Bab 3
Lagi-lagi hanya beberapa tetes yang bisa dihisap oleh Naya, bahkan tetes terakhir hanya berupa cairan seperti air putih, tidak berbentuk cairan putih susu. Tangis Naya kembali terdengar keras. Zakia mendekap erat bayinya, membisikan kata-kata penuh penghiburan dengan air matanya yang berurai.Tiba di dapur, Zakia langsung menuju kulkas dan membukanya, mengambil beberapa bahan masakan yang tersedia di dalam lemari pendingin itu. Tampaknya ibu mertuanya baru saja belanja, karena seingat Zakia, saat ia pergi ke rumah sakit dua hari yang lalu, kulkas dalam keadaan kosong.
Melihat bahan-bahan yang ada, akhirnya Zakia memutuskan untuk memasak sop ikan gabus. Sop ikan gabus baik sekali untuk orang yang habis menjalani operasi seperti dirinya. Di samping itu, dia juga mengambil dua buah jagung, menyisirnya dengan pisau dan ditampung di mangkok ukuran besar untuk membuat empal jagung.
Sesekali dia menepuk pelan tubuh kecil putrinya. Tangis Naya masih belum mereda. Zakia membiarkan bayinya menghisap terus payudaranya, meski tak ada setetes cairan pun yang bisa diteguk oleh Naya.
Satu jam berlalu dan semua makanan sudah siap. Setelah menata semuanya di meja makan, Zakia bergegas meninggalkan dapur dan kembali menuju kamarnya. Entah karena kelelahan setelah berjam-jam menangis, akhirnya Naya tertidur dan Zakia merebahkan putrinya ke pembaringan.
"Kasihan sekali kamu, Nak. Kamu belum bisa mendapatkan hakmu." Zakia menatap putrinya dengan miris. Dia mengusap pucuk payudaranya, berusaha memijat-mijatnya. Namun tak ada setetes cairan pun yang keluar.
"Semoga setelah Mama makan nanti, air susu Mama segera keluar," harap Zakia.
Zakia menatap sekeliling ruangan. Tak ada yang berubah pada kamarnya, karena dia memang tidak membeli perlengkapan bayi secara khusus seperti yang biasa dilakukan oleh calon orang tua baru. Jangankan untuk membeli perlengkapan bayi, untuk ongkos taksi saat ia akan periksa kandungan saja harus berdebat habis-habisan dengan ibu mertuanya. Selama ini Marina lah yang memegang keuangan mereka. Yudha hanya memberikan uang sebesar 200 ribu sebulan untuk pegangannya, itupun kadang di ambil kembali. Dia hanya membeli perlengkapan bayi yang standar saja, seperti baju, celana, popok, perlengkapan mandi dan lainnya. Tidak ada tempat tidur bayi yang cantik yang biasa ditemukan saat berkunjung ke rumah teman yang baru saja melahirkan bayinya. Putrinya hanya berbaring ke tempat tidurnya. Semua serba seadanya.
Zakia mengusap air matanya. Perutnya kembali berbunyi, berdemo minta diisi. Dia segera bangkit dari tempat tidur dan mengusap pipi Naya sebelum akhirnya menjauh dari tempat itu dan kembali ke dapur
"Ya Allah...!' pekik Zakia serasa tak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya. Meja makan yang berantakan, piring-piring dan gelas kosong bekas pakai. Tampaknya Marina, Yudha, Risa dan sepasang anak kembarnya sudah selesai makan. Kebiasaan buruk mereka, tidak pernah sekalipun membereskan bekas makan sendiri.
Tidak ada empati sedikitpun di hati mereka terhadap kesusahannya, minimal membereskan bekas makan sendiri, padahal ia sudah bersusah payah menggerakkan tubuhnya untuk memasak, bahkan di tengah tangis Naya, putrinya.
Lagi-lagi Zakia menggeram. Hanya ada sedikit nasi yang ia temukan beserta kuah sop ikan gabus. Ikan gabusnya sudah habis tak tersisa, demikian juga dengan empal jagung.
"Aku yang memasak, tetapi aku hanya kebagian makanan sisa. Ini benar-benar nggak adil," gumam Zakia. Sebenarnya ini bukan pertama kali ia temui. Namun sekarang situasinya sudah beda. Dia memiliki seorang bayi yang harus diperjuangkan air susunya. Jikalau ia tidak makan dengan benar, tidak tercukupi nutrisinya, bagaimana mungkin air susunya bisa mengalir lancar?
Zakia pikir setelah bayinya lahir, mereka bisa sedikit berbaik hati kepadanya. Namun ternyata tidak. Sejak ia hamil dan kemudian melahirkan, tak ada yang berubah dari Marina dan Risa, padahal merekalah yang paling banyak menggunakan gaji suaminya. Tetap saja ia diperlakukan seperti pembantu di rumah ini, bahkan tanpa di beri makan yang layak.
"Sudahlah, aku makan apa yang ada dulu. Soal lain, nanti aku pikir nanti." Zakia menumpahkan semua nasi yang tersisa ke piring, lalu menumpahkan kuah sop. Dia menikmati makan siangnya dengan lahap. Meskipun tak banyak, tetapi setidaknya bisa mengganjal perutnya. Sore atau malam nanti, entah apa yang bisa ia makan. Zakia tak tahu. Dia tidak mungkin memasak ulang, karena bisa membuat ibu mertuanya marah. Wanita setengah baya itu tahu betul jumlah bahan makanan yang ada di kulkas. Tidak mungkin Zakia korupsi, karena pasti akan memicu keributan lagi di rumah ini dan ujung-ujungnya ia pula yang akan disalahkan, dituduh mencuri, padahal dia hanya mengambil haknya sebagai istri dan menantu di rumah ini.
Selesai makan, Zakia mengangkat piring-piring kotor dan gelas ke tempat pencucian, mencuci semuanya, kemudian segera membereskan meja makan. Setelah area dapur bersih, Zakia pun segera kembali ke kamarnya.
Bayinya masih tidur. Wanita muda itu tersenyum. Lelap sekali bayinya tidur, meski Zakia yakin, Naya belum kenyang dengan beberapa tetes ASI yang melewati tenggorokan mungilnya.
"Bersabarlah, anakku. Sebentar lagi pasti payudara Mama akan berisi susu yang bisa kamu hisap. Kamu pasti akan kenyang, Sayang," gumam Zakia sembari meraba gundukan kembar di dadanya.
Zakia melangkah menuju pembaringan, mendekati putrinya. Terlihat Naya tidur begitu damai. Wanita itu begitu takjub melihat pemandangan di hadapannya. Naya adalah ciptaan Tuhan yang paling mengagumkan baginya. Zakia sudah mengandungnya selama 9 bulan, kemudian melahirkannya dengan penuh perjuangan.
"Kamu adalah permata hati Mama, Naya. Kita pasti akan bisa melewati semua ini," ucap Zakia dalam hati saat teringat perlakuan suami dan ibu mertuanya yang seolah tutup mata dengan kelahiran Naya.
Tak terlihat kebahagiaan dan kebanggaan sedikitpun dari raut wajah kedua orang itu dengan kelahiran Naya, Aretha Nayyara Az-Zahra. Zakia sendiri yang berinisiatif untuk menamai putrinya, karena Yudha selalu menggeleng saat ia menanyakan soal pemberian nama bayinya.
"Ya Allah, panas!" Zakia tersentak kaget ketika tangannya terulur mengusap wajah Naya saat bayi itu menggeliat. Wanita itu spontan mengangkat tubuh putrinya, memangkunya sembari mengusap-usap punggung mungil itu.
"Kamu demam, Nak?" Zakia bergegas bangkit sembari menggendong Naya, terus melangkah keluar menuju dapur untuk mengambil air hangat.
Zakia membasahi sapu tangan mungil dengan air hangat lantas meletakkan kain kecil itu di dahi putrinya.
"Ya Allah.... Kenapa jadi sampai begini? Kenapa kamu sakit, Nak? Apakah kamu mengalami dehidrasi karena belum bisa menyusu dengan benar?!" Air mata Zakia kembali berguguran.
Wanita itu menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengurus putrinya. Namun panas di tubuh Naya tidak kunjung turun. Zakia sangat cemas. Suara tangisan putrinya kembali terdengar. Zakia duduk di tepi pembaringan, mencoba menyusui putrinya. Namun jumlah asinya tetap sama seperti sebelumnya, hanya beberapa tetes yang bisa masuk ke dalam tenggorokan Naya.
"Kasihan putriku. Tampaknya aku harus segera meminta Mas Yudha untuk membelikan Naya susu formula," ucap Zakia dalam hati seraya bangkit dan berdiri.
Namun belum selangkah kakinya terayun, tiba-tiba pintu kamar ini terbuka. Yudha menerobos masuk ke dalam sembari berkacak pinggang.
Bab 4"Ibu macam apa kamu? Menenangkan satu bayi saja tidak bisa. Dari tadi nangis terus. Bosan aku mendengarnya!" sembur Yudha yang seketika membuat Zakia mengurungkan niatnya untuk melangkah keluar kamar, karena orang yang akan dicarinya sudah berada di sini.Zakia menghela nafas kesal. "Mas, Naya menangis karena kelaparan dan kehausan. Bahkan badannya sampai panas begini. ASI ku tidak mencukupi, karena hanya beberapa tetes. Mas ngerti nggak sih?""Kalau dia haus, kamu tinggal kasih minum saja. Apa susahnya?!""Kasih minum pakai apa, Mas?!" Dada Zakia bergemuruh. Antara marah dan kesal yang membumbung hingga ke ubun-ubun. "Tolong Mas belikan Naya susu formula, biar dia tidak nangis terus dan demamnya bisa segera turun," pinta Zakia dengan berani."Susu formula? Kamu pikir susu formula itu murah? Jangan ngada-ngada kamu, Zakia! Kalau anak itu haus, kasih minum air putih atau air tajin. Beres, kan?" sergah Yudha enteng."Air putih? Apa Mas sudah gila?! Mana boleh, Mas?! Makanan bayi
Bab 5 Seolah mengerti ucapan ibunya, bayi cantik nan menggemaskan itu mengerjapkan mata. Tangisnya sudah benar-benar reda. Entah karena kelelahan menangis atau memang sudah merasa kenyang hanya dengan air putih yang ia hisap melalui pucuk payudara ibunya. "Anak pintar," bisik Zakia mengusap pipi putrinya, lantas bangkit dari kasur. Meskipun tubuh putrinya masih panas, tapi setidaknya sudah lebih tenang. Zakia memutuskan untuk meninggalkan putrinya sendirian. Hari sudah menjelang malam dan ia harus memasak untuk makan malam. Jangan sampai orang seisi rumah marah-marah karena ia dianggap lalai menyediakan makan untuk mereka. Zakia kembali membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan makanan dan mengolahnya menjadi masakan yang lezat. Masakan Zakia memang juara. Semua orang di rumah ini selalu lahap menyantap hasil karyanya. Entah karena saking sukanya atau memang serakah, selalu saja Zakia kebagian makanan sisa. Hal ini berlaku sejak Zakia menginjakkan kakinya di rumah ini, sebagai is
Bab 6Zakia meraih bayinya yang terlihat menggeliat, lalu menggendongnya. Wanita itu menepuk-nepuk belakang tubuh mungil putrinya. Saat terdengar suara tangis Naya, dia buru-buru mengeluarkan payudaranya, kemudian duduk di kasur dan berusaha memberi putrinya ASI. "Tunggu dulu, Zakia! Kamu ini apa-apaan sih? Main ngeloyor aja. Dasar tidak menghargai suami!" sembur Yudha. Rupanya laki-laki itu menyusul ke kamar ini karena merasa diabaikan."Sudahlah, Mas. Jangan buat keributan di sini. Naya sedang menyusu. Nanti kita selesaikan semuanya di luar," tegur Zakia sembari menempelkan jari telunjuk di hidungnya."Tidak bisa! Kamu sudah keterlaluan! Kamu tahu, kan, dia itu ibuku dan kakak perempuanku. Tidak sepantasnya kamu melawan mereka. Kamu ini tidak belajar sopan santun, apa?!" hardik Yudha yang membuat putri mungilnya kaget dan spontan melepas pagutannya ke pucuk payudara Zakia."Mas bicara soal sopan santun?!" sahut Zakia akhirnya sembari tersenyum sinis."Apa Mas pikir mereka memiliki
Bab 7"Aku tidak mengada-ngada, Ma. Aku tahu jika tunjangan perusahaan untuk kelahiran Naya sudah cair." Untuk hal yang satu ini Zakia tidak bodoh. Dia memiliki teman bernama Sofia yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Yudha. Sofia lah yang memberitahu soal itu kepadanya. "Aku hanya meminta hak Naya, karena uang itu memang untuk Naya, kan?" lanjutnya. Zakia berusaha menjaga posisi tubuhnya tetap tegak, karena lagi-lagi Marina mendekat dan berusaha mendorong tubuh Zakia demi untuk meruntuhkan mental wanita itu."Berani sekali kamu ngomong seperti itu, Zakia! Kamu lupa yang kerja itu siapa?! Enak saja kamu minta-minta. Sudah untung kamu dinikahi anakku. Bukannya ngasih anak lelaki, tapi malah anak perempuan. Kamu pikir kami senang dengan kelahiran putrimu?! Nggak, Zakia!" Marina bermaksud akan merenggut tubuh Naya dari gendongan Zakia, tetapi Zakia mempertahankan bayinya dengan sekuat tenaga, karena ia tahu maksud buruk Marina. Dia tidak ingin terjadi hal yang buruk pada Naya."
Bab 8Suasana mendadak hening. Zakia menatap sang suami, tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Kata-kata yang barusan terucap dari mulut Yudha seperti sebuah vonis, ibarat hakim yang sudah ketok palu. Talak!Kata sakti yang mengguncang Arasy meluncur begitu saja dari mulut suaminya. Apakah sedemikian besar salahnya sehingga sang suami tega menalaknya? Apakah menuntut haknya sebagai istri dan memperjuangkan hak putrinya itu adalah sebuah kesalahan yang fatal?Tiba-tiba tubuh Zakia gemetar."Atas dasar apa Mas menalakku? Apa salahku?" ucapnya lirih."Kamu masih tanya salahmu?!" Mendadak suara Marina menggema. Rupanya wanita setengah baya itu menyusul putranya ke kamar Zakia."Tolong jangan turut campur urusan rumah tangga kami, Ma," tegur Zakia menyadari ibu mertuanya berdiri di belakang tak jauh dari Yudha."Aku berhak turut campur karena Yudha adalah putraku. Jangan kamu pikir setelah Yudha menikah, lalu semuanya selesai. Sampai mati pun Yudha adalah putraku. Dia milikku!" hardi
Bab 9"Benarkah?" Nada suara Nilam terdengar begitu antusias."Tentu saja, Nilam," sahut Risa seraya merebut ponsel dari genggaman ibunya. "Kamu dan Yudha akan segera bersama lagi. Besok kamu datang ke rumah ini ya. Mungkin saat ini dia masih sedih karena ditinggal oleh Zakia. Dia butuh perhatian dari kamu, Nilam.""Sedih? Bukankah Mama bilang Yudha dan Zakia sudah bercerai?""Iya, Nilam." Risa buru-buru menelan ludahnya. Dia bukan tidak tahu jika sebenarnya Yudha sangat mencintai Zakia. Keputusan yang diambil oleh Yudha hanyalah emosi sesaat, karena dia dan ibunya lah yang mengompori Yudha agar menceraikan Zakia. "Maksud Kakak, kamu harus menunjukkan perhatianmu disaat Yudha butuh seseorang untuk berada di sampingnya," jelas Risa.Terdengar helaan nafas lega di seberang sana. "Tentu saja. Aku akan datang besok kalau tidak ada kerjaan lembur di kantor." Wanita muda itu tertawa.Kedua wanita itu berpandangan. Marina dan Risa tersenyum penuh arti sesaat setelah panggilan telepon terput
Bab 10Zakia tertegun berdiri di depan pos penjagaan. Tepat di belakang pos penjagaan, ada sebuah pagar dengan pintu gerbang yang tertutup rapat.Dua orang lelaki menatap tajam kepadanya, memandanginya dengan penuh selidik, dari kepala sampai ujung kaki. Tiba-tiba Zakia menyadari penampilannya yang acak-acakan. Dia hanya mengenakan gamis lusuh dengan kerudung yang juga sudah pudar warnanya, sembari menggendong bayi dan membawa tas besar yang sudah ia diletakkan di tanah. Ah, penampilannya sudah seperti pengemis saja. Hati Zakia kembali berdenyut nyeri. Betapa kasihan dirinya."Maaf Mbak, ada keperluan apa Mbak kemari? Apakah sudah membuat janji dengan Tuan Arkan?" Salah seorang dari lelaki itu menyapanya dengan sopan.Zakia lantas menggeleng. "Tidak. Kedatangan saya ke sini untuk melamar pekerjaan. Barangkali di sini butuh seorang pembantu rumah tangga. Saya bisa memasak, mencuci dan membersihkan rumah atau halaman. Saya pun juga memiliki kemampuan untuk merawat tanam-tanaman." papa
Bab 11Dia seorang lelaki, tak seharusnya menangis, tapi dalam keadaan seperti ini dia tak bisa membendung air matanya. Arkan mendaratkan tubuhnya di jok mobil, menatap pemandangan gelap di sekelilingnya. Seperti itu pula gelap di hatinya sejak Maryam, istrinya menutup mata untuk selamanya, sesaat setelah melahirkan putra mereka, Ammar.Maryam adalah cinta pertamanya. Wanita cantik yang begitu setia menemaninya, meniti hidup dari bawah. Sebelumnya dia tidak seperti ini. Arkan hanyalah seorang pengusaha kecil rental mobil. Sebelumnya Jaguar Mobil hanya sebuah bangunan yang tidak besar dan memiliki beberapa buah mobil untuk di sewakan. Hanya itu modal awalnya membuka usaha ini. Akan tetapi sekarang Jaguar Mobil adalah perusahaan rental mobil yang memiliki cabang dimana-mana dan kantor pusatnya ia pegang sendiri. Jaguar Mobil memiliki ratusan unit mobil untuk disewakan, termasuk truk atau mobil untuk angkutan alat-alat berat. Sebelum menikah, mereka menjalin hubungan selama beberapa tah