Share

Bab 2

Author: Tina
Aku tertawa pahit pada diriku sendiri. Jadi, ini rupanya urusan mendesak yang harus segera ia selesaikan?

Dengan marah aku mengambil sebuah bangku dan melemparkannya ke dinding, menghancurkan foto pernikahan kami yang tergantung di sana. Lalu aku memanggil petugas kebersihan dan meminta mereka membuang semua barang di kamar ini yang berkaitan dengan Candra.

Keesokan paginya, seperti biasa, aku bangun, merias wajahku tipis-tipis, dan berangkat kerja. Aku memang membiarkan diriku bersedih karena cinta, tapi aku tidak akan terpuruk karena hal itu.

Mungkin akhir-akhir ini aku memang sedang sial. Dalam perjalanan ke kantor, sebuah mobil yang melanggar aturan pindah jalur menabrakku, membuat kakiku cedera. Aku langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dirawat. Dan di sana, aku justru berpapasan dengan Candra yang sedang turun tangga sambil merangkul Luna.

Saat mata kami bertemu, Candra buru-buru menarik tangannya dari bahu Luna dan bertanya dengan nada cemas, “Feli, kamu kenapa?”

Aku hanya menjawab datar, “Tidak apa-apa, cuma kecelakaan kecil. Kakiku sedikit cedera.”

Mendengar itu, Candra langsung sibuk mengurusku, dia mengantre, mengambil hasil rontgen, sampai mengambil obat.

Luna melirikku dengan mata penuh kecemburuan, lalu berkata dengan nada menantang, “Feli, pernikahan kalian batal. Itu berarti aku yang menang.”

“Tapi sepertinya aku meremehkanmu, ternyata kamu bisa bertahan sejauh ini. Hanya saja kalau kamu pikir dengan begini kamu bisa tetap berada di sisi Kak Candra, itu kesalahan besar.”

Aku dan Candra bertemu saat kuliah. Waktu itu hujan turun saat kami berada di perpustakaan, dan kami berbagi satu payung. Dari situlah semuanya dimulai. Kelembutan dan perhatian khusus dari Candra pelan-pelan membuat hatiku jatuh kepadanya.

Lima tahun kami bersama. Kami layaknya pasangan teladan di kampus. Aku yakin hubungan kami akan berlanjut menuju altar pernikahan.

Tapi kemudian, Luna, sahabat masa kecil Candra, kembali dari luar negeri dengan perut yang sedikit membesar. Luna hamil empat bulan. Dengan kehamilannya itu, ia datang dan memaksa masuk di hubungan kami.

“Feli, percaya tidak? Selama aku masih ada, Kak Candra tidak akan menikah denganmu,” ucap Luna kala itu.

Awalnya aku menertawakan ucapannya. Aku dan Candra sudah menjalin hubungan lima tahun, sudah banyak kenangan dan cinta kami sangat dalam. Sedangkan dia, hamil di luar nikah, mengandung anak pria lain. Mustahil Candra akan meninggalkanku demi orang seperti itu.

Sampai hari pernikahan kami tiba. Hari itu menjadi tamparan keras yang menyadarkan aku. Tapi meski aku kalah, aku tidak akan membiarkannya terlalu berbangga diri.

Aku menatapnya dan berkata dingin, “Nona Luna, bagaimanapun juga aku adalah tunangan resmi Candra. Apa statusmu sampai berani berbicara seperti itu padaku?”

“Sekarang jadi selingkuhan itu profesi yang membanggakan, ya?”

Luna mengangkat dagunya dan berkata, “Yang tidak dicintai, dialah selingkuhan.”

Pada saat itu, lantai tiba-tiba berguncang.

“Gempa bumi!” teriak seseorang.

Candra yang sedang mengantre obat langsung berlari ke arah kami, menarik lengan Luna dan buru-buru mengajaknya lari keluar.

Luna dengan panik mengingatkannya, “Kak, bayinya…”

Candra langsung berbalik, berlari naik ke lantai atas untuk mengambil bayi itu, kemudian kembali membawa Luna pergi.

Mataku terus mengikuti sosoknya, tapi dari awal sampai akhir, Candra tidak menoleh ke arahku barang sekali. Saat itu, aku harus mengakui, lima tahun hubungan kami itu, saat di hadapkan dengan Luna, sama sekali tidak berarti apa pun.

Aku bukan kalah dari Luna. Aku kalah dari Candra.

Hingga guncangan berhenti, barulah Candra seolah teringat keberadaanku. Ia melawan arus orang-orang dan berjalan ke arahku.

Dengan ragu-ragu ia berkata, “Feli, tadi aku terlalu panik karena bayinya… jadi aku mengabaikan kamu…”

Aku tersenyum getir. “Tidak apa-apa, tentu saja bayi lebih penting.”

Mendengar aku memakluminya, wajah Candra terlihat lega. “Feli, untunglah kamu mengerti. Aku antar kamu pulang, ya.”

Namun saat itu, bayi yang berada di gendongan Luna menangis keras. Luna memandang Candra dengan mata berkaca-kaca. “Kak, sepertinya bayinya ketakutan…”

Kilatan cemas langsung memenuhi mata Candra. Ia segera berbalik. “Aku antar Luna dan anaknya ke atas dulu, kamu tunggu sebentar di sini.”

Aku terdiam dan mengangguk. Begitu mereka naik, aku langsung berbalik dan pergi.

'Candra, aku tidak akan menunggumu lagi.'
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditinggal di Pelaminan   Bab 8

    Candra memasang spanduk raksasa di depan gedung perusahaan Irfan, memaki-maki Irfan sebagai laki-laki simpanan yang merebut tunangannya dengan mengandalkan kekuasaan dan status. Tindakan Candra itu dengan cepat memicu simpati sekelompok besar pengguna internet yang membenci orang kaya.[Aku paling muak sama anak orang kaya. Mereka cuma kebetulan lahir di keluarga yang benar, apa hebatnya?][Uang mereka itu uang kotor. Asal kita semua kompak tidak beli produk mereka, cepat atau lambat mereka akan bangkrut!][Merebut tunangan orang adalah dosa besar! Mulai hari ini aku boikot Grup Mahesa!]Perusahaan di bawah nama Irfan langsung terkena boikot massal, sahamnya juga anjlok. Karena itu, kami terpaksa mengakhiri bulan madu dan segera pulang untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan Candra.Saat aku pulang, Candra masih berdiri di depan gedung Grup Mahesa, memegang spanduk sambil berteriak-teriak. Begitu melihat aku turun dari mobil, matanya langsung berbinar dan ia berlari ke arahku.Ir

  • Ditinggal di Pelaminan   Bab 7

    Aku langsung memutar bola mata dan berkata, “Maaf ya, aku menolongmu murni karena aku punya hati yang baik. Lagi pula, aku punya pacar. Aku tidak punya perasaan apa pun padamu.”Saat itu aku sudah berpacaran dengan Candra selama dua tahun dan hubungan kami stabil. Mana mungkin aku diam-diam menyukai pria seperti dia, seorang pria yang hidup seenaknya dan suka mempermainkan perasaan wanita.Namun sejak hari itu, Irfan sering muncul di hadapanku membawa berbagai macam hadiah. Ponsel keluaran terbaru, 999 mawar merah, tiket konser, semuanya tiba-tiba muncul bergantian di hadapanku. Dalam sekejap aku menjadi pusat perhatian di kampus, ke mana pun aku pergi orang-orang membicarakan tentangku.Akhirnya pada suatu hari, aku benar-benar tak tahan dan melepas amarahku.“Irfan, sebenarnya apa mau kamu? Aku menolongmu dan sudah menerima uang sebagai ucapan terima kasih. Tapi apa yang kamu lakukan ini benar-benar membuatku terganggu!”Tapi wajah Irfan tetap memancarkan senyum santai khas pria itu.

  • Ditinggal di Pelaminan   Bab 6

    Saat mata kami saling bertemu, tatapan Irfan yang mengandung senyum dan intens membuat wajahku langsung memanas. Aku segera bangkit dari tempat tidur. “Tidak usah, aku masih punya tenaga untuk makan, aku sendiri saja.”Mie buatan tangan yang kenyal diselimuti kuah kental yang harum, begitu masuk mulut rasanya sampai membuat lidahku hampir terbang.Selama aku makan, Irfan hanya menatapku dengan penuh rasa sayang. Ia bahkan mengangkat tangan dan mengusap lembut rambutku. “Pelan-pelan saja, tidak ada yang merebut.”Setelah semangkuk mie habis, sorot mata Irfan yang menatapku menjadi semakin dalam.“Sudah kenyang? Kalau begitu sekarang kita bisa melakukan hal yang paling penting.” Katanya.Mendengar kata-kata itu di situasi seperti ini jelas membuat jantungku berdebar tak menentu. Tapi aku juga tahu, kalau aku terus menolak atau menunda, itu berarti aku ini cari perhatian.Aku berdiri, seperti seorang prajurit yang siap menghadapi takdir. “Tunggu sebentar, aku mandi dulu.”Irfan tersenyum

  • Ditinggal di Pelaminan   Bab 5

    Aku sendiri tak menyangka, hanya dalam waktu satu bulan, Irfan bisa mempersiapkan pernikahan ini begitu megah dan meriah. Dekorasi pernikahannya penuh dengan mawar segar berwarna merah muda, membuat seluruh aula beraroma bunga yang lembut. Dari langit-langit, lampu kristal mewah menjuntai, memancarkan kilau yang memesona.Irfan mengenakan setelan jas hitam. Ia duduk di depan piano, memainkan lagu Mariage d’Amour sebagai pembukaan pernikahan ini. Harus kuakui, ini benar-benar seperti pernikahan yang selalu aku bayangkan. Usai memainkan piano, Irfan berjalan perlahan ke arahku, menundukkan tubuh dengan sopan, lalu mengulurkan tangan kirinya. Aku menahan rasa gugup, lalu meletakkan tangan kananku di atas tangannya.Saat jari kami saling menggenggam, ia menuntunku berjalan menuju altar.Ia menatapku lekat, kemudian dengan suara yang mantap dia berkata, “Feli, kali ini kamu sendiri yang memberikan tanganmu padaku. Kamu tidak punya kesempatan untuk kembali dan menyesali ini.”Aku menatapny

  • Ditinggal di Pelaminan   Bab 4

    Di pesta satu bulan anak Luna.Beberapa sahabat dekat Candra bersiul dan menggoda, “Kak Candra, kamu ternyata diam-diam hebat juga, ya! Kami pikir kamu akan menikah dengan Feli, ternyata kamu main sembunyi-sembunyi sama si ‘adik kecil’ itu sampai punya anak segala.”“Serius, kamu nggak merasa rugi meninggalkan Feli? Jelas-jelas dia jauh lebih cantik daripada si adik kecilmu itu.”Mendengar ocehan mereka, alis Candra langsung mengernyit. “Kalian bicara apa sih? Siapa bilang aku menjalin hubungan dengan Luna dan mencampakkan Feli?”Mendengar itu, mereka menjadi semakin bingung. “Lho, bukannya kamu sendiri yang bilang kamu ayah anak itu?”Candra buru-buru menjelaskan, “Aku selalu menganggap Luna seperti adik sendiri. Anak itu tidak ada ayah sejak dia lahir. Supaya mereka tidak dipandang rendah orang, aku jadi ayah baptisnya.”“Aduh kak Candra, kalau begitu kenapa tidak bilang sejak tadi? Kami kira ini anak kandungmu soalnya kamu heboh sekali mengurus mereka.”“Lalu Feli ke mana? Kenapa di

  • Ditinggal di Pelaminan   Bab 3

    Setelah beristirahat dua hari di rumah dan memulihkan cedera kakiku, aku kembali bekerja seperti biasa. Yang tidak aku duga adalah, sepulang kerja aku melihat Luna sedang menggendong anaknya di rumahku.Saat melihatku, wajahnya penuh kemenangan, lalu dia berkata dengan nada bangga, “Nona Feli, kamu sudah pulang? Kak Candra khawatir tidak ada yang merawatku setelah keluar dari rumah sakit, jadi dia membawaku dan bayiku ke sini.”Pandangan mataku jatuh pada piyama yang ia kenakan, sontak aku menggertakkan gigi. “Lepaskan itu, siapa yang mengizinkanmu memakai pakaianku!”Luna meletakkan bayinya, lalu berjalan mendekat padaku dengan senyum semakin besar. “Tentu saja Kak Candra yang mengizinkan.”“Bukan hanya bajumu, semua milikmu akan aku rebut!”Selesai bicara seperti itu, tanpa diduga Luna menamparku. Aku langsung membalas, tapi tubuhnya malah limbung seperti layang-layang putus dan jatuh terjerembap ke belakang.Lalu ia menangis keras. “Nona Feli, aku tidak sengaja memakai bajumu…”“Non

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status