dari kontrak. Bahkan sekadar genggaman tangan.”Keenan terdiam. Lalu, ia mengambil gelas wine-nya dan berjalan perlahan ke arah jendela besar yang menghadap kota.“Catatan yang bagus, Nyonya Daviero,” ujarnya, menyesap anggurnya. “Aku akan mengingatnya baik-baik.”**Langit pagi itu mendung, seolah ikut mencerminkan perasaan Adellia yang setengah enggan melangkah keluar dari mobilnya. Ia berdiri di depan gedung perusahaan keluarganya, Mahesa Group.Tiga hari sejak pernikahan kontrak itu. Tiga hari penuh adaptasi, kejutan, dan sandiwara yang harus ia jalani bersama Keenan.Dan hari ini, pertunjukan kemb
Pintu penthouse terbuka dengan bunyi klik lembut, memperlihatkan interior megah yang menyambut dengan suasana dingin, hening. Seperti biasa.Keenan masuk lebih dulu tanpa sepatah kata pun. Jasnya langsung dilempar asal ke sofa, dasinya ditarik kasar, dan tubuhnya melayang ke bar stool dapur terbuka. Matanya menatap kosong ke arah city lights yang memantul dari jendela besar.Adellia berdiri di depan pintu, memperhatikan punggung tegap itu dengan napas yang pelan. Ia bisa merasakan dentuman emosi dari pria itu—campuran marah, kecewa, dan entah apa lagi. Walaupun emosinya sempat mencair sesaat, waktu dalam perjalan pulang tadi.Kaki Adellia melangkah perlahan, ke arah Keenan berada.“Kau baik-baik saja?” tanyanya hati-hati.Keenan tak menjawab. Tangannya sibuk menuang air putih dari dispenser, menenggaknya dalam satu tegukan.“Jika diam berarti ‘ya’, maka aku akan berhenti bertanya,” gumam Adellia, setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.Tetap sunyi.Adellia mendekat, menaruh clu
“Apa yang dia bicarakan?”Nada Keenan terdengar datar saat mereka kembali duduk di meja utama. Namun, sorot matanya berkata lain—tajam, gelap, menyelidik.Adellia meliriknya sekilas, lalu menarik napas pendek. “Bukan hal penting.”Keenan menoleh penuh ke arahnya, rahangnya mengeras. Sorot matanya menusuk.“Sungguh? Bukan hal penting?”Kata-kata itu bukan pertanyaan, lebih seperti tuduhan yang terbungkus dalam nada pelan.Adellia menahan tawa kecil. “Keenan, kau berakting terlalu serius.”Ia menyesap wine di hadapannya sebelum menatap sekeliling. Para tamu masih tenggelam dalam percakapan hangat, gelas beradu pelan, tawa-tawa ringan terdengar di udara.“Di sini tidak ada yang mendengar percakapan kita,” bisiknya, masih tersenyum. “Santailah sedikit.”Namun Keenan tetap tak bergeming. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, pandangan tetap menusuk wajah Adellia.“Dia menyentuhmu.”“Dan kau sudah menghentikannya,” jawab Adellia tenang. “Itu cukup, bukan?”Keenan tak menjawab. Tapi sikapn
Langit sore menggantung sendu ketika Adellia berdiri di balkon penthouse, mengenakan gaun satin biru tua dan secangkir teh hangat di tangan. Angin berembus pelan, mengibaskan ujung rambutnya. Di balik gelas kristal, matanya menatap kota yang terus bergerak tanpa peduli perasaan siapa pun.Ia tahu... badai belum benar-benar usai.“Kamu kelihatan terlalu tenang untuk seorang pengantin baru,” suara Keenan terdengar dari balik pintu geser. Ia baru saja selesai menerima panggilan, dasi dilepas, kemeja sedikit terbuka di leher.Adellia menoleh, tersenyum tipis. “Atau aku hanya sedang menyimpan tenang itu untuk nanti.”Keenan menyandarkan tubuhnya di kusen pintu, menatap Adellia dalam diam. Ada sesuatu dalam sorot matanya—campuran antara kekaguman dan kewaspadaan. Lalu ia berjalan pelan, berdiri di samping Adellia.“Rico sudah menemui Kakek,” ucapnya. “Dia tidak senang. Dan itu membuatku semakin yakin, keputusan Kakek bukan sekadar strategi. Tapi juga pelajaran.”Adellia mendesah. “Kamu piki
Begitu pintu lift tertutup dan para tamu turun ke lobi, suasana di penthouse mendadak terasa lengang. Adellia berdiri mematung di dekat jendela, matanya menatap bias lampu kota malam hari, sementara Keenan berjalan perlahan ke arahnya dengan gelas anggur di tangan."Dia menjengkelkan," ucap Keenan pelan.Adellia tak perlu bertanya siapa yang dimaksud. “Dia memang begitu. Tapi tak seburuk Rico.”Keenan menghela napas, lalu meletakkan gelasnya di meja dekat sofa. “Kupikir aku cukup ahli membaca niat orang. Tapi Qalest... dia lebih beracun dari yang kuduga.”Adellia menoleh. “Dia ingin tempatku. Itu sudah jelas sejak dulu.”“Aku tahu.” Keenan menyandarkan tubuh ke sandaran sofa. “Tapi aku tak suka dia mengganggumu. Terutama di rumah ini.”Kata “rumah” terdengar asing, tapi hangat. Membuat dada Adellia sedikit sesak.“Kamu tidak perlu repot membelaku,” gumamnya. “Ini cuma sementara, kan?”Keenan mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Justru karena sementara... aku ingin memast
Ketukan keras di pintu utama mengagetkan keduanya. Adellia meletakkan garpunya, menoleh ke arah sumber suara. Keenan langsung bangkit, menyalakan layar kecil di dinding yang menampilkan kamera luar.Wajah Rico.Keenan menghela napas pelan. “Sial.”“Aku harus sembunyi?” tanya Adellia cepat.Keenan menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Tidak. Ini rumahmu juga sekarang.”Ia berjalan ke pintu dan membukanya.“Wah, pagi-pagi sudah datang tanpa undangan. Kau kehilangan sopan santunmu, Rico?” nada Keenan datar.Rico menerobos masuk tanpa menunggu izin. “Kau pikir aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan, paman?”Matanya langsung mencari-cari sosok Adellia, dan menemukannya berdiri di dapur, mengenakan jubah sutra tipis dan wajah tanpa riasan. Natural. Cantik. Dan sangat milik orang lain sekarang.“Pagi yang menyenangkan, Rico,” sapa Adellia, berusaha terdengar tenang.“Kita bisa bicara baik-baik, bukan?”Keenan menyilangkan tangan. “Bicara tentang apa? Tentang bagaimana kau meningg
Keenan menoleh, menatapnya dengan tatapan sulit dibaca. “Bukan takut. Aku hanya tak ingin jadi pria pertama yang kau benci... di ranjang.”Pintu tertutup perlahan.Dan untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan itu, Adel merasa, tidak yakin siapa yang sebenarnya bermain api di pernikahan kontrak ini.Aroma rosemary dan bawang putih memenuhi seluruh lantai atas penthouse malam itu. Lampu gantung kristal menyala lembut di atas meja makan marmer panjang, yang kini hanya dihuni dua piring dan dua gelas wine.Adel memandang pemandangan di hadapannya dengan canggung. Pria yang kini sah menjadi suaminya duduk di ujung meja, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Tangan kirinya sibuk menuang anggur ke gelasnya sendiri, sementara tangan kanan menekan sesuatu di ponsel."Benar-benar romantis," gumam Adel sarkastik. Ia menyibak anak rambut dari wajahnya, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang entah datang dari mana.Keenan mengangkat alis, masih belum menatapnya. "Kita sepakat ini
“Pernikahan, kontrak?” gumam Adellia, nyaris tak percaya. “Kamu tidak sedang mabuk, kan?”Keenan hanya menghela napas pendek, lalu melangkah perlahan ke arah sofa. Ia duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuh ke sandaran seolah tak terburu waktu.“Rico mengincar warisan keluargamu. Qalest menginginkan posisi dan pengaruh.” Nada suaranya tetap tenang, tapi sarat dengan ketegasan. “Dan kamu... hanyalah batu sandungan yang mereka rencanakan untuk disingkirkan setelah akad.”Adellia menelan ludah. Kata-kata itu seperti cambuk yang menyayat kesadarannya. Tapi Keenan belum selesai.Ia menatapnya lurus, sorot matanya setajam belati.“Kamu ingin mereka menang, Adellia?” tanyanya pelan, tapi dinginnya menusuk seperti baja.“Apa kamu, sudah tahu soal Rico dan Qalest?”Keenan terdiam sejenak sebelum menjawab.“Sudah cukup lama. Tapi kamu butuh melihatnya sendiri untuk percaya, bukan?”Adellia merasa lututnya lemas. Ia menggigit bibir, mencoba menahan luapan emosi yang kembal