Share

Chapter 4

Author: Re Hamayu
last update Last Updated: 2025-11-06 22:43:01

Tiiiiinnn!!! Suara klakson yang begitu panjang memekakan telinga. Arumi jatuh terduduk. telapak tangannya terasa perih tergores aspal. Orang-orang berlari menolong. Menanyakan keadaannya. 

“Mbak, kamu ngga apa-apa?” tanya seorang perempuan muda seumuran dirinya. Ia segera turun dari motor lalu membantu Arumi berdiri dan memapahnya ke pinggir jalan.

“Mau saya antar ke Rumah Sakit?” tanyanya khawatir.

“Ngga apa-apa, Mbak. Tadi hanya kesenggol dikit.” Orang-orang tampak lega. 

“Mbak mau kemana?” tanya seorang Bapak yang tadi ikut membantunya.

“Saya mau ke …” Arumi mencari kartu nama yang tadi digenggamnya namun ia tampak tertegun. Kartu nama itu terlepas dari tangannya. Arumi melihat berkeliling, namun tak melihat benda kecil itu lagi. Ia segera memeriksa ponselnya, namun hanya tampak layar hitam. 

“Handphonenya rusak? Mbak perlu menghubungi seseorang?” Lelaki setengah baya itu kembali bertanya.

“Iya, Pak,” jawab Arumi lemah.

“Mbak hapal nomornya? Pakai saja hape saya.” Arumi menghela napas.

“Saya tidak hapal nomornya.” Dua orang di hadapan Arumi saling pandang.

“Rumah Mbak dimana? Saya antarkan pulang ya?” Arumi terdiam sejenak, kemudian ia teringat sesuatu.

“Burhanuddin Foundation,” ucap Arumi tiba-tiba.

“Burhanuddin Foundation?” Dua orang di hadapan Arumi membeo.

“Iya. Bapak bisa antar saya ke sana?”

“Sebaiknya Mbak ke Klinik atau Rumah Sakit dulu. Lutut Mbak berdarah.” balas gadis yang tadi menolong Arumi.

“Ngga apa-apa. Ngga sakit kok,” ucap Arumi berbohong. 

“Tentu saja bisa.” Lelaki itu segera membawa motornya ke hadapan Arumi. Dengan tertatih ia menaiki boncengan motor dan bersama lelaki setengah baya itu membelah jalan raya hingga berhenti di sebuah bangunan megah dan asri. Arumi membaca plang yang tertempel di pintu gerbang. 

Burhanuddin Foundation

“Ini tempatnya, Mbak.” Arumi turun dan motor dan berdiri di depan bangunan tersebut. 

“Mbak mau saya temani ke dalam?”

“Ngga usah, Pak. terima kasih sudah merepotkan.” Lelaki itu pamit bertepatan dengan sebuah mobil yang berhenti di depan Arumi. Seorang perempuan setengah baya dengan dandanan elegan keluar dari kursi penumpang.

“Belanjaan di belakang tolong segera diangkut ya. Saya ngga mau ada yang kurang saat pemberian donasi nanti. Itu kan diliput TV Nasional. Oh ya, gaun untuk acara penggalangan dana sebaiknya yang warna putih saja biar terkesan sederhana. Lalu yang untuk acara penghargaan perempuan berpestasi, carikan kebaya warna merah muda.” Perempuan itu dan beberapa asistennya berjalan melewati Arumi. Tiba-tiba ia terdiam seakan menyadari sesuatu. Ia segera berbalik menghampiri Arumi dan tersenyum penuh simpati. Senyum yang  biasa ia bagikan di layar kaca. Seseorang menyalakan kamera, merekam pertemuan mereka.

“Cantik sekali” Ia tersenyum ramah. Namun keramahan itu membuat Arumi tidak nyaman.

“Siapa nama kamu?” 

“A-Arumi,” jawabnya tergagap.

“Oke. Ada yang bisa Bunda bantu, Arumi?”

“Saya dari kampus … kampus saya pernah mengadakan bakti sosial dengan klinik Bastian.” Lenny tertawa pelan.

“Anak itu … Jiwa sosialnya memang tinggi. Seperti Bunda. Lalu apa yang bisa Bunda bantu sekarang?” Arumi menatap orang-orang di sekeliling mereka yang telah siap dengan kamera di tangan.

“Saya mau bicara tentang Bastian, Bunda.” Lenny Burhanuddin Melirik para asistennya. Tanpa kode apapun mereka paham apa yang diinginkan nyonya besar. Kamera segera dimatikan. 

Lenny berjalan ke dalam gedung, para asisten berjalan menjauh.  Arumi mengikuti dengan tertatih. Ia duduk di sebuah sofa abu-abu dengan canggung. Sekilas perempuan itu memandang ruangan dengan interior yang sangat estetik tersebut.

“Katakan apa tujuan kamu ke sini?” Arumi sudah melupakan nada ramah dan hangat dari perempuan di hadapannya.

Arumi menunduk, ragu-ragu untuk memberitahukan Lenny. Namun akhirnya ia meneguhkan hati.

“Saya hamil, Bunda … Anak Bastian …” Suara Arumi bergetar, namun cukup jelas untuk sampai ke cuping telinga Lenny.

Tatapan Lenny perlahan turun dari ujung kepala hingga ujung kaki perempuan di hadapannya. Menilai harga barang yang melekat di tubuh Arumi. Kemudian ia tertawa sinis.

“Lucu,” komentarnya singkat.

“Seorang gadis sederhana tiba-tiba datang dan mengaku hamil anakku,” ucapnya lagi dengan dingin.

“kamu tahu kan siapa Bastian itu? Lelucon konyol ini tidak mempan untuk saya.” Lenny melipat tangannya ke dada sambil bersandar pada sofa. 

“Pemilihan kepala daerah akan dimulai. Siapa yang mengutusmu? Apakah paslon saingan saya? Saya bisa memberikanmu lebih banyak dari mereka, asal kamu mengikuti arahan saya.” Arumi menggeleng kikuk. 

“Tidak ada, Bunda. Ini hanya permasalahan kami. Bastian bersedia bertanggung jawab. Tapi hape saya rusak, dan saya kehilangan kontaknya.” Lenny berdiri. Matanya berkilat marah.

“Dengar, Arumi! Jangan coba-coba menghancurkan nama baik keluarga saya. Saya bisa bawa kamu ke penjara atas dugaan tuduhan palsu.” Arumi tercekat. Tidak menyangka respon yang akan ia terima.

“Bunda, saya tidak bohong … Saya –”

“Cukup!” Lenny menepiskan tangan Arumi dengan kasar.

“Pak Yanto!” Seorang sekuriti datang menghampiri. Lenny tersenyum pada sekuriti tersebut.

“Urusan kami sudah selesai. Tolong antar Mbak Arumi keluar,” ucapnya lembut. Dalam sekejap sikapnya langsung berubah.

“Berikan paket sembako buat keluarga Mbak Arumi di rumah,” perintahnya lagi, lalu ia berkata kepada Arumi sambil tersenyum hangat.

“Hati-hati di jalan. Maaf ya, Bunda tidak bisa mengantar.” ia segera berlalu dan sekuriti segera menunjukkan jalan kepada Arumi untuk pergi dari sana. Perempuan itu berjalan dengar tertatih. Ia berjalan keluar dengan lunglai. Sekuriti tadi menyerahkan sebuah kotak.

“Ini dari Bunda. Jangan lupa untuk pilih Bunda di pilkada nanti ya, Mbak. Biar Bunda Lenny selalu membersamai orang-orang kecil seperti kita,” ujar sekuriti itu tanpa henti.

“Hati-hati ya, Mbak, di jalan.”  Arumi menerima kotak besar tersebut tanpa bicara. Tampaknya ia sudah terlalu lelah menghadapi Lenny Burhanuddin. Sekuriti menatap punggung Arumi yang perlahan menjauh. 

“Minta orang untuk menyelidiki gadis itu,” perintah Lenny yang ternyata sudah berdiri di sebelah lelaki tersebut.

“Tapi dia sepertinya baik, Bun.” Lenny melirik dengan ekor matanya.

“”Tugas kamu hanya mengikuti perintah saya. Bukan berargumen.” Lelaki paruh baya itu menunduk hormat.

“Siap, Bunda!”

“Lenny menatap lagi punggung Arumi yang semakin mengecil di kejauhan.

“Aku tidak mau menyimpan duri dalam daging. sebaiknya dihilangkan sekalian.” Lenny menatap lagi punggung Arumi yang semakin mengecil di kejauhan. Firasatnya mengatakan jika gadis itu akan menjadi ancaman besar untuk keluarga dan karir politik  yang sedang dibangunnya.

Sementara itu Arumi berjalan tak tentu arah. Kotak sembako di tangan semakin menambah berat langkahnya

Ia berhenti di sebuah toko. Menatap bayangan dirinya yang memantul di balik kaca etalase. Wajahnya kini terasa asing. Tampak pasi dengan bibir kering dan kulit yang pucat.

“Siapa seseorang di balik sana? Bahkan aku tidak mengenali diriku lagi.” 

Arumi menunduk. Tangannya terulur mengusap perutnya yang masih datar.

“Kamu ngga salah, tapi aku hanya bingung … Apa yang harus aku lakukan sekarang?”

Arumi menghela napas panjang. Mencoba menenangkan diri.

“Aku ngga bisa pulang sekarang. Sampai aku bisa membawa Bastian ke hadapan Paman dan Bibi untuk bertanggung jawab.”

Arumi menarik napas panjang, lalu melanjutkan langkahnya kembali. menyusuri trotoar panjang yang sepi. Ia tiba di persimpangan dan menatap ke seberang jalan. Langkahnya terhenti.

Seseorang berdiri di sana. Di bawah lampu jalanan. Menatap Arumi lekat-lekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 5

    “Bastian …” Arumi menutup mulutnya tanpa sadar. Di seberang, Bastian menatapnya penuh kerinduan. Suara klakson dan deru kendaraan seakan menjadi lagu latar pertemuan mereka yang saling terdiam di antara dua sisi jalan yang berseberangan.Lampu di seberang Arumi berubah hijau. Bastian melangkah mendekat. Arumi menghitung dalam hati di antara harapan dan kecemasan akan masa depan yang akan ia hadapi.”“Apakah dia takdir yang harus aku jalani?”Bastian tiba di depan Arumi. Berdiri canggung. Ia ingin merangkul, namun belum merasa pantas untuk memeluk perempuan tersebut.“Bagaimana kabarmu?” tanya Bastian sungkan.“Aku … hamil…,” ucap Arumi lirih. Bastian tercengang, namun hanya sejenak.“A-aku akan bertanggung jawab, Arumi. Kita akan menikah.” Arumi merasakan sedikit kelegaan.“Tadi aku habis menemui ibumu.” Bastian tercengang lagi.“Apa yang ia katakan?” Arumi tersenyum sedih.“Sepertinya ia tidak menyukai diriku.” Bastian menggeleng.“Ini bukan tentang saling menyukai, Rumi. Ini tentang

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 4

    Tiiiiinnn!!! Suara klakson yang begitu panjang memekakan telinga. Arumi jatuh terduduk. telapak tangannya terasa perih tergores aspal. Orang-orang berlari menolong. Menanyakan keadaannya. “Mbak, kamu ngga apa-apa?” tanya seorang perempuan muda seumuran dirinya. Ia segera turun dari motor lalu membantu Arumi berdiri dan memapahnya ke pinggir jalan.“Mau saya antar ke Rumah Sakit?” tanyanya khawatir.“Ngga apa-apa, Mbak. Tadi hanya kesenggol dikit.” Orang-orang tampak lega. “Mbak mau kemana?” tanya seorang Bapak yang tadi ikut membantunya.“Saya mau ke …” Arumi mencari kartu nama yang tadi digenggamnya namun ia tampak tertegun. Kartu nama itu terlepas dari tangannya. Arumi melihat berkeliling, namun tak melihat benda kecil itu lagi. Ia segera memeriksa ponselnya, namun hanya tampak layar hitam. “Handphonenya rusak? Mbak perlu menghubungi seseorang?” Lelaki setengah baya itu kembali bertanya.“Iya, Pak,” jawab Arumi lemah.“Mbak hapal nomornya? Pakai saja hape saya.” Arumi menghela na

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 3

    Timah memandang masakannya yang belum tersentuh di atas meja. Ia menghela napas berat.“Padahal aku bikinin masakan kesukaan dia beberapa hari ini, tapi ngga pernah disentuh,” ujar Timah sambil memasukkan lauk itu ke dalam rak.“Mungkin lagi sibuk sama kuliahnya, Bu. Kan ini sudah masuk semester akhir.”“Aku khawatir sama dia, Pak.” Timah duduk di kursi makan lalu duduk merenung. Ayahnya dulu juga ngga cerita apa-apa waktu divonis tumor otak …” Pranoto yang sedang membersihkan kipas angin terdiam. Ia memandang istrinya lama.“Dia itu persis seperti Mas Ghani. Jika ada masalah hanya dipendam sendiri. Bahkan dia ngga cerita saat istrinya selingkuh dan kabur sama lelaki lain …” Timah menghela napas. Terasa dadanya dihimpit sesuatu yang begitu besar. Yang tak mau enyah meskipun ia menghela napas berkali-kali. “Aku khawatir sama Arumi, Pak …” Timah mulai terisak. Pranoto menghela napas. istrinya memang suka berlebihan kalau menyangkut tentang Arumi. Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya la

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 2

    Bastian duduk sambil menangkupkan jemarinya di atas meja. Sementara Freddy yang duduk di sebelahnya tampak meringis kesakitan. Seorang pelayan laki-laki datang sambil membawa baki berisi minuman. ia menyerahkan dua gelas minuman ke hadapan mereka berdua lalu segera pergi dari sana.“Sakit banget pukulan kamu, Bas. Untung gigiku ngga rontok,” ujar Freddy sambil memegangi wajahnya yang memar. Ia menggerak-gerakkan rahangnya yang kaku.“Kalau bukan sahabat lama, bukan cuma gigi kamu yang aku rontokin, Fred,” geram Bastian kesal. Lelaki itu terdiam setelah berkata-kata. Ia menghela napas panjang kemudian termenung menatap gelas kopinya lagi.“Iya, aku minta maaf,” Freddy berkata tanpa rasa bersalah. Ia meraih gelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya seolah tanpa beban.“Kupikir setelah kejadian itu kalian akan semakin dekat.” Bastian menatap sahabatnya itu dengan gusar.“Arumi itu berbeda, Fred. Dia tidak seperti perempuan yang selama ini kita temui.”“Iya, aku tahu. karena itu dia terl

  • Ditinggal Usai melahirkan, Jatuh ke Pelukan CEO Skin care   Chapter 1

    Arumi menggerakkan kepalanya perlahan. Matanya masih terpejam rapat. Perlahan ia membuka kelopak yang terasa lengket. Cuping hidungnya mencium aroma asing. Wangi maskulin dan alkohol yang mulai memudar. Hawa dingin dari pendingin ruangan membuat tubuhnya menggigil. Arumi memeluk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia menyadari tubuhnya yang hanya berbalut selimut tipis. Arumi tersentak kaget. Jantungnya seketika berpacu dengan cepat. Ia memeluk selimut tipis itu erat-erat ke tubuhnya yang polos. Matanya menatap nyalang ke sekeliling kamar. “A ... Apa yang terjadi?” lirihnya yang masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi. Tiba-tiba sesuatu bergerak di sebelahnya, membuat Arumi menoleh. Seorang lelaki berbaring di sampingnya. Wajahnya tampak tenang dengan napas yang teratur, menandakan ia yang masih dalam tidur lelapnya. Tubuhnya hanya berkemul selimut tipis yang menutupi bagian bawah tubuh.Arumi terperanjat dan tergesa turun dari ranjang. Gerakan itu membuat sang lelaki terbangun. pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status