Setelah sekian lama menghilang. Apakah aku sama saja membuka akses komunikasi untuknya?
***Sama seperti gadis-gadis desa pada umumnya. Setelah lulus SMA harapanku hanyalah menikah dengan laki-laki pilihanku atau keluarga. Aku yang sadar betul dengan ekonomi keluarga tidak akan memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah. Meski sekuat tenaga orang tuaku mengupayakannya. Masih segar diingatan saat ia yang kucinta justru mematahkan satu-satunya harapan itu."Nduk, jangan lupa kuenya dibawa kalau kamu mau mampir ke rumah Arhab." Sebuah keresek hitam Ibu siapkan."Gak mungkin mampir lah, Bu. Kan ini acaranya gak di masjid.""Ya putar arah, Amira. Dari tempat tema kamu terus belok ke kanan kamu ambil jalan turunan. Lurus terus nyampe kan ke rumah Arhab." Ibu terus memaksaku. Meski aku tahu tidak mungkin kami akan bertemu di sana.Entah sejak kapan semua berawal. Saat kami bertemu di salah satu pernikahan temanku, yang juga suadaranya aku mulai terbiasa dengan suara lembutnya. Mas Arhab kadang mengirimiku pesan. Atau menelepon menanyakan kabar. Namun, belum pernah kami terang-terangan terlihat di depan umum. Mas Arhab yang sedang menempuh kuliah di kota tidak bisa segampang itu untuk menemuinya."Dah, Bu. Mira berangkat dulu." Kucium punggung tangan Ibu. Aku sudah menghindari keresek hitam itu, tetapi tatapan mata Ibu membuatku urung. "Ah, Ibu. Mira malu kalau harus mampir ke sana. Lagian Mas Arhab sama Mira juga gak ada hubungan apa-apa.""Lah, Ibu kan cuma minta tolong buat antarkan kue. Apa hubungannya sama hubungan kalian? Jangan-jangan beneran naksir, ya." Ibu berhasil menangkap gelagat anehku."Gak, Bu. Gak ada yang naksir Mas Arhab!" seruku. Tak mau menjadi ledekan, aku pun menyambar keresek hitam itu. Berjalan ke tempat teman dan harus pulang mampir ke rumah Mas Arhab.Sejak pagi sebenarnya aku menantikan pesan dari Mas Arhab. Biasanya saat ia pulang, ia akan langsung memberikan kabar. Namun, tidak untuk kali ini. Setelah menyelesaikan tugasku di rumah teman, aku benar-benar harus ke sana. Meski aku tidak percaya diri."Kenapa, Mir? Sakit perut?""Gak, Mar. Itu, kita lewat kanan, ya." Kutunjuk turunan di sebelah kanan. Sebenarnya rumah kami tak jauh kalau mengambil jalan lurus."Lah, ngapain sama aja muter jauh, Neng. Ogah, ah, aku." Martia sahabtku satu-satunya selalu seperti itu. Ia paling suka semua hal yang serba cepat."Please, lah. Aku harus nganter pesenan Ibu. Rumahnya ke arah kanan.""Sejak kapan nganter pesanan harus diantar teman? Kamu paling jago kan kalau antar-antar begitu." Dahi Martia mengernyit."Ke rumahnya Mas Arhab," ungkapku jujur. Aku benar-benar tidak percaya diri kalau harus sendiri."Hmmm...hmmm. Lagi pulang? Pantas kamu malu, ya." Aku hanya tersenyum. "Oke,lah. Kita belok kanan." Martia memimpin langkah. Aku pun dengan senang mengekor di belakangnya. Turunan menuju arah rumah Mas Arhab selalu mendebarkan.Bisa dibilang Mas Arhab adalah orang paling beruntung di desa kami. Ia bisa kuliah di kota dan mendapatkan segala akses kemudahan. Saat pemuda pada umumnya lebih banyak yang bekerja. Mas Arhab punya kesempatan lebih. Dari jauh rumah bercat biru itu sudah membuatku gugup. Aku bisa dengan jelas melihat motor Mas Arhab terparkir di depan."Itu, tuh, motor pujaan hati." Martia menyikut lenganku."Apaan, sih. Ikutan masuk, ya." Mataku berkedip. Membujuk sahabatku yang memiliki rambut keriting itu."Ogah. Aku mau tunggu di luar."Dengan terpaksa aku berjalan ke arah pintu rumah Mas Arhab yang tidak tertutup. Sepertinya sedang ada beberapa tamu di rumah itu."Assalamualaikum," ucapku. Berusaha menenangkan diri agar tidak gugup."Waalaikumsalam. Amira, ya." Perempuan berkerudung dengan gamis menyambutku."Iya, Bu. Ini saya mau antar pesanan dari Ibu. Sudah jadi." Kuangkat keresek hitam yang berisi kue pesanan Ibu Setia."Makasih, ya. Kebetulan teman Arhab lagi datang ke rumah. Jadi Ibu pesankan ini.""Oh, iya, Bu.""Duduk dulu, ya. Ibu ambilkan uangnya." Bu Setia berbalik. Ia menuju ke dalam rumah lagi. Aku pun duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari pintu.Sayup-sayup terdengar gelak tawa dari suara perempuan. Setahuku, Mas Arhab tidak punya adik dan kakak perempuan. Apa teman Mas Arhab yang dimaksud adalah perempuan? Kepalaku berpikir macam-macam. Tawa itu kian renyah dan kian terdengar. Seorang dengan jilbab berwarna hitam dan pakaian modis keluar dari ruang tengah rumah itu. Ia memukul manja lengan Mas Arhab. Yang dibalas senyum menawan miliknya."Kalian itu guyonan saja. Mbok ya sabar berduannya, nunggu halal dulu, aja." Bu Setia mendorong sedikit tubuh perempuan itu."Maunya sih, gitu, Bu. Tapi Mas Arhab belum mau. Katanya nunggu lulus. Ya, meski udah molor, sih dari janji." Perempuan itu menimpali. Senyumnya tak lepas dari wajah cantiknya."Hmmm... Emang, anak ibu yang bagus ini sulit sekali buat menyelesaikan kuliah." Bu Setia pun berjalan maju ke arahku. Ia sepertinya sadar ada aku di sana. Aku pun berdiri. "Ini, Amira, uangnya. Sampaikan terima kasih sama Ibu, ya." Satu lembar lima puluh ribuan Bu Setia serahkan."Saya gak bawa kembalian, Bu.""Bawa saja. Besok paling saya ada pesanan lagi." Aku pun menerima uang dari Bu Setia. Bersiap pamit dari rumah itu.Mas Arhab hanya berdiri. Ia melihatku dengan tatapan sama. Seakan ingin menanyakan kabar, namun sebuah sekat menghalangi. Sejak awal aku tahu. Mas Arhab tidak mungkin benar-benar menyukaiku. Terlalu mustahil untuk kami bersatu. Mas Arhab terus melihat ke arahku. Aku pun tertunduk untuk menutupi resah hati. Martia menungguku di luar. Aku segera pergi mengayunkan langkah dan juga hati. Sepertinya Mas Arhab sudah punya calon istri.***"Lihatlah, dia membeli dan memamerkan novelmu." Tangan Mas Baja menunjuk layar ponselnya."Terus apa salahnya, Mas? Bukankah itu hal baik tandanya ada yang mau membeli bukuku?" Aku mencoba tetap tenang. Komentar itu tidak akan mempengaruhiku."Cih. Paling habis ini dia inbox kamu. Tanya kabar, say hello dan bilang rindu." Ekspresi Mas Baja benar-benar menyebalkan."Jangan suudzon, Mas. Bukankah ada yang beli berarti malah menambah keuntungan buatku, buat kita? Dengan begitu bisa menambah ekonomi keluarga kita?" Aku harus berpikir jernih. Tidak boleh mengaitkan ini semua dengan masa laluku."Dasar munafik. Sejak awal aku bilang kamu tidak perlu mencari tambahan sana-sini. Cukup jadi istriku yang baik, nurut, dan fokus pada satu pekerjaan saja. Aku tidak suka kalau pendapatan kamu lebih besar dariku."Cekcok semacam ini sering kami lewati. Mas Baja tidak pernah bisa menerima jika ia berada di bawahku dalam segala hal. Dulu saat bisnisnya baik, dia memang punya segalanya. Namun, gaya hidupnya yang boros membuat kami nyaris tercekik masalah ekonomi."Kamu bilang munafik, Mas? Saat aku berusaha membantu ekonomi keluarga kita?" Kata-kata Mas Baja sangat tajam. Ia menusuk hingga ke hati terdalam. Meski terlahir bukan sebagai orang kaya, aku tahu betul bagaimana cara mencari uang. Bulir bening mulai membahasi pipi."Pakai nangis segala. Memang yang paling bisa membuatmu seperti itu hanya dia. Aku muak denganmu, Amira. Aku benci setengah mati melihatmu seperti ini. Setelah semua pengorbanan yang aku berikan untuk kamu!" Mas Baja mulai tampak sifat aslinya. Mengungkit semua hal yang sudah ia berikan."Membiayai kuliahmu. Merenovasi rumahmu dan yang paling parah adalah membeli hatimu. Apa itu tidak cukup membuatmu mencintaiku, Amira! Apa selamanya kamu akan menantikan laki-laki bodoh itu?!" Sesuai dugaan ia mengungkapkan semua."Kamu jangan salah paham, Mas. Tidak ada yang salah saat Mas Arhab membeli bukuku. Dia hanyalah pembeli seperti yang lainnya. Sangat tidak bijak saat kamu justru membedakannya." Aku tetap mencoba kuat."Mas Arhab kamu, bilang? Kamu berani sebut nama itu di depanku? Hah!" Mas Baja meneriakiku tepat di telinga. Ia benar-benar murka.Dibentak, diperlakukan secara kasar sangat membuatku tidak nyaman. Aku benci setengah mati untuk urusan ini."Dasar perempuan murahan!" Mas Baja mengumpatku dengan sepenuh hatinya. Ia beranjak dari ruang televisi.Murahan dia bilang? Murahan? Persis kata-kata seseorang. Aku tak bisa menguasai diri."Stop, Mas! Cukup!" teriakku. Kuletakkan kedua tangan pada daun telinga. "Murahan. Murahan. Perempuan murahan." Mulutku mulai meracau.Mas Baja tetap berjalan. Ia tidak melihatku sama sekali. Aku tidak suka ditinggalkan. Aku tidak mau diabaikan."Mas!" ucapku. Bisa jadi Akila mendengarnya. "Mas jangan pergi!" kali ini suaraku lebih keras. Namun, Mas Baja tetap berniat membuka pintu utama rumah.Mataku nanar menatap punggung itu. Satu langkah ia pergi, ia pasti akan bersenang-senang dengan caranya. Aku harus mencegah Mas Baja dengan cara apapun. Sebuah siaran televisi kartun favorit Akila masih belum selesai. Aku menatapnya. Dengan cepat kuraih televisi tabung itu. Merobohkannya ke lantai."Brakk!!!" Mas Baja mengurungkan niatnya.“Amira! Apa yang kamu lakukan!” Mas Baja berjalan maju ke arahku. Ia kembali ke ruang televisi. “Kamu tahu ini satu-satunya barang yang masih bisa dijual bukan? Kenapa malah kamu jatuhkan?!” Mata Mas Baja terarah pada televisi tabung itu. Dulu kami punya yang lebih baik. Berbentuk layar pipih.“Maaf, ma-af, Mas.” Aku benar-benar kehilangan akal. Kata-kata Mas Baja tentang perempuan murahan membuatku muak.Pintu kamar Akila berderit. Gadis itu pasti penasaran apa yang terjadi. Meski takut, ia memunculkan diri.“Kenapa rusak, Bu?” tanya Akila melihat televisi itu.“Ibu gak sengaja, Nak. Gak sengaja ngejatuhinnya.”“Kamu cepat siap-siap, Akila. Kita ke rumah nenek saja. Ibu kamu memang payah.” Mas Baja menarik tangan Akila. “Mas, jangan begitu, Mas. Makanya kamu dengar dulu penjelasanku. Tidak langsung pergi. Aku juga tahu kamu akan ke tempat perempuan itu, bukan?” Sudah beberapa bulan ini aku mencurigai Mas Baja. Ia seperti melakukan kebohongan besar di belakangku.“Hah? Perempuan? Kam
Mobil silver itu benar-benar pergi. Pintu rumah masih terbuka begitu juga dengan pintu gerbang di ujung halaman. Mas Baja seakan sengaja tidak menutupnya. Ia pergi tanpa perlu menengok ke belakang, seperti yang biasa ia lakukan. Perlahan aku bangkit dari posisi duduk. Mengayunkan langkah ke arah daun pintu lalu menutupnya. Ucapan Mas Baja mengusik kembali ruang hening yang selama ini begitu nyaman untuk kusinggahi. Foto dalam kolom komentar itu seolah menunjukkan orang yang sudah lama pergi ingin kembali menyapa dengan cara yang berbeda. Seketika aku bergidik ngeri membayangkannya. Seperti daun pintu ini. Meski tertutup rapat aku tak menguncinya. Apakah hatiku memang tidak pernah benar-benar terkunci untuk seseorang di masa itu? Segera kutepis semua pikiran aneh. “Kamu tidak boleh goyah, Amira. Setelah ini bersikaplah seperti biasa. Seolah tidak ada masalah dengan Mas Baja. Ya. Kamu hanya perlu melakukan seperti itu.” Kulanjutkan kembali niat untuk berangkat kerja. Sudah sangat ter
Sembari mengambil motor di parkiran aku memikirkan pesanan Mas Baja. Martabak telur dengan dua telur bebek. Uang seratus ribuan yang sudah tidak lengkap lagi karena harus kualokasikan untuk membeli bensin, akan semakin berkurang sore ini. Sementara gajianku harus menunggu sampai tanggal empat. Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang tanggal dua puluh lima gaji sudah masuk ke rekening. Aku tetap meneruskan perjalanan meski sesekali perutku berbunyi. Berkendara ke arah barat dari kantor setelah dua puluh menit, membuatku menemukan penjual martabak langganan keluarga Mas Baja. Mereka terutama Ibu sangat suka dengan martabak terang bulan ini. Pernah suatu hari aku membelikan dengan merek lain, Ibu sama sekali tidak menyentuhnya. Jantungku berdebar saat tampak dari jauh tenda berwarna biru milik penjual itu belum terbentang. Jangan-jangan hari ini libur. Aku pun menarik kencang gas di tangan kanan. Memastikan dugaanku itu. Tepat saat roda motorku berhenti di depan gerobak, terdapat tul
Teriakan Mas Baja tak kuhiraukan sama sekali. Dari kaca spion tampak dia mengumpat. Sejenak kuhela napas. Rasanya teramat sesak. Terlebih aku harus kembali tanpa Akila. Gadis kecil itu sudah pasti akan dikelilingi dengan materi. Gadis kecil itu sudah pasti akan bisa mendapatkan semua barang yang ia inginkan. Namun, aku tak yakin ia bahagia. Motor matic merah melaju di jalanan yang semakin gelap, menuju satu-satunya tempat untukku. Andai ada satu orang saja yang bisa kumintai tolong sudah pasti aku memilih tidak ke rumah itu. Setengah jam berkendara pagar besi itu menyapa. Pagi tadi aku sengaja tak menguncinya. Berharap Mas Baja akan pulang bersama Akila. Sayang, pintu tak terkunci itu tidak berarti. Kudorong pintu gerbang ke sebelah kanan setelah turun dari motor. Kembali menaiki dan memakirkannya di garasi. Rasanya badan lelah sekali. Melihat bangunan mewah ini membuat keningku mengernyit. Dua hari lagi sudah tanggal satu. Sementara uang untuk cicilan belum nampak hilalnya. Aku pun
Terlalu larut dalam kenangan itu membuatku sampai lupa diri. Buru-buru kuangkat bungkus martabak dan masuk ke rumah. Aku akan segera merebah. Malam ini kucukupkan sampai di sini. Menangis bukanlah sebuah solusi. Hal semacam ini hanya akan melegakan perasaan saja dan semua tetap sama. Besok uang untuk cicilan tetap harus kusiapkan. Pintu jati berukuran besar itu kututup rapat. Langkahku sedikit gontai saat sampai di ruang tengah. Televisi tabung itu masih teronggok di lantai. Aku lupa merapikannya. Perlahan kudekatkan diri pada bangkai televisi yang sudah pecah monitornya. Bodoh. Teramat bodoh sampai menghancurkan barang. Biasanya ini kerjaan Mas Baja. Sayang, kali ini karena tanganku sendiri. Kuangkat televisi itu dan mengembalikan ke tempat semula. Saat menatapnya hatiku kian berlubang. Nasib buruk tak henti menjumpai setelah menikah dengan Mas Baja. Apa yang tampak di permukaan kadang tak sama dengan dasar. Semuanya sangat berbeda. Kuhela napas berat. Mendongak untuk menghalau se
“Yang benar, Mbak kalau ngomong. Jangan sembarangan!” seru Arga. Aku bahkan belum sempat membalas ucapan senior perempuan ini. Malas membuat masalah terpaksa aku memilih diam.“Aku gak sembarangan, Ga. Banyak buktinya. Dia aja yang gak tahu diri” Wajah senior perempuan di kantor kami semakin sinis. Ia membenciku hanya karena Bos tidak memecatku. Lama-lama aku ingin menyumpal mulutnya juga. “Ngomong gak ada bukti itu pembual, Mbak!” Arga terus menimpali ucapan senior. Mungkin dia paham jika perempuan yang bertengkar akan lebih fatal. Konsentrasiku pun menjadi terbagi. Aku tak mampu memfokuskan diri pada pekerjaan dan ingin menyeran balik ucapan senior. Beruntung ponselku bergetar diiringi dengan nada dering kencang. Aku pun mengurungkan niat dan beralih ke panggilan itu. Nama Martia terpampang di layar.“Ya, ada apa, Mar?”[Pulang, Mir, sekarang juga. Ibu kamu masuk rumah sakit!] Kalimat itu menghantam gendang telingaku. “Kapan, Mar? Gimana kondisinya?!” teriakku karena panik. Arga
Siapa dia dari mana asalnya. Aku jelas sangat paham. Sejak awal wanita itu memang milik Mas Baja. Namun, aku mencoba memanipulasinya. Menganggap rumah tangga kami tenang seperti aliran sungai tanpa riak. Nyatanya aku salah besar. Laki-laki dan seseorang tidak bisa berubah secepat itu. Satu tahun bukan waktu yang cepat untuk mengabaikan semua masalah. Namun, aku terus memaksakan diri berjalan di biduk ini.Sudah bukan hal baru aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Lebih intensnya saat Mas Baja kerap melakukan kunjungan kerja ke berbagai kota. Bisnis yang ia kembangkan menjadi alasan. "Biasa, cuma relasi, Mir. Paling biar aku mau kerja sama makanya chat begitu.""Tapi, Mas nomor ini sering banget lho," ucapku seraya menunjukkan layar ponsel."Dah, blokir aja." Dengan tanganku sendiri aku memblokir nomor wanita yang kerap mengirimkan pesan pada Mas Baja. Tak pernah tahu jika ada banyak cara untuk mereka berkomunikasi. Bodohnya aku luluh karena tindakan tegas Mas Baja. Kututup pint
Kutepis semua rasa rendah diri ini. Tak ada banyak waktu untuk sampai di rumah sakit. Aku jelas harus segera ke sana. Motor matic merah melaju kencang di jalanan yang cukup lengang. Demi Ibu- satu-satunya keluargaku yang masih ada aku akan segera sampai. Rumah sakit itu cukup besar. Menjadi yang terlengkap di kabupaten. Setelah roda motor matic merah menyentuh parkiran, aku berjalan ke dalam gedung itu. Mencari tempat ibu dirawat. Ponsel berbodi pipih kukeluarkan. Segera menghubungi Martia untuk tahu ruang inap ibu. Kuayunkan langkah menuju tempat yang disebutkan Martia di pesan whatsappnya.“Mir!” seru Martia. Aku melangkah ke arahnya.“Gimana ibuku, Mar? Baik-baik aja?” Kupanjangkan leher ke arah kaca pintu ruangan itu. Mencari tahu kondisi ibu.“Masih ditangani, Mir. Semoga baik-baik aja.” Martia mencoba menenangkanku.“Syukurlah. Makasih, Mar, dah bawa ibu ke sini,” ucapku seraya mengenyakkan diri di kursi tunggu. Martia mengikutinya.“Bukan aku, Mir. Aku juga dikasih tahu seseor