Slep!
“Aaa!” jerit Nada, berusaha melepaskan tangan Lingga yang mencekal lengannya. “Eeggh!” dia menggerang karna bibirnya dibekap dengan telapak tangan besar milik Lingga. Lalu menggelengkan kepala. Wajahnya sudah berderai air mata.
Lingga memepet Nada di tembok sebelah jendela yang belum sempat dibuka. “Jangan teriak! Aku bisa membunuhmu dan membuang jasadmu di laut lepas sana! Setelahnya, keluargamu di kampung sana akan menerima akibatnya!” ancam Lingga.
Bulir menetes begitu saja di pipi putih Nada. Takut dan dalam dadanya sana terasa sakit karna perlakuan Lingga ini. Tangannya yang berusaha menarik lengan tanggan Lingga itu sedikit melemah.
“Kamu tinggal diam, menikmati apa yang aku lakukan. Jangan menolak karna aku akan membayarmu. Aku tidak mengambil kenikmatan itu dengan gratis, kan?” satu sudut bibir Lingga tertarik ke atas. “Kamu saja yang sok-sok’an tidak mau menerima uangku. Padahal kamu ada di sini karna mencari uang.”
Mata Nada yang tergenang embun bening itu melebar mendengar kalimat panjang Lingga. Iya dia ke Jakarta memang untuk mencari uang, tapi dia bekerja sebagai pembantu di rumah ini, bukan jual diri.
“Jangan teriak, oke? Kalau kamu teriak, aku benar-benar akan kasar!”
Nada mendesah kasar, memejamkan mata membiarkan bulir-bulirnya kembali menetes di pipi. Kenyataannya dia memang butuh banyak uang karna ibunya yang mulai sakit-sakitan dan tentu tak lagi sekuat dulu.
Melihat Nada yang diam, Lingga mulai menarik tangan perlahan, tak lagi membekap mulut Nada. Tatapan mesumnya terarah pada dada Nada yang terlapisi kaos lengan pendek berwarna hijau muda. Milik seorang gadis yang baru mekar, memang terlihat lebih menggoda dari pada para jajanannya di luar yang sering ia beli.
Lingga menunduk, menarik kaos Nada sampai kaos itu terlepas lalu melemparkan kaos itu sembarang arah. Seperti yang Lingga mau, Nada tak lagi memberontak walau gadis cantik ini tetap menangis.
Tidak lama, setelah setengah jam berlalu Lingga mulai bergerak cepat dan menuntaskan keinginan yang sudah dia pendam sejak semalam. Begitu semuanya tersalurkan dan terkeluarkan, Lingga beranjak turun dari ranjang.
Duduk di tepi ranjang mengatur nafasnya yang tak beraturan. Menunduk, menatap keringat yang mengalir di dada lalu menetes ke kedua pahanya yang masih bertelanjang. Dia menoleh, menatap Nada yang menarik selimut dan meringkuk tak mau menatapnya.
Lingga melangkah keluar dari kamar Nada setelah memakai pakaiannya.
“Kak,” sapa Lauren yang belum lama turun dari lantai atas; kamarnya. Dia menuding ke arah dapur, karna tadi melihat Lingga keluar dari dapur.
“Nyari camilan, tapi nggak ada yang bisa di makan.” Santai Lingga menjawab. Membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan meneguknya. Menaruh botol itu di atas kulkas begitu saja lalu mengedipkan satu mata ke Lauren sebelum melangkah menaiki undakan tangga.
Lauren menyipit menatap kaos putih kakaknya yang basah dibagian punggung. Lengan kekar kakaknya juga terlihat mengkilap dan Lauren tau itu adalah keringat.
“Kak Lingga dari joging?” gumamnya dalam kesendirian.
Kedua bahu Lauren mengedik, dia tak ingin memusingkan itu. Lauren melanjutkan langkah, menuju ke dapur.
Tok! Tok! Tok!
“Nada,” panggilnya setelah mengetuk pintu.
Nada yang sedang menangis meratapi nasib, bergegas bangun. Cepat dia mengusap kedua mata, buru-buru turun dari ranjang untuk memunguti pakaiannya.
“Nada, kamu belum bangun?” tanya Lauren di luar kamar.
“Udah, non. Baru bangun.” Sembari sibuk memakai kaosnya, Nada menjawab. Usai memakai celana Nada melangkah ke pintu, membukanya. “Ada apa, non?” tanyanya.
“Kalau ke pasar beli ikan nila ya. Aku pengen makan pepes ikan.”
Nada menganggukkan kepala. “Iya, non. Nanti saya ke pasar.” Nada mengusap lehernya yang berkeringat. “Ada nitip yang lainnya?”
Lauren menggelengkan kepala. “Itu aja sih.”
Nada menunduk saat menyadari tatapan Lauren yang menelitinya.
“Kamu kok keringetan?” tanya Lauren, heran.
Nada meneguk ludahnya. “Uumm, kipas di kamar semalam rusak, non. Saya susah tidur, tadi benerin kipas. Makanya jadi keringetan.” Nada kembali mengusap keringat di leher setelah mengarang cerita.
Lauren mengangguk, balik badan dan melangkah pergi dari area dapur.
**
Beberapa hari berlalu.
“Bagaimana kalau bulan depan?” tanya Bu Marlina; mamanya Adista.
Bu Ajeng; mamanya Lingga mengangkat kepala. Tersenyum ketika kedua mata beradu tatap dengan bu Marlina. “Gimana, Ling?” tanyanya ke anak lelaki satu-satunya ini.
Lingga yang dimintai pendapat jadi menatap beberapa orang yang ada di meja makan. Dia menelan makanan yang dikunyah lebih dulu. “Uumm, Februari jadwalku agak full. Aku ada perjalanan ke New York juga di tengah bulan.”
“Maret akhir saja.” Pak Fandi; papanya Lingga memberi usulan. “Maret awal itu ada undangan pernikahan anaknya Mansyur, temannya papa pas SMA dulu. Kita di undang ke Bali,” tuturnya ke bu Ajeng.
Adisti menghela nafas setelah meneguk air putih. “Maret akhir aja. Jadi nggak berkesan kecepeten. Aku sama Lingga masih punya banyak waktu buat fitting gaun pengantin.”
Lingga mengangguk yakin. “Aku setuju sama Adis.”
Mama Adis, Mama dan Papa Lingga tertawa bareng melihat kekompakan anak mereka. Jadi fix, hari pernikahan telah ditentukan.
Orang tua Lingga dan orang tua Adis adalah teman semasa kuliah. Papa Adis dan papa Lingga membangun bisnis bersama, mulai dari nol. Setelah bisnisnya lancar, keduanya berbarengan dan tetap berteman baik. Tepat ketika Adis ada di kelas 10 SMA, papa Adis kecelakaan tunggal. Sebelum meninggal papa Adis meminta ke Papa Fandi untuk menjaga Adis. Dan ya, dengan cara menjodohkan Lingga sama Adis seperti sekarang ini.
Lingga yang memang dari dulu tidak pernah pacaran, menerima saja. Toh Adis tidak jelek dan terbilang cukup cantik.
**
“Ling, aku pilih ini, nggak apa-apa, kan?” tanya Adis, menunjuk ke gaun mewah yang ada di lemari kaca.
Lingga menatap yang Adis tunjuk. Gaun pengantin berwarna putih bersih yang bagian depannya ada hiasan payet. Bagian dada atasnya terbuka, hanya ada kain tile tipis yang tentu menerawang.
Lingga menganggukkan kepala. “Bagus. Iya, pilih ini aja.”
Adis tersenyum, terlihat begitu berbinar. Tangannya melambai memanggil mbak yang jaga butik. “Mbak, ambil yang ini ya.”
Hari ini cukup melelahkan. Lingga memang ambil free sehari untuk menemani Adis memilih gaun. Memilih cincin dan memilih barang-barang untuk yang lainnya. Soal catering, kartu undangan, sewa tempat dan yang lainnya, itu menjadi kesibukan mama Ajeng dan mama Marlin.
“Lingga, kalau kita udah nikah, besok kamu ikut tinggal di rumahku kan?” tanya Adis.
Lingga yang sedang mengemudi mengangguk tanpa banyak mikir. “Gampang lah besok.”
Mobil berhenti di depan rumah tinggal Adis. Lingga pulang setelah berbincang sebentar dengan calon mama mertuanya.
Pernikahannya tinggal lima hari lagi, jadi di rumahnya sudah ramai karna ada saudara dari papa yang menginap di rumah ini. Terbiasa liar, terbiasa sibuk di kantor ngurusin pekerjaan. Melihat ada banyak orang di rumah rasanya cukup membosankan.
Lingga memilih mengunci diri di ruang kerja dan menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin dua jam dia mulai lelah. Lalu melangkah keluar, tak sengaja tatapannya beradu dengan Nada yang baru masuk dari skat ruangan antara ruang tamu dan ruang tengah.
Ada yang berbeda. Nada terlihat lebih berisi dari hari-hari sebelumnya. Pakaian yang dipakai Nada biasa saja. Kaos lengan pendek dan rok plisket dibawah lutut. Sopan dan tidak ada kesan menggoda lawan jenis. Nada juga nggak pakai riasan apa-apa. Polos dengan rambut yang diikat cepol acak-acakan.
Jadi memang dasar Lingganya yang pikirannya terarah ke hal lain.
“Ma,” panggilnya.
Mama Ajeng yang ada di ruang tengah mengangkat kepala. Menatap Lingga tanpa bicara.
“Pengen kopi,” kata Lingga.
Lauren berdecak. “Tinggal suruh Nada. Gitu aja laporan sama mama!”
“Nada!” panggil mama Ajeng dengan berteriak.
“Iya, nyonya.” Nada keluar dari dapur. melangkah mendekati mama Ajeng.
“Buatin kopi. Nanti anterin ke ruang kerjanya Lingga.” Perintah mama Ajeng.
Nada jadi mengangkat kepala, menatap Lingga yang berdiri di depan pintu ruang kerja. Lelaki berfisik sempurna itu terlihat cuek. Bahkan tak membalas tatapan Nada. Lingga justru melengos dan melangkah menuju ke tangga.
“Iya, Nya.” Patuh Nada, lalu mundur dan melangkah untuk kembali masuk ke dapur.
“Heh,” seru Lingga.
Reflek seruan itu membuat Nada menoleh.
“Anterin ke kamarku. Di atas,” katanya. Dan tanpa menunggu persetujuan Nada, Lingga langsung menaiki undakan tangga, menuju ke kamarnya yang ada di lantai atas.
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep