Bab 7
Pemotretan Aku melamun sambil memikirkan Mas Andra. Sudah tiga hari pria itu tidak pulang ke rumah.Aku pun terpaksa memanfaatkan beras seliter dengan membuat bubur tiap hari. Lumayan bisa menghemat, meski makannya tanpa lauk.Ketukan pintu seketika membuatku terduduk setelah menyusui Farel dan membuatnya kembali terlelap dalam tidur.Segera mengambil pashmina instan. Aku melangkah menuju ke arah pintu, dan sengaja menutupi mukaku. Agar orang-orang tidak semakin memandang jijik. Apalagi wajahku sekarang sedang dalam masa parah-parahnya, di mana kulit terasa perih dan semakin memerah. Bahkan sekedar terkena hembusan kipas angin saja, rasanya seperti disayat-sayat."Bu Aisyah?""Ya Mbak Ani. Ayo masuk." Wanita itu adalah pekerja di rumah Bu Indria. Aku tak mengerti ada apa wanita itu siang-siang datang ke rumahku.Wanita itu langsung menggeleng dengan senyumnya yang ramah."Bu Aisyah dipanggil oleh Bu Indria. Sekarang juga disuruh ke rumahnya. Jangan lama-lama, tapi katanya penting," ujar wanita itu sambil berlalu. Setelahnya aku mengangguk kemudian segera mengambil wudhu dan dengan air yang kuambil sejak sebelum waktu subuh tiba.Setelah menunaikan kewajibanku, segera mengganti baju dengan pakaian yang lebih layak, lalu menggendong Farel yang masih terlelap di dalam buaian mimpi. Kupikir rasa penasaranku akan segera terobati setelah aku datang ke rumahnya.Benar saja, beberapa mobil terparkir rapi di dekat gerbang. Aku melangkah masuk setelah Mbak Ani menyambut di dalam pintu gerbang."Bu Indria dan yang lainnya sudah menunggu Bu Aisyah di dalam," ujarnya sambil berlalu ke jalan belakang. Mungkin ingin memastikan aku datang atau tidaknya."Nah itu orangnya sudah datang!" Bu Indria beranjak bangun dari rebahannya. Menatap ke arahku dan melambaikan tangan agar aku duduk di sampingnya.Ada lima orang pria yang tampak duduk di kursi lainnya, sambil memainkan ponsel. Dan langsung menaruh ponsel itu di saku mereka ketika menatap ke arahku, dan sesekali menatap Ibu Indria."Ini yang mau jadi model kita?" tanya salah satu pria berkemeja putih sambil menatap ke arahku, dan setelahnya mengerutkan alis. Aku yang merasa diri ini hina dan tak layak, hanya menunduk saja dan tak berani untuk mengangkat wajah."Iya, dia Aisyah. Wajahnya cukup cantik, dan kamu bisa lihat, bodinya juga cukup bagus dengan ukuran baju yang akan diperagakannya!" Bu Indria menjelaskan."Tapi nggak dengan wajah dan kulitnya," ujar pria itu memindai ke arahku, yang rasanya seperti ditelanjangi. Saat ditatap oleh lima orang pria yang dua diantaranya bersikap lebai dan gemulai.Bu Indria mengambil kipas di atas meja, kemudian menutupi wajahku dengan senyum yang terus saja berhias di wajahnya. Benar-benar perempuan kaya yang tenang dan kalem."Lihat, bukankah Aisyah tampak cantik jika ditutupi. Kulit tangannya bisa kita samarkan dengan lotion dan efek kamera. Sedangkan wajahnya, seperti yang klien inginkan, harus di blur, bukan? Jadi orang tidak ada yang mengetahui bagaimana bentuk wajah sebenarnya. Meskipun ya, wajah Aisyah saat ini memang masih terkena infeksi dan baru mulai pengobatan. Tapi percayalah, dua minggu kemudian wajah yang infeksi ini akan berubah menjadi wajah yang sangat cantik." Entah kenapa perkataan Bu Indria itu membuatku terharu, sekaligus kembali menyemangatiku agar aku tidak rendah diri dengan keadaanku saat ini. Tak ada rasa jijik saat Bu Indria melihat keadaanku yang cukup memprihatinkan ini. Seluruh kulit yang burik, serta wajah yang infeksi dan baru saja diobati. "Baiklah, karena ini sifatnya urgent dan kita harus mempostingnya dalam dua hari ini, ya sudahlah, terpaksa lagian beberapa model yang cantik nggak mau jika wajahnya di blur," tutur seorang pria."Yups, kita tidak membutuhkan wajahnya. Kita hanya butuh Aisyah memperagakan baju saja." Bu Indria terlihat membelaku."Baiklah jika itu keputusanmu, aku ngikut aja," tukas pria berkaos hitam sambil berdiri kemudian mengotak-atik kameranya. "Mbak tolong asuh dulu anaknya, ya." Bu Indria berbicara kepada wanita yang bernama Ani tersebut, yang langsung datang tergopoh dan meraih Farel dari gendonganku. Berterima kasih sebentar kemudian Bu Indria mengajakku masuk ke salah satu kamarnya. Aku pasrah mengikuti apapun kemauan wanita itu."Aisyah, kamu sudah mandi?" tanya Bu Indria. Aku mengangguk. Karena memang sudah rutin mandi tiap pagi."Baguslah, sekarang Marry akan meriasmu." Wanita itu melirik seorang pria yang melenggang masuk dan berdiri di belakangku."Coba sini duduk!" perintah pria itu dengan langkah gemulai. Aku menurut dan mulai duduk di meja rias."Wajahnya tidak perlu dirias sementara waktu," Bu Indria mengingatkan."Ya nggaklah, masa wajah yang rusak begitu aku rias, gimana sih? Aku cuma mau membalurkan riasan di kedua tangannya, agar buriknya itu tidak terlalu kelihatan," ucapnya dengan gaya dibuat semanja mungkin, membuatku sedikit geli. Kok ada pria yang berpenampilan seperti itu ya."Baiklah, terserah apa katamu. Yang penting buat Aisyah nyaman saja." Sekilas Bu Indria melambai padaku sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua. Dan membuatku sedikit risih, apalagi pria itu terus menekan ujung telunjuknya di dagunya sambil memindai penampilanku."Kamu pasti akan kembali cantik jika kamu wajahmu sudah sehat nanti." Aku terkekeh mendengar pujiannya. "Makasih.""Oh ya, kenapa wajahmu sampai seperti itu? Dan lihat kulitmu ini, yey menjijikkan sekali. Umh, apa kamu punya penyakit kulit sebelumnya, atau apa itu?"Aku mendesah berat enggan mengeluarkan suara. Kenapa dua berpikir jika aku punya penyakit kulit.Aku pun menjelaskan kepada pria yang mengaku bernama Merry itu, yang sejatinya adalah nama perempuan bukan?*****Beberapa orang langsung terfokus ke arahku. Memindai penampilan dari atas ke bawah, saat aku mengenakan kerudung mahal dengan gaun yang cukup mewah."Kamu nanti berdiri di sana, dekat bunga dan kaca jendela itu. Pasti akan sangat menarik." Pria itu mengarahkan padaku untuk berpose. "Sebenarnya betul badan kamu bagus, meskipun wajah dan kulit kamu itu burik," ujar Merry lagi, memuji sekaligus menghina di saat bersamaan. Dan lagi-lagi aku tidak bisa membalas ucapannya. Dia benar, dan aku tak tersinggung sama sekali.Pemotretan itu berjalan hampir dua jam lamanya. Beruntung Farel hanya sekali menyusu dan ada beberapa jeda, lalu terlelap lagi. Anak itu benar-benar mendukung pekerjaanku. Aku sangat bersyukur. Meski dia tak mendapat kasih sayang ayahnya sejak lahir, tapi Farel jadi bayi yang Sholeh, insya Allah.Sesekali mereka memeriksa saat melihat tampilan di layar yang mereka gunakan untuk membidikku beberapa saat yang lalu. Karena mereka semuanya hanya mengangguk angguk tenang tak bersuara, sepertinya mereka cukup puas dengan hasilnya. Semoga saja itu benar. Entah jika mereka ingin mengulangi pemotretan beberapa kali lagi. Aku menurut saja, yang penting mereka puas dan aku dapat bayaran yang lumayanBab 8Andra Kembali"Bagaimana hasilnya?" tanya Bu Indria dengan segelas jus di tangannya. Menurut keterangannya, wanita itu baru saja bangun tidur."Lumayan bagus, saat kita tutupi wajahnya dengan kipas atau dengan daun yang estetik sehingga menampilkan bentuk tubuhnya saja," sahut pria berkemeja putih. Dengan wajah tampak sumringah."Tuh kan apa yang kubilang tadi," ujar Bu Indria sambil menyentuh bahuku dan mengajakku untuk duduk kembali. Melihat kepuasan di wajah-wajah mereka, entah kenapa aku juga ikut bahagia. Semoga ini menjadi awal kesuksesan untukku di masa depan. Setidaknya aku bisa menjadi seorang model pakaian syar'i. Amin.Di saat yang bersamaan, Mbak Ani segera menyerahkan Farel padaku yang langsung kudekap dalam pelukan. Bayi itu benar-benar anteng, dan mengerti jika ibunya tengah mencari rezeki untuknya."Eh sebaiknya aku ganti baju dulu, nggak enak jika aku pakai baju yang mahal ini," uj
Bab 9Awal PembalasanTanpa mengucapkan kata 'halo' kubiarkan pria di seberang sana berbicara terlebih dahulu."Halo? Aisyah? Dimana kamu sekarang? Kenapa kamu pergi dari rumah kontrakan itu? Aku mencarimu selama beberapa hari ini. Tolong katakan di mana kamu berada." Suara itu terdengar gusar saat bertanya. Dan aku memilih membiarkannya saja, menunggu kata selanjutnya dari Mas Andra."Aisyah! Kamu denger nggak aku ngomong sama kamu? Atau jangan-jangan kamu budek karena ini bulan ini aku tinggalkan? Iya, begitukah? Aisyah!! Gobl*k!! Jawab!!" Rasanya ingin tertawa saat mendengar ocehannya barusan. Apa aku tidak salah dengar? Dia menyebutku budek dan gobl*k? Mas, kamu hanya tidak tahu saja jika hidupku telah berubah selama empat bulan ini. Sebentar lagi kamu akan merasakan apa yang selama ini sudah kau lakukan padaku. Dan kamu pantas mendapatkan pelajaran berharga dariku.Aku memilih diam dan masih tak
Bab 10Heran"Ibu ….!" Aku terkejut saat mendengar suara seseorang yang memanggil nama ibu. Itu adalah suara wanita yang selama dua tahun ini aku nikahi. Aku menarik nafas, dan berharap ini mimpi. Hingga penasaran, perlahan-lahan aku menoleh ke belakang.Dan … Ya ampun, cantik sekali," ucapku dalam hati saat melihat siapa yang berdiri menyambut kedua kedua orang tua kami. Aisyah, apakah benar itu dia?Dalam hati aku berdoa, semoga itu bukan Aisyah. Namun percuma, karena sekarang wanita yang terlihat tampil sangat cantik itu menghampiri kami berlima yang masih berdiri di halaman. Aku yakin itu Aisyah–istriku, dan ya dia sungguh berbeda sekarang.Aisyah melihat sekilas sebelum akhirnya memeluk ibu dan ibu mertua, serta kedua pria yang tak lain adalah ayahku dan ayahnya."Kami semakin pangling padamu, Aisyah." Pria yang merestui pernikahan kami itu turut memuji anaknya.
Bab 11Inikah Pembalasan Aisyah"Mbak Iim, pokoknya aku mau makanan yang di meja ini semuanya dibawa pulang oleh mbak," ucapku pada pekerja di rumahku. "Tapi, Bu Aisyah. Ini terlalu banyak. Mbak nggak bisa bawa semuanya," tolak Mbak Iim. Aku tersenyum menatap ke arah wanita paruh baya dengan lima orang anak ini."Nggak apa-apa, Mbak. Sesekali mbak bawakan makanan enak buat mereka. Kasihan, lagi pada aku pernah merasakan bagaimana hidup susah. Aku pernah makan tanpa lauk, dan aku pernah makan bubur selama beberapa hari," ucapku mengenang waktu kepergian Mas Andra saat itu, di mana aku tidak memiliki uang sama sekali, sedangkan beras hanya tersisa satu liter saja harus kuhemat.Di belakangku, kulihat Mas Andra tengah berdiri. Biar saja dia melihat potongan ayam goreng yang tersisa tujuh potong itu, belum lagi dengan tumisan dan sayur-mayur yang lainnya. Tentu dia tidak pernah melihat makanan sebanyak ini ketika
Bab 12Sikap Aisyah "Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Dan jangan kamu kira jika aku akan diam saja setelah kamu membuatku menderita selama ini. Lagi pula ini belum seberapa. Ini hanyalah permulaan sebelum akhirnya kamu akan mendapatkan balasan atas apa yang telah kau perbuat padaku!!" Aku balik balas menatap wajahnya, membuat matanya sedikit mengerjap seketika. Mungkin Mas Andra kaget aku bisa berbuat sejauh ini.Padahal dulu aku selalu berlemah lembut kepadanya. Tapi biar saja, sesekali pria itulah memang harus diberi pelajaran, agar dia tidak seharusnya menginjak-injak harga diriku terus-terusan. "Lihat saja Aisyah, aku pasti akan membalasmu!" ujarnya dengan dada naik turun. Aku segera meletakkan ujung telunjuk di bibirku sebagai isyarat."Jangan keras-keras, Mas. Bagaimana tanggapan orang tuamu jika tahu putranya telah menelantarkan wanita dan juga cucunya yang sangat dihara
Bab 13Rasa SakitDi pinggir jalan aku memberhentikan kendaraanku ini. Sekuat tenaga menahan sesak yang ada dalam dada, nyatanya aku sudah tidak mampu menahannya lagi. Air mataku bercucuran dengan derasnya membayangkan nasib pernikahanku selanjutnya. Juga merasakan bagaimana perbuatan Mas Andra kepadaku selama dua tahun itu. Betapa sipat suamiku itu jauh dari kata sempurna dan tidak menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Yang ada, lelaki itu malah senantiasa menyiksa lahir dan batinku. Bahkan tidak pernah menerima kehadiran Farel. Lalu sekarang, setelah aku berusaha menahan diri untuk tidak membalasnya, nyatanya aku tidak bisa membiarkan pria itu begitu saja. Terlalu sakit luka yang sudah dia torehkan padaku. Aku juga hanya manusia biasa yang nyatanya tidak luput dari kata salah dan dosa. Sementara aku tidak bisa melupakan kejadian yang ditimbulkan oleh pria itu terhadapku. Dan tinggal satu atap bersamanya, mem
Bab 14Ketahuan Setelah ketegangan yang terjadi diantara kami. Aku semakin membenci Mas Andra dan tekadku semakin kuat untuk mengakhiri pernikahan ini.Ibu dan yang lainnya tengah menonton TV di ruang tengah sambil mengasuh Farel. Sementara Mas Andra langsung masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dengan cukup kasar. Benar-benar pria yang tidak tahu malu. Dia pikir siapa yang membayar kontrakan rumah ini selain aku sendiri. Dia pun bisanya cuma mengajakku tinggal di rumah kontrakan yang airnya sangat bau dengan kondisi yang tidak layak dipakai.Kuikuti dia dari belakang, sebelum akhirnya ikut masuk untuk menyusulnya ke dalam kamar. Pria itu tampak sedang berkacak pinggang sambil menatap ke arah jendela dengan dada naik turun."Tolong jaga sikapmu selama berada di rumahku! Kamu pikir kamu yang membayar biaya rumah ini? Bukan! Asal kamu tahu, aku memasukkanmu ke rumah ini semata-mata demi mengho
Bab 15Aku Tahu Semuanya Malam harinya aku mengajak kedua orang tua kami untuk makan malam di restoran yang cukup mewah. Sengaja memesan go-car, karena tidak mungkin membawa mereka semua dalam satu mobil. Aku memilih mengemudi bersama dengan kedua orang tuaku dan pengasuh Farel. Tentu saja dalam tatapan tajam Mas Andra. Bisa kulihat raut wajahnya yang semakin menggelap di depanku itu. Mungkin dia sedikit banyaknya tak menyangka jika aku mahir mengendarai kendaraan roda empat sekarang. Padahal sebelumnya dia sudah tahu saat aku pura-pura membawa ATM-nya ke bank. Mas Andra naik ke mobil satunya lagi dengan keluarganya. Namun tentu saja mobil kami berjalan beriringan, hingga sampai di tempat yang sudah di reservasi sebelumnya."Ayo, Bu, Pak, kita masuk," ajakku saat mereka sudah berdiri, menatap restoran yang tampilan depannya saja sudah mewah dihiasi dengan lampu warna-warni. Mas Andr