DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUA
Part 4
"Kesini, kan gelangku!" sentakku bengis. Nyonya besar itu dengan ragu-ragu mulai melepaskan gelang emasnya satu per satu. Wajahnya terlihat cembetut, seperti tidak rela melakukannya, lalu memberikan gelang itu dengan wajah yang terlihat jengkel, sedikit mengerucut bibirnya. Kuambil cepat gelang itu dari tangannya.
'Bodo amat, emang gue pikirin' sinisku dalam hati.
Sekarang ini, aku hanya berusaha meminta sesuatu yang memang sudah menjadi hakku, yang sudah dirampas seenaknya oleh mereka berdua selama hampir empat tahun, dan aku dulu hanya diam membiarkan saja kedzaliman itu mereka lakukan terhadapku.
"Surat-suratnya mana, Buk?" tanyaku lagi, sambil melihat-lihat gelang yang kupegang. Kembali si nyonya besar itu diam saja, tidak menyahut. Wajahnya masih tertekuk, matanya menatapku tajam. Kilat amarah dan kebencian terpancar dari sana.
"Aku hanya minta hakku, loh, Buk, bukan merampas milik Ibu," jelasku lagi. Mantan ibu mertuaku diam saja, lalu mulai berdiri hendak keluar kamar. Kuikuti dia dari belakang, menoleh sesaat ia ke arahku. Sebelum dia menegur aku berucap terlebih dahulu.
"Aku mau ambil surat-surat gelang ini. Lagipula jika di total, uang yang ibu ambil dariku masih lebih banyak dibanding dengan harga gelang ini," ucapku menggerutu di belakangnya. Perempuan paruh baya itu diam saja, terus melangkah menuju kamarnya, dan aku terus menguntitnya.
Aku ikut masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang berukuran cukup luas, didominasi warna putih dengan banyak furniture terbuat dari kayu jati. Aku sangat mengenali setiap sudut ruangannya, karena kemarin-kemarin, bahkan hingga tadi pagi, aku juga yang masih membersihkan semuanya. Menyapu dan mengepel lantainya, setiap hari hampir selama empat tahun.
"Atika! Bersihkan dan rapihkan kamarku." Itu yang selalu mantan ibu mertua ucapkan setiap pagi, saat Mas Yoga baru saja berangkat ke kantor.
"Iya, Bu ...." Aku selalu menjawab seperti itu. Sedikit agak siang, saat Henny si nenek sihir junior baru bangun tidur, dia pun berucap sama persis dengan yang dilontarkan ibunya, dan walaupun aku sedang mengerjakan pekerjaan yang lain, aku tetap disuruhnya untuk membersihkan kamarnya terlebih dahulu. Bahkan merapikan bekas tempat tidurnya. Dzalim sekali, si pemakan segala itu denganku.
Belum lagi jika anak-anaknya bangun tidur. Erica 6 tahun, dan Zulfa 4 tahun, di saat emak moyangnya masih tertidur, aku yang memandikan juga menyiapkan mereka sarapan. Walaupun aku senang merawat mereka, tetapi rasanya tidak pantas saja jika kelakuan ibu kandungnya seperti itu. Terkesan tidak perduli dengan anaknya sendiri, sampai-sampai mereka jauh lebih dekat denganku dari pada dengan si "omnipora" itu sendiri. Padahal, kedua gadis kecil yang cantik-cantik dan lucu tersebut, terlahir dari rahimnya. Andai Mas Yoga tidak selemah itu, mungkin aku pun sudah punya balita.
"Ini surat-suratnya, Atika," ucap mantan ibu mertua mengagetkan, sedikit tergagap karena sempat melamun tadi. Kuambil surat yang dia sodorkan. Kulihat dan kubaca surat kwitansi tersebut. Berapa gram tiap-tiap gelangnya. Berapa jumlah harga pembeliannya, dan dari toko emas mana dia membeli dua gelang ini.
"Jika dilihat dari jumlah harga pembelian dua gelang ini. sepertinya ... uangku masih ada enam juta sama ibu," ucapku pelan tapi tegas, sembari mataku terus saja memperhatikan kertas-kertas pembelian tersebut.
"Kok, kurang, sih, Atika?" keluhnya. Dari kertas-kertas tersebut mataku beralih menatap wajahnya, kulipat-lipat kertas tersebut, lalu memasukkannya ke dalam dompet kecil milikku.
"Jika ibu tidak percaya, sekarang kita hitung bareng saja. Uang dari Mas Yoga untukku yang diambil ibu, tiga ratus ribu per-bulan. Dikali empat tahun, lalu dipotong dengan harga beli emas tersebut. Coba ibu hitung pake kalkulator di hape ibu. Biar ibu tahu juga jelas, berapa, jumlah sisa uangku yang masih ada sama ibu," ucapku, merinci-rinci berapa banyak uang yang sudah mantan ibu mertuaku ambil.
"Itu, kalung yang ibu pakai, mungkin cukup untuk menutupi uangku." Aku menunjuk kalung emas yang ada di lehernya.
"Kamu memanfaatkan kelemahan Yoga untuk memeras ibu, ya," kecam si mantan padaku. Wajahnya memerah, matanya pun melotot, sepertinya sudah emosi tingkat tinggi, semoga dia tidak jatuh stroke karena hal ini.
'Astagfirullah ... jahatnya, aku' manusiawi, jika hatiku punya sisi jahat dan baik, apalagi selama ini hidupku penuh dengan tekanan dari mereka.
"Memeras? Aku gak salah dengar ibu bilang begitu? Coba ibu pikir-pikir yang baik, siapa yang mengambil uang jajanku selama hampir empat tahun. Siapa yang membayar tenagaku selama berprofesi rangkap, menantu merangkap pembantu. Ibu punya hati tidak? Yang memeras itu Ibu. Aku hanya meminta hak aku yang sudah dirampas Ibu!" sentakku, seenaknya saja dia menuduh seperti itu.
Terkadang, kita hanya pandai menilai kesalahan orang hingga kesalahan sendiri terabaikan, malah terkesan ditutup-tutupi. Jangan sampai terhinggapi penyakit merasa diri paling suci. Yang salah siapa, yang ngotot siapa.
"Buka Bu kalungnya, sekalian juga sama surat-suratnya," pintaku sama si mantan, telunjuk tanganku bergerak maju mundur dengan telapak tangan terbuka, memberi kode agar kalung yang dipakainya diserahkan padaku. Walaupun raut wajahnya terlihat kesal, pelan-pelan dia mulai membuat kalung yang dipakainya lantas diserahkan kepadaku. Dan kalung itu, sudah ada di tanganku sekarang.
"Surat-suratnya mana, Bu--"
"Kurang ajar yah kamu, Atika! Dikasih hati malah memeras ibuku!" Henny berteriak kencang dari pintu kamar.
Tubuh bulat besar itu mulai mendekat dan ingin menerjang. Kedua tangannya sudah terbuka lebar dengan posisi ingin mencakar dan menjambak, langkahnya semakin mendekati aku.
"Plakk ....!"
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 5"Auuwww ....!"Si pemakan segala itu menjerit kesakitan saat telapak tanganku menamparnya sangat keras. Telapak tangan yang sudah bekerja sangat keras di rumah ini. Terlihat memerah kulit wajahnya yang terkena tamparan. Berhenti langkahnya sebelum sempat menyentuh tubuhku. Telapak tangannya lantas menutupi pipinya yang memerah, mukanya nampak meringis kesakitan dan matanya mulai meremang, kemudian si omnipora itu mulai menangis.'Cengeng' rutuk bathinku.Si Mantan ibu mertua lantas mendekati putri manjanya, menatap tajam ke arahku. Tubuhnya gemetar dan wajahnya menyimpan kemarahan, jemari tangannya terlihat mulai mengepal."Ibu mau coba-coba juga." Kutantang dan menatap balik wajahnya. Perlahan dia mulai mengendurkan urat lehernya."Henny yang ingin menyerangku terlebih dahulu, dan aku hanya membela diri. Ibu juga bisa lihat sendiri,'kan?" ujarku membela diri.Perempuan paruh baya itu diam saja sembari menenangkan si putri manjanya."Walau t
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 6"Heiii .... Henny, mana?" panggil si perempuan pengerat itu. Kuacuhkan saja, tidak kuhiraukan sembari terus memasukkan dan merapikan pakaianku ke dalam lemari."Hei! Aku panggil kamu, Henny di mana?" tanyanya lagi. Aku lalu menengok ke arahnya, berpura-pura seperti tidak ada orang di depan pintu kamar."Ada suara, tetapi nggak ada orangnya, mungkin ada Setan Pengganggu di sini," ucapku dengan sedikit keras. Sengaja kulakukan agar si betina penganggu itu ikut mendengar. Lalu kembali membelakanginya sambil terus sibuk memasukkan pakaian ke dalam lemari pakaian."Kurang ajar kamu, ya, nggak punya sopan santun!" pekiknya, aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya, tapi dari lengkingan suaranya, sepertinya dia marah besar dan tersinggung.'sebodo amat' bathinku, terus saja mengacuhkannya, kuanggap dia tidak pernah ada di kamar ini. Terus saja melanjutkan aktivitasku."Hei! Atika! Kamu jangan pura-pura budek, ya!" sentaknya lagi. Aku lalu menoleh ke
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUABagian 7Erna, wanita pengganggu rumah tangga orang yang mengaku bermartabat itu berucap pedas dan menusuk. Kuberbalik badannya menatap tajam, ada Henny di sampingnya, dan kemungkinan besar Henny juga yang bercerita tentang talak yang sudah Mas Yoga hadiahkan untukku."Tadi Mbak Erna ngomong apa?" tanyaku, tetap berusaha baik-baik terlebih dahulu. Baru kugiles seperti cucian kotor."Aku bilang, Kamu perempuan kampung yang tidak punya malu! Sudah dicerai Mas Yoga, tapi masih mengaku-ngaku sebagai istrinya." Suaranya malah terdengar semakin keras."Memangnya, Anda punya malu?" Kuberbalik bertanya kepadanya."Jelas dong. Aku lebih berpendidikan daripada kamu, jadi aku lebih paham apa itu rasa malu," jawabnya cepat, wajahnya mendongak angkuh. Merasa derajatnya lebih tinggi dibandingkan aku. "Berusaha mendekati pria yang sudah beristri, apa itu termasuk punya malu?" sindirku pelan."Mendatangi suami orang tanpa mengenal waktu, lalu bermanja-manja di dep
Semangkok mie ayam ditambah bakso dan es campur menemaniku, selepas menjual dua gelang emas tadi di pasar. Untung saja harga emas sedang naik, jadi saat dijual tadi harganya tidak jauh berbeda dengan yang di kwitansi pembelian, walaupun per gram emasnya mendapatkan potongan 10 ribu. Dompetku penuh uang, hasil dari menjual emas tadi. Justru yang membuat saya bingung, harus diapakan uang tersebut. Ingin mengirim uang ke ibu di kampung, satu pun tidak ada yang punya rekening bank, baik ibu, maupun ke dua adikku, sementara bapak sudah sepuluh tahun yang lalu pulang.Keberadaanku di kota ini pun, karena diajak tetangga rumah di kampung, untuk ikut bekerja di pabrik, tempat di mana dia sudah bekerja terlebih dahulu, dan posisi pabrik waffer tempatku bekerja dulu, tidak terlalu jauh dari pasar tempat kumakan mie ayam sekarang ini. Mas Yoga dulunya adalah atasanku di pabrik wafer tersebut. Jabatannya sebagai manager produksi, sedangkan saya hanyalah karyawan operator biasa. Tetapi setelah p
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 9Menjelang sore, aku kembali pulang sembari membawa sebungkus mie ayam dan dua bungkus es campur, untuk mantan ibu mertua dan dua anaknya Henny. Kembali menaiki angkutan kota berwarna merah yang banyak menunggu penumpang di depan pasar. Bisa dikatakan, pasar yang aku kunjungi tersebut adalah pangkalan akhir angkot yang kunaiki.Sesampainya di rumah, sepertinya Erna masih berada di dalam, karena kendaraan yang dipakainya masih terparkir di halaman rumah, dan benar saja, baru saja masuk ke ruang tamu, terlihat mereka sudah berkumpul di situ.Tiga nenek sihir berkumpul bersama, sepertinya mereka semua memang sengaja menunggu kepulanganku, dan dua tas besar milikku juga terlihat di situ. Kucoba bersikap tenang, sembari berteriak memanggil dua anak Henny, yang sangat senang menerima pembelian dariku, sekalian dengan mie ayamnya kuberikan untuk mereka berdua."Tasku, kenapa ada di luar?" tanyaku, santai saja. Lalu mendekati dan duduk di kursi depan
Mata Erna, perempuan yang mengaku pintar dan bermartabat itu membulat sempurna, saat saya bilang, jika "perkakas" Mas Yoga tidak lagi bisa berfungsi maksimal. Saya sendiri tidak paham apa penyebabnya. Tiap-tiap tempat yang kami datangi selalu memberikan keterangan diagnosa yang berbeda-beda.Seperti tidak percaya, Erna mengambil selembar kertas di atas meja, membaca sebentar lalu diam, dan dengan cepat mengambil selembar kertas lagi, dan lagi. Membacanya cepat, kali ini wajahnya benar-benar terlihat kaget maksimal, benar-benar seperti orang yang sedang panik."Cinta Mbak Erna, 'kan tulus, tidak masalah dong dengan keluhan yang diderita Mas Yoga," sindirku santai saja sambil menyenderkan tubuh di sofa. Sementara mantan ibu mertua dan Henny, paras wajahnya terlihat tegang sekali. Mereka seperti sedang menunggu, apa ucapan Erna selanjutnya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya.Erna mulai terlihat seperti orang linglung, seperti sedang berpikir keras. Sedikit ragu-ragu dia melirik
Pov YogaSesaat baru saja ingin berangkat bekerja. Terdengar ibu memanggil namaku dari ruang tamu, aku pun segera menghampirinya. Tidak beberapa lama, ibu menyuruh kakakku Henny yang sedari tadi ada bersamanya untuk juga memanggil istriku, Atika. Yang terakhir kali terlihat sedang mencuci gelas dan piring di westafel dapur."Ada apa, Bu?" tanyaku ke ibu, yang malah menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu di sofa ruang tamu.Tidak beberapa lama, Henny kembali lagi ke ruang tamu dengan Atika yang mengikuti di belakangnya. Atika--istriku, yang sudah hampir empat tahun ini kunikahi, memilih untuk berdiri di sampingku. Seseorang yang sabar dan penurut juga tidak banyak membantah, menurutku. Tetapi tidak, jika menurut pendapat ibu dan Henny.Setiap hari, ada saja yang dilaporkan kepadaku tentang Atika. Yang malas'lah, sering membantah, bahkan boros. Padahal, setiap bulan, uang belanja kuserahkan pada ibu untuk mengelolanya. Bahkan, uang buat jajan Atika pun kuserahkan juga ke ibu. 300 ribu p
POV YogaSeharian ini, aku menghabiskan waktu di sebuah cafe pinggir pantai laut Utara Jakarta. Merenung, banyak memikirkan hal-hal yang sudah terlewati sepanjang perjalanan pernikahanku dengan Atika. Rumah tangga kami terlihat tenang-tenang saja. Atika lebih banyak diam dan selalu mengikuti caraku menjadi imam di dalam rumah tangga kami.Pernah sesekali mengajakku untuk hidup mandiri, tidak hidup bercampur dengan ibu dan kakakku Henny. Memintaku untuk mengontrak rumah, kecil pun tidak apa-apa katanya, tetapi aku jelas-jelasan menolak keinginannya. Aku merasa sebagai anak lelaki satu-satunya, putra bungsu, harus melindungi dan menjaga ibuku dengan terus tinggal bersamanya.Aku terus meminta Atika agar bersabar, mau mengerti dan memahami watak ibuku. Atika menuruti keinginanku, hingga hampir berjalan empat tahun usia pernikahan kami.Terkejutkan dengan panggilan telepon yang masuk lewat gawaiku. Aisah, adik kedua Atika ternyata yang menghubungiku."Assalamualaikum, Mas Yoga. Bisa bicar