Heat omega bisa sangat berbahaya jika terjadi di tempat umum. Feromon yang dilepaskannya bisa mempengaruhi omega lain untuk memasuki fase heat secara tak terduga, dan lebih parah lagi, dapat memicu red phase pada alpha yang mencium baunya. Dalam fase itu, seorang alpha bisa kehilangan kendali atas instingnya, seolah otaknya terputus dari logika, dan hanya menyisakan dorongan naluriah untuk mengklaim.
Karena risiko itulah, pemerintah menerapkan peraturan yang sangat ketat. Omega yang masih di bawah umur diwajibkan mengonsumsi obat penekan heat secara rutin. Hal yang sama berlaku untuk para Alpha, mereka juga harus mengonsumsi penstabil agar tidak mudah terpicu oleh aroma feromon. Obat-obat itu harus diminum tepat waktu, setiap hari, tanpa kecuali. Pemeriksaan acak di sekolah dan tempat umum sering dilakukan untuk memastikan kepatuhan. Jika ketahuan melanggar, maka akan mendapat sanksi. Denda besar, surat peringatan, pembatasan akses fasilitas publik, bahkan bisa dimasukan ke dalam Pusat Pembinaan Dinamika Sekunder. Mereka yang tinggal di sana berada dalam pengawasan penuh, aktivitas dibatasi, dan setiap interaksi harus diawasi oleh petugas bersertifikat. Kejadian heat di sekolah memang jarang terjadi. Dalam setahun, paling banyak hanya empat atau lima kasus yang tercatat secara resmi. Itu pun umumnya disebabkan oleh kelalaian pribadi, seperti lupa minum obat, atau terlambat menyadari gejala awal. Sistem pengawasan yang ketat dari pihak sekolah dan pemerintah memang cukup efektif mencegah hal-hal seperti itu terjadi di lingkungan pendidikan. Namun, yang jauh lebih langka adalah perubahan gender sekunder. Sistem tubuh biasanya sudah menetapkan peran sekunder sejak usia tujuh tahun. Usia yang masih terlalu kecil untuk benar-benar memahami, apalagi menanggung beban Heat atau Rut. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa pemberian obat diwajibkan sejak dini. Setelah peran sekunder ditetapkan, perubahan nyaris tidak pernah terjadi. Maka ketika Fiora, yang telah menjalani hidupnya sebagai Beta sejak kecil, tiba-tiba berdiferensiasi menjadi Omega, ia diliputi kebingungan. Tubuhnya mulai bereaksi dengan cara yang asing, bau feromon yang samar, sensitivitas yang meningkat, dan emosi yang sulit dikendalikan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada yang mempersiapkannya untuk ini. Ia tidak pernah minum obat penekan, tidak pernah menghadiri konseling Omega, bahkan tidak pernah membayangkan bahwa dirinya bisa masuk ke kategori ini. *** Untuk beberapa detik, UKS sunyi. Hanya deru napas Fiora yang terdengar, tercekat dan tersengal. Tubuhnya mulai berkeringat lebih deras. Seprai di bawahnya sudah lembap, tapi ia tak bisa bergerak, tak sanggup berdiri. Lalu, dari luar, terdengar suara. “Hei, apa kau mencium sesuatu?” Suara pertama terdengar ragu, nyaris berbisik, tapi cukup untuk memecah keheningan di lorong. “Ini feromon? Omega? Siapa yang sebodoh itu melepasnya di lingkungan sekolah?” suara lain menyusul, terdengar lebih tajam, hampir jijik. "Astaga, aku harus segera pergi dari sini sebelum aku terpengaruh," gumam seseorang, nadanya gugup, langkah kakinya terdengar menjauh. "Baunya di arah sini? UKS?" ucap yang lain, terdengar setengah geli. "Apakah ada yang berbuat mesum disini?" Tawa menyusul, pelan tapi cukup nyaring untuk menyentuh telinga siapa pun di dalam ruangan. Dalam waktu singkat, beberapa ada yang datang juga ada yang pergi menjauh. "Aku akan memanggil guru. Kalian juga harus segera pergi, jangan sampai ada yang memanfaatkan kerugian orang lain," Suara itu terdengar tegas, penuh tanggung jawab. Lalu disusul suara sepatu berlari menjauh, langkah-langkah cepat yang menggema di lorong, menandakan bahwa setidaknya satu orang masih memiliki nurani. Namun, tidak semua berpikir sama. Seseorang mendengus pelan, lalu berkata dengan nada santai. "Hei, ayo masuk. Kita tidak akan mendapat sanksi apa pun. Omega itu sendiri yang menyebarkan feromon di lingkungan sekolah. Bilang saja kalau kita terpengaruh, dan semua akan dianggap kecelakaan." Suara lain menyusul, lebih serak dan berat, seperti menahan tawa. "Kau benar. Akan bodoh rasanya jika kita melewatkan hidangan yang sudah tersaji di depan mata." Sementara itu, di dalam UKS, Fiora gemetar. Tangannya mencengkeram seprai basah di bawah tubuhnya. Ia mendengar setiap kata dari luar. Setiap bisik, tawa, dan langkah kaki terasa seperti palu yang menghantam kepalanya satu per satu. Mereka semakin dekat. Mereka tahu dia di sini. Pikirannya kalut. Jantungnya berdetak kencang, menyakitkan. Ia ingin berteriak, ingin meminta tolong, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Bahkan untuk menggeser tubuhnya ke sisi lain ranjang pun terasa mustahil. Lengannya lemas. Kakinya mati rasa. Kepalanya pusing. Pandangannya buram karena air mata. Fiora memaksa tubuhnya bangkit. Setidaknya ia harus sembunyi. Namun, ketika kakinya menyentuh lantai, tubuhnya langsung ambruk. Lantai dingin menyambut kulitnya yang panas, keras dan menyakitkan. Lalu sesosok bayangan muncul di hadapannya. Langkah kaki pelan, hati-hati. Fiora membeku. Ketakutan merayap lebih dalam. Tapi anehnya, sosok itu tidak terasa mengancam. Tidak ada niat buruk dalam geraknya. Lutut orang itu menekuk perlahan, sejajar dengan dirinya. Wajahnya belum jelas, tapi suaranya terdengar tenang, hampir seperti bisikan. "Hei, tenanglah, jangan bersuara. mereka akan mendengarmu." "Alpha?" Fiora bergumam lirih. Ia bisa mencium baunya. Sedikit familiar. Baunya enak, seperti pinus yang segar, dicampur citrus yang ringan, dan sedikit mint. Tanpa sadar, ia condong mendekat, tubuhnya mencari sumber aroma itu. Menghirup lebih dalam. "Jangan hirup, feromonmu menjadi semakin pekat," suara itu memperingatkan, terdengar cemas namun tetap lembut. Fiora menggenggam bajunya. "Alpha… jangan pergi." "Aku tidak akan pergi. Aku di sini. Sekarang dengarkan aku." Namun Fiora terus mendesak, mencari lebih banyak aroma yang bisa menenangkan rasa sakit dalam tubuhnya. Nafasnya tidak teratur, gerakannya lemah tapi putus asa. Sosok itu menarik napas cepat, lalu menangkup kedua pipi Fiora dengan kedua tangan. Hangat. "Hei, dengar aku. Kau dengar aku, kan?" sorot matanya bertemu dengan milik Fiora yang buram, "Dengar suaraku?" "Alpha," Fiora mengangguk. "Di sini tidak ada Suppressant, Talia, temanmu sedang mencarinya. Tapi ada sekumpulan alpha dibalik pintu itu," katanya dengan menunjuk pintu uks menggunakan dagu. "Kau takut?" tanyanya karena Fiora menggigil dan mengeluarkan suara rengekan kecil, tangannya mencengkeram kain bajunya sendiri. "Aku sudah mengunci pintunya," lanjutnya pelan, "tapi kau juga tahu itu tidak akan bertahan lama." Fiora kembali merengek, kali ini lebih keras. Matanya membasah, napasnya tak teratur. "Tidak apa-apa, aku bisa menyelamatkanmu. Ada semacam pertolongan pertama, dan aku harus meminta izinmu untuk melakukan itu." Fiora menatap dalam diam, menunggu kelanjutannya. "Kelenjar di lehermu harus digigit." Fiora terkesiap. Sorot matanya berubah, ada penolakan dan ketegangan, seperti tidak rela. "Itu dinamakan penandaan sementara, tidak permanen," jelasnya cepat. "Hanya tiga bulan. Lebih baik daripada dibiakkan oleh berbagai alpha." Fiora memejamkan mata, dan tubuhnya kembali bergetar. Rengekannya terdengar lebih tajam, mencerminkan ketakutan dan ketidakberdayaan yang sepenuhnya mengikatnya. "Iya, iya. Aku juga tau kau tidak menginginkan hal itu. Jadi bagaimana?" bisiknya. “Aku tidak akan melakukannya tanpa izinmu.” Fiora membuka matanya perlahan. Ada air mata yang menggenang, menggantung di bulu matanya. Dia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk pelan, sedikit ragu-ragu.Heat omega bisa sangat berbahaya jika terjadi di tempat umum. Feromon yang dilepaskannya bisa mempengaruhi omega lain untuk memasuki fase heat secara tak terduga, dan lebih parah lagi, dapat memicu red phase pada alpha yang mencium baunya. Dalam fase itu, seorang alpha bisa kehilangan kendali atas instingnya, seolah otaknya terputus dari logika, dan hanya menyisakan dorongan naluriah untuk mengklaim.Karena risiko itulah, pemerintah menerapkan peraturan yang sangat ketat. Omega yang masih di bawah umur diwajibkan mengonsumsi obat penekan heat secara rutin. Hal yang sama berlaku untuk para Alpha, mereka juga harus mengonsumsi penstabil agar tidak mudah terpicu oleh aroma feromon. Obat-obat itu harus diminum tepat waktu, setiap hari, tanpa kecuali. Pemeriksaan acak di sekolah dan tempat umum sering dilakukan untuk memastikan kepatuhan.Jika ketahuan melanggar, maka akan mendapat sanksi. Denda besar, surat peringatan, pembatasan akses fasilitas publik, bahkan bisa dimasukan ke dalam Pusa
Matahari belum terlalu tinggi, tapi lapangan sudah terasa panas di bawah sepatunya. Fiora berdiri di barisan, tangannya bertumpu di pinggang, napasnya mulai berat meski pemanasan baru berlangsung beberapa menit. Keringat mengalir pelan dari pelipisnya, membasahi garis rahang, membuat helaian rambut menempel di kulit.Ada yang tidak beres dengan tubuhnya.Kepalanya sedikit pening, seperti berputar perlahan. Dunia terasa bergeser setengah langkah lebih cepat dari biasanya, membuat Fiora harus berdiri diam agar tidak kehilangan keseimbangan. Tapi yang paling mengganggu bukanlah pusing itu, melainkan panas yang muncul dari dalam tubuhnya sendiri. Panas itu menyebar dari dada, lalu mengendap di perut, membuat seluruh tubuhnya terasa tidak familiar, karena ini memang pertama kalinya Fiora mengalami ini.Napasnya tersengal, padahal dia belum berlari. Bahkan tidak sedang bergerak cepat. Jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya, menciptakan ritme tak teratur yang membuatnya semakin gelisa
“Gina.”Semua mata langsung menoleh. Reksa berdiri tidak jauh dari sana, tangannya dimasukkan ke saku celana, ekspresinya datar tapi cukup untuk membuat siapa pun merasa terancam.“Kenapa kau ada di sini?” tanyanya dengan nada santai, meski ada sedikit sindiran yang jelas tersembunyi di balik kata-katanya. Siswa kelas tiga seharusnya tidak berada di Koridor wilayah kelas dua, apalagi tanpa alasan yang jelas.Gina tersenyum lebar, langkah cerianya tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Seakan tak menyadari bahaya yang mengintai, ia mendekat pada Reksa dengan semangat yang tak terhitung. “Reksa! Aku mencarimu kemana-mana!”Reksa mengangkat alis, Pandangannya tetap dingin, "mencariku?" suaranya terdengar datar, nyaris tak berintonasi. "Untuk apa?"Gina berhenti tepat di depannya, mencoba menampilkan senyum manis yang mungkin efektif bagi orang lain, tapi jelas tidak bagi Reksa. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kita kan belum bertemu hari ini,” ucapnya dengan nada lembut
“Seperti yang kita semua tahu, dalam masyarakat kita, ada tiga sekunder gender utama yaitu Alpha, Beta, dan Omega. Setiap sekunder memiliki karakteristik biologis yang berbeda, terutama dalam hal interaksi sosial dan hubungan pasangan,” ucap Pak Dwi sambil memandang seisi kelas.Semua siswa terlihat kompak mengangguk, meskipun beberapa diantaranya sebenarnya masih bingung.Mengerti kebingungan siswanya, Pak Dwi melanjutkan penjelasannya. "Dari zaman dulu hingga sekarang, hubungan antara individu dari jenis kelamin sekunder yang berbeda telah menjadi topik yang menarik. Beberapa orang memiliki aturan ketat tentang perkawinan, sementara yang lainnya lebih fleksibel. Namun, yang pasti, jalinan hubungan tidak hanya sekadar tentang cinta atau ketertarikan, tetapi juga tentang kompatibilitas biologis.""Hari ini, kita akan membahas tentang ikatan perkawinan dalam sistem ABO. Bagaimana ikatan ini terbentuk? Apa saja konsekuensinya, baik secara biologis maupun sosial? Dan apakah semua pasanga
"Ini sih keterlaluan. Mau sampai kapan diam, Fi? Kau harus melapor pada guru," desak Talia, teman sekelasnya yang baru saja masuk ke kelas. Nada suaranya terdengar gusar, seolah tak bisa menahan kekesalannya melihat keadaan Fiora.Fiora masih diam, tangannya menyentuh salah satu coretan di mejanya. Ia mengusapnya perlahan, lega karena setidaknya Reksa sedikit berbaik hati dengan tidak menggunakan spidol permanen untuk ini."Tidak perlu," ucap Fiora akhirnya. "Reksa paling cuma dapat hukuman ringan, dan itu tidak akan menjamin dia berhenti menggangguku.""Kau cuma takut, kan? Kalau dia malah bertingkah lebih parah kalau kau melapor," balas Talia sambil menatapnya tajam.Fiora tidak menjawab. Itu memang salah satu alasannya, tapi ada hal lain yang lebih menakutkan.Pikirannya kembali ke kejadian yang membuatnya menjadi pesuruh Reksa.Hari itu, Fiora mendapat giliran piket kelas. Tugasnya adalah membuang sampah ke tempat pembuangan sementara di belakang sekolah, area yang jarang dilewati
Di dunia ini, setiap manusia memiliki jenis kelamin sekunder, yang bukan hanya menentukan pasangan hidup, tetapi juga hierarki sosial dan bagaimana mereka dipandang dalam masyarakat.Alpha, pemegang hierarki tertinggi yang kuat dan dominan. Beta, populasi terbesar tanpa feromon. Sedangkan omega, sering dianggap sebagai lambang kecantikan.Di usia remaja, naluri Alpha dan Omega semakin kuat, membuat keinginan mereka untuk memiliki satu sama lain meningkat. Daya tarik ini terasa seperti magnet yang tidak bisa mereka kendalikan, bagian dari insting alami mereka. Sementara itu, Beta tidak mengalami ketertarikan semacam itu dan menjalani hidup mereka tanpa benar-benar terikat dalam sistem ini, meski tetap berada di dalam lingkup sosial Alpha dan Omega.Alpha bisa berteman, bekerja, atau bahkan memimpin Beta dalam lingkungan sosial. Namun, ada satu hal yang jarang terjadi, Alpha tidak punya alasan untuk bermain-main atau mengganggu Beta. Itu bukan sesuatu yang menarik bagi mereka. Jika ada