Share

Part 3. Mulai Bernegosiasi

DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUA

Part 3

"Berarti kamu bersedia untuk tidak jadi pergi, kan Atika?" tanyanya lagi, masih terdengar lembut.

"Tergantung," ujarku santai saja, sambil menutup reslting tas, menoleh pun tidak kepadanya.

"Asal kamu jangan pergi meninggalkan Yoga, dan berjanji untuk tidak menceritakan tentang penyakitnya kepada orang lain, ibu akan ikuti," ucapnya, wajahnya menoleh sesaat kepadaku yang masih berdiri di depannya. 

Beberapa saat kemudian, nenek sihir yang satunya lagi ikut masuk ke dalam kamar. Henny, mahluk si pemakan segala. Tubuhnya terlihat bulat, tidak pernah dipakai untuk bergerak dan bekerja keras, karena dia pikir mungkin karena ada aku. Babu gratisnya.

Gerak tubuh Henny pun terlihat canggung, senyum di wajahnya mirip persis dengan ibu mertuaku, terlihat menyeramkan. Karena penuh kesandiwaraan dan kepura-puraan. Melakukannya karena sebuah keterpaksaan, bukan karena ketulusan yang berasal dari hati. Jadi senyumnya terasa hambar.

"Kamu masuk ke kamarku, berniat untuk kembali mengusirku, Hen?" tanyaku, berkesan menantang pada Henny yang sekarang, tidak akan lagi kupanggil kakak. Maless ... prinsip baruku sekarang, membalas seseorang sesuai dengan perbuatannya. Jika mereka tidak bisa menghargai, aku pun tidak usah susah payah menghargainya.

Henny diam saja, tidak menjawab sangka'anku.

'semoga dia kerasukan setan gagu juga, kalau bisa selamanya.' umpat hatiku, jengkel.

Ucapan yang keluar dari mulutnya si Henny selama ini sangatlah menyakitkan, menggores ke dalam hati. Ingin rasanya dulu, memasukkan ulekan cabe ke dalam mulutnya. Kata-kata yang melukai hati, bisa seumur hidup tidak akan bisa terlupa, karena dia mengiris sangat dalam, dan hatiku merasakan sakit seperti itu. Luka yang sulit tersembuhkan. Sampai ada istilah "Lebih baik luka menggores badan, dari pada luka menggores hati."

"Kamu benar,'kan tidak jadi pergi, Atika?" tanya ibu sekali lagi. Kutatap mata mereka berdua.

"Akui di hadapan Mas Yoga, bahwa apa yang kalian katakan itu adalah semua fitnah." Aku mengambil posisi duduk di bangku meja rias, berhadapan langsung dengan mereka yang terduduk di kasurku.

"Berani tidak, bicara jujur kepada, Mas Yoga?"

Ibu dan Henny terdiam, sesaat mereka saling menatap.

"Nanti ibu sendiri yang akan bicara langsung," jawabnya.

"Harus di depan aku bicaranya," ujarku, tegas. Mantan ibu mertua mengangguk, menyetujui.

"Itu saja,'kan, syaratnya!" celetuk Henny, mulut tajamnya sudah gatal ingin ikut bicara.

"Aku minta kamarmu, buat aku," ujarku tegas.

"Nggak bisa dong, enak aja," balas Mak Lampir junior, cepat.

"Karena fitnahmu, aku ditalak adikmu, tidak mungkin,'kan aku tinggal sekamar lagi sekarang," balasku, tidak kalah cepat.

"Yah, kamu tinggal di kamar Henny, sekarang," jawab ibu.

"Tapi, Bu--"

"Kamu sekarang tidur sama anak-anakmu," ucap mantan ibu mertua.

"Iyalah, Hen, punya anak, tetapi tidak mau tidur bareng anak, suamimu sendiri, kan lagi dinas diluar daerah, temani dong anak-anakmu, jangan bergaya macam ratu saja, ingin tidur sendiri," sindirku, akan kelakuannya. 

"Jika anakmu bangun tengah malam, malah aku yang dibangunkan, yang jadi emaknya 'kan, kamu!" sindirku, lagi. Dengan wajah cemberut Henny lantas berdiri, lalu melangkah ingin keluar kamar.

"Rapihkan kamarnya, aku tidak mau lagi jadi babumu!" Sedikit berteriak, aku mengingatkannya. Sesaat Henny berhenti di depan pintu kamar, matanya tajam, melotot ke arahku.

"Apa! Lihat, lihat! Gak suka rapihin kamar bekas tidur sendiri." Mataku pun melotot kepadanya. Mendengkus kesal dia, tanpa lagi banyak bicara, Henny segera keluar kamar.

Aku kembali menoleh ke arah mantan ibu mertuaku, sempat melihat, jika matanya melihat ke arahku, dengan tatapan tidak suka.

"Ibu kenapa, melihatku sinis begitu? Jika ibu keberatan, usir saja aku, Bu." Berani menantang aku sekarang.

"Nggak, ibu, nggak apa-apa, ucapan kamu benar, ko, jika Henny memang harus satu kamar dengan kedua anaknya," jelas ibu, mendukung ucapanku, lalu wajahnya kembali menunduk.

"Sekarang, aku minta uangku, yang ada pada Ibu." Aku berdiri dari bangku meja rias, dan mulai mendekatinya.

"Uang apa," jawabnya, terlihat kaget, atau mungkin cuma berpura-pura kaget.

"Sudahlah, Buk, tidak usah pura-pura tidak paham," sindirku pedas. 

"Ibu memang benar-benar tidak paham," jawabnya.

"Aku tahu, Buk. Tiap bulan, ibu yang memaksa Mas Yoga untuk menyerahkan uang bulanan sama ibu. Mas Yoga bilang, ko, jika aku ingin membeli segala keperluan pribadi, jatah uang jajan bulanan buatku, sudah dikasihkan sama Ibu, jadi aku tinggal minta saja sama Ibu, sekarang mana, uangku?" Kutadahkan tutupnya terbuka di hadapannya.

"Be-be-rapa?" tanyanya, terbata.

"Mas Yoga bilang, sebulan tiga ratus, sekarang ibu kali saja empat tahun. Empat tahun loh, Bu, duit jajanku dipegang sama Ibu, jangan-jangan, ibu korupsi juga," tuduhku.

"Kemu jangan kurang ajar, ya, sama ibu!" sentaknya, mungkin dia sudah jengkel denganku.

“Kalau Ibu ingin aku tidak kurang ajar, kembali, kan dong sekarang uangku,” ujarku. "Yang aku minta sama ibu. Itu hak aku, loh, bukan uang ibu yang aku poroti," sindirku lagi.

"Tapi uangnya sudah habis," jawabnya pelan sambil menunduk. Sepertinya tidak menyangka, Jika saya mengungkit-ungkit tentang uang tersebut.

"Sekarang, aku minta dua gelang emas yang ibu pakai." Kusodorkan mata, kepada nyonya besar itu.

“Gelang itu dibeli dari uang jajanku, berarti gelang itu milikku, kembalikan sini sekarang, uang bulananku yang sudah ibu rampas,” ujarku, bengis.

"Sekali lagi, kesini,'kan, gelangku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status