Hujan deras menyambut dari jam terakhir sekolah, memukul-mukul genting dan membasahi jalanan tanpa ampun. Fiora berdiri di dekat jendela, memperhatikan bagaimana air hujan meluncur deras, memburamkan pandangan ke luar.Suasana kelas mulai sepi. Satu per satu siswa meninggalkan ruangan, beberapa di antaranya berlari menembus hujan tanpa payung, seolah lebih memilih basah daripada menunggu.Fiora menatap baris paling belakang di kelas. Bangku yang menjadi perhatiannya sudah kosong dari sebelum pelajaran terakhir, dia tidak tau kemana Reksa menghilang. Tapi satu hal tak bisa lepas dari pikirannya. Hadiah yang tadi diberikan, kenapa disimpan?“Fiora! Ayo pulang!” seru Talia dari pintu.Fiora mengangguk kecil, mengambil tasnya dan berjalan menghampiri gadis itu.Mereka bertiga—Fiora, Talia, dan Nabila—melangkah menuruni tangga menuju lantai satu. Suara hujan terdengar semakin keras, memantul di atap dan paving sekolah, menyiprat sampai di koridor lantai satu. Sesampainya di bawah, ketigany
Hari ini sebelum pelajaran pertama dimulai, Fiora menaiki tangga menuju lantai tiga gedung barat. Langkahnya pelan, tidak terburu-buru. Ia sudah hafal arah ruangan itu, meski tidak pernah tercantum di jadwal resmi sekolah.Saat membuka pintu, aroma teh hangat dan wangi diffuser yang samar langsung menyambutnya.Fiora berjalan pelan menuju kursi di samping jendela, tempat yang selalu ia pilih sejak pertama kali datang ke sini. Sudah hampir dua bulan berlalu sejak diferensiasinya. Ia mulai terbiasa duduk dalam lingkaran kecil ini, meski perasaan canggung itu belum sepenuhnya hilang.Awalnya dia mengeluh ketika mendapat kelas konseling yang berbeda dengan Nabila. Namun sekarang ia bersyukur. Entah kenapa Fiora merasa tidak ingin terlalu sering bertemu dengannya.Fiora mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ternyata dia menjadi orang terakhir yang memasuki kelas.Sebelumnya, saat masih seorang beta, ia tidak pernah membayangkan bahwa omega punya kelas khusus seperti ini. Bahkan para
"Jadi," Fiora akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi memenuhi kepalanya. "Itulah sebabnya kau rutin menyelimutiku dengan feromonmu?"Reksa menoleh sedikit, lalu mengangkat bahu seperti seseorang yang baru saja menyadari sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya. "Sebelumnya aku hanya mengikuti insting," katanya ringan, hampir seperti gumaman. "Sekarang aku tahu alasannya kenapa."Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor, langkah mereka terpantul lembut di lantai ubin yang masih menyimpan kehangatan matahari.Tas tergantung miring di bahunya, dan rambutnya, yang baru saja ia sisir asal dengan jari, berkibar pelan setiap kali angin sore menyelinap masuk lewat celah jendela. Fiora menghela napas kecil, lalu mengalihkan wajahnya ke samping, berusaha menyembunyikan rona yang dengan cepat menjalari pipinya."Tapi tolong," katanya, pelan tapi sungguh-sungguh. "Lihat situasi. Jangan di kelas juga."Tangannya terangkat, menutup sebagian wajahnya. Jari-jarinya menyentuh pelipis, se
Begitu Reksa masuk ke dalam kelas, matanya menangkap pemandangan yang tak ia harapkan.Fiora duduk di bangkunya, buku tugas terbuka, dan di seberangnya, ada anak laki-laki yang pernah Fiora panggil dengan nama 'Adam'. Lelaki itu bersandar santai di meja, dan Fiora tertawa pelan karena sesuatu yang dikatakannya.Reksa berhenti di ambang pintu.Beberapa detik ia terdiam, lalu melangkah mendekat ke arah mereka. Tenggorokannya terasa kering karena Fiora masih belum menyadari kehadirannya. Ia melangkah lebih dekat, lalu berdeham cukup keras.Sekejap, perhatian keduanya langsung tertuju padanya.Adam menoleh. Begitu melihat raut wajah Reksa yang jauh dari ramah, ia langsung bangkit dari duduknya. “Aku balik ke tempatku dulu,” katanya pada Fiora, lalu pergi tanpa menunggu jawaban.“Kau dan Adam,” kata Reksa. “Apa itu tadi?”Fiora bahkan tidak mengalihkan pandangan dari buku tugasnya. “Itu namanya mengobrol, Reksa. Mungkin kau pernah mendengarnya.”Jawaban itu membuat dahi Reksa mengernyit. N
Fiora duduk dengan gelisah di bangku kantin, pandangannya melayang pada kerumunan siswa yang sibuk dengan makan siang mereka. Di depannya, Talia mengaduk-aduk minumannya dengan malas, sesekali melirik Fiora yang tampak tidak tenang."Reksa menghindariku," ucap Fiora tiba-tiba, suaranya hampir tenggelam di antara riuh rendah kantin."Apa?!" Talia mengangkat alis, sedikit terkejut."Reksa menghindariku," Fiora mengulangi, kali ini dengan lebih tegas, sambil menatap lurus ke arah Talia."Ya, ya," Talia melambai seolah menepis udara di antara mereka. "Maksudku kenapa dia menghindarimu?" Dia memiringkan kepalanya, merasa heran."Itulah yang membuatku bingung. Kenapa dia menghindariku?" Fiora menggelengkan kepalanya, kebingungan jelas terlukis di wajahnya. "Seolah-olah aku melakukan sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu apa."Fiora lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Talia, suaranya mengecil seiring jarak di antara mereka yang menyempit. Gerakannya membuat Talia ikut memajukan badannya, pen
Reksa berjalan lesu menyusuri koridor kelas, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Dengan tatapan kosong, ia menerobos kerumunan siswa yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Beberapa bercanda di depan kelas, ada yang sibuk menyalin tugas, sementara yang lain berdiri bergerombol membicarakan sesuatu yang entah apa. Dinding koridor yang penuh dengan pengumuman kegiatan sekolah, poster ekstrakurikuler, serta jadwal ujian, sama sekali tak menarik perhatiannya.Pikirannya terseret ke dalam mimpi aneh yang mengganggunya semalam. Mimpi yang tak pernah ia bayangkan akan melibatkan Fiora yang polos.Tapi di dalam mimpi itu, Fiora bukanlah dirinya yang biasa. Dia lebih berani, lebih ekspresif dan ... yang paling mengganggu, lebih centil dari yang bisa ia bayangkan.Reksa mengusap pelipisnya dengan frustrasi, berharap bayangan mimpi itu segera hilang dari pikirannya. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Tanpa sadar, ia mengacak-acak rambutnya. "Sadarlah, Reksa!" marahnya pada dirinya send