Share

3. Ledakan Ingatan

Author: Hamira Irrier
last update Last Updated: 2022-11-01 16:30:21

Setelah sekian lama menghilang. Apakah aku sama saja membuka akses komunikasi untuknya?

***

Sama seperti gadis-gadis desa pada umumnya. Setelah lulus SMA harapanku hanyalah menikah dengan laki-laki pilihanku atau keluarga. Aku yang sadar betul dengan ekonomi keluarga tidak akan memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah. Meski sekuat tenaga orang tuaku mengupayakannya. Masih segar diingatan saat ia yang kucinta justru mematahkan satu-satunya harapan itu.

"Nduk, jangan lupa kuenya dibawa kalau kamu mau mampir ke rumah Arhab." Sebuah keresek hitam Ibu siapkan.

"Gak mungkin mampir lah, Bu. Kan ini acaranya gak di masjid."

"Ya putar arah, Amira. Dari tempat tema kamu terus belok ke kanan kamu ambil jalan turunan. Lurus terus nyampe kan ke rumah Arhab." Ibu terus memaksaku. Meski aku tahu tidak mungkin kami akan bertemu di sana.

Entah sejak kapan semua berawal. Saat kami bertemu di salah satu pernikahan temanku, yang juga suadaranya aku mulai terbiasa dengan suara lembutnya. Mas Arhab kadang mengirimiku pesan. Atau menelepon menanyakan kabar. Namun, belum pernah kami terang-terangan terlihat di depan umum. Mas Arhab yang sedang menempuh kuliah di kota tidak bisa segampang itu untuk menemuinya.

"Dah, Bu. Mira berangkat dulu." Kucium punggung tangan Ibu. Aku sudah menghindari keresek hitam itu, tetapi tatapan mata Ibu membuatku urung. "Ah, Ibu. Mira malu kalau harus mampir ke sana. Lagian Mas Arhab sama Mira juga gak ada hubungan apa-apa."

"Lah, Ibu kan cuma minta tolong buat antarkan kue. Apa hubungannya sama hubungan kalian? Jangan-jangan beneran naksir, ya." Ibu berhasil menangkap gelagat anehku.

"Gak, Bu. Gak ada yang naksir Mas Arhab!" seruku. Tak mau menjadi ledekan, aku pun menyambar keresek hitam itu. Berjalan ke tempat teman dan harus pulang mampir ke rumah Mas Arhab.

Sejak pagi sebenarnya aku menantikan pesan dari Mas Arhab. Biasanya saat ia pulang, ia akan langsung memberikan kabar. Namun, tidak untuk kali ini. Setelah menyelesaikan tugasku di rumah teman, aku benar-benar harus ke sana. Meski aku tidak percaya diri.

"Kenapa, Mir? Sakit perut?"

"Gak, Mar. Itu, kita lewat kanan, ya." Kutunjuk turunan di sebelah kanan. Sebenarnya rumah kami tak jauh kalau mengambil jalan lurus.

"Lah, ngapain sama aja muter jauh, Neng. Ogah, ah, aku." Martia sahabtku satu-satunya selalu seperti itu. Ia paling suka semua hal yang serba cepat.

"Please, lah. Aku harus nganter pesenan Ibu. Rumahnya ke arah kanan."

"Sejak kapan nganter pesanan harus diantar teman? Kamu paling jago kan kalau antar-antar begitu." Dahi Martia mengernyit.

"Ke rumahnya Mas Arhab," ungkapku jujur. Aku benar-benar tidak percaya diri kalau harus sendiri.

"Hmmm...hmmm. Lagi pulang? Pantas kamu malu, ya." Aku hanya tersenyum. "Oke,lah. Kita belok kanan." Martia memimpin langkah. Aku pun dengan senang mengekor di belakangnya. Turunan menuju arah rumah Mas Arhab selalu mendebarkan.

Bisa dibilang Mas Arhab adalah orang paling beruntung di desa kami. Ia bisa kuliah di kota dan mendapatkan segala akses kemudahan. Saat pemuda pada umumnya lebih banyak yang bekerja. Mas Arhab punya kesempatan lebih. Dari jauh rumah bercat biru itu sudah membuatku gugup. Aku bisa dengan jelas melihat motor Mas Arhab terparkir di depan.

"Itu, tuh, motor pujaan hati." Martia menyikut lenganku.

"Apaan, sih. Ikutan masuk, ya." Mataku berkedip. Membujuk sahabatku yang memiliki rambut keriting itu.

"Ogah. Aku mau tunggu di luar."

Dengan terpaksa aku berjalan ke arah pintu rumah Mas Arhab yang tidak tertutup. Sepertinya sedang ada beberapa tamu di rumah itu.

"Assalamualaikum," ucapku. Berusaha menenangkan diri agar tidak gugup.

"Waalaikumsalam. Amira, ya." Perempuan berkerudung dengan gamis menyambutku.

"Iya, Bu. Ini saya mau antar pesanan dari Ibu. Sudah jadi." Kuangkat keresek hitam yang berisi kue pesanan Ibu Setia.

"Makasih, ya. Kebetulan teman Arhab lagi datang ke rumah. Jadi Ibu pesankan ini."

"Oh, iya, Bu."

"Duduk dulu, ya. Ibu ambilkan uangnya." Bu Setia berbalik. Ia menuju ke dalam rumah lagi. Aku pun duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari pintu.

Sayup-sayup terdengar gelak tawa dari suara perempuan. Setahuku, Mas Arhab tidak punya adik dan kakak perempuan. Apa teman Mas Arhab yang dimaksud adalah perempuan? Kepalaku berpikir macam-macam. Tawa itu kian renyah dan kian terdengar. Seorang dengan jilbab berwarna hitam dan pakaian modis keluar dari ruang tengah rumah itu. Ia memukul manja lengan Mas Arhab. Yang dibalas senyum menawan miliknya.

"Kalian itu guyonan saja. Mbok ya sabar berduannya, nunggu halal dulu, aja." Bu Setia mendorong sedikit tubuh perempuan itu.

"Maunya sih, gitu, Bu. Tapi Mas Arhab belum mau. Katanya nunggu lulus. Ya, meski udah molor, sih dari janji." Perempuan itu menimpali. Senyumnya tak lepas dari wajah cantiknya.

"Hmmm... Emang, anak ibu yang bagus ini sulit sekali buat menyelesaikan kuliah." Bu Setia pun berjalan maju ke arahku. Ia sepertinya sadar ada aku di sana. Aku pun berdiri.

"Ini, Amira, uangnya. Sampaikan terima kasih sama Ibu, ya." Satu lembar lima puluh ribuan Bu Setia serahkan.

"Saya gak bawa kembalian, Bu."

"Bawa saja. Besok paling saya ada pesanan lagi." Aku pun menerima uang dari Bu Setia. Bersiap pamit dari rumah itu.

Mas Arhab hanya berdiri. Ia melihatku dengan tatapan sama. Seakan ingin menanyakan kabar, namun sebuah sekat menghalangi. Sejak awal aku tahu. Mas Arhab tidak mungkin benar-benar menyukaiku. Terlalu mustahil untuk kami bersatu. Mas Arhab terus melihat ke arahku. Aku pun tertunduk untuk menutupi resah hati. Martia menungguku di luar. Aku segera pergi mengayunkan langkah dan juga hati. Sepertinya Mas Arhab sudah punya calon istri.

***

"Lihatlah, dia membeli dan memamerkan novelmu." Tangan Mas Baja menunjuk layar ponselnya.

"Terus apa salahnya, Mas? Bukankah itu hal baik tandanya ada yang mau membeli bukuku?" Aku mencoba tetap tenang. Komentar itu tidak akan mempengaruhiku.

"Cih. Paling habis ini dia inbox kamu. Tanya kabar, say hello dan bilang rindu." Ekspresi Mas Baja benar-benar menyebalkan.

"Jangan suudzon, Mas. Bukankah ada yang beli berarti malah menambah keuntungan buatku, buat kita? Dengan begitu bisa menambah ekonomi keluarga kita?" Aku harus berpikir jernih. Tidak boleh mengaitkan ini semua dengan masa laluku.

"Dasar munafik. Sejak awal aku bilang kamu tidak perlu mencari tambahan sana-sini. Cukup jadi istriku yang baik, nurut, dan fokus pada satu pekerjaan saja. Aku tidak suka kalau pendapatan kamu lebih besar dariku."

Cekcok semacam ini sering kami lewati. Mas Baja tidak pernah bisa menerima jika ia berada di bawahku dalam segala hal. Dulu saat bisnisnya baik, dia memang punya segalanya. Namun, gaya hidupnya yang boros membuat kami nyaris tercekik masalah ekonomi.

"Kamu bilang munafik, Mas? Saat aku berusaha membantu ekonomi keluarga kita?" Kata-kata Mas Baja sangat tajam. Ia menusuk hingga ke hati terdalam. Meski terlahir bukan sebagai orang kaya, aku tahu betul bagaimana cara mencari uang. Bulir bening mulai membahasi pipi.

"Pakai nangis segala. Memang yang paling bisa membuatmu seperti itu hanya dia. Aku muak denganmu, Amira. Aku benci setengah mati melihatmu seperti ini. Setelah semua pengorbanan yang aku berikan untuk kamu!" Mas Baja mulai tampak sifat aslinya. Mengungkit semua hal yang sudah ia berikan.

"Membiayai kuliahmu. Merenovasi rumahmu dan yang paling parah adalah membeli hatimu. Apa itu tidak cukup membuatmu mencintaiku, Amira! Apa selamanya kamu akan menantikan laki-laki bodoh itu?!" Sesuai dugaan ia mengungkapkan semua.

"Kamu jangan salah paham, Mas. Tidak ada yang salah saat Mas Arhab membeli bukuku. Dia hanyalah pembeli seperti yang lainnya. Sangat tidak bijak saat kamu justru membedakannya." Aku tetap mencoba kuat.

"Mas Arhab kamu, bilang? Kamu berani sebut nama itu di depanku? Hah!" Mas Baja meneriakiku tepat di telinga. Ia benar-benar murka.

Dibentak, diperlakukan secara kasar sangat membuatku tidak nyaman. Aku benci setengah mati untuk urusan ini.

"Dasar perempuan murahan!" Mas Baja mengumpatku dengan sepenuh hatinya. Ia beranjak dari ruang televisi.

Murahan dia bilang? Murahan? Persis kata-kata seseorang. Aku tak bisa menguasai diri.

"Stop, Mas! Cukup!" teriakku. Kuletakkan kedua tangan pada daun telinga. "Murahan. Murahan. Perempuan murahan." Mulutku mulai meracau.

Mas Baja tetap berjalan. Ia tidak melihatku sama sekali. Aku tidak suka ditinggalkan. Aku tidak mau diabaikan.

"Mas!" ucapku. Bisa jadi Akila mendengarnya. "Mas jangan pergi!" kali ini suaraku lebih keras. Namun, Mas Baja tetap berniat membuka pintu utama rumah.

Mataku nanar menatap punggung itu. Satu langkah ia pergi, ia pasti akan bersenang-senang dengan caranya. Aku harus mencegah Mas Baja dengan cara apapun. Sebuah siaran televisi kartun favorit Akila masih belum selesai. Aku menatapnya. Dengan cepat kuraih televisi tabung itu. Merobohkannya ke lantai.

"Brakk!!!" Mas Baja mengurungkan niatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 72

    Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 71

    Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 70

    Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 69

    POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 68

    POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak

  • Ditinggal Suami Dinikahi Bos   #Season 2 Part 67

    Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status