“Amira! Apa yang kamu lakukan!” Mas Baja berjalan maju ke arahku. Ia kembali ke ruang televisi. “Kamu tahu ini satu-satunya barang yang masih bisa dijual bukan? Kenapa malah kamu jatuhkan?!” Mata Mas Baja terarah pada televisi tabung itu. Dulu kami punya yang lebih baik. Berbentuk layar pipih.
“Maaf, ma-af, Mas.” Aku benar-benar kehilangan akal. Kata-kata Mas Baja tentang perempuan murahan membuatku muak.Pintu kamar Akila berderit. Gadis itu pasti penasaran apa yang terjadi. Meski takut, ia memunculkan diri.“Kenapa rusak, Bu?” tanya Akila melihat televisi itu.“Ibu gak sengaja, Nak. Gak sengaja ngejatuhinnya.”“Kamu cepat siap-siap, Akila. Kita ke rumah nenek saja. Ibu kamu memang payah.” Mas Baja menarik tangan Akila.“Mas, jangan begitu, Mas. Makanya kamu dengar dulu penjelasanku. Tidak langsung pergi. Aku juga tahu kamu akan ke tempat perempuan itu, bukan?” Sudah beberapa bulan ini aku mencurigai Mas Baja. Ia seperti melakukan kebohongan besar di belakangku.“Hah? Perempuan? Kamu memang gila, Amira. Yang jelas-jelas sedang ada main di belakang itu kamu. Coba kamu periksa messegermu dan lihat dia menghubungimu tidak! Atau bisa jadi kalian sudah sering saling kirim pesan. Terbukti aku tidak bisa login ke akunmu sejak pagi ini!” Mas Baja terus meninggikan suara. Ia mengelak saat aku membahas masalahnya.Wajah tampannya pun semakin memerah. Aura kebencian terpancar. Aku yang memang sangat ceroboh dan sering berbuat kesalahan merasa semakin disudutkan. Tatapan itu terlalu menghakimi. Seolah aku benar-benar perempuan yang payah. Perlahan kudekatkan langkah padanya. Aku ingin menghentikan laju amarahnya. Satu hal yang sangat kusesali setiap kami bertengkar, Akila pasti mendengar. Kuraih tangan Mas Baja. Namun, dengan cepat ia menepisnya.“Aku muak Amira, aku lelah menjadi suamimu. Kita pisah saja!” Mata Mas Baja membelalak. Ia serius dengan ucapannya.“Maksud kamu apa, Mas? Satu kali lagi jatuh talakmu itu. Jangan sembarangan bicara!” Dengan linangan air mata aku berusaha menasehatinya. Aku takut Mas Baja benar-benar akan meninggalkanku. Bagiku ditinggalkan terlampau menyesakkan.“Iya, kita pisah saja. Aku memang sudah tidak sanggup menjadi suami kamu!” Mas Baja mengarahkan jari telunjuknya ke arahku. Tepat di depan wajah.“Aku memang akan menceraikanmu!” Ia berbalik. Dengan cepat membuka pintu kamar Akila. Tubuhku bergeming.Cerai? Bercerai dari Mas Baja? “Ayo, Nak. Kita pergi,” ucapnya seraya menarik tangan Akila. Putri kami yang masih mengenakan baju tidur ia paksa. Akila memang anak yang penurut. Ia sudah pasti akan mengikuti ayahnya.“Mas, tunggu, Mas! Jangan begitu. Jangan buat semuanya semakin runyam.” Aku mencoba menyeimbangkan langkah Mas Baja. Aku juga mencoba meraih tangan Akila. Mas Baja tidak menghiraukan ucapanku.“Ibu,” ucapnya pelan.“Jangan bawa Akila, Mas. Biar dia di rumah,” rengekku pada Mas Baja.“Minggir! Ternyata benar kata ibuku. Kamu tidak layak diperjuangkan. Aku salah besar telah memilihmu.” Ia kembali meneruskan langkah dengan menyeret tangan Akila. Mengajak putri kami untuk pergi. Sudah pasti Mas Baja akan ke tempat ibu untuk mengadu. Semuanya akan semakin rumit jika mertuaku juga terlibat.“Tungu, Mas!” kali ini aku mengeluarkan tenaga lebih untuk menariknya.“Aku bilang, minggir!” Laki-laki itu mendorongku keras. Tubuhku tak bisa seimbang. Aku terjungkal ke belakang.Dengan cepat Mas Baja keluar dari rumah. Sepertinya semua perlengkapannya sudah ada di mobilnya. Ia dengan santai melenggang pergi tanpa mengambil barang lain lagi. Mobil silver itu meninggalkanku seorang diri.***[Jangan salah paham Amira. Dia bukan calon istriku.]Tak lama setelah aku meninggalkan rumah bercat biru itu Mas Arhab mengirimkan sebuah pesan. Aku hanya membacanya dan enggan membalas. Ponsel berbodi hitam itu pun keletakkan kembali di saku celana.Kalau ibunya saja bilang calon istri apa iya dia bisa membantah?“Kenapa muka ditekuk gitu? Gak ketemu Mas Arhab?” Martia yang melihatku berubah murung mencoba mencari tahu.“Gak apa-apa. Capek juga, ya, jalan muter.”Perjalanan menuju rumah masih sekitar lima belas menit lagi. Matahari siang ini tak begitu terik. Udara segar justru membersamai. Kami menyapa beberapa orang yang kami jumpai di jalan.“Emang kamu beneran ada hubungan sama Mas Arhab? Kalian udah jadian?”“Kaya Ibu aja. Kepo,” jawabku. Tak ada satu orang pun yang tahu tentang hubungan kami. Aku tidak bisa mengumumkannya.“Serius. Saranku kalau emang belum jadian, kamu cancel aja. Restart ulang hatimu buat nerima program cinta Mas Arhab.” Ucapan Martia membuatku menghentikan langkah.“Kenapa?”“Kamu beneran gak paham situasinya, Mir? Mas Arhab anak juragan. Orang terpandang dan berpendidikan. Kamu mana level sama dia?” Martia mengungkapkan fakta yang ada. Ia dengan gamblang menyampaikan itu padaku.“Maksudnya gak cuma kamu, Mir. Tapi kita. Gak mungkin orang kaya kita bisa bersanding dengan Mas Arhab.”Aku sangat tidak suka dengan pendapat sahabatku itu. Memang apa salahnya kalau jodoh? Hanya karena status sosial lantas sebuah cinta tak bisa diteruskan?“Sumpah deh. Aku takutnya malah kamu terluka. Gitu doang, Mir.” Martia melanjutkan langkah. Ia seperti paham aku keberatan dengan argumennya. “Cinderella itu cuma ada di dongeng, Amira. Lebih baik kita ngejauhin kisah cinta yang kaya gitu. Ya, apalagi kita anak cewek yang bentar lagi lulus SMA dan udah pasti dapat jodoh lewat kenalan orang tua. Atau udah pasti merantau ke kota buat jadi tulang punggung keluarga. Pilihan kita cuma dua itu, Mir. Meski otak kita tergolong encer.”Kata-kata Martia memang benar. Kami tidak mungkin mampu mempunyai mimpi untuk melanjutkan kuliah. Kalaupun mendapatkan beasiswa, akan sangat sulit untuk melanjutkannya. Ponselku kembali bergetar. Aku meraihnya.[Jangan ngambek, Amira. Sungguh hanya kamu satu-satunya perempuan yang aku cintai. Maaf, membuatmu menunggu untuk kita mempublikasikan hubungan kita.]Dadaku berdenyut pedih. Pesan yang diberikan oleh Mas Arhab terlampu berlebihan. Wajah perempuan cantik dengan kerudung dan pakaian modis itu terlintas di kepalaku. Ia tampak serasi dengan Mas Arhab. Usia mereka seperti tak jauh berbeda. Aku yang hanya gadis SMA dan anak penjual kue jelas tak bisa bersaing dengannya. Mas Arhab, apa perlu aku mengoreksi ulang perasaan ini?Ponsel berbodi hitam itu terus kupandangi. Aku tak bisa membalasnya. Meski kami memang mengaku saling menyayangi.“Mir! Mau ketabrak mobil, kamu?!” teriak Martia. Tanpa sadar sebuah mobil berjalan pelan di belakangku. Seperti akan melewati, tetapi tidak bisa. Jalanan yang cukup sempit membuat mobil itu harus membuatku menepi terlebih dahulu.Segera kuletakkan ponsel ke saku celana. Mengangguk pada penumpang mobil itu sebagai bentuk permintaan maaf. Aku membiarkan mobil tersebut berlalu. Setelah itu berjalan cepat menyusul Martia.“Payah kamu, Mir. Untung sopirnya gak nglakson kenceng. Kalau iya, bisa copot jantung kamu.” Kusunggingkan senyum pada Martia. Ucapannya selalu benar.Mobil silver itu benar-benar pergi. Pintu rumah masih terbuka begitu juga dengan pintu gerbang di ujung halaman. Mas Baja seakan sengaja tidak menutupnya. Ia pergi tanpa perlu menengok ke belakang, seperti yang biasa ia lakukan. Perlahan aku bangkit dari posisi duduk. Mengayunkan langkah ke arah daun pintu lalu menutupnya. Ucapan Mas Baja mengusik kembali ruang hening yang selama ini begitu nyaman untuk kusinggahi. Foto dalam kolom komentar itu seolah menunjukkan orang yang sudah lama pergi ingin kembali menyapa dengan cara yang berbeda. Seketika aku bergidik ngeri membayangkannya. Seperti daun pintu ini. Meski tertutup rapat aku tak menguncinya. Apakah hatiku memang tidak pernah benar-benar terkunci untuk seseorang di masa itu? Segera kutepis semua pikiran aneh. “Kamu tidak boleh goyah, Amira. Setelah ini bersikaplah seperti biasa. Seolah tidak ada masalah dengan Mas Baja. Ya. Kamu hanya perlu melakukan seperti itu.” Kulanjutkan kembali niat untuk berangkat kerja. Sudah sangat ter
Sembari mengambil motor di parkiran aku memikirkan pesanan Mas Baja. Martabak telur dengan dua telur bebek. Uang seratus ribuan yang sudah tidak lengkap lagi karena harus kualokasikan untuk membeli bensin, akan semakin berkurang sore ini. Sementara gajianku harus menunggu sampai tanggal empat. Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang tanggal dua puluh lima gaji sudah masuk ke rekening. Aku tetap meneruskan perjalanan meski sesekali perutku berbunyi. Berkendara ke arah barat dari kantor setelah dua puluh menit, membuatku menemukan penjual martabak langganan keluarga Mas Baja. Mereka terutama Ibu sangat suka dengan martabak terang bulan ini. Pernah suatu hari aku membelikan dengan merek lain, Ibu sama sekali tidak menyentuhnya. Jantungku berdebar saat tampak dari jauh tenda berwarna biru milik penjual itu belum terbentang. Jangan-jangan hari ini libur. Aku pun menarik kencang gas di tangan kanan. Memastikan dugaanku itu. Tepat saat roda motorku berhenti di depan gerobak, terdapat tul
Teriakan Mas Baja tak kuhiraukan sama sekali. Dari kaca spion tampak dia mengumpat. Sejenak kuhela napas. Rasanya teramat sesak. Terlebih aku harus kembali tanpa Akila. Gadis kecil itu sudah pasti akan dikelilingi dengan materi. Gadis kecil itu sudah pasti akan bisa mendapatkan semua barang yang ia inginkan. Namun, aku tak yakin ia bahagia. Motor matic merah melaju di jalanan yang semakin gelap, menuju satu-satunya tempat untukku. Andai ada satu orang saja yang bisa kumintai tolong sudah pasti aku memilih tidak ke rumah itu. Setengah jam berkendara pagar besi itu menyapa. Pagi tadi aku sengaja tak menguncinya. Berharap Mas Baja akan pulang bersama Akila. Sayang, pintu tak terkunci itu tidak berarti. Kudorong pintu gerbang ke sebelah kanan setelah turun dari motor. Kembali menaiki dan memakirkannya di garasi. Rasanya badan lelah sekali. Melihat bangunan mewah ini membuat keningku mengernyit. Dua hari lagi sudah tanggal satu. Sementara uang untuk cicilan belum nampak hilalnya. Aku pun
Terlalu larut dalam kenangan itu membuatku sampai lupa diri. Buru-buru kuangkat bungkus martabak dan masuk ke rumah. Aku akan segera merebah. Malam ini kucukupkan sampai di sini. Menangis bukanlah sebuah solusi. Hal semacam ini hanya akan melegakan perasaan saja dan semua tetap sama. Besok uang untuk cicilan tetap harus kusiapkan. Pintu jati berukuran besar itu kututup rapat. Langkahku sedikit gontai saat sampai di ruang tengah. Televisi tabung itu masih teronggok di lantai. Aku lupa merapikannya. Perlahan kudekatkan diri pada bangkai televisi yang sudah pecah monitornya. Bodoh. Teramat bodoh sampai menghancurkan barang. Biasanya ini kerjaan Mas Baja. Sayang, kali ini karena tanganku sendiri. Kuangkat televisi itu dan mengembalikan ke tempat semula. Saat menatapnya hatiku kian berlubang. Nasib buruk tak henti menjumpai setelah menikah dengan Mas Baja. Apa yang tampak di permukaan kadang tak sama dengan dasar. Semuanya sangat berbeda. Kuhela napas berat. Mendongak untuk menghalau se
“Yang benar, Mbak kalau ngomong. Jangan sembarangan!” seru Arga. Aku bahkan belum sempat membalas ucapan senior perempuan ini. Malas membuat masalah terpaksa aku memilih diam.“Aku gak sembarangan, Ga. Banyak buktinya. Dia aja yang gak tahu diri” Wajah senior perempuan di kantor kami semakin sinis. Ia membenciku hanya karena Bos tidak memecatku. Lama-lama aku ingin menyumpal mulutnya juga. “Ngomong gak ada bukti itu pembual, Mbak!” Arga terus menimpali ucapan senior. Mungkin dia paham jika perempuan yang bertengkar akan lebih fatal. Konsentrasiku pun menjadi terbagi. Aku tak mampu memfokuskan diri pada pekerjaan dan ingin menyeran balik ucapan senior. Beruntung ponselku bergetar diiringi dengan nada dering kencang. Aku pun mengurungkan niat dan beralih ke panggilan itu. Nama Martia terpampang di layar.“Ya, ada apa, Mar?”[Pulang, Mir, sekarang juga. Ibu kamu masuk rumah sakit!] Kalimat itu menghantam gendang telingaku. “Kapan, Mar? Gimana kondisinya?!” teriakku karena panik. Arga
Siapa dia dari mana asalnya. Aku jelas sangat paham. Sejak awal wanita itu memang milik Mas Baja. Namun, aku mencoba memanipulasinya. Menganggap rumah tangga kami tenang seperti aliran sungai tanpa riak. Nyatanya aku salah besar. Laki-laki dan seseorang tidak bisa berubah secepat itu. Satu tahun bukan waktu yang cepat untuk mengabaikan semua masalah. Namun, aku terus memaksakan diri berjalan di biduk ini.Sudah bukan hal baru aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Lebih intensnya saat Mas Baja kerap melakukan kunjungan kerja ke berbagai kota. Bisnis yang ia kembangkan menjadi alasan. "Biasa, cuma relasi, Mir. Paling biar aku mau kerja sama makanya chat begitu.""Tapi, Mas nomor ini sering banget lho," ucapku seraya menunjukkan layar ponsel."Dah, blokir aja." Dengan tanganku sendiri aku memblokir nomor wanita yang kerap mengirimkan pesan pada Mas Baja. Tak pernah tahu jika ada banyak cara untuk mereka berkomunikasi. Bodohnya aku luluh karena tindakan tegas Mas Baja. Kututup pint
Kutepis semua rasa rendah diri ini. Tak ada banyak waktu untuk sampai di rumah sakit. Aku jelas harus segera ke sana. Motor matic merah melaju kencang di jalanan yang cukup lengang. Demi Ibu- satu-satunya keluargaku yang masih ada aku akan segera sampai. Rumah sakit itu cukup besar. Menjadi yang terlengkap di kabupaten. Setelah roda motor matic merah menyentuh parkiran, aku berjalan ke dalam gedung itu. Mencari tempat ibu dirawat. Ponsel berbodi pipih kukeluarkan. Segera menghubungi Martia untuk tahu ruang inap ibu. Kuayunkan langkah menuju tempat yang disebutkan Martia di pesan whatsappnya.“Mir!” seru Martia. Aku melangkah ke arahnya.“Gimana ibuku, Mar? Baik-baik aja?” Kupanjangkan leher ke arah kaca pintu ruangan itu. Mencari tahu kondisi ibu.“Masih ditangani, Mir. Semoga baik-baik aja.” Martia mencoba menenangkanku.“Syukurlah. Makasih, Mar, dah bawa ibu ke sini,” ucapku seraya mengenyakkan diri di kursi tunggu. Martia mengikutinya.“Bukan aku, Mir. Aku juga dikasih tahu seseor
Setelah mengusap lenganku Mas Arhab duduk di salah satu kursi di ruang inap ibu. Dia mulai fokus dengan gawainya. Aku tetap memerhatikan Ibu lekat. Takut ada suatu hal yang terlewat. Belum pernah ibu sakit seperti ini. Ibu selalu bilang baik-baik saja saat aku menanyakan kabar. Ibu juga tak pernah mengeluhkan kehidupannya di desa. Setiap kali aku pulang, Ibu juga tampak nyaman dengan kondisinya. Aku tak pernah menduga akan seperti ini keadaannya. Kembali kupegang tangan keriput ibu. Menguntai doa pada langit agar beliau segera disembuhkan. Aku tertunduk takzim. Tanpa sadar sebuah bunyi keluar dari perutku.“Apaan, Mir?” Sontak Mas Arhab menimpali.“He.” Aku menatapnya malu.“Kamu lapar?”“He, iya. Dari pagi belum keisi ternyata perutnya.” Aku memang belum sarapan dan makan siang. Sementara waktu sudah hampir sore.“Tunggu bentar ya,” ucapnya lantas berdiri.“Mau ke mana, Mas?” "Cari roti buat ganjal perut kamu.” Lagi Mas Arhab menghiaskan senyum di wajahnya. Aku tersipu malu.Selepa