Share

2. Bertemu Lelaki Pengincar Nyawa

“Cepat pulang, Ni, sebelum ia ketemu kamu.” Tangan perempuan berparas manis ini dingin dan gemetar, memegang punggung tangan Nilam.

Nilam menggigit bibir berusaha menenangkan degup jantung, ia mengangguk patuh pada apa yang dikatakan temannya ini. Meski tak paham sepenuhnya ucapan Suci tadi, Nilam bisa menangkap adanya bahaya yang mengancam.

Buru-buru pamit, setengah berlari menyusur kembali jalan setapak menuju rumah. Sesampai di tempat baju Mak dibuang tadi, ia melihat pakaian bermotif kembang itu masih teronggok di semak belukar.

Perlahan tangan Nilam menggapai, sedikit sulit sebab terhalang rumput tinggi.

Hup!

Dapat. Segera Nilam kembali memakainya.

Kemudian membungkuk ke tepi jalan setapak itu, ia mengorek tanah kecoklatan yang langsung diusapkan ke seluruh wajah. Seperti yang ibunya lakukan sebelum berangkat tadi. Berharap kalau bertemu lelaki tua yang disebut Suci, tak akan tertarik padanya_Nilam baru paham, maksud Mak Lumpit mendandaninya begini tadi.

Saat akan berdiri, mata Nilam tertumbuk pada sepasang sandal kulit, yang dikenakan seseorang bertelapak lebar, kuku-kuku kakinya panjang dan hitam.

Gadis itu mendongak sambil berdiri perlahan.

“Sedang apa, Nak?” Suara berat menegur, sontak menambah cepat degup jantung Nilam.

Matanya seketika membelalak begitu melihat wajah siapa yang sedang berdiri tepat di depannya.

Lelaki berpakaian serba hitam, berkumis tebal, rambut panjang menggimbal. Matanya yang besar itu memandang sedikit menyipit ke arah Nilam.

Apa ia Ki Arya?! tanyanya dalam hati.

Gadis ini cepat-cepat menunduk, sambil menyela hendak berlalu. Namun, terhenti saat sebuah tangan menahan lengannya. Di saat bersamaan langit makin menggelap, muncul petir diikuti guntur setelahnya. Menandakan akan segera turun hujan.

Nilam tak bisa bergerak, tangan itu begitu kuat menahan.

“Mau ke mana ... kamu cantik sekali. Sangat segar ...,” desis lelaki tua itu sambil menggertakkan gigi.

“A-aku mau pulang,” jawab Nilam gemetar, tanpa berani mengangkat wajah.

“Merdu sekali suaramu, Cantik,” ujar si lelaki tua, makin membuat jantung Nilam seakan-akan meloncat dari dadanya.

Hujan turun deras seketika. Nilam terus meronta dari cengkeraman lelaki paruh baya itu, yang terus berusaha menahan badannya. Setelah sekuat tenaga melawan, tangan lelaki itu akhirnya terlepas, tak membuang kesempatan Nilam segera mengambil langkah seribu.

Ketakutan hebat membawanya berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang, sampai tiba di halaman dengan badan gemetar dan basah kuyup. Napasnya tersengal-sengal terlihat sulit meraup udara.

Nilam memeluk badan yang menggigil, hendak masuk saat melihat Mak dan Juju sudah menunggunya di depan pintu.

Aneh, Mak dan temannya itu mematung tak segera menyuruh masuk. Mak Lumpit yang selalu memakai kebaya dan kain jarik itu seolah-olah tak bernapas, mengarah pandang pada sesuatu di belakang Nilam. Sama seperti Juju yang berubah bak patung menganga.

Dari sudut mata, Nilam melirik, ada bayang hitam berdiri lalu menjajari tubuhnya.

“Jadi ... ini anakmu, Mak Lumpit?” Suara berat itu keluar dari seseorang yang kini berdiri tepat di samping Nilam.

Dalam sekejap tubuh dan tulang Nilam terasa melemas. Tanpa berani memandang, raganya ikut menegang, membelalak mata menatap Mak yang belum juga bergerak.

Juju seketika tersentak, segera menarik tangan Nilam masuk. Begitu juga Mak. Saat matanya berkedip, kesadaran Mak terjaga. Segera diperintahkan Nilam menjauh ke ruang belakang.

Nilam menuruti, segera berlari ke dapur.

Mak dan Juju yang bingung kembali melempar pandang pada lelaki berpakaian serba hitam, yang sudah berdiri tepat di garis pintu. Langkah keduanya serentak mundur, siaga jika saja diserang tiba-tiba. Aura si lelaki tampak berniat tidak baik.

Tangannya merentang, memegangi sisi kusen. Sebagian rambut panjangnya menutupi mata, dari celah ia menatap Mak Lumpit dan pemuda itu bergantian. Sorot mata itu sangat tajam.

Suara hujan deras menerpa atap, menutupi suara degupan jantung Mak. Setelah mengatur napas wanita tua itu memberanikan diri bicara.

“Tolong jangan ganggu kami,” mohon Mak Lumpit sambil menangkup tangan yang bergetar di dada.

Suara kecil tertahan Mak tak mungkin terdengar, tapi rautnya penuh permohonan terbaca jelas. Lelaki kurus itu menyengir, perlihatkan gigi coklatnya yang tak rata. Ia menyibak rambut dari wajah, dengan gerakan menyentak. Mengarahkan pandang ke dapur—seakan-akan memindai keberadaan Nilam. Lalu, sesaat kemudian berbalik pergi tanpa kata.

Tarikan napas lega Mak Lumpit terlepas, segera wanita yang sudah hampir kehilangan tenaga itu menutup pintu. Menyandari daun pintu kayu itu sambil mengatur napas.

“Si-siapa, Mak?” tanya Juju sambil membantu Mak duduk di kursi kayu.

Tubuh Mak amat gemetar. Belum bisa bicara sementara tenang. Ia benar-benar tak percaya, apa yang dikhawatirkan, telah benar-benar terjadi.

Pemuda tinggi berkulit bersih itu sigap ke belakang, akan mengambilkan minum untuk Mak.

Tubuh Mak yang kurus itu terduduk lemah di kursi. Tatapan kosong dengan dada masih naik-turun.

Nilam mengekori Juju yang sudah kembali membawa segelas air putih. Gadis itu berjingkat pelan, bajunya yang basah ditutupi handuk lebar milik Mak.

Sebelum ke ruang depan ia celingukan, menyapu pandang ke seluruh ruang tamu, setelah merasa aman Nilam mendekati Mak.

“Sudah pergi,” kata Juju menyikut lengannya.

“Pergi?”

Juju mengangguk membuat Nilam menarik napas lega.

Mak Lumpit meminum habis air yang diberi Juju, terlihat masih syok dengan kejadian tadi.

“Mak!" Nilam menepuk bahu kurus itu membuat Mak seketika terloncat berdiri. Rupanya tadi tak menyadari anak gadisnya sudah ada di situ.

“Ya, Gusti. Nilam!” pekik Mak sambil melotot garang.

Gadis itu terdiam, sedikit takut melihat Mak begitu marah.

“Lihat! Apa yang Mak khawatirkan ini terjadi, kan? Nilam … Nilaam,” ratap tiba-tiba keluar dari bibir keriput itu.

“Minum lagi, Mak.” Juju tadi ke dapur lagi menambah segelas, karena melihat Mak sangat kehausan.

Setelah minum lagi setengah gelas dan merasa cukup tenang, Mak menunjuk ransel hitam milik Nilam yang masih tergeletak di sudut ruang.

“Cepat ganti pakaian, habis itu makan. Kalian harus balik sekarang juga, Mak akan ke rumah Supri untuk minta tolong ngantar.”

“Iya, Mak," sahut Nilam patuh.

Gadis itu menyeret ranselnya ke belakang. Meski batin masih menyimpan banyak tanya, ia mengikuti saja apa yang ibunya perintahkan.

Melihat lelaki tua yang mencengkeram lengannya tadi itu amat mengerikan rupanya. Wajah seram, belum lagi bau badan seperti kemenyan membuat bulu seluruh tubuh Nilam merinding.

***

Sementara Nilam dan Juju bersiap, Mak Lumpit melangkah cepat menyusuri jalan becek, beberapa bagian yang tergenang air dilompati. Kepalanya penuh dengan pikiran, menemukan cara agar Nilam segera pergi dan terlepas dari manusia paling menakutkan di dukuh ini.

Terlihat sekali tatapan lelaki itu tadi, menyiratkan ketertarikan kuat pada Nilam. Bulu kuduk Mak berdiri. Ia merasa bersalah tak langsung menjelaskan semua pada Nilam sejak awal. Memang momok bagi warga yang memiliki anak gadis perawan membahas ‘orang itu’ di dalam rumahnya. Dan, sekarang semua sudah terjadi begitu cepat.

Setiba di pondok kecil yang berdampingan dengan lima kandang ayam, Mak Lumpit segera menggedor pintu keras. Ia tahu Supri pasti masih tidur, walaupun hari sudah sesiang ini.

Gedoran ke sekian kali, gagang pintu bergerak. Seorang pemuda berkulit gelap, bermata sembab dengan rambut acak-acakkan muncul.

“Eh, Mak,” katanya mengucek mata yang sembab.

Tanpa bicara, tubuh Mak menyelip masuk rumah, melewati lelaki berperawakan kecil yang menatapnya bingung.

“Supri, tolong, Mak. Nilam pulang dan ketemu ..." Mak mengatur napas. “ketemu orang itu tadi!”

Kalimat Mak terbata-bata, mulai ceritakan kedatangan Nilam, hingga munculnya lelaki itu di samping Nilam saat hujan deras tadi.

Supri makin menganga mendengar penuturan Mak. Ia tahu lelaki yang Mak maksud adalah orang yang paling ditakuti akhir-akhir ini. Semenjak delapan gadis raib tanpa diketahui rimbanya hingga sekarang.

Semua warga mencurigai Ki Arya pelakunya, tapi sayang belum ada bukti. Lebih lagi, semua tertunduk ketakutan jika menghadapi lelaki yang terkenal berilmu gaib itu.

Di akhir kalimat, wanita yang dikenalnya sejak kecil itu meminta ia segera mengantarkan Nilam keluar kampung, sekarang juga.

“Cepat Supri! Tolongin anak Mak!”

Tubuh lelaki berbaju kaus gober itu didorong Mak agar cepat mengambil kunci motor.

“Supri baru bangun, Mak. Mau mandi dulu, makan juga belum.” Supri menggaruk-garuk dada dan leher yang terasa gatal.

“Ndak usah mandi! Ayo, nanti Mak bekalin makanan dari rumah, pokoknya berangkat sekarang! Kamu panggil Mardin juga. Buat dua orang, Nilam itu datang sama kawannya!”

Pemuda yang masih melajang di usia tiga puluh ini tak bisa menolak. Setelah sempatkan mencuci muka dalam gerak cepat, Supri segera melaju motornya membonceng Mak. Sekali duakali ia menguap—efek masih mengantuk. Akibatnya, punggung Supri langsung panas mendapat pukulan dari Mak. Keras. Panas. Sampai Supri membuka mata lebar-lebar.

Nasib-nasib ... jadi tukang ojek kampung memang harus siap dipanggil darurat, benak Supri sambil garuk dahi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status