Namanya Poppy. Ia sedang duduk di pojok depan kursi khusus dosen. Rambutnya pendek ala Demi Moore. Kakinya jenjang dan menjadi kandidat dosen favorit mahasiswa di kampus karena visualnya. Dia mengajar Aljabar dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua. Hari ini kelas perdana, sudah ada pre-test yang diberikannya. Di tangannya sudah ada tablet dengan pulpen khusus gadget tersebut dia mainkan.“Tidak ada yang protes saya berikan pre-test. Menjadi mahasiswa harus kritis dalam belajar. Saya berikan soal-soal dasar. Seharusnya kalian mencari tahu dulu materi Aljabar semalam dan berlatih!” tegas Bu Poppy galak.Aku mencoba berpikir sambil menghela napas panjang. Rumusnya lupa-lupa ingat. Beberapa sibuk meradar, membuat Bu Poppy menggebrag mejanya. Semua terdiam hening. Bu Poppy terlalu galak untuk visual yang enak dipandang.Hingga kemudian ia memasang kamera dengan tripod otomatis bisa memutar sendiri. “Ketua kelasnya nanti ketika selesai kumpulkan kertas jawaban dan simpan di meja saya di r
Sorenya, ketika El masih terlelap tidur, tetiba saja ia mengigau. Refleks kupegang keningnya yang ternyata sedang demam. Ia tampak gelisah, dengan bibir yang menggigil. Kukompres keningnya serta bagian leher. Kulihat lehernya ada benjolan. Sepertinya kelenjar getah bening. Ia terlihat kesakitan. Aku cukup kaget karena selama ini El selalu memakai kaos leher panjang atau berkerah.El lemah sekali ia saat itu. Berbanding terbalik dengan kelakuannya saat sebelum mengenalnya lebih jauh. Dengan sedikit menepuk-nepuk pipinya, kubangunkan dia. “El, adakah obat yang bisa kuambilkan?”Dengan nada suara yang berat, anak itu membuka perlahan kelopak matanya. “Ambilkan aku air.”Aku mengambil air yang berada di atas laci yang terletak di samping pembaringan. Air di gelas ini ia taruh sebelum tidur yang katanya sudah menjadi kebiasaan. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami karakter anak ini. Dengan cukup berat, aku berusaha sedikit mengangkat tubuhnya yang lemas. Kemudian memberinya air. Ia memi
Lowa menjadi hotel yang dipilih tiga bersaudara itu untuk menjadi tempat magang atau PKL. Hal ini mereka lakukan untuk memenuhi ekspektasi karya tulis yang akan diujikan di sidang proposal dan sidang skripsi nanti. Lokasinya ada di Bali dengan tempat yang sangat strategis. Fasilitasnya juga sangat lengkap. Termasuk hiburan malam. El ditempatkan di bagian kepegawaian, sedangkan IO ditempatkan di bagian keuangan atau finance, sementara RK ditempatkan di bagian pengunjung. Tiga bersaudara ini akan mencari masalah yang harus bisa mereka selesaikan. Membuatkan sebuah aplikasi yang memudahkan pekerjaan mereka. Hari pertama berjalan baik-baik saja. Hingga hari ketiga, El mulai mengacau. Ia dititipkan berbagai map pekerjaan oleh beberapa pekerja. Mungkin sudah tradisi di perusahaan yang membuat EL geram. “Sudahlah kerjakan saja. Agar nanti kamu tidak kaget ketika memasuki dunia kerja. Melamar kerja itu susah. Harus punya keahlian.” Itu yang diucapkan salah satu pegawai yang katanya sudah 10
Seseorang bertepuk tangan saat aku hendak akan mengetuk kamar Nam. Anak itu menaruh rasa iri mendalam setelah tahu aku dekat dengan IO. Aku meremas rambut karena gemas.“Sudah bersuami, masih berduaan dengan IO. Parah kamu Ning. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?” ucap Adel yang sebenarnya malas meladeni.Beberapa anak kos tampak keluar kamar karena mendengar Adel berteriak. “Astaghfirullahaladzim. Kok kamu jahat menyimpulkan seperti itu?”Adel berkaca pinggang tampak kesal. “Gak usah memasang wajah sok polos! Mana ada seorang istri datang ke sini diam-diam bersama lelaki lain?”Pintu kamar Nam terbuka. Hal itu membuat Adel sedikit terdiam. Ia tak sengaja membangunkan macan yang sedang tertidur. “Duh berisik! Banyak cakap kali kau nih, Del! El sama IO kan sepupuan, pasti El gak keberatan kalau IO mengantar Ning ke sini.”Dengan menatap tajam, Adel semakin membenci. “Kau mendukung perselingkuhan di antara mereka?”Nam tertawa kecil. “Kau ini cuma cemburu buta, Del. Lagian selera IO i
Hari itu berbeda dengan hari biasanya. Pak Bobi saat masih bujangan lebih tepatnya memiliki sebuah toko sepeda. Sebagai keturunan Tionghoa, pak Bobi tidak menyangka jika di hari itu akan menjadi kenangan pahit yang tidak tercantum di kalender.Menjelang tengah hari, kerusuhan di mana-mana tiada henti. Ban demi ban dibakar sangat mengerikan. Beberapa warga berkumpul, menjarah toko-toko milik keturunan Tionghoa. Pak Bobi yang mendengar kabar itu segera menutup tokonya. Ia juga pergi ke belakang yang memang rukonya memiliki pintu di belakang.Pintu ruko bagian depan dibuka paksa oleh warga. Pak Bobi ketakutan. Ia kabur dari pintu belakang mencari bantuan. Salah seorang warga menarik lengan Pak Bobi untuk segera masuk ke rumahnya. Di sana ia disembunyikan. Padahal ada anak lelaki dan istrinya yang bisa saja membahayakan mereka. Pintu pun dikunci rapat.“Kau aman di sini. Diamlah jangan gaduh,” bisik lelaki itu.***Dalam keheningan sepanjang jalan. Pak Bobi menceritakan pengalaman pahitny
Di teras rumah, aku melihat Bapak sedang marah besar. Ia mengacungkan golok ke arah tiga pemuda yang berdiri di depan Bapak. Di sanalah aku melihat puncak kemarahan besar seorang ayah ketika putrinya disakiti. Ibu yang melihat itu uring-uringan. Kulihat El tengah memohon di hadapan Bapak yang sedang murka. Anak itu tengah bersimpuh.“Saya sepakat dengan perjodohan yang diminta ayahmu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menyakiti anak saya! Pergi kamu! Saya sendiri yang akan urus perceraian kalian. Tidak sudi saya punya mantu sepertimu!” Golok itu masih saja teracung di hadapan El, RK, dan IO.Di tengah bersimpuh, kulihat El tangannya bergetar. Aku tidak menyangka anak itu bisa sehancur ini mentalnya. RK dan IO pun hanya terdiam tak berkutik. Amarah Bapak tidak main-main saat itu. Bahkan wajah Bapak sampai merah.“Pak tenang, Pak. Kita selesaikan dengan kepala dingin,” tegur Ibu yang kala itu berlari kecil mendekati Bapak.Hal itu membuat amarah Bapak mengendur. Sementara aku berja
Ada tarikan napas panjang yang dikeluarkan Abang malam itu. Ia bahkan sesekali menegakkan pandangannya ke langit-langit.“Bagaimana kamu meng-handle semuanya?”El pun terlihat membenarkan posisi duduknya. “Aku membujuk Poppy agar mengikuti rencana yang sudah dirancang. Kala itu pikirku semua akan berjalan lancar. Hanya saja semua berantakkan. Bahkan Papa lebih dulu mengetahuinya.”Abang menyimpan lengannya di dada bersidekap. “Apa yang kauterima sebagai hukuman dari ayahmu?”El menghela napasnya dalam-dalam. “Aku sudah dicoret dari daftar waris. Mungkin sebentar lagi juga semua kartu kreditku dibatasi atau bahkan dibekukan. Aku juga pengidap HIV yang harus rutin minum ARV.Abang yang kala itu mendengarkan hanya menggelengkan kepalanya. “Kau pernah mendengar kisah tentang kisah Nabi Ayub Alaihissalam? Bagaimana Allah mengujinya dengan sebuah penyakit selama bertahun-tahun? Nabi Ayub bahkan tidak pernah sama sekali pun mengeluh.”Anak itu malah mendengkus sebal saat Abang mulai menghubu
Sudah satu minggu aku tidak mendapatkan kabar apa pun tentang keadaan maupun keberadaan El. Terlebih IO dan RK masih berusaha mencari kemana anak itu pergi. Sudah selama itu juga ada rasa canggung yang terjadi saat Bu Poppy mengajar di kelas. Ia bahkan sering tidak menganggapku ada. Hanya saja di hari itu, tetiba ia memintaku untuk datang ke ruangannya. Sendirian.Tibalah 10 menit sebelum materi selesai, Bu Poppy meninggalkan kelas dan memintaku untuk mengekor. Sebagai seorang mahasiswa aku hanya menuruti keinginannya, terlebih hanya ke ruangannya. Di ruangan yang disekat-sekat petak itu, diisi oleh 6 orang dosen dan staff. Sementara letak meja Bu Poppy berada di paling pojok ruangan. Ada perasaan was-was yang kurasakan siang itu.Awalnya tidak ada pembicaraan apa pun, terlebih ia hanya menatap dan mencoba menarik napas panjangnya. “Di mana keberadaan El?” ucapnya membuka topik yang membuatku mengerutkan kening beberapa lipatan.“Aku tidak tahu. Dia pergi begitu saja.”Kulihat ia mena