공유

Pemotretan

작가: Bun say
last update 최신 업데이트: 2023-04-25 08:37:50

Bab 7

Pemotretan 

Aku melamun sambil memikirkan Mas Andra. Sudah tiga hari pria itu tidak pulang ke rumah.

Aku pun terpaksa memanfaatkan beras seliter dengan membuat bubur tiap hari. Lumayan bisa menghemat, meski makannya tanpa lauk.

Ketukan pintu seketika membuatku terduduk setelah menyusui Farel dan membuatnya kembali terlelap dalam tidur.

Segera mengambil pashmina instan. Aku melangkah menuju ke arah pintu, dan sengaja menutupi mukaku. Agar orang-orang tidak semakin memandang jijik. Apalagi wajahku sekarang sedang dalam masa parah-parahnya, di mana kulit terasa perih  dan semakin memerah. Bahkan sekedar terkena hembusan kipas angin saja, rasanya seperti disayat-sayat.

"Bu Aisyah?"

"Ya Mbak Ani. Ayo masuk." Wanita itu adalah pekerja di rumah Bu Indria. Aku tak mengerti ada apa wanita itu siang-siang  datang ke rumahku.

Wanita itu langsung menggeleng dengan senyumnya yang ramah.

"Bu Aisyah dipanggil oleh Bu Indria. Sekarang juga disuruh ke rumahnya. Jangan lama-lama, tapi katanya penting," ujar wanita itu sambil berlalu. Setelahnya aku mengangguk  kemudian segera mengambil wudhu dan dengan air yang kuambil sejak sebelum waktu subuh tiba.

Setelah menunaikan kewajibanku, segera mengganti baju dengan pakaian yang lebih layak, lalu menggendong Farel yang  masih terlelap di dalam buaian mimpi.  

Kupikir rasa penasaranku akan segera terobati setelah aku datang ke rumahnya.

Benar saja, beberapa mobil terparkir rapi di dekat gerbang. Aku melangkah masuk setelah Mbak Ani menyambut di dalam pintu gerbang.

"Bu Indria dan yang lainnya sudah menunggu Bu Aisyah di dalam," ujarnya sambil berlalu ke jalan belakang. Mungkin ingin memastikan aku datang atau tidaknya.

"Nah itu orangnya sudah datang!" Bu Indria beranjak bangun dari rebahannya. Menatap ke arahku dan melambaikan tangan agar aku duduk di sampingnya.

Ada lima  orang pria yang tampak duduk di kursi lainnya, sambil memainkan ponsel. Dan langsung menaruh ponsel itu di saku mereka ketika menatap ke arahku, dan sesekali menatap Ibu Indria.

"Ini yang mau jadi model kita?"  tanya salah satu pria berkemeja putih sambil menatap ke arahku, dan setelahnya mengerutkan alis. Aku yang merasa diri ini hina dan tak layak, hanya menunduk saja dan tak berani untuk mengangkat wajah.

"Iya, dia Aisyah. Wajahnya cukup cantik, dan kamu bisa lihat, bodinya juga cukup bagus dengan ukuran baju yang akan diperagakannya!" Bu Indria menjelaskan.

"Tapi nggak dengan wajah dan kulitnya," ujar pria itu memindai ke arahku, yang rasanya seperti ditelanjangi. Saat  ditatap oleh lima orang pria yang dua diantaranya bersikap lebai dan gemulai.

Bu Indria mengambil kipas di atas meja, kemudian menutupi wajahku dengan senyum yang terus saja berhias di wajahnya. Benar-benar perempuan kaya yang tenang dan kalem.

"Lihat, bukankah Aisyah tampak cantik jika ditutupi.  Kulit tangannya bisa kita samarkan dengan lotion dan efek kamera. Sedangkan wajahnya, seperti yang klien inginkan, harus di blur, bukan? Jadi orang tidak ada yang mengetahui bagaimana bentuk wajah sebenarnya. Meskipun ya, wajah Aisyah saat ini memang masih terkena infeksi dan baru mulai pengobatan. Tapi percayalah, dua minggu kemudian wajah yang infeksi ini akan berubah menjadi wajah yang sangat cantik."

 Entah kenapa perkataan Bu Indria itu membuatku terharu, sekaligus kembali menyemangatiku agar aku tidak rendah diri dengan keadaanku saat ini. Tak ada rasa jijik saat Bu Indria melihat keadaanku yang cukup memprihatinkan ini. Seluruh kulit yang burik, serta wajah yang infeksi dan baru saja diobati. 

"Baiklah, karena ini sifatnya urgent dan kita harus mempostingnya dalam dua hari ini, ya sudahlah, terpaksa  lagian beberapa model yang cantik nggak mau jika wajahnya di blur," tutur seorang pria.

"Yups, kita tidak membutuhkan wajahnya. Kita hanya butuh Aisyah memperagakan baju saja."  Bu Indria terlihat membelaku.

"Baiklah jika itu keputusanmu, aku ngikut aja," tukas pria berkaos hitam sambil berdiri kemudian mengotak-atik kameranya. 

"Mbak tolong asuh dulu anaknya, ya."   Bu Indria berbicara kepada wanita yang bernama Ani tersebut, yang langsung datang tergopoh dan meraih Farel dari gendonganku. Berterima kasih sebentar kemudian Bu Indria mengajakku masuk ke salah satu kamarnya. Aku pasrah mengikuti apapun kemauan wanita itu.

"Aisyah, kamu sudah mandi?"  tanya Bu Indria. Aku mengangguk. Karena memang sudah rutin mandi tiap pagi.

"Baguslah, sekarang Marry akan meriasmu." Wanita itu melirik seorang pria yang melenggang masuk dan berdiri di belakangku.

"Coba sini duduk!"  perintah pria itu dengan langkah gemulai. Aku menurut dan mulai duduk di meja rias.

"Wajahnya tidak perlu dirias sementara waktu," Bu Indria mengingatkan.

"Ya nggaklah, masa wajah yang rusak begitu aku rias, gimana sih? Aku cuma mau membalurkan riasan di kedua tangannya, agar buriknya itu tidak terlalu kelihatan," ucapnya dengan gaya dibuat semanja mungkin, membuatku sedikit geli. Kok ada pria yang berpenampilan seperti itu ya.

"Baiklah, terserah apa katamu. Yang penting buat Aisyah nyaman saja."  Sekilas Bu Indria melambai padaku sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua. Dan membuatku sedikit risih, apalagi pria itu terus menekan ujung telunjuknya di dagunya sambil memindai penampilanku.

"Kamu pasti akan kembali cantik jika kamu wajahmu sudah sehat nanti." Aku terkekeh mendengar pujiannya. 

"Makasih."

"Oh ya, kenapa wajahmu sampai seperti itu?  Dan lihat kulitmu ini, yey menjijikkan sekali. Umh, 

 apa kamu punya penyakit kulit sebelumnya, atau apa itu?"

Aku mendesah berat enggan mengeluarkan suara.  Kenapa dua berpikir jika aku punya penyakit kulit.

Aku pun menjelaskan kepada pria yang mengaku bernama Merry itu, yang sejatinya adalah nama perempuan bukan?

*****

Beberapa orang langsung terfokus ke arahku. Memindai penampilan dari atas ke bawah, saat aku mengenakan kerudung mahal dengan gaun yang cukup mewah.

"Kamu nanti berdiri di sana, dekat bunga dan kaca jendela itu. Pasti akan sangat menarik." Pria itu mengarahkan padaku untuk berpose. 

"Sebenarnya betul badan kamu bagus, meskipun wajah  dan kulit kamu itu burik," ujar Merry lagi, memuji sekaligus menghina di saat bersamaan. Dan lagi-lagi aku tidak bisa membalas ucapannya. Dia benar, dan aku tak tersinggung sama sekali.

Pemotretan itu berjalan hampir dua jam lamanya. Beruntung Farel hanya sekali menyusu dan ada beberapa jeda, lalu terlelap lagi. Anak itu benar-benar mendukung pekerjaanku. Aku sangat bersyukur. Meski dia tak mendapat kasih sayang ayahnya sejak lahir, tapi Farel jadi bayi yang Sholeh, insya Allah.

Sesekali mereka memeriksa saat melihat tampilan di layar yang mereka gunakan untuk membidikku beberapa saat yang lalu. Karena mereka semuanya hanya mengangguk angguk tenang tak bersuara, sepertinya mereka cukup puas dengan hasilnya. Semoga saja itu benar.

  Entah jika mereka ingin mengulangi pemotretan beberapa kali lagi. Aku menurut saja, yang penting mereka puas dan aku dapat bayaran yang lumayan

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Ditinggalkan Karena Burik   Akhir Segalanya

    Bab 33 Akhir Segalanya Berjalan dengan mengendap-ngendap, aku masuk ke rumah yang belakangan ini menjadi tempat tinggalku bersama dengan Aisyah. Berharap wanita itu tidak mengetahui kepergianku ke rumah Anisa. Bahkan dengan keadaanku yang seperti ini, rasanya aku enggan untuk berbicara dengan wanita itu untuk sementara waktu, karena pasti Aisyah akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Dari mana kamu, Mas?" Deg! Suara Aisyah terdengar dari balik pintu. Wanita itu menatapku dengan penuh selidik."Aku–" Sial. Aku tak sempat memikirkan alasan dari mana kepergianku, apalagi dengan keadaanku yang terluka seperti ini akibat ulah si Malik tadi. Aisyah pasti curiga."Jangan katakan jika seseorang membegalmu lagi di jalan, karena alasan itu sudah basi untukku, Mas." Duh, bagaimana ini. Sangat sulit mencari alasan di saat aku tidak bisa berpikir jernih."Eh, tadi aku bertemu dengan teman, tak disangka dia mar

  • Ditinggalkan Karena Burik   Pria Asing

    Bab 32 Pria Asing Seketika ibu melongo. Saat aku dan Aisyah menatap wajahnya dengan serius. Seperti tengah mencari alibi, wanita itu masam-mesem dengan matanya yang melirik ke sana kemari."Eh itu–""Sudahlah, Bu. Tidak usah berbohong lagi. Ayah mertua juga sebenarnya sudah sehat. Jadi sebaiknya ibu bawa pulang saja daripada terus-terusan tinggal di rumah sakit, kan tidak enak," ujar Aisyah lagi. Ada raut nada tidak suka dari penjelasannya barusan. Mungkin wanita itu kecewa karena oleh ibuku yang terus membohonginya. Sedangkan aku juga tidak bisa berbuat apa-apa karena ini murni adalah kesalahan ibu.Tidak dapat berkata-kata lagi, Ibu akhirannya membungkam mulutnya. Setelahnya kuajak dia menemui dokter untuk mengajak ayahku pulang. Sepanjang perjalanan Aisyah tidak bersuara. Ibu juga sepertinya merasa malu kepada wanita itu. Saat melewati restoran Padang kesukaannya wanita itu hanya bisa menelan ludah

  • Ditinggalkan Karena Burik   Pria Tidak Bertanggung Jawab

    Bab 31 Pria Tidak Bertanggungjawab Kuparkirkan mobilku di halaman. Motor Mas Andra masih ada di sana seperti tadi pagi. Berarti pria itu tidak pergi kemanapun seharian ini. Begitu pintu terbuka, pria itu sudah menodongku dengan keberadaannya. Mengagetkan sekali."Assalamualaikum," ucapku. Terlihat pria itu senyam-senyum sendiri seperti menginginkan sesuatu."Aisyah, kamu sudah pulang? Ayo duduk sini." Bukannya menjawab salamku, pria itu malah mengajakku duduk di sofa. Dari raut wajahnya saja sudah kelihatan jika dia memiliki maksud lain."Ada apa Mas?" Kuikuti kemauannya. Dan bersiap mendengar maksudnya. Padahal aku ingin segera bertemu dengan Farel."Aisyah, tadi ibu minta uang  lima belas juta. Kamu tahu kan jika mas sedang sedang cuti sekarang. Sedangkan waktu itu uang mas dipake sama kamu sebanyak empat puluh lima juta. Jadi, bisa kan kamu ngasih dulu ke ibu. Nanti jika mas udah kerja

  • Ditinggalkan Karena Burik   Bingung

    Bab 30Rasa kesal memenuhi pikiranku. Uang di atm-ku pasti sisanya tidak jauh dari 30 juta. Jika aku harus memberikannya kepada ibu untuk pengobatan ayah, tentu nilainya akan kembali berkurang setengahnya. Sedangkan aku entah kapan kembali bekerja, mengingat sekarang aku juga pasti sedang dikejar-kejar oleh anak buahnya Pak Darma. Bahkan saat ini aku tidak tahu kabar Malik lagi, karena pria itu tidak juga menghubungiku. Ingin menghubunginya terlebih dahulu, namun aku sadar kesalahanku semalam yang meninggalkannya pergi.Kini harapanku tinggal Aisyah saja satu-satunya. Dia kan mulai bekerja, pasti gajinya juga cukup besar. Apalagi seorang model dibayar per kontrak baru disetujui."Andra!" Suara ibu terdengar melengking."Ya, Bu." Aku beranjak dan mendekat ke sumber suara. Wanita itu sudah rapi. Di ruang tengah, ibu memakai kerudung panjang dengan tas yang tersampir di lengannya."Ibu mau ke rumah sak

  • Ditinggalkan Karena Burik   Terasa Asing

    Bab 29Terasa AsingHari pertama kembali kepada Aisyah. Semuanya terasa begitu asing bagiku. Semalam tidak ada hubungan intim antara kami berdua, karena sesuai  poin dalam isi perjanjian, aku harus menahan diri untuk tidak menggaulinya selama dua bulan lamanya. Dan sebagai seorang pria yang memiliki libido tinggi, rasanya hal itu seperti hukuman untukku. Tapi, aku akan berusaha untuk tetap sabar meskipun jika aku kebelet,  bisa saja aku pergi diam-diam kepada Anisa sebagai pelampiasan.Pintu kamar mandi terbuka pelan, setelahnya Aisyah keluar dari walk in closet dengan pakaiannya yang sudah rapi. Tampak Anggun mengenakan gamis berwarna pink dengan kerudung berwarna fanta. Melirik sekilas ke arahku, kemudian wanita itu segera membuka pintu kamar dan beranjak ke meja makan membantu Mbak Iin menyiapkan sarapan pagi.Aku ikuti langkahnya dengan perasaan lesu. Sepertinya kembali padanya bukan ide yang baik, mengi

  • Ditinggalkan Karena Burik   Babak Belur

    Bab 28Babak Belur "Andra, cepat kau datang ke gudang sekarang juga!!" Kuabaikan perkataan Aisyah. Sekarang bukan waktunya untuk berdebat dengannya, meskipun poin-poin yang tertulis dalam lembaran kertas tadi mengusik pikiranku. Tega sekali wanita itu memberikan syarat yang sulit untuk kulakukan, jika aku ingin kembali hidup dengannya.Dalam pandangan tajam wanita itu, aku segera berlalu, menyambar kunci motor yang terletak di atas meja ruang tamu, lalu mengendarai kendaraan hitam milikku itu. Kendaraan yang kubeli dari hasil sesuatu yang tidak sesuai dengan penghasilanku sebagai pekerja di kantor dengan posisi rendahan.Hanya sepuluh menit sampai di tempat yang dituju. Di sana Malik tengah menunggu. Rekanku itu tidak sendiri. Ada lima orang pria yang tampak berdiri menunggu kedatanganku dengan tidak sabar."Ada apa ini? Apa yang kau lakukan kepada temanku?!"  ucapku saat melihat wajah Malik yang babak belur. Waj

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status