Share

Bab 7. Ethan

Aku tidak ingat bagaimana awal mula bisa kenal dengan Ethan. Saat aku mulai magang di sebuah perusahaan atau entah kapan pastinya. Dulu, ketika aku magang, masih bisa diingat saat bertegur sapa dengan sosok Ethan yang juga tengah magang di sana. Bedanya ketika itu, Ethan mengenakan seragam SMA. Dia tidak banyak bicara dan cenderung pendiam. Namun, saat denganku lelaki itu sering terlihat tersenyum dengan ciri khas lesung pipi di sebelah kirinya. Menampilkan kesan ... manis.

Ah ya, aku ingat. Saat SMA, Ethan memiliki tubuh yang sangat kurus. Terlebih, dengan tubuhnya yang tinggi itu. Dia tampak tinggi menjulang dengan bingkai kacamata yang menghiasi wajahnya. Semakin mempertegas penampilan culunnya. Ethan juga sering bercerita jika dirinya kerap menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah, terutama satu kelasnya.

Aku ingat saat magang dulu, Ethan juga memiliki panggilan spesial dari rekan karyawan. Mereka memanggil Ethan dengan panggilan si genter berkacamata. Herannya, lelaki itu tampak biasa-biasa saja. Seperti tidak ingin menanggapi secara serius atau tidak ingin mencari perkara.

Namun, lihatlah sekarang. Ethan bermetamorfosis menjadi lelaki tampan nan rupawan dengan tubuh proporsional. Satu hal yang kini mengganjal di kepalaku. Apakah Ethan akan membalas orang yang mengganggunya? Sebab dulu, dia diam saja dan cenderung menghindar saat dirinya diganggu orang lain. Aku bahkan pernah terang-terangan membelanya saat Ethan diganggu anak lain.

"Mbak, ayo!" Suara Ethan membuyarkan kepingan masa lalu yang bercokol di kepala.

Aku mendongak ... dan mendapati lelaki tinggi itu telah berdiri menjulang di hadapan. Sejak kapan dia beranjak dari tempat duduknya?

"Oh iya," balasku kikuk lalu buru-buru beranjak dari duduk.

Pergerakanku yang ingin menuju kasir untuk membayar biaya makan maki terhenti kala suara Ethan kembali terdengar. "Udah aku bayar, Mbak. Gini-gini, aku udah cocok punya pacar."

Aku menoleh, tampak Ethan tengah menaik turunkan kerah jaketnya dengan senyum jahil. Gerakannya itu malah semakin  menonjolkan ototnya di lengan. Aku yakin, Ethan sekarang rajin berolah raga dan makan makanan bergizi.

"Kamu sering berolah raga ya?" Seketika aku mengatupkan bibir dengan mata terpejam. Malu luar biasa yang kini menggrayangi diriku. Pertanyaan konyol apa barusan yang kuajukan?

"Kok, Mbak, tahu," jawabnya tak acuh lantas berlalu meninggalkan warung makan ini. Setelah mengucapkan terima kasih kepada penjaga warung, aku pun menyusul Ethan yang sudah lebih dulu ke tempat parkir.

Ketika langkahku sudah dekat dengan Ethan yang sudah nangkring di motornya, aku teringat sesuatu. Koperku masih tertinggal di warung.

"Mau ke mana, Mbak?" tanya Ethan berseru.

"Ambil koper!" Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya.

"Kopernya udah di sini, Mbak." Aku pun segera menghentikan langkah lalu menoleh ke arah Ethan yang tengah menepuk-nepuk koperku. "Aku, 'kan, udah bilang kalau aku udah cocok punya pacar, Mbak. Punya istri pun aku udah sangat cocok, kok. Mbak jangan meragukan kemampuanku sebagai seorang lelaki gitu, dong," ujarnya lagi dengan tampang yang sangat ... menyebalkan.

Aku mencebikkan bibir. "Apaan, sih, Than?"

Ethan tampak tertawa terbahak melihat respons yang kuberikan barusan.

"Ayo, naik! Kita mau ke mana?" tanyanya kemudian yang langsung kubalas dengan gelengan.

Sebenarnya aku tidak memiliki tujuan lagi. Rumah lama yang kutempati, telah dijual untuk biaya pengobatan ibu. Setelah itu, aku pun tinggal di rumah kontrakan sampai Mama Vani melamar untuk anak laki-lakinya. Mas Abi. Dan, ketika kakiku memutuskan untuk melangkah keluar dari rumah mantan suamiku itu, tentulah aku mengerti bahwa rumah tujuan untuk tempat tinggalku tentu tidak ada lagi.

Ngontrak adalah satu-satunya jalan yang harus dipilih. Namun, pilihan itu juga amat berisiko. Mengingat tabunganku yang tidak seberapa ini.

"Mbak, woy, Mbak!"

Aku mengerjap-ngerjap saat mendapati Ethan mengibas-ngibaskan tangannya di hadapanku.

"Orang ganteng ini enggak usah dilamunin, Mbak," ujarnya seraya terkekeh pelan.

"Sejak kapan kamu jadi narsis begini? Seingatku dulu kamu, tuh, pendiam. Malah cenderung pemalu," sahutku.

"Waktu terus berjalan, Mbak. Dunia pun terus berubah. Masak aku harus gitu-gitu aja, ya ... harus berubah juga, dong." Aku memutar bola mata malas mendengar kalimatnya itu. "Jadi, kita mau ke mana?" tanyanya kemudian.

Aku masih berdiri di dekatnya. Menimbang-nimbang kira-kira hendak ke mana setelah ini.

"Eh, bukannya kamu ada kuliah hari ini? Kalau kamu sibuk, biar aku sendiri aja yang nyari tempat tinggal."

"Ayo, naik!" sahutnya tegas. Mau tak mau, aku pun mengikuti perintahnya itu. "Kuliahku, mah, gampang. Enggak masuk juga, aku masih jadi mahasiswa teladan, kok. Yang penting sekarang di mana Mbak tinggal dulu," lanjutnya lalu melajukan kendaraan roda duanya itu meninggalkan warung makan dan membelah jalanan ibu kota.

Hingga Ethan menghentikan motornya itu di depan deretan pintu-pintu yang kutebak sebagai kontrakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status