Share

Bab 4. Keyakinan

Usai berganti pakaian, aku menggeret koper keluar kamar. Tidak lupa mencangklong tas yang berisi ponsel dan perintilan lainnya. Meletakkan kedua benda berhargaku itu di ruang tamu. Aku pun segera menuju dapur, melihat apa saja yang bisa kumasak hari ini. Setidaknya, sebagai makanan terakhir yang bisa kuhidangkan di meja makan.

Kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktu untuk memasak sayur beserta lauknya. Nasi telah masuk ke alat penanak nasi, tinggal tunggu matang saja. Setelah menyiapkan hidangan ke meja makan, aku pun segera mengetuk pintu kamar Mas Abi untuk berpamitan.

Akhirnya pintu kamar itu terbuka juga setelah mengetuknya sampai beberapa kali. Wajah pucat Mas Abi mengusik ketenangan yang telah kubangun.

“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu dengan suara serak khas suara bangun tidur. Dia mengacak rambut yang memang terlihat berantakan. Aku yakin, saat kuketuk pintu tadi Mas Abi masih tidur dan terbangun karena gangguanku.

“Maaf, Mas, kalau aku menganggu,” ujarku tulus. “Aku ingin berpamitan, hari ini akan pergi. Hm ....” Sesaat aku ragu kalimat apa lagi yang harus disampaikan kepadanya, “kalau Mas lapar, makanan sudah aku siapkan di meja makan,” lanjutku.

Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dan melihat respons Mas Abi yang diam saja, aku memutuskan untuk melangkah pergi. Aku mengangguk sebentar lalu berbalik arah.

“Kamu mau ke mana?” Pertanyaannya menghentikan langkahku.

Aku kembali berbalik menghadap lelaki itu. Matanya terlihat sendu dan ... memerah.

“Aku akan pulang ke rumahku, Mas. Terima kasih.” Aku mengangguk lagi untuk berpamitan.

“Kamu tidak usah pergi.” Ucapan Mas Abi tentu saja mengejutkanku. Apa maksud perkataannya itu? “Oh, itu ... maksudku ....” Mas Abu menggaruk keningnya. Dia tampak salah tingkah.

“Tidak apa-apa, Mas. Sekali lagi terima kasih.”

“Biar aku saja yang pergi dari rumah ini. Kamu akan tinggal di mana nanti, kamu sendirian, ‘kan, di kota besar ini?”

Sejujurnya ada yang menghangat dalam dadaku mendengar ucapannya itu. kekhawatirannya adalah sesuatu yang kutunggu selama enam bulan ini. Sayangnya, hal itu kudapatkan justru saat kami telah berpisah.

“Tidak apa-apa, Mas. Aku sudah dewasa dan sudah terbiasa tinggal di sini.” Aku membalas dengan seulas senyum. Berusaha santai menanggapi tatapan khawatir lelaki itu.

“Iya, tapi tetap saja aku khawatir.”

Seketika tubuhku menegang dengan mata mendelik tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Lelaki di hadapanku itu juga tampaknya tidak sengaja mengatakan kalimat itu. Mas Abi tampak salah tingkah dengan bibir terkatup rapat.

“Aku ... tidak bermaksud menahanmu di sini. Hanya saja ....”

“Tenang saja. Aku juga tidak berpikir begitu, kok.” Aku terkekeh pelan. Menertawakan diriku sendiri. “Mas Abi hanya menunjukkan kepadulian sesama manusia. Mungkin ... akan terkesan tidak berperasaan jika tiba-tiba mengusirku dari sini. Padahal, kita tidak pernah ada masalah apa pun sebelumnya.” Kalimatku terjeda saat mendengar ponsel Mas Abi berdering.

Mas Abi menoleh sebentar ke dalam kamar lalu kembali menatapku. Sepertinya dia tidak berniat menjawab panggilan itu.

“Oh, atau memang sebenarnya kita berdua dalam masalah besar selama ini. Dan ... tadi malamlah puncaknya. Sehingga kita sama-sama mengambil keputusan itu,” lanjutku tak peduli dengan ekspresi yang Mas Abi tampilkan. “Ya sudah, tidak perlu memperpanjang lagi hal yang sudah jelas.”

“Tapi kamu masih dalam tanggunganku, Ayumi. Setidaknya sampai masa id-dahmu selesai.” Kalimat Mas Abi menghantam hatiku. Ternyata, lelaki itu memang sangat pandai menghancurkan pertahananku.

“Kalau begitu aku izin, Mas,” pintaku sungguh-sungguh.

“Aku tidak akan setega itu, Ayumi,” tukasnya tak mau kalah.

“Tolong, Mas! Setidaknya, penuhi permintaan terakhirku ini. Aku tidak bisa bertahan di rumah ini. Banyak kenangan dana rasa di dalam rumah ini yang selama enam bulan itu aku tumbuhkan. Tolong mengertilah."

Dering ponsel itu terus menjerit-jerit seakan itu adalah hal panggilan penting yang harus segera dijawab.

“Silakan angkat dulu teleponnya, Mas. Mungkin penting,” ucapku.

“Jangan pergi ke mana pun!” titahnya yang tidak mungkin kubantah. Aku mengangguk dan memilih untuk menunggu Mas Abi di ruang tamu.

Aku menoleh saat mendengar langkah kaki diiringi suara percakapan itu mendekat. Mas Abi tampak berjalan mendekatiku lalu memberikan ponselnya seraya berkatan, “Mama.”

Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar wanita itu disebut. Apa yang ingin Mama katakan?

Mas Abi mengedikkan dagu agar aku segera mengambil benda pipih itu dari tangannya.

“Assalamualaikum, Ma,” sapaku lirih begitu ponsel kuletakkan ke telinga kiri. Sesaat aku melirik ke arah Mas Abi. Lelaki itu tersenyum sembari mengangguk, seakan memberikan dukungan kepadaku agar berani berbicara kepada Mama.

“Waalaikumussalam, Ayumi. Apa kabar, Nak? Abimanyu baik, ‘kan, sama kamu? Perasaan Mama, kok, enggak enak ya dari tadi malam. Kepikiran kamu terus,” cerocos Mama.

Aku bingung kalimat apa yang pantas untuk kuutarakan kepada wanita itu. Bagaimanapun keadaan rumah tanggaku sekarang ini, Mama Vani adalah ibu mertua yang sangat baik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status