“Berpisahlah dengan Reno,” ujar Aldi dengan mantap. Manik hitamnya menatap lurus pada wajah Luna, memberi isyarat kalau dia serius dengan ucapannya.
Luna spontan bergerak untuk duduk, tetapi Aldi menahan gerakan wanita itu. “Jangan banyak bergerak,” ucapnya pelan.
“Pak Aldi, apa anda sadar dengan apa yang baru saja anda katakan? Bagaimana bisa anda meminta saya melakukan hal seperti itu? Anda bahkan belum mengenal saya,” ucap Luna setengah berbisik. Wanita itu sama sekali tidak mengira kalau permintaan seperti itu yang akan keluar dari bibir pria asing yang kini duduk dengan tenang di sisi bednya.
“Bukankah itu sebanding, Bu Luna? Anda tidak akan mendapat perlakuan kasar lagi dari Reno, dan video itu juga tidak akan tersebar.” Aldi tersenyum lebar setelah menjelaskan penawaran yang dia berikan pada Luna.
Wanita cantik dengan blouse coklat itu mematung sejenak dan menatap kosong pada langit-langit di rumah sakit. Tanpa sadar, setetes air mata mulai mengalir perlahan dari ujung matanya. Luna segera menghapusnya tanpa menolehkan kepalanya sama sekali.
“Baru pertama kali saya mendengar penawaran seperti itu,” ucap Luna pelan.
Aldi hanya menatap wanita yang merupakan adik iparnya itu tanpa mengatakan apapun. Dia ingin membiarkan Luna menyelesaikan ucapannya.
“Selama ini, satu-satunya saran yang pernah saya dapat hanyalah bersabar, menerima Mas Reno apa adanya dan terus berusaha memperbaiki diri,” sambung Luna lirih.
“Menurut Pak Aldi, dari mana saya mendapat saran itu?” Luna menoleh pada Aldi yang hanya menggelengkan kepalanya.
“Keluarga saya, pak. Mereka menyuruh saya bersabar karena keterikatan antara ayah saya dan papa Mas Reno, juga demi keselamatan karir Mas Reno.” Kali ini Luna membiarkan tetesan air mata membasahi wajahnya. Tanpa sadar, wanita itu menceritakan keadaannya pada pria asing yang baru saja dia temui. Ucapan Aldi yang terdengar mantap dan sangat berpihak padanya membuat Luna merasa terhibur.
Aldi terdiam sejenak mendengar ucapan Luna. Sebelah tangannya terangkat dan spontan mengelus sisi bed Luna, mencoba memberikan kekuatan secara tidak langsung pada wanita di depannya.
“Pak Aldi sendiri, apa yang membuat Pak Aldi meminta saya melakukan hal seperti itu? Apa Pak Aldi tidak takut kalau sampai Mas Reno tahu? Karena sepertinya hubungan kalian juga tidak baik,” tanya Luna sambil menatap pria ikal yang baru saja dia kenal beberapa jam lalu.
Aldi menatap langit-langit di atasnya sembari tersenyum nanar. “Entahlah, mungkin karena saya sudah kehilangan terlalu banyak, jadi saya tidak merasa takut untuk kehilangan apapun lagi. Saya hanya takut kehilangan kesempatan untuk menolong seseorang, karena saya sudah pernah gagal menolong orang yang paling saya cintai,” jawab Aldi dengan mata berkaca-kaca.
Luna menatap Aldi yang kini menundukkan wajahnya. Sosok dingin yang sejak tadi dilihatnya seolah menghilang dan berganti dengan sosok pria yang memendam banyak luka dan ketakutan.
“Bagaimanapun, saya tidak bisa melakukan itu. Maafkan saya, anda bisa meminta hal lain, pak,” ucap Luna dengan nada serius.
Aldi tersenyum kecil mendengarnya. “Saya sudah menduga anda akan mengatakan itu. Bagaimana kalau saya ingin anda terus berada di dekat saya? Sederhana bukan? Ijinkan saya mengawasi anda dan memastikan anda selalu aman.”
Luna tertawa pelan mendengar ucapan Aldi. Rupanya pria itu masih belum menyerah. “Apa maksud anda? Saya saja tidak tahu siapa anda sebenarnya, lalu tiba-tiba anda meminta saya untuk terus berada di dekat anda?” tanya wanita itu pelan. Sebuah senyum manis tidak dapat ditutupi oleh Luna.
“Saya akan melakukan apapun untuk membuat anda tetap berada dalam jangkauan saya, Bu Luna,” jawab Aldi sungguh-sungguh.
“Karena dengan begitu saya bisa mendapat lebih banyak bukti untuk menyeret pria licik itu ke penjara.” Ucapan Aldi membuat Luna menoleh dan menatapnya tajam.
“Jaga bicara anda, Pak Aldi.” Wanita itu tampak sangat tidak senang. Senyum manis yang tadi terlihat di wajahnya segera memudar dan berganti dengan ekspresi kesal.
Aldi hanya tertawa kecil melihat reaksi Luna. Ingatan masa lalunya seperti terulang di depannya. Wajah Luna yang terlihat keberatan ketika Aldi menghina Reno mengingatkannya pada mendiang ibunya.
“Baiklah, saya akan berusaha menjaga ucapan saya, tetapi saya tidak mau bernegosiasi soal yang satu itu. Bu Luna harus tetap berada di dekat saya, jadi saya juga bisa terus melindungi Bu Luna,” ujar Aldi dengan penuh penekanan.
Pria berambut ikal itu membalas tatapan kesal Luna dengan wajah datar. Sejak pertama kali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga Luna dan Reno, dia sudah membulatkan tekad untuk menjaga dan melindungi Luna.
“Kalau saya mengabulkan permintaan Pak Aldi, video itu tidak akan tersebar ‘kan?” tanya Luna dengan tatapan tajam. Baginya, reputasi Reno jauh lebih penting dibandingkan rasa sakit yang diberikan pria itu.
“Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada saya ataupun keluarga saya kalau sampai video itu tersebar,” ucap Luna setelah mendapat jawaban dari Reno yang mengangguk pelan sembari mengangkat jempol tangannya.
Setelah menikah dengan Reno, wanita cantik dengan senyum memikat itu tidak lagi memiliki pilihan atas dirinya sendiri. Luna terus dituntut untuk menjadi istri yang baik dan tidak menuntut apapun. Dia juga tidak bisa mengeluh apalagi sampai berani melaporkan perbuatan Reno pada pihak berwajib, karena keselamatan Luna dan keluarganya menjadi taruhannya.
‘Pak Aldi terlihat sangat berani. Mungkinkah Pak Aldi benar-benar bisa melindungiku? Tidak, setidaknya Mas Reno bisa lebih menahan diri untuk tidak terus memukuliku,’ batin Luna sembari menatap wajah Aldi yang kembali terlihat datar. Entah mengapa, Luna merasa di dalam hati kecilnya, dia ingin mempercayai pria berwajah dingin itu.
Suara langkah kaki yang terdengar tegap mendekati bed Luna, membuat Aldi dan Luna sontak menoleh berbarengan.
“Luna, bagaimana keadaan kamu?” Sosok pria tinggi besar yang merupakan papa Reno melangkah masuk dan mendekati Luna. Seorang wanita dengan rambut disanggul mengikuti langkah pria itu dengan raut wajah khawatir.
“Sudah lebih baik, pa. Sebentar lagi pulang kalau infusnya sudah habis,” jawab Luna pelan. Ekor matanya menatap gerakan Aldi yang terlihat tidak nyaman.
“Aldi? Ternyata benar kamu ada di sini. Bagaimana kabarmu? Tadi papa bertemu Reno di rumahnya, dia meminta papa untuk menjemput Luna karena takut kamu juga pergi,” ujar papa Reno begitu menyadari keberadaan pria berambut ikal itu.
Luna mengernyit pelan mendengar rentetan pertanyaan dari papa mertuanya pada Aldi. Dia tidak salah dengar ‘kan? Kenapa Papa Reno menyebut dirinya papa di depan Aldi? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Aldi hanya menatap pria berkacamata itu dengan tatapan datar. Sekejap, manik hitam Aldi beralih pada wanita bersanggul yang juga hanya menatapnya dengan tatapan sinis.
“Cih!” Aldi hanya mendecih pelan dan segera pergi meninggalkan tiga orang di depannya. Hal itu membuat Luna hanya bisa menatap punggung pria itu dengan bingung.
“Luna, kamu tidak apa-apa ‘kan? Apa kali ini lebih parah?” Mama mertuanya mendekati Luna dan memeriksa keadaannya seolah tidak terpengaruh dengan kepergian Aldi yang mendadak, sementara papa Reno mematung sejenak dengan ekspresi wajah sedih.
“Nak, maafkan Reno ya. Dia hanya sedang emosi. Kamu kenal baik dengan Reno ‘kan?” tanya mama Reno sembari mengelus pelan rambut Luna.
“Mama tahu ini akan terdengar sangat tidak etis, tetapi mama mohon bertahan ya, Luna! Jangan sampai reputasi Reno tercoreng apalagi sampai hancur karena permasalahan rumah tangga kalian,” ujar wanita dengan rambut disanggul itu dengan nada lembut tetapi penuh penekanan.
“Ma, kita bisa bahas itu nanti, sekarang yang penting kondisi Luna pulih dulu.” Papa Reno menghela napas pelan dan memutuskan untuk duduk di kursi yang tadi ditempati Aldi.
“Iya pa, tetapi Reno juga sudah susah payah membangun karirnya. Mama hanya mengingatkan Luna agar tidak gegabah dan bisa menjadi istri yang baik,” jawab Mama Reno sembari tersenyum manis pada Luna.
“Dasar tidak tahu diri!” Tirai pemisah bed Luna dengan bed lain di IGD tiba-tiba terbuka, bersamaan dengan suara seorang pria yang membuat semua orang menatap ke arah tirai.
Luna menatap layar ponselnya sembari memasukkan segenggam kacang goreng ke dalam mulutnya. “Perselingkuhan Aktor Terkenal Reno dengan Aktris Pendatang Baru.” Luna membaca judul berita di layar kecil itu dengan nada datar. Tidak ada lagi rasa sedih ataupun kecewa dari sorot matanya, seolah-olah Luna sudah sangat terbiasa dengan berita perselingkuhan itu.Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan mendekat dan membaca berita yang sama dari ponsel Luna. “Jadi mereka tertangkap kamera lagi ya? Apa Pak Reno sengaja melakukan ini?” tanya Bi Imah dengan raut penasaran.Luna menoleh heran demi mendengar pertanyaan asisten rumah tangganya. “Kenapa Mas Reno harus melakukan itu, bi? Memang apa untungnya? Bukankah seharusnya berita seperti ini malah bisa merugikan Mas Reno ya?” Luna justru balas bertanya dengan raut bingung.Wanita paruh baya yang mengenakan celemek kuning itu mengambil kursi di depan Luna dan menghela napas panjang. “Mungkin saja ‘kan Pak Reno sedang tes ombak? Karena kemarin Bu Lun
Reno menatap rumah besar di depannya dengan wajah kesal. Setelah insiden di jalan tadi, dia memutuskan untuk mengemudikan mobil dan mengantar Maria dan Angga pulang lebih dulu. Entah apa yang ada di pikiran manajernya itu sampai-sampai tidak fokus dalam mengemudi dan hampir membahayakan mereka semua.“Luna, semua ini karena kamu! Seandainya sejak awal kamu mendengarku dan mengabaikan Aldi, pasti kehidupanku akan baik-baik saja! Aku dekat dengan Maria juga ‘kan karena kamu yang mulai cari gara-gara dan merepotkanku terus,” geram Reno sambil memukul setir di depannya.“Sebenarnya di mana kamu bersembunyi, Luna? Mungkinkah kamu kembali ke rumah?” tanya Reno pada dirinya sendiri. Upayanya mendatangi kontrakan Luna setelah tayangan klarifikasi itu tidak membuahkan hasil. Meskipun sudah menunggu di depan rumah petak itu sejak siang hingga malam hari, Reno sama sekali tidak melihat Luna. Sepertinya Luna sudah tahu keberadaannya dan berhasil melarikan diri lebih dulu. Tetapi ke mana wanita it
Reno menghentakkan kakinya kencang-kencang setelah menutup pintu coklat di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sinis seperti itu dari salah satu direktur yang biasanya selalu memujanya. Ditambah lagi, sikap sinis itu dia dapatkan tepat di depan Aldi, musuh terbesarnya saat ini."Siapa yang akan menangis katamu? Tentu saja itu adalah kamu, Aldi! Dasar tidak tahu diri!" geram Reno sambil meninju tangannya ke sembarang arah dan berjalan menuju lift di ujung koridor. Berita-berita tentang kekerasan yang dia lakukan pada Luna sudah tersebar luas di berbagai media. Tidak seperti biasanya, manajernya, Angga bahkan mengatakan bahwa dia belum mendapat berita apapun dari agensi mereka tentang upaya membersihkan namanya. Hal itu jelas membuat Reno semakin pusing, ditambah dengan sikap direktur yang tadi dia temui. Mungkinkah saat ini dia tengah dikucilkan? "Kenapa jadi aku yang harus dikucilkan? Padahal Aldi dan Luna yang bersalah. Kalau saja Aldi tidak datang
Brak!Aldi mengangkat kepalanya karena suara pintu kantornya yang mendadak dibuka dengan kencang. Lebih tepatnya, seseorang yang tampak sangat marah membantingnya dan kini menatap lurus pada dirinya.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang la—”Grab!Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan kekar telah mencapai dirinya dan kini mencengkram kerah kemeja hitam yang dia kenakan.“Kurang ajar! Katakan di mana Luna sekarang!” ucap Reno dengan mata memerah. Gigi putihnya bahkan bergetar karena menahan emosi.Aldi menatap pria di depannya dengan dingin. Siapa sangka pagi harinya akan dibuka dengan kemarahan Reno yang mendadak datang di kantornya yang sangat tenang.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang lain.” Bukannya menjawab perkataan Reno, pria dengan rambut ikal yang kini dikuncir kecil itu justru mengulangi ucapannya sendiri.B
"Saya merasa senang mendengarnya pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana, sehingga posisi bapak di agensi itu tidak akan goyah."Luna yang bermaksud mengambilkan air minum dan beberapa snack untuk Bi Imah menghentikan langkahnya tepat di dinding pembatas dapur ketika mendengar suara berat milik Bara. Sebuah nama segera melintas dalam pikiran Luna ketika mendengar kata-kata 'posisi' dan 'agensi'. "Mas Aldi? Mungkinkah Bara bicara dengan Mas Aldi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Seolah tersihir, kedua kakinya bergerak mendekat dan berniat mencuri dengar pembicaraan Bara dan temannya itu. "Baik, pak. Saya mengerti. Saya akan melakukan semua yang bapak minta," ujar Bara dengan mantap. Luna terdiam di sisi lain dapur dan berusaha menahan napas agar Bara tidak merasa terganggu dengan keberadaannya. Sesekali, wanita muda itu mengintip ke dapur dan mendapati Bara yang tengah duduk di meja makan. Mangkuk bakso miliknya yang masih tersisa separuh sama sekali tidak memalingkan perhatian L
Ting Tong! Bara menghentikan Luna dengan tangannya dan beranjak lebih dulu mendekati pintu utama dengan aksen garis putih itu. Sementara di belakangnya, Luna mengekor dengan tatapan curiga. Hampir saja dirinya terlarut dalam rasa penasaran yang mungkin saja menyeretnya dalam bahaya. Bara membuka sedikit ujung gorden demi mengecek siapa yang berada di balik pintu. "Iya, pak. Beliau sudah datang," ujarnya pelan pada lawan bicara di telepon.Luna yang berada tepat di belakangnya menghela napas lega. Artinya, orang yang berada di belakang pintu bukanlah ancaman bagi mereka.Wanita yang mengenakan dress bunga itu mengernyit kecil ketika Bara membisikkan sesuatu melalui telepon. Rasa penasaran tentang siapa yang diajak bicara oleh pria itu mendadak mencuat. Melihat bagaimana Bara sangat waspada ketika mengangkat telepon, Luna jadi menduga-duga kalau lawan bicara aktor muda itu mungkin saja adalah pemilik rumah mewah ini."Mba, bibi yang akan membantu Mba Luna selama di sini sudah datang."