Share

3. Usaha Keluar Dusun

Sesampai di pekarangan rumah, Mak Lumpit bergegas turun dari boncengan dan masuk ke rumah. Supri lanjut ke rumah Mardin sekitar 20 rumah ke arah Barat kampung.

Di dalam rumah Nilam dan Juju sudah bersiap. Ransel keduanya tergeletak di kursi kayu. Mak langsung ke dapur, menyiapkan makanan untuk Supri.

Dua motor bersuara kencang berhenti tepat depan selasar. Supri dan lelaki tinggi berkulit gelap turun, akan masuk ke rumah sejenak tertahan. Tertumbuk pandang pada gadis berkulit bening, mengenakan kaos lengan panjang berwarna putih, berpadu celana panjang skinny biru tua.

Cantiknyaaa ....

Dalam balutan penampilan yang sederhana, tapi membuat Nilam tampat amat cantik paripurna. Sukses membuat Mardin dan Supri sesaat terpana. Senyum dari pemilik bibir merah alami dan gadis berambut basah itu merekah. Terasa menerbangkan keduanya ke awan.

Plak!!

Sekali lagi Supri menerima pukulan keras di bahu, dari Mak yang sudah berdiri di dekatnya.

Ibu gadis itu kesal melihat dua pemuda itu hampir meneteskan liur akibat menganga lebar, memandangi Nilam.

“Supri, cepat!” bentak Mak Lumpit, membuat si lajang cengengesan, tertawa malu.

"Iya, Mak. Ayo!" Kode supri untuk semua, seraya keluar rumah.

“Kamu sama Juju sudah makan 'kan, Ni?” tanya Mak pada Nilam dan Juju, serentak keduanya mengangguk.

“Sedikit, Mak. Nggak selera sarapan,” sahut Nilam sambil menggendong ransel.

“Ya sudah. Cepat berangkat. Supri, ini untuk makannya," Mak menyodorkan rantang ke Supri. Ingat, jangan berhenti sebelum keluar perbatasan,” pesan Mak lagi.

Supri mengiyakan, sambil menerima rantang dengan wajah semringah, ada bau ikan asin goreng di depan hidungnya.

Nilam dan Juju mengekor keluar.

“Maaf ya, Ju. Kita musti balik lagi,” kata Nilam. Juju tengah memakai sepatu.

"Iya ini demi kebaikan loe." Tanpa banyak tanya Juju akan manut apa kata Mak Lumpit. Sepertinya Nilam memang pulang dalam kondisi tak tepat.

“Walaupun aneh?” Nilam menyipit mata pada Juju.

“Ya—“

“Sudah ndak sempat ngobrol-ngobrol. Cepat sana!” tegur mak.

Juju sudah berdiri di sisi motor Mardin.

Nilam sedang berpamitan pada Mak. Gadis berpipi ranum itu meraih tangan Mak Lumpit, menciumnya takzim.

Batin Nilam nyeri, baru saja pulang melihat keadaan ibunya, tiba-tiba harus kembali lagi jauh. Ia memeluk Mak sambil terisak.

Mak mengusap air mata di pipi bening itu. Jemari keriput dengan beberapa uratnya muncul itu bergetar, tangannya berhenti saat menangkup pipi Nilam. Ditatapnya mata bola itu lekat.

“Ingat pesan Mak ini, selama kamu belum keluar dari kampung ini, JANGAN SESEKALI MENYEBUT NAMA ITU. Semua penduduk percaya, sedikit saja disebut, hidungnya akan segera mengendus. Jika ada bau perawan, orang itu bisa segera muncul lagi mendekat. Akan tambah bahaya kalau ia terlanjur menjadikan targetnya, Nilam!”

Mak juga mengatakan singkat tentang delapan gadis desa yang menghilang. Kecurigaan semua menuju pada lelaki itu, hanya takut untuk menghadapinya.

Ini pertama dan terakhir Mak membahas orang itu, sebab dipikir Nilam juga akan segera keluar kampung.

Melihat putrinya mengangguk patuh, wanita paruh baya itu mengakhiri pesan dengan mengusap kepala Nilam lembut.

“Ayo, Mak ikut Nilam ke kota,” pinta Nilam terisak, kembali memeluk wanita tercinta.

“Mak suka di sini, biar bisa ke ladang setiap hari, itu membuat Mak terasa sehat. Kamu berangkat saja. Mak mungkin akan menyusulmu suatu saat.”

Perpisahan penuh haru dari ibu-anak itu membuat Supri ikut meneteskan air mata. Ia yatim-piatu sejak remaja, sudah terlupa rasa tulusnya cinta orang tua.

“Cepat pergi.” Mak menepuk pundak anak gadisnya. Memberi senyum kecil pada saat Juju juga mencium punggung tangannya.

“Titip jagain anak Mak di kota ya, Ju."

“Iya, Mak,” jawab Juju sebelum naik ke boncengan Mardin.

“Mak, sehat-sehat, ya. Doakan Nilam sehat, bahagia." Nilam melambaikan tangan sebelum motor melaju.

Mata lamur Mak Lumpit jadi berkaca-kaca, kemudian bulir hangat di pelupuknya luruh, semakin motor yang membawa anaknya menjauh, kian deras air matanya, hingga bahu kurus itu berguncang.

‘Nilam satu-satunya putriku, ya, Gusti. Lindungi dan selamatkan Nilamku …,’ pinta batinnya menjerit pilu.

***

Motor yang dikemudikan Supri masih separuh jalan di area kampung, melewati hutan jati berpohon tinggi menjulang.

Kampung ini dijuluki Dukuh Gelap, sebab letaknya terisolasi, tanpa aliran listrik dan sinyal telekomunikasi. Jika hendak kontak dengan keluarga lain di kota, warga akan ke kecamatan, yang jaraknya jauh, juga melewati jalan setapak yang melelahkan.

Hawa dingin setelah hujan tadi membuat Nilam memeluk tangan, sesekali berpegang pada besi motor yang geraknya oleng saat melewati jalan licin.

Motor mereka beberapa meter di depan Mardin dan Juju.

Selama perjalanan, Nilam memilih diam walaupun Supri banyak bertanya, hanya dijawab singkat oleh gadis itu.

Di kepalanya berkecamuk rasa, perang antara pesan Mak tadi dengan dorongan kata nama lelaki itu berulang-ulang tersebut di otak_seperti ada sesuatu yang terus membisiki_menghasutnya menyebut nama itu.

Nilam berusaha mengalihkan gejolak dengan menyenandung lagu beat K-Pop kesukaan.

“Dek Nilam kerja apa to di kota?” Supri kembali bertanya. Sejak tadi ia sengaja memperlambat laju motor, demi bisa mengobrol panjang-lebar dengan Nilam.

‘Kapan lagi mendapat kesempatan emas. Berdekatan begini dengan gadis yang wajahnya persis poster cewek terpajang di kamarku. Cantik dan menggoda,’ pikirnya dengan jantung menari-nari.

“Di restoran, Mas,” jawab Nilam singkat, di sela bibirnya bersenandung pelan.

Belum tuntas senandungkan lagu ‘Best of Me’ milik BTS, nama seseorang tersebut di otaknya makin mendesak ke ubun-ubun, mendominasi isi pikiran.

Keseimbangan Nilam hampir hilang saat menutup telinga dan mata, mengalihkan apa yang diucapkan pikirannya. Telapak tangan ditekan ke sisi kepala sekuat mungkin.

“KI ARYA DIRAJA ….”

Sebuah nama terlepas begitu saja, meluncur keluar dari bibir Nilam. Tanpa bisa dikendalikan. Nilam menutup mulut dengan telapak tangan. Detak jantungnya berpacu cepat. Rasa takutnya terbit, membayangkan apa yang terjadi setelah ini.

“Dek Nilam di sana tinggal di mana?”

Lelaki beraroma masam di depannya ini sama sekali tak menyadari. Ia masih terus saja bertanya, mengorek tentang si gadis yang membuat irama jantungnya berlari.

Nilam tidak menjawab. Tubuhnya mendadak makin dingin, sampai terasa kaku. Tak sabar ia ingin cepat sampai gapura dan keluar perbatasan kampung. Apa yang maknya katakan amatlah benar, setelah tersebutkan nama itu langsung ada reaksi padanya sekarang.

Tak sempat menegur Supri agar lebih cepat, tubuh Nilam menggigil, aura dingin menusuk tulang. Ia memeluk tangan, berusaha menangkup kembali bibir yang gemetar hebat. Sampai terdengar suara giginya beradu.

Saat melempar pandang ke arah depan, Nilam melihat tubuh seorang lelaki berpakaian serba hitam merentangkan tangan di tengah jalan.

“Whuaaa. Berhenti, Mas Supri!” pekik Nilam keras sambil meloncat dari motor ke semak kiri jalan.

Motor bebek keluaran 2015 itu mati seketika, bersamaan dengan jatuhnya Nilam. Meluncur ke depan lalu jatuh bersama Supri ke sisi jalan.

“Oi! Kenapa?!” Mardin cepat injak rem dalam, sambil arahkan motor ke kanan jalan. Seketika motor terhenti, tak sampai menabrak motor Supri yang jatuh tepat di depannya.

Andai melaju kencang mungkin motor mardin sudah melindas Supri.

Tiga orang pemuda itu terduduk dalam kondisi syok, kaget. Juju mendapati kakinya berdarah, terkena besi pijakkan motor Mardin. Sementara Supri dan Mardi tak luka, sebab tadi sempat meloncat ke rerumputan.

“Ni, kamu gak papa?” Juju berusaha berdiri, sedikit meringis saat perih luka terkena ujung jeans’nya.

“Kenapa harus loncat, Dek? Itu bahaya!” tegur Supri ikut berdiri mendekati Nilam yang kini duduk di rumput sisi jalan. Gadis itu tengah tertunduk memeluk badan yang terlihat masih menggigil, sambil mengerang kecil.

“Itu tadi ada orang baju hitam." Nilam menunjuk depan sana, tanpa mengangkat wajah yang tertunduk. Rambut panjangnya terurai sebagian ke depan.

Melihat tak ada siapa pun seperti yang dikatakan Nilam Supri mengingatkan, “Jangan ngomong aneh-aneh. Ini hutan, pamali.”

Pemuda kurus itu kembali ke motornya, sempoyongan berdirikan motor itu hingga tegak. Lalu mencoba kembali menyalakan starter. Lima sampai puluhan kali, tidak bisa. Dicoba lagi nyalakan pakai engkol, tetap gagal. Motor itu bergeming.

Begitu pun Mardin, motornya yang lebih baru daripada punya Supri juga ikut mogok.

“Kenapa, Bang?” Juju mendekati mereka. Coba membantu. Sampai kewalahan tetap saja gagal.

Mereka bertiga mulai kelelahan, memutuskan menunggu pertolongan. Berharap ada orang lain lewat.

Supri mengambil plastik berisi rantang pemberian Mak Lumpit tadi, yang jatuh di dekat motor. Isinya hanya berantakan di dalam, Supri membuka lalu melahapnya rakus.

Juju kembali duduk, mengambil tempat dekat Nilam. Sedikit heran melihat gadis itu menelungkupkan kepala diantara lututnya. Rambut tergerai ke depan. Ada erangan halus, seperti kesakitan, tapi tubuhnya kaku tak bergerak.

Seketika mega gelap kembali menggantung tebal di angkasa. Gerimis kecil mulai turun bak embun pagi.

“Ni? Loe kenapa?” Hati-hati Juju mendekat, berjongkok, lalu menyentuh bahu Nilam.

Seketika kepala gadis itu terangkat. Tampak kulit wajah dan bibir seputih kapas, ada pancaran merah di bola mata yang berair.

Di mata Juju, Nilam seperti dirasuki makhluk lain. Juju yang kaget terjungkal ke belakang. Tubuhnya seketika menggetar. Mengundang mata Supri dan Mardin serentak melihat Nilam.

Wajah cantik gadis itu sudah tampak seperti mayat hidup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status