Share

4. Jatuh Talak

Penulis: Hamira Irrier
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-01 16:31:12

“Amira! Apa yang kamu lakukan!” Mas Baja berjalan maju ke arahku. Ia kembali ke ruang televisi. “Kamu tahu ini satu-satunya barang yang masih bisa dijual bukan? Kenapa malah kamu jatuhkan?!” Mata Mas Baja terarah pada televisi tabung itu. Dulu kami punya yang lebih baik. Berbentuk layar pipih.

“Maaf, ma-af, Mas.” Aku benar-benar kehilangan akal. Kata-kata Mas Baja tentang perempuan murahan membuatku muak.

Pintu kamar Akila berderit. Gadis itu pasti penasaran apa yang terjadi. Meski takut, ia memunculkan diri.

“Kenapa rusak, Bu?” tanya Akila melihat televisi itu.

“Ibu gak sengaja, Nak. Gak sengaja ngejatuhinnya.”

“Kamu cepat siap-siap, Akila. Kita ke rumah nenek saja. Ibu kamu memang payah.” Mas Baja menarik tangan Akila.

“Mas, jangan begitu, Mas. Makanya kamu dengar dulu penjelasanku. Tidak langsung pergi. Aku juga tahu kamu akan ke tempat perempuan itu, bukan?” Sudah beberapa bulan ini aku mencurigai Mas Baja. Ia seperti melakukan kebohongan besar di belakangku.

“Hah? Perempuan? Kamu memang gila, Amira. Yang jelas-jelas sedang ada main di belakang itu kamu. Coba kamu periksa messegermu dan lihat dia menghubungimu tidak! Atau bisa jadi kalian sudah sering saling kirim pesan. Terbukti aku tidak bisa login ke akunmu sejak pagi ini!” Mas Baja terus meninggikan suara. Ia mengelak saat aku membahas masalahnya.

Wajah tampannya pun semakin memerah. Aura kebencian terpancar. Aku yang memang sangat ceroboh dan sering berbuat kesalahan merasa semakin disudutkan. Tatapan itu terlalu menghakimi. Seolah aku benar-benar perempuan yang payah. Perlahan kudekatkan langkah padanya. Aku ingin menghentikan laju amarahnya. Satu hal yang sangat kusesali setiap kami bertengkar, Akila pasti mendengar. Kuraih tangan Mas Baja. Namun, dengan cepat ia menepisnya.

“Aku muak Amira, aku lelah menjadi suamimu. Kita pisah saja!” Mata Mas Baja membelalak. Ia serius dengan ucapannya.

“Maksud kamu apa, Mas? Satu kali lagi jatuh talakmu itu. Jangan sembarangan bicara!” Dengan linangan air mata aku berusaha menasehatinya. Aku takut Mas Baja benar-benar akan meninggalkanku. Bagiku ditinggalkan terlampau menyesakkan.

“Iya, kita pisah saja. Aku memang sudah tidak sanggup menjadi suami kamu!” Mas Baja mengarahkan jari telunjuknya ke arahku. Tepat di depan wajah.

“Aku memang akan menceraikanmu!” Ia berbalik. Dengan cepat membuka pintu kamar Akila. Tubuhku bergeming.

Cerai? Bercerai dari Mas Baja?

“Ayo, Nak. Kita pergi,” ucapnya seraya menarik tangan Akila. Putri kami yang masih mengenakan baju tidur ia paksa. Akila memang anak yang penurut. Ia sudah pasti akan mengikuti ayahnya.

“Mas, tunggu, Mas! Jangan begitu. Jangan buat semuanya semakin runyam.” Aku mencoba menyeimbangkan langkah Mas Baja. Aku juga mencoba meraih tangan Akila. Mas Baja tidak menghiraukan ucapanku.

“Ibu,” ucapnya pelan.

“Jangan bawa Akila, Mas. Biar dia di rumah,” rengekku pada Mas Baja.

“Minggir! Ternyata benar kata ibuku. Kamu tidak layak diperjuangkan. Aku salah besar telah memilihmu.” Ia kembali meneruskan langkah dengan menyeret tangan Akila. Mengajak putri kami untuk pergi. Sudah pasti Mas Baja akan ke tempat ibu untuk mengadu. Semuanya akan semakin rumit jika mertuaku juga terlibat.

“Tungu, Mas!” kali ini aku mengeluarkan tenaga lebih untuk menariknya.

“Aku bilang, minggir!” Laki-laki itu mendorongku keras. Tubuhku tak bisa seimbang. Aku terjungkal ke belakang.

Dengan cepat Mas Baja keluar dari rumah. Sepertinya semua perlengkapannya sudah ada di mobilnya. Ia dengan santai melenggang pergi tanpa mengambil barang lain lagi. Mobil silver itu meninggalkanku seorang diri.

***

[Jangan salah paham Amira. Dia bukan calon istriku.]

Tak lama setelah aku meninggalkan rumah bercat biru itu Mas Arhab mengirimkan sebuah pesan. Aku hanya membacanya dan enggan membalas. Ponsel berbodi hitam itu pun keletakkan kembali di saku celana.

Kalau ibunya saja bilang calon istri apa iya dia bisa membantah?

“Kenapa muka ditekuk gitu? Gak ketemu Mas Arhab?” Martia yang melihatku berubah murung mencoba mencari tahu.

“Gak apa-apa. Capek juga, ya, jalan muter.”

Perjalanan menuju rumah masih sekitar lima belas menit lagi. Matahari siang ini tak begitu terik. Udara segar justru membersamai. Kami menyapa beberapa orang yang kami jumpai di jalan.

“Emang kamu beneran ada hubungan sama Mas Arhab? Kalian udah jadian?”

“Kaya Ibu aja. Kepo,” jawabku. Tak ada satu orang pun yang tahu tentang hubungan kami. Aku tidak bisa mengumumkannya.

“Serius. Saranku kalau emang belum jadian, kamu cancel aja. Restart ulang hatimu buat nerima program cinta Mas Arhab.” Ucapan Martia membuatku menghentikan langkah.

“Kenapa?”

“Kamu beneran gak paham situasinya, Mir? Mas Arhab anak juragan. Orang terpandang dan berpendidikan. Kamu mana level sama dia?” Martia mengungkapkan fakta yang ada. Ia dengan gamblang menyampaikan itu padaku.

“Maksudnya gak cuma kamu, Mir. Tapi kita. Gak mungkin orang kaya kita bisa bersanding dengan Mas Arhab.”

Aku sangat tidak suka dengan pendapat sahabatku itu. Memang apa salahnya kalau jodoh? Hanya karena status sosial lantas sebuah cinta tak bisa diteruskan?

“Sumpah deh. Aku takutnya malah kamu terluka. Gitu doang, Mir.” Martia melanjutkan langkah. Ia seperti paham aku keberatan dengan argumennya. “Cinderella itu cuma ada di dongeng, Amira. Lebih baik kita ngejauhin kisah cinta yang kaya gitu. Ya, apalagi kita anak cewek yang bentar lagi lulus SMA dan udah pasti dapat jodoh lewat kenalan orang tua. Atau udah pasti merantau ke kota buat jadi tulang punggung keluarga. Pilihan kita cuma dua itu, Mir. Meski otak kita tergolong encer.”

Kata-kata Martia memang benar. Kami tidak mungkin mampu mempunyai mimpi untuk melanjutkan kuliah. Kalaupun mendapatkan beasiswa, akan sangat sulit untuk melanjutkannya. Ponselku kembali bergetar. Aku meraihnya.

[Jangan ngambek, Amira. Sungguh hanya kamu satu-satunya perempuan yang aku cintai. Maaf, membuatmu menunggu untuk kita mempublikasikan hubungan kita.]

Dadaku berdenyut pedih. Pesan yang diberikan oleh Mas Arhab terlampu berlebihan. Wajah perempuan cantik dengan kerudung dan pakaian modis itu terlintas di kepalaku. Ia tampak serasi dengan Mas Arhab. Usia mereka seperti tak jauh berbeda. Aku yang hanya gadis SMA dan anak penjual kue jelas tak bisa bersaing dengannya. Mas Arhab, apa perlu aku mengoreksi ulang perasaan ini?

Ponsel berbodi hitam itu terus kupandangi. Aku tak bisa membalasnya. Meski kami memang mengaku saling menyayangi.

“Mir! Mau ketabrak mobil, kamu?!” teriak Martia. Tanpa sadar sebuah mobil berjalan pelan di belakangku. Seperti akan melewati, tetapi tidak bisa. Jalanan yang cukup sempit membuat mobil itu harus membuatku menepi terlebih dahulu.

Segera kuletakkan ponsel ke saku celana. Mengangguk pada penumpang mobil itu sebagai bentuk permintaan maaf. Aku membiarkan mobil tersebut berlalu. Setelah itu berjalan cepat menyusul Martia.

“Payah kamu, Mir. Untung sopirnya gak nglakson kenceng. Kalau iya, bisa copot jantung kamu.” Kusunggingkan senyum pada Martia. Ucapannya selalu benar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 72

    Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 71

    Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 70

    Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 69

    POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 68

    POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 67

    Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status