Share

Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung
Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung
Author: Li Na

1. Kepulangan Membawa Petaka

Mata lamur wanita tua itu membelalak, melihat siapa di depan pintu. Tatapannya melekat pada anak gadis yang sudah lama tak ditemui itu dengan raut khawatir.

“Mak, gimana kabar, Mak?” Nilam menyerbu tubuh kurusnya, memeluk.

“Kenapa pulang, Nduk? Cepat balik sana,” kata Mak sedikit mendorong tubuhnya.

“Mak kenapa?” Mata bulat gadis itu menatap heran, ia lupa teman lelaki di sampingnya juga mengernyit dahi.

“O ya, Mak ini kenalin teman Nilam, namanya Juju. Dia ngantar Nilam ke sini karena khawatir.”

Pemuda berbibir tipis itu senyum lebar, meraih tangan Mak, sedikit menunduk menempelkan di keningnya.

Saat Nilam akan ke kamar wanita tua itu kembali mendorong ranselnya. Bahkan sedikit memaksa meminta si gadis segera kembali saja ke kota.

“Bukannya Mak ndak suka kamu pulang, Nilam. Cuma kampung ini lagi ndak aman untukmu,” katanya setengah bergumam, seolah takut akan ada yang mendengar ucapannya.

Mereka sedikit berdebat di ruang tamu.

“Nilam baru aja datang, Mak. Capek. Masa disuruh balik lagi. Perjalanan Nilam ke sini setengah hari, Mak …,” gerutu gadis itu terlihat sedikit kesal, lalu menerobos masuk ke bilik. Juju sedikit bingung, ia disuruh mak duduk dan akan dibikinkan teh.

Nilam segera merebahkan diri pada ranjang kayu yang mengeluarkan suara berderit. Kaki ia naikkan ke penghalang ujung ranjang. Cara itu cukup membuatnya bisa mengistirahatkan badan yang lelah.

Duduk selama delapan jam di bus tadi malam. Lanjut naik ojek satu jam baru ia tiba di kampung kelahirannya ini.

“Minum dulu tehnya, mumpung hangat.” Mak menyuguhkan penganan kecil untuk Juju. Ngobrol sebentar wanita tua itu masuk bilik Nilam, membawa segelas besar teh.

Langsung disodorkan ke tangan Nilam. Gadis dua puluh empat tahun itu bangun, meraih gelas langsung meminumnya tandas.

“Pemuda ganteng itu teman apa teman?” kata mak sempatnya menggoda.

“Teman, Mak. Dia maksa ikut.”

“Ohh.” Mak mengangguk-angguk.

“Mak kenapa, sih, khawatir banget Nilam pulang. Apa nggak kangen sama anak?” tanyanya dengan bibir maju.

“Bukan begitu, nanti kamu juga paham apa maksud Mak. Pokoknya hari ini juga kamu berdua harus balik.”

Mak kembali menampakkan raut wajah serius. Pias dari wajah berkeriput itu semakin tampak, saat mereka duduk bersisian.

Ia terharu melihat anak gadisnya ini tumbuh begitu cantik. Kulitnya yang dulu legam akibat bermain di bawah terik matahari sekarang putih mulus, pipinya pun bening mengkilap.

Telah lima tahun tak bersua, setelah lulus sekolah menengah atas gadis pandai ini merantau ke kota.

Namun, di antara rasa bangga itu menumbuh kekhawatiran yang sangat kini di hati Mak. Bukan saat tepat Nilam pulang sekarang.

“Mak ini aneh. Nilam sudah lima tahun nggak pulang, pingin liat kondisi Mak di sini, malah disuruh balik. Pokoknya Nilam balik setelah keliling-keliling, mengenang tempat Nilam dan kawan-kawan bermain dulu, Mak. Sudah terlanjur ambil cuti seminggu,” kata gadis bersweater rajut berwarna merah muda itu panjang-lebar sambil turun dari dipan.

“Nilam mau ke rumah Suci,” katanya lagi, sambil berjalan keluar kamar menuju ruang depan.

“Jangan!” bentak Mak sedikit keras menahan langkahnya. Tubuh kurus Mak menghalangi Nilam yang akan membuka pintu.

Juju yang tadi setengah berbaring di kursi bingung melihat ibu anak itu. Ia berdiri, memandang heran.

“Kenapa, Ni?”

“Tau nih Mak, bingungin aja.” Dua tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

“Nilam mau ke tempat Suci, dia pasti kaget liat Nilam sekarang,” katanya lagi.

Mak malah menutup pintu, menguncinya. Setelah sempat melirik ke kaca luar, wanita itu melangkah cepat ke kamarnya.

Nilam dan Juju bertatapan, heran. Tak lama wanita itu kembali menemui Nilam dengan membawa baju lebar berlengan panjang, warnanya kubas dan rombeng—baju yang biasa dipakai ke ladang.

“Kalau keluar pakai ini, jangan baju itu.”

Gadis ber-andeng-andeng di batang hidung ini kembali melebarkan mata, bibir penuhnya menganga sempurna. Belum juga tangannya menyentuh baju itu, ia tertawa lebar sampai memegangi perut yang terasa seperti digelitik.

“Mak ini, ada-ada aja. Aneh, tau. Anak udah cantik gini mau disuruh tampil jelek, gimana, sih?” ucapnya di sela tawa.

“Sudah nurut aja, pokoknya baju ini jangan dilepas sampai kamu balik ke rumah!”

Meski merasa lucu, Nilam mengikuti saja kemauan Mak. Juju menahan tawa melihatnya, mendapat pelototan oleh Nilam.

“Gue ikut, Ni.” Juju berdiri bersiap.

“Gak usah, kamu istirahat aja. Aku cuma bentar kok.” Pemuda berambut tebal itu kembali duduk.

Setelah Nilam melapisi pakaian yang dikenakan dengan baju bau deterjen itu, Mak menggosokkan arang ke pipi dan dahinya. Juju langsung menyembur tawa. Nilam sempat menolak, tapi tangannya dipukul Mak. Jadilah Nilam pasrah, sambil membayangkan apa bentuk penampilannya kini.

Ia gadis pecinta semua hal berbau negeri ginseng. Dari ujung kaki hingga kepala sudah persis si idolanya, Bae Suzy. Aktris serba bisa yang menginspirasinya sampai bisa seperti sekarang.

Merasa risih dengan penampilan anehnya, Nilam melepas baju ‘kerja’ Mak itu di tengah jalan. Sebelum kain itu dilempar ke semak, ia menggosok kain itu rata ke wajahnya sampai dirasa sudah bersih.

Jalan setapak yang sepi membuatnya lega, tak ada yang sempat melihat penampilannya tadi. Kalau tidak, ia pasti akan malu dikira orang hilang akal.

Langkah kaki Nilam percepat ke arah Selatan, dua ratus meter ke sana ada rumah yang mau dituju sebelum ke tempat Suci. Setelah melewati beberapa rumah dan tanah kosong pandangannya menyapu rumah sederhana yang terlihat sepi, pintu dan jendelanya tertutup.

“Neni,” panggilnya pada pemilik rumah yang juga salah satu teman masa kecil.

Tak ada jawaban. Rumah beratap genteng tua itu tampak tak terurus. Nilam melihat rumah terdekat di sekitar juga sepi.

Apa keluarga Neni juga merantau? pikirnya sambil melanjutkan langkah menuju rumah Suci, teman akrabnya sejak kecil itu letaknya sedikit ke ujung kampung.

Kampung ini hanya dihuni sekitar lima puluhan rumah. Jarak satu dengan yang lain cukup jauh. Masih banyak lahan kosong yang berumput tinggi, ditanami pohon kelapa atau buah-buahan.

Banyak warga yang pindah ke kota atau kampung lain sebab merasa terisolasi di sini. Kampung tanpa listrik, apalagi sinyal telepon. Jalan menujunya juga setapak, berumput setinggi mata kaki. Melewati hutan panjang yang sebagiannya becek dan licin saat hujan.

Nilam melewati sebuah bangunan panjang dari kayu, tujuh ruangnya terkunci gembok coklat. Cat putih kapur di dindingnya mengelupas sana-sini, rumput di lapangan itu tumbuh rumput setinggi betis anak-anak. Itu sekolah dasarnya dulu.

Hari Minggu begini tak tampak anak-anak yang dulu biasa memakai halamannya sebagai tempat bermain. Sekolah tua itu satu-satunya tempat pendidikan yang dimiliki kampung terpencil ini.

Seingat Nilam, saat masa SD hanya dua guru yang bertugas mengajar siswa yang jumlahnya tak sampai dua puluh orang. Sekolah yang tidak punya jam disiplin, masuk jam tujuh kemudian pulang jam Sembilan pagi. Hanya menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman.

Fasilitasnya belum diakui, hingga saat ujian kelulusan siswanya akan bergabung dengan sekolah di kecamatan yang jaraknya ditempuh dua jam perjalanan.

Setelah lulus, Nilam dan beberapa teman melanjutkan SMP dan SMA di kecamatan. Tinggal di rumah saudara sampai tamat. Saat itu sebulan sekali ia pulang menengok Mak.

Kali ini di kepulangannya, ia berharap ibunya mau tinggal bersama di kota. Meski masih mengontrak, ia ingin selalu bisa melihat wajah wanita yang tampak makin tua itu.

Awal mengadu nasib ke ibu kota, Nilam bekerja sebagai tukang keramas di sebuah salon. Suatu saat ia bertemu Juju, berteman akrab dan kemudian pemuda itu yang membawanya bergabung di Komunitas Pecinta Korea. Setelah belajar banyak bahasa dan budaya negeri ginseng itu, gadis pemberani ini akhirnya bisa bekerja di sebuah K-Food sampai sekarang.

Perjalanan beberapa tahun mampu mengubah si gadis dekil dari kampung ini berubah penampilan bak aktris.

Rambut coklat kemerahan Nilam yang licin sesekali menutupi mata karena tersibak angin. Hari yang tadi terlihat cerah berubah mendung dan berhawa dingin. Ia melirik jam di tangan kirinya, masih menunjuk angka sepuluh pagi.

“Suci,” pekiknya girang saat melihat seorang perempuan muda berdaster tengah menyapu selasar.

Orang yang dipanggil melongok heran. Seperti berpikir keras, apa ia tengah bermimpi didatangi bidadari?

“Kok, heran gitu, sih? Ini Nilam. Nilam Kumalasari.” Begitu mendekat gadis itu langsung merangkul teman lamanya.

“Nilam?” Perempuan yang dipeluk bergumam datar, Nilam melonggarkan pelukan. Ditatapnya lekat wajah Suci yang tampak menua. Mungkin sebab bercak hitam dan kerut di bawah matanya mulai muncul.

“Iya, aku Nilam, Ci.” Nilam memegang kedua pundaknya, menatap saksama mata yang terlihat berkaca.

“Suci?” katanya setengah heran melihat perempuan bertubuh sedikit berisi ini langsung meletakkan sapu dan melangkah ke dalam rumah.

Nilam mengikuti langkah kaku temannya itu sampai ke ruang tamu. Suci terlihat tanpa senyum duduk di kursi rotan. Wajahnya bertambah murung. Nilam duduk di sampingnya masih menatap Suci penuh tanya.

“Kenapa kamu pulang?”

Mendengar pertanyaan itu, sontak Nilam menyembur tawa.

“Kok, tanyanya aneh, sih? Mamakku, kan, ada di sini. Masa nggak boleh pulang. Emang kenapa, sih, Ci? Mak tadi juga bersikap aneh. Sama kayak kamu.”

Suci langsung menghadapkan wajah ke arah Nilam, gadis bermata bulat itu ditatapnya saksama.

“Kamu harus cepat pergi dari kampung ini, Nilam. Sekarang kampung kita nggak seperti dulu. Sudah nggak aman,” tegas Suci cepat.

Nilam terpaku sejenak.

“Ada apa memangnya?” tanyanya setengah bergumam. Ia merasa ada yang tak beres melihat reaksi Suci. Gadis yang dulu dikenal cukup ceria ini tampak jauh berubah sekarang.

Suci masih menatapnya lurus. “Semua gadis yang diinginkannya akan sulit lepas. Mereka pasti menghilang. Kamu bisa jadi korban selanjutnya,” ceracau gadis itu dengan bibir bergetar.

“Korban siapa? Apa maksudnya, Ci? Aku nggak paham.” Nilam terus bertanya bersamaan dengan jantungnya mulai berdebar.

Ki Arya ....” Suci bergumam, setengah berbisik. Sorot matanya berkilat aneh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status