Share

Part 5. Ibadah Terpanjang

DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUA

Part 5

"Auuwww ....!"

Si pemakan segala itu menjerit kesakitan saat telapak tanganku menamparnya sangat keras. Telapak tangan yang sudah bekerja sangat keras di rumah ini. Terlihat memerah kulit wajahnya yang terkena tamparan. Berhenti langkahnya sebelum sempat menyentuh tubuhku. 

Telapak tangannya lantas menutupi pipinya yang memerah, mukanya nampak meringis kesakitan dan matanya mulai meremang, kemudian si omnipora itu mulai menangis.

'Cengeng' rutuk bathinku.

Si Mantan ibu mertua lantas mendekati putri manjanya, menatap tajam ke arahku. Tubuhnya gemetar dan wajahnya menyimpan kemarahan, jemari tangannya terlihat mulai mengepal.

"Ibu mau coba-coba juga." Kutantang dan menatap balik wajahnya. Perlahan dia mulai mengendurkan urat lehernya.

"Henny yang ingin menyerangku terlebih dahulu, dan aku hanya membela diri. Ibu juga bisa lihat sendiri,'kan?" ujarku membela diri.

Perempuan paruh baya itu diam saja sembari menenangkan si putri manjanya.

"Walau tidak hebat, tetapi waktu sekolah dulu aku pernah belajar ilmu bela-diri. Boleh saja jika Ibu ingin coba-coba," celetukku. Menatap tajam kepada keduanya, mereka pun menunduk bersamaan.

"Aku diajarkan ibuku untuk patuh dan hormat kepada suami dan keluarga besarnya. Aku patuhi semua pesannya, walaupun hatiku sakit oleh perlakuan kalian berdua," jelasku kepada ibu dan Henny, mereka melirikku takut-takut.

"Saat statusku masih menjadi istri dari anak Ibu, aku selalu patuh dan hormat kepada Ibu. Walaupun ibu dan Henny bersikap semena-mena, itu juga karena teringat petuah ibuku untuk menganggap ibu mertua dan ipar seperti ibu kandung dan saudaraku sendiri. Tetapi kalian berdua malah memanfaatkan kepatuhanku dengan  bersikap dzalim dan semaunya terhadapku," sindirku ketus.

"Sekarang, karena fitnah yang berasal dari mulut kalian sendiri, membuat ikatan kepatuhan dan kehormatanku terhadap kalian mulai terlepas. Itu karena kelakuan yang kalian buat sendiri." Aku pun mulai lebih mendekati, terlihat mereka sedikit mundur dan saling merekatkan rangkulan. Ibu dan Henny terlihat semakin ketakutan.

"Mana kalungnya?" Kutadahkan tanganku meminta kepada si nenek sihir senior yang langsung cepat-cepat memberikannya kepadaku.

"Surat-suratnya, mana?" 

"Se-se-bentar, ibu ambilkan dulu." Si mantan cepat-cepat mengambil surat pembelian kalung tersebut dari laci lemari jatinya.

"I-ini, suratnya." Takut-takut dia menyerahkan kertas itu kepadaku.

"Aku ingatkan lagi kepada Ibu dan Henny, jika aku bukan memeras kalian ataupun merampas milik kalian. Aku hanya mengambil apa yang sudah menjadi hakku, yang kalian ambil tanpa seijinku." Berjalan keluar dari kamar itu, berhenti sesaat lantas menoleh ke arah Ibu dan Henny.

"Kamar buatku sudah dirapihkan belum, Hen?" tanyaku pada Henny. Ia terdiam, melihatku takut-takut.

"Be-belum, Atika," ucapnya, sedikit bergetar suaranya.

"Bukannya dari tadi sudah kusuruh untuk merapikan!" bentakku cepat.

"I-iya, a-akan segera kurapihkan." Henny pun mulai keluar kamar, berjalan menunduk saat melewatiku dan langsung berjalan cepat.

"Oh, iya, Bu. Dari surat pembelian kalung ini, uangku masih ada sisa dua juta sama ibu. Aku bukannya kejam, hanya kasihan saja jika nanti diakhirat, Ibu masih punya tanggungan hutang terhadapku," jelasku sembari meninggalkan kamarnya, dan perempuan paruh baya itu hanya melongo saja.

"Ka-kamarnya sudah rapih, Atika," terang Henny dari pintu kamarku, saat aku sedang merebahkan badan sejenak di tempat tidur.

"Iya, Hen, terima kasih, yah." Tidak ada ruginya mengucapkan kata terima kasih kepada orang yang sudah membantu kita, siapapun orangnya, karena aku sedari kecil sudah terbiasa untuk mengucapkan kata itu dan ibuku juga yang membiasakan.

Aku segera bangkit dari tempat tidur dengan tangan memegang dua tas besar, tatapanku nanar ke arah ranjang. Ranjang yang mati, ranjang yang tenang tanpa gelombang, dan aku bisa bertahan selama itu karena pesan dari ibu.

Aku juga bisa kesepian, ingin juga merasakan kehangatan, memadu hasrat dalam rasa cinta. Tetapi ibu selalu bilang, rumah tangga itu adalah ibadah terpanjang, bukan hanya bicara tentang kenikmatan ranjang. Ibadah itu berat, jika kita tidak ikhlas menjalaninya, dan aku mencoba untuk bersikap ikhlas dengan kelemahan Mas Yoga. Toh, Mas Yoga sendiri tetap mau berusaha untuk sembuh, berarti suamiku masih mau ada usaha untuk membahagiakan aku, dan mungkin memang itu cobaan dalam rumah tanggaku.

Beberapa bulan terakhir ini kami fokus berobat hanya pada satu klinik saja, tidak berpindah-pindah seperti dulu, di mana jika kami dapat informasi, aku dan Mas Yoga pasti mendatanginya, dan terakhir kali Mas Yoga bilang, dia merasa cocok berobat diklinik khusus masalah lelaki tersebut.

"Atika ... selama suamimu memperlakukanmu dengan baik, bertanggung jawab, cobaan apa pun yang nanti akan menghampiri kalian berdua, maka bertahanlah. Mungkin itu cobaan ibadahmu." Begitu pesan ibu saat Mas Yoga mengajakku untuk mulai tinggal di rumah ini.

'Maafkan aku, Bu, rumah tanggaku ternyata harus berakhir seperti ini' lirih bathinku, mulai meremang mataku. Tersadar, lalu cepat-cepat aku menghapusnya sebelum air mataku terlanjur jatuh.

Kubawa dua tas besar itu ke kamar Henny, yang sekarang kutempati. Kamarnya memang sudah terlihat rapih, lemari pakaian pun isinya sudah kosong, lalu aku mulai memasukkan pakaian ku satu-persatu ke dalam lemari, baru saja aku selesai merapikan, ada suara terdengar dari pintu kamar baruku.

"Henny ....!"

Menoleh aku cepat, ternyata Erna si wanita berkelas yang tidak punya rasa malu, yang berkunjung datang.

'Untuk apa si jal*ng itu datang kemari' Greget hatiku rasanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status