Anakku tak bisa mengendalikan nya, Dia mundur-mundur hingga ke ruang tamu depan. Dan … Bruk! “Abhii …” panggil ku mendekati nya. “Aduh mama sakit,” “Ya ampun sayang, mana yang sakit?” “Sini ma, huhu,” Aku pun membopong anakku untuk duduk di sofa dulu. “Sini sayang mama lihat dulu,” “Huhuhu,” tangis nya. Ku lihat sedikit memar biru di bagian lutut nya dan memar di lengannya. “Sayang, sebentar tunggu di sini. Mama mau ambil salep memar dulu,” “I-iyaa maa …” Aku dengan cepat bergegas mengambil kotak P3K yang ada di samping tv ruang keluarga. Di saat ku mencari salep dan juga handsaplast untuk mengobati anakku. Tiba-tiba,“Abhi? Kamu kenapa nak?” terdengar suara serak dalam yang ku kenal. “Papa!” suara anakku kresna terdengar. “Kresna?” “Awas! Pak Hanif! Kenapa Kamu kesini! Sana pergi!” teriak anakku. “Abhi … Kenapa begitu?” Aku berbalik dan melihat mas hanif yang masuk berbicara dengan kedua anakku. Ku berlari dengan cepat mendekati mereka dan melepaskan tangan mas hanif
Anak ku kresna mengigit leher mas hanif sementara anakku abhi mengigit lengan mas hanif. Mereka pun bisa melepaskan diri dan berlari ke arah ku. DI sat yang sama, entah itu kebetulan atau bukan, Pak yatno dan pa kadi keamanan komplek datang dengan membawa pemukul seperti akan memukuli maling. “Pak, tangkap orang itu. Dia sudah membuat onar di rumah ini.” Teriak papa menunjuk mas hanif.Sontak mas hanif pun panik, “Eh pak, tunggu pak, Ini salah paham. Ini istri dan anak saya,” “Bukan, DIa memang penculik anak. Pak tangkap saja dia, laporkan saja dia ke kantor polisi.”“Serius pak, percaya saja dengan saya, Tidak. Papa jelaskan pada mereka pa, hanif Cuma itu satu saja pa. Paa …” teriak mas hanif di saat sedang di bawa oleh para petugas keamanan itu. “Bawa dia pak,” lanjut papa. “Pa, kalau papa cabut saham papa. Maka aku tak akan pernah menceraikan Rina pa, Papa dengar bukan? Aku akan mencabut gugatan cerai ku pa.. ma …” suara mas hanif terdengar makin jauh namun entah kenapa itu mem
Keesokan harinya,Ku lihat jam di dinding menunjukan pukul 6 pagi, aku kesiangan karena tadi malam ku sibuk berbincang dengan tante sofi, papa dan mama lagi. Aku pun langsung turun dari ranjang dan membawa handuk ku kedalam kamar mandi. Biasanya jam 6 pagi aku sudah sedang sarapan, tapi ini baru mandi. Entah kenapa saat ini aku sangat tak suka dengan perubahan jam disiplin ku. 30 menit kemudian, aku keluar dan duduk lebih dulu di sofa sambil meminum segelas air putih yang tadi tak sempat ku minum tadi, setelah itu ku langsung keluar dan mendekat ke dapur. “Bi, anak-anak ku udah pada bangun?” tanya ku pada art ku.“Sudah bu, tadi bibi masuk ke kamar, mereka sudah bangun bu den abhi sedang menulis di meja belajar terus den kresna sedang bermain hp,” “Oh gitu tapi sudah siapkan seragam nya kan bi?” “Sudah bu, Sepertinya sudah selesai mandi sekarang,” “Benarkah? Ya sudah makasih ya bi,” “Sama-sama bu,” Aku pun lanjut membuat sarapan ku sendiri bersama dengan bibi yang juga sedang m
“Ya sudah, saya pamit dulu ya. Selanjutnya kita komunikasi saja secara online. Bye Sofi.. Bye Rina..” “Iya miss sampai jumpa juga.” Ucap ku pada Miss Andrea. “Kabari kalau udah mau pergi ya? biar kami antar ke bandara,” Ucap tante sofi.“Oke oke bye semua..” Setelah kepergian miss Andrea, dada ku seperti terisi soda yang semakin di kocok semakin mengembang dan akhirnya tersembur. Itu ibarat juga rasa gembira ku yang datang dari hati. “Emm, tantee… makasih ya tante..” ucap ku bergembira sampai berulang kali memeluk tante Sofi. “Haha ya ya, Tante seneng banget kamu begini, Rin.” “Hehe, maaf ya tan, Rina bener—bener nggak tau harus ngomong apa sekarang, huhu” aku malah menangis setelah tertawa. “Loh malah nangis? Cup cup cup.. sudah sudah, kamu nggak perlu terimakasih segela, kan ini memang janji tante.” Ku memeluknya erat. Dia menepuk-nepuk pundakku. Beberapa menit kemudian, aku pun melepaskan nya. “Udah kan peluknya? Hehe. Tante pegal banget nih hehe.” “Emhehe, maaf tan.” “N
Seminggu kemudian, (Di hari putusan pengadilan)Hari ini adalah putusan pengadilan atas perceraian ku. Di pagi-pagi sekali aku bersolek tipis dan bersiap untuk pergi ke pengadilan agama. “Sudah siap Rin?” tanya Mama.“Ya ma,” “Yang semangat ya sayang. Maafkan papa tak bisa ikut hari ini,” “Iya pa, nggak apa-apa kok. Papa yang semangat ya.” Papa mencium keningku lalu kami bersama-sama berjalan hingga depan rumah. “Hey, hey Rina. Kak.. tunggu..” Panggil tante sofi pada kami. “Mau ikut Sof?” “Iya lah kak masa nggak ikut sih.” “Kirain nggak ikut tadi sibuk banget sama laptopnya. Ya udah yuk kita berangkat aja sekarang.” “Hhehe biasa ka. Kan aku ngurus visa dan segala macamnya. Bulan depan kita kan harus berangkat ke luar negeri hehe” “Hmm, iya iya.” Kami bertiga pun masuk kedalam mobil yang dikendarai oleh tante Sofi.“Sof, kakak lupa kasih tau kamu nih. Kemarin, ada temen kakak yang nawarin adik laki-lakinya nih. Dia ganteng loh, dia pengusaha tambang di pulau sebrang. Kakak
“Rina? Rin?” Aku yang sedang sarapan, menoleh ke sumber suara. “Tante? Ada apa tan?” tanyaku.“Uh, enak nih. Bentar ku icip dulu,” “Iya tan, cobain ini juga.” Ku ambilkan sebuah salad ayam mayo untuknya. “Heem enak sekali… oh ya, ada kabar dari Andrea.” “Kabar apa tan?” tanya ku antusias. “Aku sudah kabari kalau kamu sudah memenuhi syarat nya lalu dia berkata agar kamu bisa berangkat menemui nya segera. Nah, tante sudah konfirmasi mengenai tiket pesawat, fasilitas hingga tempat tinggal kita di sana. Tante mau bertanya padamu. Apakah kamu benar-benar mau ke sana?” Dengan suara yang antusias, aku pun mengiyakan. “Syukurlah, bagaimana kalau di tanggal 1? Pas di sana musim panas saja. kata Andrea, kamu juga harus masuk lagi akademi modelling agar kamu semakin lihai ketika nanti fashion show.” “Iya tan, Rina tau itu. emm, Rina rasa boleh juga. Tapi, Rina bingung tan. Rina hanya kepikiran saja anak-anak Rina.” “Hmm, kan hal itu sudah di obrolin dulu Rin. Abhi dan Kresna tiap bulan
“Permisi ka.” Awalnya ku diam saja karena ku kira panggilan itu bukanlah untukku. “Mbak, itu di panggil.” Tepuk ibu-ibu yang sepertinya sedang menunggu anaknya juga sepertiku. Ku menoleh dengan membalikkan badan ku mengahadap kearah seorang yang memanggilku itu. “Anda panggil saya mas?” “Iya kak. Mohon maaf sebelumnya kalau menggangu. Perkenalkan saya Tio dari majalah harian wanita. Saya mengenali anda bu. Mohon maaf, apa anda adalah Rose?” tanya pria itu padaku. Ku terkejut dengan pertanyaan nya. Bagaimana dia tau bahwa aku adalah Rose? Nama itu adalah nama panggung ku. “Maaf kak, apa boleh kita bicara sebentar di sana?” Lanjutnya berucap. “Mau apa kamu?” “Saya hanya ingin bertanya sesuatu ka. Jangan takut, ini kartu identitas saya menandakan bahwa saya memang benar fotografer di sana” Ku lihat kartu nama itu, “Tio Swiriyo, Fotografer majalah Etime Wanita” Melihat itu, ku memakluminya. Dulu aku memang pernah menjadi model cover majalan itu. Tapi itu kan dulu, dia hebat sekal
bab 1Ku terbangun dari tidurku karena mendengar suara gebrakan pintu dan suara suamiku yang terdengar marah. Aku buka mataku dan ku lihat jam dinding menunjukan angka 2 dini hari.“Rina! Cepat buka! Dasar lambat!”Aku pun segera bangun dari tempat tidur ku lalu ku bergegas membuka pintu itu. Seketika bau semerbak alcohol tercium menusuk ke hidungku.“Mas? kamu kenapa? kamu darimana sih mas? bau alcohol gini? Kamu minum mas? Haram mas, ingat haram”“Halah, kamu lagi kamu lagi! Rina, aku muak dengan kamu. Minggir!" ucapnya dengan nada tinggi.“Aw! Sakit …” ucapku dengan mengusap punggung ku.Mas hanif mendorongku sampai punggungku terhentak terkena pegangan pintu. Ku coba tahan rasa sakit ini, rasanya aku sudah terbiasa melihat mas hanif yang selalu pulang malam. Aku hela nafasku lalu ku tutup pintu kamarku dan menguncinya.Ku lihat mas hanif, Pakaian nya berantakan. Dia berjalan sempoyongan dan mengigau saat berjalan. Setelah itu, dia langsung tergeletak tidur di tempat tidur. Aku ta