Share

Chapter 3

Penulis: Re Hamayu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-06 22:42:54

Timah memandang masakannya yang belum tersentuh di atas meja. Ia menghela napas berat.

“Padahal aku bikinin masakan kesukaan dia beberapa hari ini, tapi ngga pernah disentuh,” ujar Timah sambil memasukkan lauk itu ke dalam rak.

“Mungkin lagi sibuk sama kuliahnya, Bu. Kan ini sudah masuk semester akhir.”

“Aku khawatir sama dia, Pak.” Timah duduk di kursi makan lalu duduk merenung. Ayahnya dulu juga ngga cerita apa-apa waktu divonis tumor otak …” Pranoto yang sedang membersihkan kipas angin terdiam. Ia memandang istrinya lama.

“Dia itu persis seperti Mas Ghani. Jika ada masalah hanya dipendam sendiri. Bahkan dia ngga cerita saat istrinya selingkuh dan kabur sama lelaki lain …” Timah menghela napas. Terasa dadanya dihimpit sesuatu yang begitu besar. Yang tak mau enyah meskipun ia menghela napas berkali-kali. 

“Aku khawatir sama Arumi, Pak …” Timah mulai terisak. Pranoto menghela napas. istrinya memang suka berlebihan kalau menyangkut tentang Arumi. Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya lalu berusaha menenangkan sang istri.

“Aku takut dia sakit, Pak …” 

“Arumi baik-baik saja, Bu. Mungkin dia sedang sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya. Dia kan sudah mau lulus,” ulang Pranoto lagi seolah mengingatkan.

“Tapi beberapa hari ini aku sering dengar dia muntah-muntah, Pak. Wajahnya pucat. Tubuhnya juga jadi kurus.” Timah mulai terisak.

“Kamu jangan mikir yang aneh-aneh ah.”

“Aku mau memastikan keadaannya, Pak.”

“Bagaimana caranya?”

“Ayo kita periksa kamarnya.” Pranoto tampak ragu.

“Tapi itu kan tidak sopan, Bu.”

“Tapi aku khawatir, Pak. Ibu ngga tenang kalau belum memastikan keadaan Arumi.” Pranoto menghela napas lalu mengangguk lemah. Ia mengikuti sang istri yang berjalan menuju kamar Arumi.

“Tuh kan dikunci,” ujarnya saat Timah mendorong pintu yang bergeming.

“Aku ada kunci serepnya.” Timah menunjukkan sebuah anak kunci dan memasukkan ke dalam lubangnya. Ia memutar sekali, dan pintu di hadapannya terbuka perlahan. Dengan langkah pelan ia berjalan masuk diikuti Pranoto. 

Tidak ada yang aneh dari kamar Arumi. Tempat tidurnya tertata rapi. Lemarinya tertutup rapat. Di seberangnya terdapat meja belajar dengan buku-buku tersusun di atasnya, juga sebuah kalender dengan tanggal yang banyak dilingkari.

Tangan Timah terulur merapikan tumpukan buku yang sedikit berantakan. Tanpa sengaja matanya menangkap sebuah benda di balik sebuah buku. Ia menariknya.

“Yaa Allah …” Tubuh Timah limbung saat menyadari benda di tangannya. Pranoto segera memapah tubuh istrinya. Ia menarik kursi dan mendudukkan Timah di sana.

“I-ini … ini testpack, Pak” Wajah Pranoto langsung berubah

“Hasilnya positif …” lirih Timah.

“Ngga mungkin, Bu. Arumi anak yang baik. Ngga mungkin dia ber …” Tidak sampai hati Pranoto mengucapkan hal itu. Apalagi saat melihat Timah yang tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Bi-bibi sama Paman ngapain di kamarku?” Timah dan Pranoto tersentak kaget. Mereka berdua menatap Arumi yang berdiri di ambang pintu. Arumi menatap Timah, kemudian matanya teralih pada hasil testpack di tangan bibinya. Arumi terhenyak. Timah berjalan menghampiir.

Plak! 

Arumi yang masih syok hanya bisa terdiam sambil memegangi pipinya yang terasa panas.

“Apa yang kamu lakukan, Arumi?! Kamu berzina?!” Arumi menggeleng. Airmatanya deras berjatuhan.

“Ngga, Bi. Aku ngga melakukan itu …”

“Lalu apa ini?!”

“I-Itu …” Arumi tidak bisa menjawab.

“Katakan siapa lelaki itu, Nduk?” Pranoto bertanya lembut.

“Biar Paman dan Bibi mendatangi orangtuanya.”

“Paman …” Arumi menubruk tubuh Pranoto dan menangis. Segala yang selama ini ia pendam tertumpahkan di bahu paman yang sudah dianggap ayahnya sendiri itu.

“A-aku ngga tahu, Paman …” Pranoto dan Timah saling bertatapan.

“Kamu ngga tahu siapa yang menghamili kamu?” 

“Bu-bukan itu …”

“Ya sudah, kamu tenangkan diri kamu dulu ya. Paman dan Bibi akan bicara dulu.”

“Ngga ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak,” tandas Timah. Ia berjalan menghampiri Arumi.

“Bereskan barang-barang kamu. Pergi dari rumah ini.”

“Bu!” Pranoto terkejut mendengar ucapan istrinya.

“Setiap sore Pamanmu mengajar mengaji di lingkungan ini. Apa yang akan dikatakan orang-orang jika keponakannya hamil di luar nikah.” Arumi jatuh berlutut dan menangis sambil memeluk kaki Timah.

“jangan usir aku, Bi. Aku harus pergi ke mana? …” ucap Arumi diantara isaknya.

“Temui Bibi dan Paman lagi bersama lelaki itu.” Keputusan Timah membuat Arumi terdiam. Ia mengajak suaminya meninggalkan Arumi sendirian. Pranoto menatap keponakannya dengan sedih, kemudian mengikuti langkah istrinya. Meninggalkan Arumi dalam kesendirian. Tangis perempuan itu semakin menghebat.

Pranoto duduk di hadapan istrinya di ruang dapur.

“Bu, kamu jangan sekeras itu sama Arumi.”

“Aku merasa gagal mendidik dia, Pak …” lirih Timah.

“Sebaiknya tenangkan diri dulu, Bu. Baru kita cari jalan keluarnya. Anak itu juga sedang bingung saat ini. Kita jangan mendesaknya dulu.” Timah merasa ucapan suaminya itu benar. Ia mengangguk pelan. merasa bersalah karena tadi telah menekan Arumi. 

“Tolong antarkan makanan ke kamar Arumi, Pak. Aku takut dia belum makan dari pagi. Kasihan anak dalam kandungannya.” 

“Aku buatkan sup ayam buat Rumi ya. kebetulan masih ada ayam dan sayuran sisa jualan sayur tadi.” Timah mengangguk pelan.

“Aku istirahat dulu ya. Kepalaku sakit banget.”

“Iya, Bu. Jangan sampai vertigo kamu kambuh. Biar aku yang jaga Arumi.” Pranoto memotong ayam dan meracik bumbu. Tangan dan pikirannya sama-sama sibuk bekerja. Setelah selesai ia membawa makanan itu ke kamar Arumi.

“Rum …” Pranoto mengetuk pintu kamar pelan. Tidak ada jawaban.

“Paman bikinin sup ayam buat kamu.” Tetap hening. Pranoto mendorong handle pintu. Kamar itu tampak lengang dan sunyi.

“Rum!” Pranoto melirik ke kamar mandi. Pintunya terbuka dan kosong. Lelaki itu menaruh baki berisi nasi dan sup di atas meja. Ia membuka lemari pakaian. Isinya hanya tersisa sedikit. Tas yang tadi dipakai Arumi juga sudah tidak ada. Pranoto tampak bingung. Dengan linglung ia keluar dari kamar Arumi, menuju ke kamarnya sendiri di lantai bawah. Ia harus memberitahu Timah, tapi ia takut istrinya itu kaget. Pranoto menatap Timah yang sudah tertidur. Wajah perempuan itu tampak basah karena airmata.

“Bu …” Lelaki itu mengguncangkan tubuh Timah perlahan. Perempuan itu membuka mata.

“Rumi, Bu …” Pranoto tampak bimbang.

“Kenapa Rumi, Pak?”

“Dia … Ngga ada di kamarnya …” Timah bangun dengan terburu-buru.

“Kemana dia, Pak?”

“Bapak ngga tahu, Bu. tadi kamarnya sudah kosong.”

“Coba cari dulu, Pak.” Pranoto pergi dan mencari Arumi di sekitar rumah. Namun ia kembali tanpa mendapatkan hasil. Timah tampak sedang mencoba menghubungi seseorang.

“Nduk, kamu di mana? Cepat kembali. Jangan menambah masalah.”

“Aku akan kembali bersama ayah anak ini, Bi,” balas Arumi di seberang.

“Pulang dulu, Nduk. Kita bicarakan ini bersama.”

“Ngga, Bi. Ini masalah Arumi. Aku akan menyelesaikannya sendiri …”

“Maafkan Bibi, Nduk. Bibi ngga bisa berpikir dengan jernih tadi. Bibi ngga bermaksud mengusir kamu.” Arumi mengusap airmatanya.

“Tolong doakan Rumi ya, Bi,” ucap Arumi sebelum memutus sambungan telepon. Ia menggigit bibir menahan tangis. Menimang kartu nama di tangannya. Perlukah ia menghubungi orang itu?

Arumi hendak mengetikkan sebuah nomor di ponselnya namun di kejauhan ia melihat bus yang sedang ditunggunya sudah tiba. Ia menghela napas. Ia akan mengumpulkan keberanian lagi nanti untuk menghubungi Bastian.

Arumi meraih tas besarnya lalu menyebrang jalan, namun …

Bruaakkkk!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 5

    “Bastian …” Arumi menutup mulutnya tanpa sadar. Di seberang, Bastian menatapnya penuh kerinduan. Suara klakson dan deru kendaraan seakan menjadi lagu latar pertemuan mereka yang saling terdiam di antara dua sisi jalan yang berseberangan.Lampu di seberang Arumi berubah hijau. Bastian melangkah mendekat. Arumi menghitung dalam hati di antara harapan dan kecemasan akan masa depan yang akan ia hadapi.”“Apakah dia takdir yang harus aku jalani?”Bastian tiba di depan Arumi. Berdiri canggung. Ia ingin merangkul, namun belum merasa pantas untuk memeluk perempuan tersebut.“Bagaimana kabarmu?” tanya Bastian sungkan.“Aku … hamil…,” ucap Arumi lirih. Bastian tercengang, namun hanya sejenak.“A-aku akan bertanggung jawab, Arumi. Kita akan menikah.” Arumi merasakan sedikit kelegaan.“Tadi aku habis menemui ibumu.” Bastian tercengang lagi.“Apa yang ia katakan?” Arumi tersenyum sedih.“Sepertinya ia tidak menyukai diriku.” Bastian menggeleng.“Ini bukan tentang saling menyukai, Rumi. Ini tentang

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 4

    Tiiiiinnn!!! Suara klakson yang begitu panjang memekakan telinga. Arumi jatuh terduduk. telapak tangannya terasa perih tergores aspal. Orang-orang berlari menolong. Menanyakan keadaannya. “Mbak, kamu ngga apa-apa?” tanya seorang perempuan muda seumuran dirinya. Ia segera turun dari motor lalu membantu Arumi berdiri dan memapahnya ke pinggir jalan.“Mau saya antar ke Rumah Sakit?” tanyanya khawatir.“Ngga apa-apa, Mbak. Tadi hanya kesenggol dikit.” Orang-orang tampak lega. “Mbak mau kemana?” tanya seorang Bapak yang tadi ikut membantunya.“Saya mau ke …” Arumi mencari kartu nama yang tadi digenggamnya namun ia tampak tertegun. Kartu nama itu terlepas dari tangannya. Arumi melihat berkeliling, namun tak melihat benda kecil itu lagi. Ia segera memeriksa ponselnya, namun hanya tampak layar hitam. “Handphonenya rusak? Mbak perlu menghubungi seseorang?” Lelaki setengah baya itu kembali bertanya.“Iya, Pak,” jawab Arumi lemah.“Mbak hapal nomornya? Pakai saja hape saya.” Arumi menghela na

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 3

    Timah memandang masakannya yang belum tersentuh di atas meja. Ia menghela napas berat.“Padahal aku bikinin masakan kesukaan dia beberapa hari ini, tapi ngga pernah disentuh,” ujar Timah sambil memasukkan lauk itu ke dalam rak.“Mungkin lagi sibuk sama kuliahnya, Bu. Kan ini sudah masuk semester akhir.”“Aku khawatir sama dia, Pak.” Timah duduk di kursi makan lalu duduk merenung. Ayahnya dulu juga ngga cerita apa-apa waktu divonis tumor otak …” Pranoto yang sedang membersihkan kipas angin terdiam. Ia memandang istrinya lama.“Dia itu persis seperti Mas Ghani. Jika ada masalah hanya dipendam sendiri. Bahkan dia ngga cerita saat istrinya selingkuh dan kabur sama lelaki lain …” Timah menghela napas. Terasa dadanya dihimpit sesuatu yang begitu besar. Yang tak mau enyah meskipun ia menghela napas berkali-kali. “Aku khawatir sama Arumi, Pak …” Timah mulai terisak. Pranoto menghela napas. istrinya memang suka berlebihan kalau menyangkut tentang Arumi. Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya la

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 2

    Bastian duduk sambil menangkupkan jemarinya di atas meja. Sementara Freddy yang duduk di sebelahnya tampak meringis kesakitan. Seorang pelayan laki-laki datang sambil membawa baki berisi minuman. ia menyerahkan dua gelas minuman ke hadapan mereka berdua lalu segera pergi dari sana.“Sakit banget pukulan kamu, Bas. Untung gigiku ngga rontok,” ujar Freddy sambil memegangi wajahnya yang memar. Ia menggerak-gerakkan rahangnya yang kaku.“Kalau bukan sahabat lama, bukan cuma gigi kamu yang aku rontokin, Fred,” geram Bastian kesal. Lelaki itu terdiam setelah berkata-kata. Ia menghela napas panjang kemudian termenung menatap gelas kopinya lagi.“Iya, aku minta maaf,” Freddy berkata tanpa rasa bersalah. Ia meraih gelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya seolah tanpa beban.“Kupikir setelah kejadian itu kalian akan semakin dekat.” Bastian menatap sahabatnya itu dengan gusar.“Arumi itu berbeda, Fred. Dia tidak seperti perempuan yang selama ini kita temui.”“Iya, aku tahu. karena itu dia terl

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 1

    Arumi menggerakkan kepalanya perlahan. Matanya masih terpejam rapat. Perlahan ia membuka kelopak yang terasa lengket. Cuping hidungnya mencium aroma asing. Wangi maskulin dan alkohol yang mulai memudar. Hawa dingin dari pendingin ruangan membuat tubuhnya menggigil. Arumi memeluk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia menyadari tubuhnya yang hanya berbalut selimut tipis. Arumi tersentak kaget. Jantungnya seketika berpacu dengan cepat. Ia memeluk selimut tipis itu erat-erat ke tubuhnya yang polos. Matanya menatap nyalang ke sekeliling kamar. “A ... Apa yang terjadi?” lirihnya yang masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi. Tiba-tiba sesuatu bergerak di sebelahnya, membuat Arumi menoleh. Seorang lelaki berbaring di sampingnya. Wajahnya tampak tenang dengan napas yang teratur, menandakan ia yang masih dalam tidur lelapnya. Tubuhnya hanya berkemul selimut tipis yang menutupi bagian bawah tubuh.Arumi terperanjat dan tergesa turun dari ranjang. Gerakan itu membuat sang lelaki terbangun. pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status