Hana terbangun pagi itu dengan rasa letih yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Pertemuan dengan Rey masih teringat di pikirannya, seperti film yang terus diputar ulang tanpa akhir.
Kata-katanya yang dingin, tatapan skeptisnya, dan tantangan tersirat itu mengisi pikirannya sejak ia meninggalkan ruangannya. Namun, pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. Sambil menyesap teh hangat di meja makan, ponselnya bergetar di atas meja. Notifikasi email masuk. Hana meletakkan cangkirnya dan meraih ponselnya dengan cepat. Matanya menyipit membaca nama pengirimnya: Astroha Entertainment. Hatinya berdegup kencang. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia membuka email itu. [Selamat kepada Yth. Hana Varelly, Anda diterima di Agency Astroha Entertainment sebagai penulis dengan masa training 3 bulan .…] Kalimat itu seperti musik yang mengalun indah di telinganya. Hana menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan teriakan bahagia yang hampir lolos. Senyum lebar merekah di wajahnya. “Ya Tuhan... aku diterima,” gumamnya pelan, hampir tak percaya. Sisa email itu memberikan rincian tentang masa pelatihan tiga bulan, evaluasi berkala, dan kemungkinan kontrak dua tahun jika ia dinyatakan lulus. Bagi Hana, ini adalah awal dari segalanya, kesempatan untuk membuktikan bahwa ia layak berada di sini. Ia menutup ponselnya dan menatap piring sarapan di depannya. Segalanya terasa lebih manis pagi itu, bahkan roti panggangnya yang sedikit gosong. Keesokan harinya, Hana melangkah masuk ke kantor Astroha Entertainment untuk hari pertamanya sebagai pegawai training. Rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata, tetapi juga seperti mimpi buruk yang baru dimulai. Ia sadar bahwa tugas yang menantinya tidak akan mudah. Setelah menempatkan barang-barangnya di meja kecil yang diberikan untuknya, seorang anggota tim senior mendekat. “Hana Varelly?” tanyanya. Hana mengangguk, mencoba menenangkan debaran di dadanya. “Ya, itu saya.” “Bagus, ayo kita mulai. Kau diminta melanjutkan skrip Stolen Heart. Ini proyek penting, jadi lakukan yang terbaik,” katanya sambil menyerahkan setumpuk dokumen dan file digital. Di depan layar komputer, Hana menatap naskah yang sudah dikerjakan sebagian. Ia membaca ulang dialog-dialog yang telah ditulis, mencoba memahami alur dan emosi yang ingin disampaikan. Namun, kecemasan mulai merayapi pikirannya. “Bagaimana kalau aku tidak cukup baik?” pikirnya. Tangannya sempat berhenti di atas keyboard. Namun, ia mengingat kembali alasannya berada di sini. Ia harus membuktikan bahwa ia mampu. Dengan tekad baru, ia mulai mengetik, menuangkan emosinya ke dalam karakter dan cerita drama itu. Hana bekerja dengan hati-hati, memastikan setiap kalimat yang ditulis memiliki makna. Ia membayangkan konflik yang dialami oleh tokoh utama, mencoba menggali lebih dalam rasa sakit dan perjuangan mereka, rasa yang juga ia rasakan selama ini. Beberapa jam kemudian, setelah memastikan bahwa naskahnya telah selesai, Hana menyerahkannya kepada salah satu staf untuk diperiksa. Belum sempat ia merasa lega, Bastian menghampirinya dengan wajah serius. “Hana, Tuan Rey ingin kau ikut rapat di BG TV sekarang. Bersiaplah,” katanya singkat. Hana terdiam sejenak. “Saya? Ke BG TV? Tapi—” “Tidak ada tapi,” potong Bastian sambil melirik arlojinya. “Cepat bersiap. Tuan Rey menunggu di lobi.” Dalam perjalanan ke BG TV, Hana duduk di mobil dengan jantung yang berdebar kencang. Di sebelahnya, Rey duduk diam dengan ekspresi dingin seperti biasa. Kehadirannya saja sudah cukup membuat Hana merasa semakin gugup. Namun, tiba-tiba Rey berkata, “Aku tidak mengatakan naskahmu buruk.” Hana menoleh, terkejut. Itu adalah pertama kalinya ia mendengar Rey berbicara setelah suasana interview yang sedikit memanas. “Kalau begitu ….” Hana hampir tak tahu harus berkata apa. “Percaya diri,” potong Rey dengan nada datar. “Kau akan mewakili perusahaan. Jangan tunjukkan keraguan.” Hana menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Kata-kata Rey yang singkat itu terasa seperti perintah yang tak bisa ditolak. Di ruang rapat BG TV, Hana duduk di meja panjang dengan perasaan canggung. Orang-orang mulai memasuki ruangan, masing-masing membawa dokumen dan laptop. Rey, yang duduk di ujung meja, melirik ke arahnya sebelum memberi isyarat kecil. “Jelaskan skripmu. Singkat.” Hana merasakan pandangan semua orang tertuju padanya. Kakinya terasa gemetar, tetapi ia mencoba mengendalikan diri. “Baik, saya Hana Varelly,” katanya dengan suara yang agak bergetar. “Skrip Stolen Heart melanjutkan konflik emosional antara dua tokoh utama yang ….” Kata-kata Hana mengalir perlahan, meskipun sesekali ia merasa gugup. Saat ia selesai, ia melirik Rey, berharap setidaknya ada tanda bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Rey hanya mengangguk kecil, tanpa ekspresi, sebelum melanjutkan diskusi dengan pihak stasiun TV. Hana menghela napas pelan. Ini baru awal, tapi ia tahu bahwa ia telah melewati langkah pertama. Rapat berlangsung panas meskipun hampir semua pihak menyetujui revisi naskah yang diajukan Hana. Rey tetap duduk dengan sikap tenang di ujung meja, matanya tajam mengamati setiap diskusi. Namun, satu orang terus menunjukkan ketidaksenangannya, Juna! “Saya rasa jalan cerita ini terlalu klise,” komentar Juna dengan nada sinis, meskipun yang lain tampak sudah puas. “Penonton mungkin akan merasa bosan dengan konflik seperti ini.” Hana menggenggam pulpen di tangannya lebih erat. “Konflik ini justru menjadi inti dari perkembangan karakter utama. Kita harus fokus pada bagaimana emosi mereka berkembang, bukan hanya pada alurnya,” jawabnya, mencoba mempertahankan nada profesional. Juna tertawa kecil, mencemooh. “Oh, jadi kau ahli psikologi sekarang?” Ruangan hening. Mata-mata lain berpindah antara Hana dan Juna, tapi tak ada yang berani ikut campur. Rey, yang tampak tak terpengaruh oleh ketegangan, hanya mengamati tanpa sepatah kata. Akhirnya, salah satu produser mengintervensi. “Sudah cukup, Juna. Mayoritas tim setuju dengan naskah ini. Kita lanjutkan saja.” Hana menghela napas lega saat rapat akhirnya selesai. Tapi amarah yang ia tahan selama diskusi tadi masih membara. Ia berjalan cepat ke toilet, menghindari semua orang. Di dalam bilik kecil itu, ia bersandar pada dinding dingin, mencoba mengatur napas. “Kenapa harus dia?” gumamnya lirih, memejamkan mata. Bayangan masa lalu bersama Juna memenuhi pikirannya, seperti racun yang terus menggerogoti hatinya. Ia menghela napas panjang, membasuh wajahnya di wastafel, dan menatap cermin. “Aku hanya perlu bertahan. Begitu surat cerai keluar, dia tidak akan punya kuasa apa pun lagi atas hidupku.” Namun, saat ia melangkah keluar dari toilet, suara yang familiar menghentikan langkahnya. “Hebat sekali,” kata Juna dengan nada mengejek, berdiri di lorong sepi. “Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa sejauh ini.” Hana berhenti, memutar tubuh, mencoba bersikap tegar. “Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omong kosongmu, Juna.” Tapi Juna melangkah mendekat, ekspresi sinisnya semakin tajam. “Kau tidak layak berada di proyek ini. Semua orang tahu itu. Kau hanya wanita penggoda yang tahu cara memanfaatkan CEO Rey untuk mendapatkan posisimu.” Hana merasakan darahnya mendidih, tapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahannya. “Aku di sini karena kemampuanku, bukan karena seseorang. Tidak seperti dirimu yang hanya tahu cara meremehkan orang lain.” Juna tertawa kecil, lalu tiba-tiba mencengkeram lengan Hana. “Jangan pura-pura suci, Hana. Aku tahu siapa dirimu sebenarnya.” Hana terkejut, mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Juna terlalu kuat. “Lepaskan aku, Juna!” desisnya. Saat itu, di kejauhan Rey memperhatikan dua manusia yang sedang bersitegang itu, perlahan ia mendekat, suara langkahnya pelan terdengar di ujung lorong. Rey muncul, matanya tajam seperti elang, memperhatikan situasi. Wajahnya tetap datar, tapi ada auranya dingin yang membuat suasana semakin tegang. Dengan nada tenang, Rey tiba-tiba bertanya di belakang mereka, “Apa yang kau lakukan pada wanitaku?”Hari-hari Hana berlalu dalam kesunyian yang sibuk. Ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang sengaja ia cari-cari, seolah sibuk adalah pelarian terbaik dari kenyataan yang terus membayanginya.Meski tubuhnya mulai terasa mudah lelah, ia tetap memaksa diri untuk aktif, menyibukkan tangan dan pikirannya, agar tak terlalu larut dalam rasa sepi.Dalam sela-sela rutinitasnya, saat malam tiba atau waktu istirahat siang, Hana punya satu hiburan kecil yang setia menemani, game restoran favoritnya. Ia memainkan game itu bukan sekadar untuk kesenangan, tapi juga sebagai tempat di mana ia merasa bebas, bebas dari penilaian, dari kenyataan, dan dari rasa sesak di dada. Ia pun mulai aktif di grup chat dalam game, sesekali ikut dalam obrolan ringan yang membuatnya tertawa kecil.Waktu berlalu, dan sedikit demi sedikit Hana membuka diri. Ia menulis dengan hati-hati, seolah masih ragu, namun merasa ada kehangatan dari komunitas kecil itu."Aku sedang mengandung," tulisnya di salah satu obrolan grup
Juna menatap tajam ke arah Rey, tidak gentar sedikit pun dengan emosi yang membara di mata pria itu. Dengan satu gerakan tegas, ia menepis tangan Rey yang masih mencengkeram kerah bajunya."Sebaiknya kau yang menjauhi Hana! Bukan aku!" desis Juna, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ia sadar ini adalah koridor rumah sakit, dan pertengkaran terbuka hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.Rey terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, wajahnya menegang dalam campuran emosi yang sulit dijelaskan. Perlahan, ia mengendurkan cengkeramannya, melangkah mundur selangkah demi selangkah, tapi sorot matanya masih tertuju ke pintu ruangan dokter.Hana masih di dalam sana.Ia ingin masuk, ingin bertanya langsung kepada wanita itu, ingin mendapatkan kepastian dari bibirnya sendiri. Tapi sebelum ia sempat bergerak lagi, Juna mendorongnya. Bukan dorongan kasar, melainkan gerakan halus, namun bagi Rey, dorongan itu terasa seperti hantaman yang mengguncang hatinya."Pergi," bisik Juna, nada suara
Sudah hampir sebulan sejak Hana mulai bekerja sebagai owner PT. First Food. Waktu berlalu begitu cepat, dan meskipun ia masih menyesuaikan diri dengan peran barunya, ia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya.Namun, di balik kesibukannya, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia perhatikan, kehamilannya. Hari ini adalah jadwal kontrolnya, dan tanpa bisa dihindari, seseorang menawarkan diri untuk mengantarnya.Juna.Pria itu masih saja muncul dalam hidupnya, berusaha mengambil celah sekecil apa pun untuk mendekat lagi. Meski Hana berusaha menjaga jarak, Juna selalu menemukan alasan agar tetap ada di sekitarnya.Dan sekarang, di dalam mobil yang melaju menuju rumah sakit, suasana terasa canggung.“Apa masih sering mual?” tanya Juna sambil menyetir.Hana yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela, menghela napas. “Udah mulai berkuran, nggak separah pertama kali.”Juna meliriknya sekilas. “Aku masih sering kepikiran. Kalau aja aku dulu lebih—”“Jangan bahas masa lalu, Juna.” Suara
Malam semakin larut, dan Hana yang awalnya hanya berniat merebahkan diri di kasur akhirnya tertidur dengan tenang. Rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya perlahan memudar seiring napasnya yang semakin teratur.Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos melalui celah tirai membangunkannya. Hana menggeliat pelan sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Saat layar menyala, sebuah notifikasi dari game yang biasa ia mainkan menarik perhatiannya.Notifikasi dari akun bernama Reys_toran muncul di layar:[Hi, apa kau mau masuk grup?]Hana tersenyum kecil, lalu mengetik balasannya dengan ringan.[Ya, tentu]Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari penting, ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor PT. First Food sebagai owner baru. Meskipun pagi harinya masih dihiasi rasa mual seperti biasa, kali ini tidak separah sebelumnya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan perutnya sebelum beranjak ke kamar mandi.Se
Malam itu, Hana kembali duduk di kursi makan dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam sendok, tetapi setiap kali ia hendak menyendok makanan, rasa mual kembali menghantam.Aroma makanan yang dulu ia sukai, kini terasa begitu menyiksa. Bahkan sekadar mencium bau kopi yang diseduh ibunya pagi tadi saja sudah cukup membuat perutnya bergejolak.Bu Lauren yang sudah mengamati putrinya sejak tadi, akhirnya meletakkan semangkuk sup hangat di hadapan Hana."Ibu buat yang ringan saja. Setidaknya sup ini bisa kamu terima di perutmu," ucapnya lembut, duduk di seberang meja.Hana menatap sup yang mengepul itu. Aroma kaldu yang ringan sedikit menenangkannya, dan tanpa banyak kata, ia mulai menyendok sup tersebut pelan-pelan.Setelah beberapa suap, tubuhnya mulai terasa sedikit lebih baik. Ia meletakkan sendok, lalu menghela napas panjang.Hening menyelimuti mereka sejenak sebelum tiba-tiba Hana terisak.Tanpa peringatan, ia bangkit dari tempat duduknya dan memeluk ibunya erat. Bahunya terguncang
Siang itu, Rey melewati meja kerja Hana, dan di sana telah kosong.Tak ada lagi tumpukan naskah atau secangkir kopi yang biasa menemani wanita itu bekerja. Tak ada jejaknya di sini. Hanya ruang hampa yang tersisa, sama seperti hatinya yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Hana.Dulu, ia mungkin tidak menyadari betapa terbiasanya melihat wanita itu di sekelilingnya. Tapi sekarang, setiap sudut gedung ini mengingatkannya pada sosoknya, suara lembutnya saat mendiskusikan naskah, ekspresi seriusnya saat mengetik, bahkan aroma parfumnya yang samar.Rey mendesah pelan, tak bisa berdiam diri lebih lama di sini. Pikirannya kacau. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah keluar dari gedung agensinya, membiarkan udara siang yang terik menerpa wajahnya.Langkahnya cepat menuruni anak tangga menuju pelataran parkir, hingga suara seseorang mengejar dari belakang."Tuan! Anda mau ke mana?"Rey menoleh sekilas. Itu Bastian, sekretarisnya, yang kini sedikit terengah mencoba menyusul.Tatapan Rey tajam,