Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu!” seru Ela berteriak kencang.Semua orang yang tengah asyik mengisi lambungnya, terperanjat kaget dan spontan menoleh ke asal suara.Heran, tentu saja.Kegiatan mengisi perutnya tertunda, mereka lebih tertarik menyaksikan tontonan gratis daripada menikmati suguhan yang menggiurkan di depan mata.Ternyata benar lelaki itu Soni, orang yang Ela cari belakangan ini. Untung ketemu di sini. Mau ia labrak sekalian. Semenjak kejadian itu, Soni seakan menghindar darinya. Apalagi waktunya, kini, habis untuk menjaga dan merawat Abinya. Tidak ada waktu untuk mempertanyakan atau membalaskan sakit hati karena perbuatan Soni. Mumpung ketemu di sini, ia tidak boleh hilang kesempatan lagi.Entah apa yang terbersit dalam pikiran semua orang, yang menyaksikan bentakan dan teriakan Ela pada Soni, kali ini Ela tidak perduli. Biarlah orang berpikir buruk tentangnya, yang penting Ela tidak kehilangan jejak Soni. Ela lebih mementingkan pertanyaan yang memenuhi benaknya, kenap
Bismillahirrahmanirrahim.“Bagaimana keadaan Papa, Ma. Kapan papa boleh keluar dari rumah sakit?” tanya Soni lirih.Soni menatap pria di depannya dengan perasaan sedih dan hancur. Ia tidak menduga perbuatannya waktu itu membuat sang papa shock dan jatuh sakit. Itu bukanlah keinginannya, niat awalnya hanya ingin menggagalkan pernikahan Ela. Tapi tak menyangka, perbuatannya itu membawa dampak yang sangat besar. Niatnya hanya bercanda.Benar-benar keterlaluan Soni, pernikahan orang dibatalkan hanya niat bercanda katanya. Jelas Soni dalam keadaan tidak waras, bersumbu pendek dan berpikiran dangkal. Pernikahan bukan ajang permainan atau hanya candaan semata. Pasti ada yang terluka dengan perbuatan Soni itu.Soni teringat percakapannya dengan Ela sebelum kejadian itu berlangsung. Ela mendatanginya dan mengeluhkan permintaan mamanya untuk menikah dengan anak sahabat mamanya.Waktu itu Ela datang dalam keadaan cemberut berat. Ada kesedihan mendalam yang terlihat di mata Soni.“Hey, ada apa? K
Bismillahirrahmanirrahim.Ela tengah berada di kamar, wanita itu senyum-senyum sendiri membaca komen pembaca dari cerita yang di postingnya beberapa jam yang lalu. Kebanyakan dari komen itu meminta “Next.” Ela makin semangat memposting cerita berikutnya.Beberapa komen yang menggelitik juga ada, Ela lebih senang membaca komen yang isinya ungkapan, pernyataan yang mengarah pada kata semangat dan masukan.“Salut sama lelaki yang bersedia menikahimu mbak, semoga kalian bahagia. Aku percaya, kamu tidak seperti yang dikatakan lelaki jahat itu. Semoga lelaki itu menyadari kesalahannya.” [alisa@gmail.com]Ada 27 balasan atas komenan akun Alisa, Ela tak sabar membacanya.“Saat dia menyadari kesalahannya dan memutuskan kembali, sudah terlambat. Gigit jari dah, rasain, emang enak!” [amelia@gmail.com]Ela lagi-lagi tersenyum. Membayangkan Erlangga gigit jari. Pasti lelaki itu kebakaran jenggot, melihatku menikah dengan pria lain. Rasanya Ela tak sabar ingin menikah lagi. Tapi tak lama Ela terdia
Bismillahirrahmanirrahim.Kediaman Erlangga.Erlangga baru saja selesai sholat magrib. Pria itu duduk termenung panjang dalam keadaan lesu. Kelihatan sekali lelaki itu tak bergairah sedikit pun. Kehilangan semangat untuk melakukan aktifitas apapun. Perkataan Daniel masih terekam kuat dalam ingatannya. Membayangkan Ela menikah dengan pria lain, sungguh membuatnya tersiksa.Kini penyesalan itu sangat mencengkeram hatinya, andai ia tidak buru-buru bertindak tentu sekarang ia bahagia dengan Ela. Tidak hanya dia saja yang bahagia, pastilah kedua orang tuanya ikut bahagia. Begitu pun dengan kedua orang tua Ela. Penyesalan dengan tindakan gegabah nya membuat dua keluarga kini terpecah belah. Ia ingin mengembalikan senyum bahagia dua keluarga itu, tapi entah bagaimana caranya. ia seakan kehilangan ide-ide brilian, padahal ia terkenal pria yang berwawasan luas. Hanya satu kesalahannya, terlalu cepat mengambil langkah tanpa memikirkan akibatnya.Ia masih ingat betapa kedua keluarga sangat baha
“Malah diam! Kalau kamu tak segera bicara aku tinggal nih,” ancam Rosyida menatap sinis sahabatnya. Tidak ada tatapan kerinduan seperti dulu saat mereka masih berstatus sebagai sahabat karib. Semua kini sirna, karena ulah Erlangga.Bu Waida yang ditatap sinis oleh Rosyida, hanya bisa terima dengan lapang dada. Ia tahu kesalahan anaknya sangatlah fatal, jadi apa boleh buat. Apa pun bentuk perkataan Rosyida ia terima dengan ikhlas. Semua itu ia lakukan demi memenuhi permintaan anaknya. Syukur-syukur diterima oleh Rosyida. Jika pun tidak, tidak masalah, yang penting ia telah berusaha menunjukkan niat baik dan memenuhi harapan si buah hati. Seorang ibu tentu akan melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya.Wanita itu diam sejenak, menunggu temannya untuk bicara. Sekian menit berlalu, namun sang teman tetap bungkam. Rosyida tampak tak sabaran menunggu, tiba-tiba wanita itu bangkit berdiri seraya menggebrak meja, bermaksud pergi. "Sepertinya percuma aku datang ke sini." hardiknya seraya me
Erlangga menghempaskan bobot tubuh besarnya di kasur. Wajahnya tampak lesu dan kehilangan gairah. Baru kemaren semangatnya menggebu, berharap orang tua Ela memberinya kesempatan kedua. Nyatanya itu hanya hayalan kosong belaka. Buktinya orang tua Ela menolak mentah-mentah keinginannya. Kini apa yang harus ia lakukan untuk membalikkan keadaan. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Penyesalan itu semakin kentara mendera hati dan jiwanya.Kegagalan bu Waida membujuk mertuanya untuk mau memaafkan dirinya membuatnya patah hati dan kehilangan semangat. Erlangga sungguh teramat menyesal. Rasanya Erlangga ingin waktu berputar kembali ke waktu akad nikahnya berlangsung. Tidak akan ia keluarkan kata talak itu.Andai ia tidak gegabah, pastilah mereka sekarang menjadi keluarga yang bahagia. Kini hancur sudah harapannya untuk membangun rumah tangga bahagia bersama Ela. Meskipun pada awalnya ia menolak keinginan sang mama, tapi setelah melihat retaknya hubungan persahabatan mamanya membuatnya m
“Sudah ada wanita yang kamu taksir? Apa perlu aku bantu carikan,” tawar Ikhsan semangat empat lima. Lelaki itu mengerling jenaka, bersiul kecil menunjukkan rasa bahagianya. Sebagai teman, tentu saja dia senang, melihat binar cinta di mata sahabatnya. Sebentar lagi temannya itu akan menyusul ke pelaminan.“Carikan apa nih,” tiba-tiba dua pria masuk bertanya dengan kepo. Lelaki itu sahabat Faiq juga, namanya Ilman dan Wiryo. Kedua pria yang baru datang itu menatap horor ke arah Ikhsan dan Faiq dengan mata memicing curiga.“Bukan apa-apa,” sahut Faiq cepat seraya mengedipkan mata mengkode Ikhsan. Ikhsan yang paham dengan kode yang diberikan Faiq menanggapi dengan tertawa kecil.“Kayak gak tahu saja kalian, sekarang lagi banyak pesanan. Aku bantu cari bahan-bahan yang diperlukan.” Balas Ikhsan berbohong. Pria berjanggut tipis itu tersenyum lebar berusaha mengalihkan perhatian duo sohibnya. Ikhsan mengerti, mungkin belum saatnya kedua sahabatnya tau tentang keinginan Faiq untuk melepas ma
“Namanya Ela, dia anak Abi Hisyam. Lelaki yang banyak berjasa padaku. Kamu ingatkan lelaki yang sering aku ceritakan itu?" tanya Faiq menatap serius sahabatnya. Ikhsan tampak berfikir, berusaha mengingat siapa lelaki yang pernah diceritakan Faiq. Tapi tidak ada bayangan sama sekali di otaknya."Kamu lupa?" protes Faiq tak sabaran dengan wajah masam. Padahal sering banget dia cerita tentang kebaikan Abi Hisyam padanya. "Ayolah! masa kamu lupa sih! aku sering banget lho ceritain tentang dia." cebik Faiq meninju kecil bahu sahabat kentalnya.“Tunggu-tunggu, maksud kamu lelaki yang sering kamu ceritakan itu? Lelaki yang kemaren koma karena anak gadisnya ditalak setelah akad nikah itu.” Tanya Ikhsan dengan dahi penuh kerutan. Faiq mengangguk lemah.“Astagfirullah Hal Adzhiim,” sahut Ikhsan terperanjat kaget. Lama membujang, kok dapatnya perempuan yang ditalak setelah akad. Miris sekali. “Kenapa harus dengan dia. Kamu kayak nggak laku aja, kayak gak ada perempuan lain saja.” Protes Ikhsan