Share

Bab 4

Penulis: Vya Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-17 18:03:56

“Saya Dina, produser proyek ini,” wanita itu memperkenalkan diri, tetapi nada suaranya menyiratkan sesuatu yang lain.

“Kita lihat apakah tulisanmu bisa memenuhi ekspektasi Tuan Rey.”

Hana hanya mengangguk kecil. “Saya akan melakukan yang terbaik.”

“Semoga,” jawab Dina sambil melirik tajam, lalu berlalu dengan langkah ringan.

Hana merasa ada tatapan lain dari arah ruangan kaca Rey, tetapi ketika ia menoleh, Rey sudah berbalik, kembali fokus pada layar komputernya.

Sore itu di meja kerja, Hana tengah fokus mengetik uji naskah di laptopnya. Jemarinya berhenti sejenak ketika ia merasakan tekanan berat dari target yang harus diselesaikan.

Meski begitu, ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini adalah kesempatan besar yang tak boleh ia sia-siakan.

“Permisi,” suara Bastian memecah keheningan. Hana mendongak, melihat pria itu berdiri di depan mejanya dengan map di tangan.

“Kau diminta untuk ikut rapat sore ini. Tuan Rey ingin kau mendapatkan gambaran lebih jelas tentang proyek drama ini.” Lalu Bastian memberikan map berisi laporan apa saja yang akan dibahas nanti pada Hana.

Hana mengerutkan kening. “Rapat? Dengan siapa?” tanyanya sambil menerima map tersebut.

“Tim produksi dan pihak dari stasiun televisi yang bekerja sama.”

Hana memperhatikan isi map itu sekilas, ada logo stasiun televisi tempat Juna bekerja.

Matanya melebar, dan dadanya terasa seperti dihantam beban tak terlihat. Ia belum pernah berpikir bahwa pekerjaan ini akan membawanya kembali ke lingkaran masa lalu yang ingin ia hindari.

“Baik, saya mengerti,” jawab Hana akhirnya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Waktu pun cepat berlalu, siang ini, di ruang rapat, Hana duduk di salah satu kursi dengan laptop dan catatannya di meja.

Ruangan itu masih kosong, kecuali Bastian yang sibuk mengatur proyektor di sudut.

Hana mencoba mengalihkan pikiran dari kecemasan yang semakin menguasai dirinya, mengarahkan fokusnya pada layar laptop.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan langkah sepatu seseorang membuat tubuhnya menegang. Hana menoleh, dan dadanya langsung terasa sesak melihat siapa pemilik suara sepatu itu.

Juna berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi terkejut yang sama.

“Hana?” Juna memecah keheningan, menutup pintu di belakangnya.

Wajahnya segera berubah menjadi senyum santai yang penuh kepalsuan. Ia berjalan mendekat, tanpa ragu menarik kursi di sebelah Hana.

“Jadi kau penulis baru yang Tuan Rey maksud?” katanya, nada suaranya menggoda tapi penuh sindiran.

Hana menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak terkendali. “Ya,” jawabnya singkat, tanpa menoleh.

Juna tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuh ke arahnya. “Aku tak pernah mengira kau akan ada di sini. Cukup menarik, bukan? Dunia ini kecil sekali.”

“Kalau begitu, jangan buat ruang ini terasa lebih kecil dengan pembicaraan tak perlu,” balas Hana dingin, meskipun hatinya bergetar.

“Oh, jadi kau sekarang punya keberanian,” Juna balas dengan senyum mengejek.

“Tapi aku penasaran, bagaimana kau bisa mendapatkan proyek ini? Apakah kau menggoda Tuan Rey?”

Rahang Hana menegang, ia siap untuk memaki mantan suaminya ini, tapi sebelum Hana sempat merespons, pintu kembali terbuka.

Rey masuk, langkahnya stabil, tatapannya langsung menuju Juna. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri di dekat kepala meja, hanya melirik sekilas ke arah Juna.

Tatapan dingin Rey cukup untuk membuat Juna berhenti bicara. Ia bersandar ke kursinya, memasang senyum tipis yang lebih terasa seperti taktik bertahan.

Bastian, yang sejak tadi diam memperhatikan, menyadari ketegangan di ruangan. Ia menatap Rey yang tak perlu mengeluarkan sepatah kata pun untuk mengendalikan situasi.

Rapat berjalan dengan lancar, meskipun Rey tetap tak banyak bicara. Ketika rapat selesai, ia berdiri lebih dulu, hanya berkata singkat pada Hana, “Jangan lupa deadline-mu.”

Rey berjalan meninggalkan ruangan, meninggalkan Hana yang mencoba mengatur kembali emosi dan pikirannya.

**

Malam itu, di ruang kerja Rey, Hana berdiri di depan mejanya dengan map yang ia genggam erat. Napasnya masih tak beraturan karena gugup yang melanda.

“Saya sudah menyelesaikan revisinya,” ujar Hana, suaranya tegas meskipun ada sedikit getar yang tak bisa ia sembunyikan.

Rey, yang sedang membaca laporan di tangannya, tidak langsung menoleh. Ia hanya memberi isyarat dengan satu gerakan jari agar Hana meletakkan map itu di meja.

Hana melakukannya, tapi tidak beranjak. Matanya tetap tertuju pada Rey yang sibuk membalik halaman dokumen lain tanpa memberikan perhatian sedikit pun pada naskahnya. Keheningan di ruangan itu terasa menyesakkan.

Akhirnya, Rey mengambil map tersebut, membukanya, dan mulai membaca. Tatapannya tajam, fokus pada setiap kata, setiap baris yang Hana tulis dengan penuh usaha.

Beberapa menit berlalu, dan saat Rey selesai membaca, ia menutup map itu dengan tenang, lalu meletakkannya kembali di meja. Ia mendongak, menatap Hana dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Ini cukup,” katanya akhirnya, suaranya rendah dan datar.

Hana hampir menghela napas lega, tetapi kata-kata berikutnya menghentikan harapannya.

“Tapi belum cukup baik,” lanjut Rey.

Hana mengerutkan kening. “Apa maksud Anda? Saya sudah mengikuti semua revisi yang Anda minta. Semua catatan dari rapat sebelumnya sudah saya ikuti.”

Rey menyandarkan diri ke kursinya, melipat kedua tangan di dadanya. “Kau terlalu fokus pada teknis. Tidak ada jiwa dalam naskah ini. Jika ini yang terbaik yang bisa kau berikan, maka aku mulai meragukan apakah kau cocok untuk proyek ini.”

Kata-kata itu menghantam Hana seperti badai. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai membara.

“Jiwa? Maksud Anda, saya kurang berusaha? Saya sudah mengorbankan waktu, energi, dan bahkan melewatkan istirahat hanya untuk memastikan ini sempurna,” katanya dengan nada yang tak bisa lagi ia sembunyikan.

Rey tidak bereaksi. Ia hanya menatap Hana dengan dingin, seperti sedang menilai sesuatu yang tak terlihat.

“Berusaha keras tidak selalu berarti hasilnya sempurna,” katanya akhirnya.

“Jadi, apa yang Anda inginkan? Penjelasan? Atau pengorbanan lebih? Katakan, apa yang harus saya lakukan agar Anda berhenti meremehkan saya?”

Hana menatap Rey dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi suaranya tetap kuat.

Rey berdiri dari kursinya, mendekati Hana dengan langkah pelan. Ia tidak berbicara, hanya menatapnya dalam-dalam, seperti mencari sesuatu dalam dirinya.

“Aku tidak meremehkanmu, Hana. Tapi aku tidak percaya begitu saja.”

Hana terdiam, pernyataan itu terasa lebih menyakitkan daripada apa pun yang bisa Rey katakan.

“Jika kau mau tetap di sini, buktikan bahwa aku salah,” lanjut Rey sebelum berbalik dan berjalan menuju jendela besar di belakangnya.

Hana menggenggam tangannya yang bergetar. Ia tahu Rey tidak akan memberinya lebih dari sekadar kata-kata dingin dan tatapan skeptis.

Tapi di balik sikap dinginnya, Hana bisa merasakan sebuah tantangan yang nyata.

Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan emosi yang membuncah di dadanya perlahan mereda.

“Saya akan buktikan, Tuan Rey. Anda akan menyesal pernah meragukan saya,” katanya akhirnya, dengan suara yang penuh tekad.

Rey tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, punggungnya menghadap Hana, menatap langit malam di balik jendela.

Tapi ada sedikit gerakan di sudut bibirnya, sebuah senyum kecil yang sulit diartikan.

Hana melangkah keluar ruangan, menyadari bahwa ini baru permulaan dari perjuangannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ditinggal Suami, Dinikahi CEO   Bab 94. Ending

    Hari-hari Hana berlalu dalam kesunyian yang sibuk. Ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang sengaja ia cari-cari, seolah sibuk adalah pelarian terbaik dari kenyataan yang terus membayanginya.Meski tubuhnya mulai terasa mudah lelah, ia tetap memaksa diri untuk aktif, menyibukkan tangan dan pikirannya, agar tak terlalu larut dalam rasa sepi.Dalam sela-sela rutinitasnya, saat malam tiba atau waktu istirahat siang, Hana punya satu hiburan kecil yang setia menemani, game restoran favoritnya. Ia memainkan game itu bukan sekadar untuk kesenangan, tapi juga sebagai tempat di mana ia merasa bebas, bebas dari penilaian, dari kenyataan, dan dari rasa sesak di dada. Ia pun mulai aktif di grup chat dalam game, sesekali ikut dalam obrolan ringan yang membuatnya tertawa kecil.Waktu berlalu, dan sedikit demi sedikit Hana membuka diri. Ia menulis dengan hati-hati, seolah masih ragu, namun merasa ada kehangatan dari komunitas kecil itu."Aku sedang mengandung," tulisnya di salah satu obrolan grup

  • Ditinggal Suami, Dinikahi CEO   Bab 93. Jangan Murung

    Juna menatap tajam ke arah Rey, tidak gentar sedikit pun dengan emosi yang membara di mata pria itu. Dengan satu gerakan tegas, ia menepis tangan Rey yang masih mencengkeram kerah bajunya."Sebaiknya kau yang menjauhi Hana! Bukan aku!" desis Juna, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ia sadar ini adalah koridor rumah sakit, dan pertengkaran terbuka hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.Rey terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, wajahnya menegang dalam campuran emosi yang sulit dijelaskan. Perlahan, ia mengendurkan cengkeramannya, melangkah mundur selangkah demi selangkah, tapi sorot matanya masih tertuju ke pintu ruangan dokter.Hana masih di dalam sana.Ia ingin masuk, ingin bertanya langsung kepada wanita itu, ingin mendapatkan kepastian dari bibirnya sendiri. Tapi sebelum ia sempat bergerak lagi, Juna mendorongnya. Bukan dorongan kasar, melainkan gerakan halus, namun bagi Rey, dorongan itu terasa seperti hantaman yang mengguncang hatinya."Pergi," bisik Juna, nada suara

  • Ditinggal Suami, Dinikahi CEO   Bab 92. Benarkah?

    Sudah hampir sebulan sejak Hana mulai bekerja sebagai owner PT. First Food. Waktu berlalu begitu cepat, dan meskipun ia masih menyesuaikan diri dengan peran barunya, ia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya.Namun, di balik kesibukannya, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia perhatikan, kehamilannya. Hari ini adalah jadwal kontrolnya, dan tanpa bisa dihindari, seseorang menawarkan diri untuk mengantarnya.Juna.Pria itu masih saja muncul dalam hidupnya, berusaha mengambil celah sekecil apa pun untuk mendekat lagi. Meski Hana berusaha menjaga jarak, Juna selalu menemukan alasan agar tetap ada di sekitarnya.Dan sekarang, di dalam mobil yang melaju menuju rumah sakit, suasana terasa canggung.“Apa masih sering mual?” tanya Juna sambil menyetir.Hana yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela, menghela napas. “Udah mulai berkuran, nggak separah pertama kali.”Juna meliriknya sekilas. “Aku masih sering kepikiran. Kalau aja aku dulu lebih—”“Jangan bahas masa lalu, Juna.” Suara

  • Ditinggal Suami, Dinikahi CEO   Bab 91. Stalker

    Malam semakin larut, dan Hana yang awalnya hanya berniat merebahkan diri di kasur akhirnya tertidur dengan tenang. Rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya perlahan memudar seiring napasnya yang semakin teratur.Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos melalui celah tirai membangunkannya. Hana menggeliat pelan sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Saat layar menyala, sebuah notifikasi dari game yang biasa ia mainkan menarik perhatiannya.Notifikasi dari akun bernama Reys_toran muncul di layar:[Hi, apa kau mau masuk grup?]Hana tersenyum kecil, lalu mengetik balasannya dengan ringan.[Ya, tentu]Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari penting, ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor PT. First Food sebagai owner baru. Meskipun pagi harinya masih dihiasi rasa mual seperti biasa, kali ini tidak separah sebelumnya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan perutnya sebelum beranjak ke kamar mandi.Se

  • Ditinggal Suami, Dinikahi CEO   Bab 90. Benang Merah yang Tak Terputus

    Malam itu, Hana kembali duduk di kursi makan dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam sendok, tetapi setiap kali ia hendak menyendok makanan, rasa mual kembali menghantam.Aroma makanan yang dulu ia sukai, kini terasa begitu menyiksa. Bahkan sekadar mencium bau kopi yang diseduh ibunya pagi tadi saja sudah cukup membuat perutnya bergejolak.Bu Lauren yang sudah mengamati putrinya sejak tadi, akhirnya meletakkan semangkuk sup hangat di hadapan Hana."Ibu buat yang ringan saja. Setidaknya sup ini bisa kamu terima di perutmu," ucapnya lembut, duduk di seberang meja.Hana menatap sup yang mengepul itu. Aroma kaldu yang ringan sedikit menenangkannya, dan tanpa banyak kata, ia mulai menyendok sup tersebut pelan-pelan.Setelah beberapa suap, tubuhnya mulai terasa sedikit lebih baik. Ia meletakkan sendok, lalu menghela napas panjang.Hening menyelimuti mereka sejenak sebelum tiba-tiba Hana terisak.Tanpa peringatan, ia bangkit dari tempat duduknya dan memeluk ibunya erat. Bahunya terguncang

  • Ditinggal Suami, Dinikahi CEO   Bab 89. Permintaan Kakek

    Siang itu, Rey melewati meja kerja Hana, dan di sana telah kosong.Tak ada lagi tumpukan naskah atau secangkir kopi yang biasa menemani wanita itu bekerja. Tak ada jejaknya di sini. Hanya ruang hampa yang tersisa, sama seperti hatinya yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Hana.Dulu, ia mungkin tidak menyadari betapa terbiasanya melihat wanita itu di sekelilingnya. Tapi sekarang, setiap sudut gedung ini mengingatkannya pada sosoknya, suara lembutnya saat mendiskusikan naskah, ekspresi seriusnya saat mengetik, bahkan aroma parfumnya yang samar.Rey mendesah pelan, tak bisa berdiam diri lebih lama di sini. Pikirannya kacau. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah keluar dari gedung agensinya, membiarkan udara siang yang terik menerpa wajahnya.Langkahnya cepat menuruni anak tangga menuju pelataran parkir, hingga suara seseorang mengejar dari belakang."Tuan! Anda mau ke mana?"Rey menoleh sekilas. Itu Bastian, sekretarisnya, yang kini sedikit terengah mencoba menyusul.Tatapan Rey tajam,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status