Share

Chapter 2

Penulis: Re Hamayu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-06 22:42:47

Bastian duduk sambil menangkupkan jemarinya di atas meja. Sementara Freddy yang duduk di sebelahnya tampak meringis kesakitan. Seorang pelayan laki-laki datang sambil membawa baki berisi minuman. ia menyerahkan dua gelas minuman ke hadapan mereka berdua lalu segera pergi dari sana.

“Sakit banget pukulan kamu, Bas. Untung gigiku ngga rontok,” ujar Freddy sambil memegangi wajahnya yang memar. Ia menggerak-gerakkan rahangnya yang kaku.

“Kalau bukan sahabat lama, bukan cuma gigi kamu yang aku rontokin, Fred,” geram Bastian kesal. Lelaki itu terdiam setelah berkata-kata. Ia menghela napas panjang kemudian termenung menatap gelas kopinya lagi.

“Iya, aku minta maaf,” Freddy berkata tanpa rasa bersalah. Ia meraih gelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya seolah tanpa beban.

“Kupikir setelah kejadian itu kalian akan semakin dekat.” Bastian menatap sahabatnya itu dengan gusar.

“Arumi itu berbeda, Fred. Dia tidak seperti perempuan yang selama ini kita temui.”

“Iya, aku tahu. karena itu dia terlihat spesial di matamu.” ucap Freddy seakan mengejek. Tangan Bastian terkepal rapat, namun ia menahan diri. Freddy hanya tertawa melihat sikap sahabatnya itu. Bastian mengusap wajah tampannya. Kegusaran tampak jelas dari sepasang mata.

“Setelah kejadian itu, dia menghilang, Fred. Aku ngga tahu bagaimana cara menghubunginya lagi. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya.”

“Tidak perlu seperti orang susah. Datangi saja rumahnya, Kawan.” Freddy menyalakan rokok dan mulai mengepulkan asapnya.

“Aku tidak tahu dimana rumahnya,” ujar Bastian sambil memijat pangkal hidung.

“Tapi aku tahu.” Bastian menoleh dengan cepat. Ia menarik kerah kemeja Freddy.

“Katakan dimana alamatnya.”

“Wow .. Wow … Singkirkan tanganmu, Kawan.” Freddy mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum mengejek.

“Kalau kamu lepaskan tanganmu, aku akan mengantarmu ke sana.”

“Tidak usah banyak cakap kau Fred. Semua ini juga gara-gara kamu.” Tangan Bastian tidak berpindah dari kerah kemeja Freddy. ia menyeretnya pergi dari sana.

***

Arumi menyibakkan selimut dan berlari ke arah kamar mandi. Ia membuka penutup closet dan memuntahkan isi perutnya di sana.

“Huek! Huek!” 

Tangan Arumi gemetar saat menekan tombol flush. Wajahnya tampak frustasi. Ia berjalan dengan lunglai dari kamar mandi dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Masih dengan tangan gemetar, ia meraih kalender kecil di atas meja. jarinya menyusuri angka-angka di kertas tersebut. dan berhenti di sebuah tanggal yang dilingkari. 

Arumi menghela napas berat. Dadanya seperti dihimpit batu besar. Ia menyentuh kepalanya dengan kedua tangan, membuat rambut panjangnya berantakan.

“Haidku seharusnya tiga minggu yang lalu …,” lirihnya pelan. Ia menarik laci di bawah meja dan mengeluarkan sesuatu dari sana. sesuatu yang ia beli sejak kejadian malam nahas itu. Arumi berjalan ke kamar mandi kembali sambil membawa benda tersebut. Wajahnya harap-harap cemas saat menanti hasil tes kehamilannya. Arumi menutup mulut, menahan agar teriakannya tak terdengar.ia menjerit tertahan saat garis merah kedua mulai menebal.

“Akh …” Testpack di tangannya terjatuh di lantai kamar mandi. Disusul tubuhnya yang meluruh terduduk.

“Tidak … Ini pasti eror.” Arumi masih berusaha mengingkari kenyataan di hadapannya. Ia menahan tangis sambil memeluk lutut.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? ...” Tiba-tiba Arumi teringat sesuatu. Ia menyalakan ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Halo!” serunya begitu seseorang di seberang sana mengangkat teleponnya.

“Klinik kandungan? Saya ingin mendaftar. Atas nama Arumi Maharani. Jam berapa prakteknya?” Arumi mengangguk mendengar jawaban. “Oke, saya bersiap sekarang.” Perempuan itu bergegas bangkit dan bersiap. Ia menatap hasil testpacknya lama.

“Bibi dan Paman tidak boleh mengetahui hal ini.” Arumi melihat sekeliling dan memasukkan benda itu di selipan buku kuliahnya. Ia bersiap dan keluar dari kamar. Tidak lupa perempuan itu mengunci pintu kamarnya sebelum pergi. 

“Kamu mau kemana, Nduk?” Timah yang sedang memasak di dapur bertanya. Arumi tersentak mendengar pertanyaan Timah, namun ia segera memperbaiki sikap.

“Aku mau ke tempat teman, Bi.”

“Lagi banyak tugas ya? Mau makan dulu?”

“Tidak usah, Bi. Nanti makan di luar saja.” Arumi bergegas pamit sebelum Timah bertanya lebih jauh lagi. Ia membuka pintu pagar dan melangkahkan kaki. Namun tubuhnya mengejang saat melihat sosok yang berdiri tidak jauh darinya. 

“Bastian …” Nama itu terlolos dari mulutnya. 

“Rumi …” Bastian tersenyum kaku. Arumi menggigit bibir, teringat malam nahas itu lagi. Ia membuang pandangan. Enggan menatap wajah tampan di hadapan. Ia berjalan melewati Bastian, namun lelaki itu mengikutinya.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Bastian berbasa-basi.

“Tidak pernah baik lagi sejak kejadian malam itu,” jawab Arumi ketus sambil terus berjalan. Bastian menghentikan langkah. Tembok tinggi di hadapannya masih terlalu kokoh. Ia masih belum bisa menaklukannya saat ini.

“Rumi!” Panggilan singkat itu membuat Arumi terdiam. Bastian berjalan dan berdiri di hadapan perempuan itu. Ia menghela napas dengan berat.

“Aku tahu kamu sama seperti aku, belum bisa memaafkan sikap burukku terhadap kamu. Tapi aku tidak bisa diam begitu saja.” Bastian mengeluarkan sesuatu dari sakunya. 

“Jangan menyelesaikan masalah ini sendirian. Aku juga ingin menuntaskan masalah ini bersamamu. Agar tidak ada dendam di antara kita nanti,” tuturnya sambil menyerahkan selembar kartu nama kepada Arumi.

“Kamu memblokir nomorku dan teman-temanku, jadi aku tidak bisa memberitahumu. Ini nomor telepon dan alamat rumahku. Jika kamu membutuhkan sesuatu, hubungi aku.” Bastian pergi menjauh setelah mengucapkan hal itu. Arumi menatap kepergiannya dengan penuh luka. Ia meremas kartu nama di tangannya.

“Jadi bagaimana?” Pertanyaan itu membuat Arumi tersentak.

“Usia kandunganmu sudah berjalan enam minggu. Tubuh janinnya sudah mulai terbentuk meskipun hanya seukuran kacang polong. Namun organ vitalnya sudah mulai berkembang. Jantungnya sudah mulai berdetak. Kamu yakin mau menggugurkannya?”

“Iya, Dok,” jawab Arumi namun kemudian ia terdiam.

“Baiklah, silakan duduk di sana. Kita cek dulu kondisi kandungannya.” Dokter perempuan itu menunjuk sebuah kursi pemeriksaan obgyn. Arumi melangkah dan duduk di kursi pemeriksaan. Duduk dan menaikkan kaki lalu memperhatikan dokter yang sedang mempersiapkan alat. Wajahnya tampak berpikir keras. Arumi memejamkan mata, namun wajah tampan Bastian malah berkelebat di benaknya. Ia teringat kembali interaksi-interaksi kecil mereka yang sering membuat dadanya berdebar. 

Perempuan itu membuka mata kembali. Sebelum peralatan logam itu menyentuh kulitnya, Arumi bersuara lirih, “Dokter …”

“Ya?” 

“Boleh saya pikirkan kembali, Dok.” Perempuan itu tersenyum sambil mengangguk pelan. 

Arumi beringsut turun dari kursi pemeriksaaan lalu melangkah ke meja periksa dokter.

“Maaf, Dok …” 

“Tidak apa-apa. Ini saya resepkan vitamin dan penguat kandungan.” Arumi menerima selembar kertas yang disodorkan oleh dokter di hadapannya. 

“Kamu bisa kontrol kembali bulan depan.”

“baik, Dokter. terima kasih.” Arumi menarik kursinya dan beranjak pergi, namun dokter itu memanggil kembali.

“Seorang anak tidak salah apa-apa. Ia berhak untuk hidup.” Dokter itu melanjutkan sambil tersenyum, “ Saya harap ketika kamu kontrol kembali, janinmu sudah berkembang dengan baik.” Arumi terdiam.

“Baik, Dok. Terima kasih,” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu. Ia segera keluar dari klinik tersebut. Memesan ojek online dan pulang ke rumah. Entah kenapa hari-hari ini ia menjadi takut dengan dunia luar.

“Assalamualaikum!” Arumi mengucapkan salam begitu tiba di rumah. 

“Tidak ada orang …” Arumi celingukan mencari keberadaan paman dan bibinya.

“Apa mereka belum pulang ya?” Tapi Arumi menemukan gerobak sayur paman dan bibinya yang sudah terparkir di depan rumah. Biasanya mereka berjualan sayur keliling kampung hingga menjelang siang. 

“Ini sudah jam satu. Seharusnya mereka sudah pulang,” gumam Arumi sambil menaiki tangga. Ia kaget saat menemukan Timah dan Pranoto yang berada di dalam kamarnya.

“Bi-bibi sama Paman ngapain di kamarku?” Timah dan Pranoto terdiam menatapnya. Arumi tidak mendapatkan jawaban. Ia terhenyak saat melihat benda kecil tipis di tangan sang bibi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 5

    “Bastian …” Arumi menutup mulutnya tanpa sadar. Di seberang, Bastian menatapnya penuh kerinduan. Suara klakson dan deru kendaraan seakan menjadi lagu latar pertemuan mereka yang saling terdiam di antara dua sisi jalan yang berseberangan.Lampu di seberang Arumi berubah hijau. Bastian melangkah mendekat. Arumi menghitung dalam hati di antara harapan dan kecemasan akan masa depan yang akan ia hadapi.”“Apakah dia takdir yang harus aku jalani?”Bastian tiba di depan Arumi. Berdiri canggung. Ia ingin merangkul, namun belum merasa pantas untuk memeluk perempuan tersebut.“Bagaimana kabarmu?” tanya Bastian sungkan.“Aku … hamil…,” ucap Arumi lirih. Bastian tercengang, namun hanya sejenak.“A-aku akan bertanggung jawab, Arumi. Kita akan menikah.” Arumi merasakan sedikit kelegaan.“Tadi aku habis menemui ibumu.” Bastian tercengang lagi.“Apa yang ia katakan?” Arumi tersenyum sedih.“Sepertinya ia tidak menyukai diriku.” Bastian menggeleng.“Ini bukan tentang saling menyukai, Rumi. Ini tentang

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 4

    Tiiiiinnn!!! Suara klakson yang begitu panjang memekakan telinga. Arumi jatuh terduduk. telapak tangannya terasa perih tergores aspal. Orang-orang berlari menolong. Menanyakan keadaannya. “Mbak, kamu ngga apa-apa?” tanya seorang perempuan muda seumuran dirinya. Ia segera turun dari motor lalu membantu Arumi berdiri dan memapahnya ke pinggir jalan.“Mau saya antar ke Rumah Sakit?” tanyanya khawatir.“Ngga apa-apa, Mbak. Tadi hanya kesenggol dikit.” Orang-orang tampak lega. “Mbak mau kemana?” tanya seorang Bapak yang tadi ikut membantunya.“Saya mau ke …” Arumi mencari kartu nama yang tadi digenggamnya namun ia tampak tertegun. Kartu nama itu terlepas dari tangannya. Arumi melihat berkeliling, namun tak melihat benda kecil itu lagi. Ia segera memeriksa ponselnya, namun hanya tampak layar hitam. “Handphonenya rusak? Mbak perlu menghubungi seseorang?” Lelaki setengah baya itu kembali bertanya.“Iya, Pak,” jawab Arumi lemah.“Mbak hapal nomornya? Pakai saja hape saya.” Arumi menghela na

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 3

    Timah memandang masakannya yang belum tersentuh di atas meja. Ia menghela napas berat.“Padahal aku bikinin masakan kesukaan dia beberapa hari ini, tapi ngga pernah disentuh,” ujar Timah sambil memasukkan lauk itu ke dalam rak.“Mungkin lagi sibuk sama kuliahnya, Bu. Kan ini sudah masuk semester akhir.”“Aku khawatir sama dia, Pak.” Timah duduk di kursi makan lalu duduk merenung. Ayahnya dulu juga ngga cerita apa-apa waktu divonis tumor otak …” Pranoto yang sedang membersihkan kipas angin terdiam. Ia memandang istrinya lama.“Dia itu persis seperti Mas Ghani. Jika ada masalah hanya dipendam sendiri. Bahkan dia ngga cerita saat istrinya selingkuh dan kabur sama lelaki lain …” Timah menghela napas. Terasa dadanya dihimpit sesuatu yang begitu besar. Yang tak mau enyah meskipun ia menghela napas berkali-kali. “Aku khawatir sama Arumi, Pak …” Timah mulai terisak. Pranoto menghela napas. istrinya memang suka berlebihan kalau menyangkut tentang Arumi. Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya la

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 2

    Bastian duduk sambil menangkupkan jemarinya di atas meja. Sementara Freddy yang duduk di sebelahnya tampak meringis kesakitan. Seorang pelayan laki-laki datang sambil membawa baki berisi minuman. ia menyerahkan dua gelas minuman ke hadapan mereka berdua lalu segera pergi dari sana.“Sakit banget pukulan kamu, Bas. Untung gigiku ngga rontok,” ujar Freddy sambil memegangi wajahnya yang memar. Ia menggerak-gerakkan rahangnya yang kaku.“Kalau bukan sahabat lama, bukan cuma gigi kamu yang aku rontokin, Fred,” geram Bastian kesal. Lelaki itu terdiam setelah berkata-kata. Ia menghela napas panjang kemudian termenung menatap gelas kopinya lagi.“Iya, aku minta maaf,” Freddy berkata tanpa rasa bersalah. Ia meraih gelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya seolah tanpa beban.“Kupikir setelah kejadian itu kalian akan semakin dekat.” Bastian menatap sahabatnya itu dengan gusar.“Arumi itu berbeda, Fred. Dia tidak seperti perempuan yang selama ini kita temui.”“Iya, aku tahu. karena itu dia terl

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 1

    Arumi menggerakkan kepalanya perlahan. Matanya masih terpejam rapat. Perlahan ia membuka kelopak yang terasa lengket. Cuping hidungnya mencium aroma asing. Wangi maskulin dan alkohol yang mulai memudar. Hawa dingin dari pendingin ruangan membuat tubuhnya menggigil. Arumi memeluk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia menyadari tubuhnya yang hanya berbalut selimut tipis. Arumi tersentak kaget. Jantungnya seketika berpacu dengan cepat. Ia memeluk selimut tipis itu erat-erat ke tubuhnya yang polos. Matanya menatap nyalang ke sekeliling kamar. “A ... Apa yang terjadi?” lirihnya yang masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi. Tiba-tiba sesuatu bergerak di sebelahnya, membuat Arumi menoleh. Seorang lelaki berbaring di sampingnya. Wajahnya tampak tenang dengan napas yang teratur, menandakan ia yang masih dalam tidur lelapnya. Tubuhnya hanya berkemul selimut tipis yang menutupi bagian bawah tubuh.Arumi terperanjat dan tergesa turun dari ranjang. Gerakan itu membuat sang lelaki terbangun. pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status