Share

Bab 9. Si Tengil

Ada perlu apa lelaki ini?

Walaupun malas, nyatanya jemariku tetap menekan tombol hijau di benda keramat itu.

“Assa ....”

“Mbak, paket datamu habis ya? Aku kirim pesan via WA, kok, centang satu dari tadi?” Belum sempat kutuntaskan kalimat salam, lelaki itu sudah berkata tanpa jeda.

Aku mengembuskan napas dalam. Lantas berujar pelan dengan kesabaran yang tidak main-main. “Salamnya dijawab dulu, Than,” tekanku padanya.

“Iya, waalakumussalam. Jadi kenapa, Mbak? Kalau habis nanti aku isikan paketnya,” balasnya santai.

Dasar bocah. Uang masih minta kepada orang tua saja, sok-sokan mau bayarin paket data segala. Anak-anak zaman sekarang. Apa begini cara mereka menghabiskan uang orang tuanya? Aku berdecak kesal merasa tidak nyaman dengan pemikiran sendiri.

“Mbak, halo! Aku masih di sini, lho. Jangan dicuekin, dong!” serunya tak terima karena beberapa menit hanya diam menghabiskan pulsa operatornya.

“Elah. Begitu saja sudah menggerutu. Pakai acara mau isiin paket data,” ujarku menggerutu.

“Bu-bukan gitu, Mbak. ‘Kan aku nelepon untuk dengerin suaramu, Mbak. Kalau Cuma diem-diemin gini, sih, mending aku langsung ke sana,” sahutnya kemudian terkekeh pelan.

Aku memutar bola mata malas mendengar bualannya itu.

“Aku enggak percaya, deh, kalau kamu enggak punya pacar dengan kelakuanmu yang begini.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Kelakuan yang gimana maksudnya?” tanyanya tak terima.

“Ya begini, pinter ngomong. Kamu juga pinter ngerayu. Ciri-ciri playboy,” sindirku.

“Wah ... kalau gini caranya, aku langsung ke sana. Tungguin, Mbak.”

“Hah! Kok?”

Aku menggeram kesal saat sambungan tiba-tiba diputus sepihak. Kalau ada Ethan pasti aku tidak bisa berpikir jernih. Lelaki tengil itu bakalan merusak mood-ku atau paling tidak dia akan membual yang tidak-tidak. Padahal sejujurnya, aku merasa tidak nyaman jika harus terus berkomuniasi tidak penting dengannya. Bagaimanapun juga, kami dua manusia yang tidak memiliki hubungan apa-apa. Hanya kebetulan saja Ethan membantuku lari dari kejaran Mas Abi dan secara kebetulan juga ... dia yang mencarikanku tempat tinggal di sini.

“Aku masih di luar. Assalamualaikum.” Aku segera memutuskan panggilan. Sadar jika masih ada Anya.

“Siapa?” tanya Anya setelah aku memutuskan panggilan.

“Orang iseng,” jawabku sekenanya. “Ya sudah kalau begitu. Kapan-kapan kita cerita lagi. Aku buru-buru.” Aku bergegas berpamitan. Tak ingin Anya bertanya yang aneh-aneh tentang statusku sekarang dan tentang sosok tengil yang baru saja menghubungi.

Tanpa menunggu persetujuan dari Anya, aku pun bergegas membalikkan badan berlari kecil meninggalkan tempat itu.

“Eh, Ayumi! Tunggu!”

Aku juga mengabaikan panggilan Anya. Saat jarak kami telah jauh, aku menoleh. Rupanya wanita itu masih berdiri di sana. Menatapku.

Sesampainya di kontrakan. Tidak sampai tiga puluh menit kemudian, suara ketukan di pintu disertai panggilan mengusikku. Sebenarnya Ethan tadi berada di mana? Kenapa cepat sekali dia sampai sini? jangan-jangan ....

“Mbak, bukain, dong, pintunya!” serunya dengan suara yang lebih keras.

Aku segera meninggalkan pekerjaan merapikan kamar demi membuka pintu untuk lelaki itu.

“Mau ngapain?” tanyaku ketus. Tanganku masih bertahan di pintu agar lelaki itu tidak langsung nyelonong masuk.

Aku mendelik kesal saat Ethan malah menerobos masuk dengan cara membungkuk. Dasar bocah!

“Minta minum, Mbak. Haus,” ujarnya cuek seraya mengelus kerongkongannya. “Jangan-jangan Mbak belum punya air minum ya?”

“Ada, bentar.” Aku melangkah cepat menuju kamar mengambil air mineral dalam gelas yang semalam kubeli di warung depan gang.

Aku melongo saat melihat Ethan minum. Lima gelas habis dalam sekali duduk.

“Kayaknya aku harus nyiapin yang botolan besar,” sindirku yang hanya ditanggapi kekehan pelan dari lelaki itu. “Mau ngapain ke sini? Kamu kayak orang enggak ada kerjaan aja?” tanyaku sinis.

“Emang sekarang lagi pengangguran, Mbak. Kuliahku juga sudah selesai,” jawabnya lalu berbaring di lantai. “Eh, Mbak. Apa maksudnya tadi bilang gitu?” tanyanya seraya duduk lalu menyandarkan punggung ke dinding.

“Apaan?” tanyaku bingung.

“Mbak cemburu ya kalau aku punya pacar?” tanyanya dengan mata memicing.

“Apaan, sih, Than? Kamu, tuh, emang suka membual gini, ya?” ketusku tak suka dengan pertanyaannya barusann.

“Habisnya, dari kemarin Mbak bahas masalah pacarku mulu. Penting banget buat, Mbak, ya?” Kali ini nada suaranya terdengar serius. Matanya menatapku lekat sampai membuatku tak nyaman.

“Aku, tuh, cuma enggak habis pikir. Lelaki seperti kamu, kok, bisa-bisanya keliaran enggak jelas kayak gitu.” Aku mencoba menjelaskan. Dia tampak memperhatikanku dengan serius. “Sekarang, malah ke sini, kayak orang yang beneran enggak ada kerjaan lain.”

“Terima kasih perhatiannya. Aku enggak nyangka di tengah masalah yang menimpa Mbak kayak gini, masih sempet-sempetnya merhatiin aku,” sahutnya cengar-cengir.

Ya Tuhan! Ini sebenarnya makhluk astral dari mana, sih? Apa enggak punya sedikit pun rasa tersinggung, begitu? Atau memang engga bisa disindir secara halus.

“Kalau Mbak yang jadi pacar aku mau enggak?”

“Ha?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status