Share

Bab 6. Pergi

Aku melangkah cepat agar segera menjauh dari tempat ini. Agar suara itu cepat menghilang dari pendengaranku.

Suara klakson mengejutkanku. Aku sontak menoleh ke sumber suara. Ada rasa was-was kala membayangkan suara itu berasal dari kendaraan Mas Abi yang mengejarku. Aku bernapas lega sekaligus kecewa saat seseorang duduk di motor itu bukanlah Mas Abi.

“Hai, Mbak! Mau ke mana?”

Aku mendelik kaget saat melihat siapa yang berada di balik helm itu.

“Ethan?”

“Ayo aku antar, Mbak!” Ethan tersenyum lebar.

“Tidak usah, aku bisa naik angkot di depan sana atau nanti pesan ojek online saja,” tolakku secara halus.

“Beneran, nih?” tanyanya jahil dengan kedua alis yang dinaik turunkan.

Aku mencibir geram.

“Kamu ngapain di sini?” tanyaku dengan mata memicing.

“Emang sengaja ... eh, maksudnya tadi pas jalan lewat sini aja,” jawabnya seraya terkekeh. “Ayo naik, Mbak. Sebelum yang itu tuh, yang maksa nganterin Mbak.” Ethan mengedikkan dagu seraya menoleh ke belakang.

Aku buru-buru memberikan koperku kepada Ethan saat melihat mobil Mas Abi. Aku takut jika mantan suamiku itu memaksaku agar masuk ke mobilnya.

“Silakan, Mbak ... dengan senang hati.” Ethan memasang helm kemudian menarik gas.

Aku menepuk punggung Ethan seraya menyuruhnya untuk segera melajukan kendaraan roda duanya itu.

“Pegangan! Kita ngebut,” serunya.

Aku memejamkan mata, tanganku segera berpegangan pada besi di bagian belakang dengan sekuat tenaga.

Sesakali menoleh ke belakang lalu bernapas lega saat mobil Mas Abi tidak lagi terlihat dalam pandangan. Ethan memilih ‘jalan tikus’ untuk menghindari kejaran mobil Mas Abi.

“Pegangan ke jaketku aja, Mbak. Aman, kok, enggak ada kumannya,” ucap Ethan santai, tetapi terdengar menyindir di telingaku.

“Itu beneran mobil Mas Abi ngejer kita, ya, Ethan?” tanyaku saat motor melaju lambat di lorong-lorong kecil.

“Kayaknya, sih, iya. Soalnya, pas aku ngebut mobilnya ngebut juga,” jawab Ethan sembari menoleh ke samping.

Sejenak, tatapan kami bertemu di kaca spion. Aku bisa melihat Ethan yang tersenyum dari matanya yang menyipit. Namun, dia langsung berpaling menatap lurus ke depan.

Aku menepuk bahu Ethan agar berhenti saat melewati warung makan di pinggir jalan. Perut yang lapar membuat cacing meronta-ronta minta segera diisi.

“Beneran makan di sini, Mbak?” tanya Ethan saat aku turun dari motornya.

“Iya, aku lapar banget. Kamu enggak apa-apa kalau makan di sini, atau ... enggak bisa?”

“Oh, tenang aja. Aku lelaki kuat, kok, makan di mana saja bisa,” akunya sombong sembari menepuk dada.

Aku masuk terlebih dahulu, enggan menanggapi kepongahannya itu. Setelah memilih menu makanan, aku pun segera duduk. Rupanya, Ethan belum juga masuk ke warung ini.

Merasa khawatir dan tak enak hati, aku keluar untuk memeriksa keadaan lelaki itu. Ethan tampak mondar-mandir di depan warung.

“Kenapa? Mau masuk enggak? Di dalam tempatnya juga bersih, kok,” ujarku penuh perhatian.

“Oh, iya. Oke, Mbak.” Ethan nyengir lalu masuk ke warung itu.

Aku menanyakan pesanan anak muda itu lalu menyuruhnya menunggu di tempatku tadi. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pesanan pun datang juga.

Kupikir Ethan tidak akan mau menyantap hidangan di piringnya. Namun, dugaanku ternyata salah. Dia memakannya dengan lahap sampai piringnya bersih.

“Kayaknya enggak perlu dicuci lagi piringnya itu, Ethan. Kinclong,” ujarku menggodanya.

“Katanya kalau makan itu memang harus bersih, Mbak. Enggak boleh ada sisa sebutir nasi pun,” sahutnya bangga.

“Halah, bilang aja kalau kamu kelaparan,” cibirku yang ditanggapi dengan kekehan pelan darinya. “Kapan kamu terakhir makan?” tanyaku iseng.

“Kemarin siang kayaknya, Mbak. Enggak selera makan. kayaknya harus makan bareng Mbak gini baru nafsu makanku meningkat,” jelasnya sembari tersenyum lebar.

“Ya ampun! Hati-hati kena sakit magh, lho.”

“Jangan doain, dong. Belum nikah, nih,” rengeknya manja.

Elah, badan tinggi besar begitu bisa manja juga. Dasar bocah.

“Apa hubungannya nikah sama sakit magh?”

“Kalau sudah nikah, pas sakit ada yang ngurusi. Kalau aku sakit, siapa yang bakal ngurusin, Mbak?”

“Jiaah, ya pacar kamu, lah ...,” sindirku.

Aku beruntung bisa bertemu Ethan tadi. Setidaknya, aku bisa sejenak melupakan masalahku.

“Jomlo sejati, nih, Mbak.” Aku mencebikkan bibir tanda tak percaya dengan bualannya. Ganteng-ganteng begitu tidak mungkin tidak punya pacar. Aku yakin hanya dengan satu kedipan mata, cewek-cewek pasti pada antre menunggu giliran untuk jadi kekasihnya.

“Eh, Mbak. Bayarin, ‘kan?” Ethan menaik turunkan alisnya. Pasti dia cowok ganteng yang menyebalkan. Tingkahnya susah ditebak. “ Aku, ‘kan, masih mahasiswa. Belum punya modal untuk nraktir cewek,” lanjutnya santai.

“Pantesan enggak ada yang mau sama kamu, Ethan. Jadi cowok enggak punya modal,” sindirku telak.

Bukannya tersinggung, Ethan malah tertawa terbahak. Seolah apa yang aku katakan barusan bukanlah sebuah sindiran melainkan lelucon belaka. Suaranya semakin keras saat melihatku cemberut, sampai-sampai kami menjadi sorotan pengunjung yang lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status