Bab 2
"Ada apa ini? Kenapa dia menangis?" tegurnya. Tidak sedikitpun tergerak di hatinya untuk menggerakkan sepasang kakinya demi menghampiri Zakia yang tengah sibuk menenangkan bayinya.
"Seperti yang kamu lihat, Mas. Dia menangis," sahut Zakia lugas.
Namun jawaban Zakia justru membuat Yudha pertama emosi. "Kamu pikir telingaku tuli, hah? Aku juga tahu kalau anak itu menangis!"
Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap Zakia dan bayinya dengan pandangan tak suka. "Ibu macam apa kamu?! Masa iya menenangkan bayi saja kamu nggak bisa? Dasar nggak becus jadi ibu!"
Zakia menoleh. Perhatiannya kini teralih sebentar pada suaminya.
"Naya menangis karena payudaraku tidak memproduksi ASI. ASI ku hanya beberapa tetes yang bisa disedotnya, karena aku belum makan. Terakhir makan hanya pagi, sarapan saat di rumah sakit. Mas ngerti nggak sih?!" Suara Zakia meninggi. Emosinya ikut tersulut karena selalu saja dari tadi ia yang disalahkan, baik oleh Yudha maupun Marina.
"Kalau kamu mau makan, ya makan saja. Apa urusannya denganku?" balas Yudha.
"Yang aku mau sekarang, bayi itu tidak menangis. Pusing aku mendengarnya, tahu!" lanjutnya.
"Apanya yang bisa aku makan, Mas? Di kamar ini tidak ada sesuatupun yang bisa aku makan. Tolonglah, Mas. Sediakan makanan untukku," pinta Zakia sungguh-sungguh. Raut wajahnya berubah menjadi memelas penuh harap.
"Menyediakan makanan untukmu?" Tiba-tiba Yudha tertawa keras. "Memangnya aku pelayanmu, apa?"
"Mas...." Lagi-lagi Zakia menatap suaminya dengan pandangan memohon. "Putri kita sedang menangis dan aku tidak punya waktu untuk menyiapkan makan sendiri. Tolonglah, Mas. Kooperatif sedikit. Aku tidak bermaksud untuk menyuruhmu. Ini lantaran terpaksa, bukan berarti aku..."
"Tidak bisa!" sergah Yudha cepat.
"Kamu itu istriku. Tugasku hanya mencari uang dan tugasmu melayaniku, bukan melayanimu. Istri macam apa kamu? Jangan durhaka deh pada suami!" ucap Yudha kasar sambil menghentakkan kaki dengan suaranya yang menggelegar, membuat suara tangis Naya, bayi yang masih merah itu semakin keras terdengar. Wajahnya semakin memerah.
Zakia menelan ludahnya lalu menghirup nafas dalam-dalam. Sesak di dadanya dengan penolakan sang suami. Sebegitu tidak peduli suaminya dengan keadaannya sekarang, padahal dia sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati mereka ke dunia ini.
Hanya karena ia melahirkan secara caesar, haruskah ia mendapatkan perlakuan seperti ini? Padahal itu bukan kemauannya. Semua murni lantaran pertimbangan medis."Mas, kalau kamu memang tidak peduli padaku, aku bisa terima. Silahkan untuk bersikap acuh tak acuh. Tapi tolong, kasihani putrimu. Dia menangis begini karena kelaparan dan kehausan. ASI ku cuma beberapa tetes dan aku butuh makan agar payudaraku bisa segera memproduksi ASI. Kamu ngerti nggak sih?!"
"Memangnya aku peduli? Aku menikahimu dan kamu aku jadikan istri bukan untuk menjadikan dirimu sebagai putri yang manja, tetapi untuk melayaniku dan keluargaku. Kamu harus mengabdi kepadaku, karena aku sudah memberikan kamu hidup yang layak, tidak seperti yang kamu jalani saat di panti asuhan...." Ini untuk kesekian kalinya Yudha mengungkit-ungkit masa lalu Zakia.
"Stop, Mas. Aku tahu itu. Mas tidak perlu mengingatkan masa laluku sampai berulang-ulang. Aku cukup sadar diri dengan asal usulku." Zakia balas menggeram.
"Please, tolong jangan memperbesar-besarkan masalah!" Tak dihiraukannya tangis Naya. Wanita itu merebahkan putrinya di pembaringan, kemudian melangkah menghadap suaminya.
"Permintaanku tidak muluk-muluk, Mas. Tidak perlu kamu semarah ini padaku. Aku tidak minta rumah, perhiasan mewah, pakaian bagus, mobil atau apapun itu yang di luar kemampuanmu. Aku hanya minta kamu menyediakan makan untukku, sekali ini saja! Kamu bisa belikan aku makanan, apapun itu yang penting perutku kenyang!" Zakia menahan nafasnya. Dia tidak menyangka Yudha begitu tega.
Yudha menoyor dahi istrinya dengan kasar, sehingga Zakia mundur selangkah. Wanita itu terlihat kaget. Namun dengan cepat ia menguasai dirinya, meski tak pelak cairan bening jatuh begitu saja membasahi kedua bibinya, bahkan menganak sungai.
"Sekali lagi aku mendengar kamu meminta sesuatu kepadaku, apalagi sampai menyuruhku, aku ceraikan kamu!" Lelaki itu lantas berbalik. Namun sebelum mengayunkan kakinya untuk meninggalkan kamar itu, ia masih sempat menoleh.
"Cepat, buat bayi itu berhenti menangis, sebelum aku sumpal mulut kecilnya dengan saputangan ini! Dasar bayi cengeng!" pekik Yudha sambil mengacungkan sapu tangan yang entah ia ambil dari mana.
Zakia mengelus dadanya. Tubuhnya mendadak gemetar. Sampai hati Yudha berkata seperti itu. Padahal Naya adalah putri kandungnya sendiri, anak yang terlahir dari benihnya.
Wanita itu buru-buru mengambil bayinya dari tempat tidur, kemudian menggendongnya kembali, mendekapnya erat seraya membisikan kata-kata manis penuh penghiburan. Suara tangis Naya mulai terdengar lebih pelan. Zakia pun akhirnya duduk di tepi pembaringan, kembali berusaha menyusui bayinya. Namun, baru saja pucuk payudaranya berhasil menyentuh mulut Naya, tiba-tiba ibu mertuanya masuk ke dalam kamar itu.
"Zakia, sudah jam berapa ini? Kenapa belum masak juga?" tegur wanita paruh baya itu. Marina berdiri di depan pintu kamar sembari berkacak pinggang.
"Ma...." Zakia menunduk berusaha merangkai kata-kata.
"Jangan bilang kamu mau leha-leha dengan alasan sedang menyusui bayimu! Kamu pikir aku tidak mendengar pertengkaran kalian berdua barusan, hah?!"
"Ma.... Aku minta maaf, aku belum bisa memasak sekarang. Mama lihat sendiri, aku sedang berusaha untuk menenangkan cucu Mama. Kasihan dia ingin menyusu...."
"Kamu pikir menyusui bisa dijadikan alasan untuk melepaskan tugasmu di rumah ini? Tidak, Zakia! Jadi perempuan itu jangan manja!" pekik Marina. Suara pekikan yang akhirnya membuat Yudha kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Ada apa, Ma?" tegurnya sembari memijat kepalanya yang terasa pusing. Mereka baru saja sampai ke rumah, tetapi sudah terjadi keributan dan itu gara-gara Zakia dan tangis bayinya.
"Tuh, istrimu. Dia menolak untuk memasak dengan alasan sedang menyusui bayinya. Bayi menyusu itu kan di payudara, bukan di tangan. Tangan Zakia masih bisa dipakai untuk memasak. Dia bisa mikir nggak sih?" adu Marina kepada putranya yang berdiri tepat di belakangnya dari jarak sekitar satu meter.
"Bukan begitu Mas, tapi aku benar-benar tidak bisa. Aku harus menenangkan Naya terlebih dulu. Baiklah, nanti kalau Naya sudah tenang, aku akan memasak," tawar Zakia.
"Tidak bisa! Kamu harus memasak sekarang juga. Gendong bayimu dan bawa serta ke dapur. Di kulkas sudah tersedia bahan-bahan yang akan dimasak. Kamu tinggal masak saja. Cepat!" teriak Yudha memerintah. Lelaki itu bahkan menarik salah satu tangan Zakia, memaksanya untuk berdiri dan berjalan meninggalkan kamar, tidak peduli dengan rintihan Zakia yang kembali merasakan perut bagian bawahnya yang pedih.
Bukan cuma perut bagian bawahnya yang pedih akibat luka bekas operasi yang belum sembuh, tetapi juga lambungnya yang terasa perih. Usai melahirkan, dia memang seringkali lebih cepat merasa lapar, apalagi saat ini memang sudah siang. Dia butuh makan. Setelah itu minum obat yang diberikan oleh dokter sebelum ia meninggalkan rumah sakit.
Sembari terus mendekap erat bayinya, Zakia melangkah tersaruk-saruk menuju dapur. Naya masih saja menangis, meski mulut mungilnya bergerak-gerak mencari tetes demi tetes cairan putih dari pucuk payudara Zakia.
Bab 3Lagi-lagi hanya beberapa tetes yang bisa dihisap oleh Naya, bahkan tetes terakhir hanya berupa cairan seperti air putih, tidak berbentuk cairan putih susu. Tangis Naya kembali terdengar keras. Zakia mendekap erat bayinya, membisikan kata-kata penuh penghiburan dengan air matanya yang berurai.Tiba di dapur, Zakia langsung menuju kulkas dan membukanya, mengambil beberapa bahan masakan yang tersedia di dalam lemari pendingin itu. Tampaknya ibu mertuanya baru saja belanja, karena seingat Zakia, saat ia pergi ke rumah sakit dua hari yang lalu, kulkas dalam keadaan kosong. Melihat bahan-bahan yang ada, akhirnya Zakia memutuskan untuk memasak sop ikan gabus. Sop ikan gabus baik sekali untuk orang yang habis menjalani operasi seperti dirinya. Di samping itu, dia juga mengambil dua buah jagung, menyisirnya dengan pisau dan ditampung di mangkok ukuran besar untuk membuat empal jagung. Sesekali dia menepuk pelan tubuh kecil putrinya. Tangis Naya masih belum mereda. Zakia membiarkan bayi
Bab 4"Ibu macam apa kamu? Menenangkan satu bayi saja tidak bisa. Dari tadi nangis terus. Bosan aku mendengarnya!" sembur Yudha yang seketika membuat Zakia mengurungkan niatnya untuk melangkah keluar kamar, karena orang yang akan dicarinya sudah berada di sini.Zakia menghela nafas kesal. "Mas, Naya menangis karena kelaparan dan kehausan. Bahkan badannya sampai panas begini. ASI ku tidak mencukupi, karena hanya beberapa tetes. Mas ngerti nggak sih?""Kalau dia haus, kamu tinggal kasih minum saja. Apa susahnya?!""Kasih minum pakai apa, Mas?!" Dada Zakia bergemuruh. Antara marah dan kesal yang membumbung hingga ke ubun-ubun. "Tolong Mas belikan Naya susu formula, biar dia tidak nangis terus dan demamnya bisa segera turun," pinta Zakia dengan berani."Susu formula? Kamu pikir susu formula itu murah? Jangan ngada-ngada kamu, Zakia! Kalau anak itu haus, kasih minum air putih atau air tajin. Beres, kan?" sergah Yudha enteng."Air putih? Apa Mas sudah gila?! Mana boleh, Mas?! Makanan bayi
Bab 5 Seolah mengerti ucapan ibunya, bayi cantik nan menggemaskan itu mengerjapkan mata. Tangisnya sudah benar-benar reda. Entah karena kelelahan menangis atau memang sudah merasa kenyang hanya dengan air putih yang ia hisap melalui pucuk payudara ibunya. "Anak pintar," bisik Zakia mengusap pipi putrinya, lantas bangkit dari kasur. Meskipun tubuh putrinya masih panas, tapi setidaknya sudah lebih tenang. Zakia memutuskan untuk meninggalkan putrinya sendirian. Hari sudah menjelang malam dan ia harus memasak untuk makan malam. Jangan sampai orang seisi rumah marah-marah karena ia dianggap lalai menyediakan makan untuk mereka. Zakia kembali membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan makanan dan mengolahnya menjadi masakan yang lezat. Masakan Zakia memang juara. Semua orang di rumah ini selalu lahap menyantap hasil karyanya. Entah karena saking sukanya atau memang serakah, selalu saja Zakia kebagian makanan sisa. Hal ini berlaku sejak Zakia menginjakkan kakinya di rumah ini, sebagai is
Bab 6Zakia meraih bayinya yang terlihat menggeliat, lalu menggendongnya. Wanita itu menepuk-nepuk belakang tubuh mungil putrinya. Saat terdengar suara tangis Naya, dia buru-buru mengeluarkan payudaranya, kemudian duduk di kasur dan berusaha memberi putrinya ASI. "Tunggu dulu, Zakia! Kamu ini apa-apaan sih? Main ngeloyor aja. Dasar tidak menghargai suami!" sembur Yudha. Rupanya laki-laki itu menyusul ke kamar ini karena merasa diabaikan."Sudahlah, Mas. Jangan buat keributan di sini. Naya sedang menyusu. Nanti kita selesaikan semuanya di luar," tegur Zakia sembari menempelkan jari telunjuk di hidungnya."Tidak bisa! Kamu sudah keterlaluan! Kamu tahu, kan, dia itu ibuku dan kakak perempuanku. Tidak sepantasnya kamu melawan mereka. Kamu ini tidak belajar sopan santun, apa?!" hardik Yudha yang membuat putri mungilnya kaget dan spontan melepas pagutannya ke pucuk payudara Zakia."Mas bicara soal sopan santun?!" sahut Zakia akhirnya sembari tersenyum sinis."Apa Mas pikir mereka memiliki
Bab 7"Aku tidak mengada-ngada, Ma. Aku tahu jika tunjangan perusahaan untuk kelahiran Naya sudah cair." Untuk hal yang satu ini Zakia tidak bodoh. Dia memiliki teman bernama Sofia yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Yudha. Sofia lah yang memberitahu soal itu kepadanya. "Aku hanya meminta hak Naya, karena uang itu memang untuk Naya, kan?" lanjutnya. Zakia berusaha menjaga posisi tubuhnya tetap tegak, karena lagi-lagi Marina mendekat dan berusaha mendorong tubuh Zakia demi untuk meruntuhkan mental wanita itu."Berani sekali kamu ngomong seperti itu, Zakia! Kamu lupa yang kerja itu siapa?! Enak saja kamu minta-minta. Sudah untung kamu dinikahi anakku. Bukannya ngasih anak lelaki, tapi malah anak perempuan. Kamu pikir kami senang dengan kelahiran putrimu?! Nggak, Zakia!" Marina bermaksud akan merenggut tubuh Naya dari gendongan Zakia, tetapi Zakia mempertahankan bayinya dengan sekuat tenaga, karena ia tahu maksud buruk Marina. Dia tidak ingin terjadi hal yang buruk pada Naya."
Bab 8Suasana mendadak hening. Zakia menatap sang suami, tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Kata-kata yang barusan terucap dari mulut Yudha seperti sebuah vonis, ibarat hakim yang sudah ketok palu. Talak!Kata sakti yang mengguncang Arasy meluncur begitu saja dari mulut suaminya. Apakah sedemikian besar salahnya sehingga sang suami tega menalaknya? Apakah menuntut haknya sebagai istri dan memperjuangkan hak putrinya itu adalah sebuah kesalahan yang fatal?Tiba-tiba tubuh Zakia gemetar."Atas dasar apa Mas menalakku? Apa salahku?" ucapnya lirih."Kamu masih tanya salahmu?!" Mendadak suara Marina menggema. Rupanya wanita setengah baya itu menyusul putranya ke kamar Zakia."Tolong jangan turut campur urusan rumah tangga kami, Ma," tegur Zakia menyadari ibu mertuanya berdiri di belakang tak jauh dari Yudha."Aku berhak turut campur karena Yudha adalah putraku. Jangan kamu pikir setelah Yudha menikah, lalu semuanya selesai. Sampai mati pun Yudha adalah putraku. Dia milikku!" hardi
Bab 9"Benarkah?" Nada suara Nilam terdengar begitu antusias."Tentu saja, Nilam," sahut Risa seraya merebut ponsel dari genggaman ibunya. "Kamu dan Yudha akan segera bersama lagi. Besok kamu datang ke rumah ini ya. Mungkin saat ini dia masih sedih karena ditinggal oleh Zakia. Dia butuh perhatian dari kamu, Nilam.""Sedih? Bukankah Mama bilang Yudha dan Zakia sudah bercerai?""Iya, Nilam." Risa buru-buru menelan ludahnya. Dia bukan tidak tahu jika sebenarnya Yudha sangat mencintai Zakia. Keputusan yang diambil oleh Yudha hanyalah emosi sesaat, karena dia dan ibunya lah yang mengompori Yudha agar menceraikan Zakia. "Maksud Kakak, kamu harus menunjukkan perhatianmu disaat Yudha butuh seseorang untuk berada di sampingnya," jelas Risa.Terdengar helaan nafas lega di seberang sana. "Tentu saja. Aku akan datang besok kalau tidak ada kerjaan lembur di kantor." Wanita muda itu tertawa.Kedua wanita itu berpandangan. Marina dan Risa tersenyum penuh arti sesaat setelah panggilan telepon terput
Bab 10Zakia tertegun berdiri di depan pos penjagaan. Tepat di belakang pos penjagaan, ada sebuah pagar dengan pintu gerbang yang tertutup rapat.Dua orang lelaki menatap tajam kepadanya, memandanginya dengan penuh selidik, dari kepala sampai ujung kaki. Tiba-tiba Zakia menyadari penampilannya yang acak-acakan. Dia hanya mengenakan gamis lusuh dengan kerudung yang juga sudah pudar warnanya, sembari menggendong bayi dan membawa tas besar yang sudah ia diletakkan di tanah. Ah, penampilannya sudah seperti pengemis saja. Hati Zakia kembali berdenyut nyeri. Betapa kasihan dirinya."Maaf Mbak, ada keperluan apa Mbak kemari? Apakah sudah membuat janji dengan Tuan Arkan?" Salah seorang dari lelaki itu menyapanya dengan sopan.Zakia lantas menggeleng. "Tidak. Kedatangan saya ke sini untuk melamar pekerjaan. Barangkali di sini butuh seorang pembantu rumah tangga. Saya bisa memasak, mencuci dan membersihkan rumah atau halaman. Saya pun juga memiliki kemampuan untuk merawat tanam-tanaman." papa