Share

6. Jadi Pahlawan Dadakan

Chiara yakin, ia pasti sudah ditertawakan Yanuar diam-diam karena spontan melayangkan tanya bersama nada panik. Ya, tentu saja perasaan takut menjalari benaknya ketika ada seorang pria yang mendadak membuka pakaian. Namun, ketakutan itu berangsur hilang saat Yanuar menunjuk pada tanda kemerahan di punggung.

Sambil cengar-cengir malu, Chiara pun angkat suara, “Sakit ya, Pak?”

“Kalau mau tahu rasanya, coba sendiri,” jawab Yanuar ketus. “Buruan oleskan cream biar ngerinya nggak makin menjadi-jadi.”

“I-iya.”

Chiara menelan ludah ketika tak sengaja menangkap bentuk perut Yanuar yang menarik perhatian. Kalau saja pria yang hendak disentuhnya itu adalah orang yang disukainya, mungkin saja ia akan jumpalitan. Lalu merasa panas dingin ketika kulit jarinya menyentuh punggung lebar itu. Sayangnya, ia tak merasakan apa pun.

“Pelan-pelan!” pekik Yanuar seraya meringis. “Kamu bisa lembut sedikit, nggak? Kasar betul, sih?”

Mendengkus kesal, Chiara memperhalus sentuhannya. Ia mematuhi keinginan sang tuan agar tidak dipecat, apalagi diusir. Sebisa mungkin, Chiara berusaha melakukan yang terbaik sesuai dengan ucapannya belum lama ini.

“Udah selesai, Pak.”

Yanuar mengangguk, lalu memakai kembali atasannya. Sementara Chiara duduk lagi karena mengantisipasi, barangkali masih ada hal yang ingin dibicarakan Yanuar dengannya. Sampai kemudian, tiba-tiba Yanuar menggeliat lantaran ponsel di saku celananya bergetar.

Pada detik ke sekian, Chiara tak sengaja bersitatap dengan Yanuar saat pria itu akan menerima panggilan. Keduanya sontak membuang muka ke arah lain. Disusul Chiara yang berdeham guna mengenyahkan kecanggungan setelahnya.

***

“Pak, saya bisa kok naik taksi ke kosan. Jadi, Bapak nggak perlu antar saya begini malam-malam.”

Alih-alih menjawab, pria itu justru menyalakan musik dengan volume cukup kencang. Chiara yang melihatnya pun refleks menutup mulut sambil memegangi dada sangking terkejutnya. Menghela napas pendek demi mengatur detak jantung yang bergerak kencang, rupanya ia baru disadarkan akan satu hal. Diterima bekerja di rumah tuan muda Atmajaya membuatnya harus mengerahkan mental yang cukup besar.

Sekarang, mau tak mau Chiara hanya bisa memandang ke luar jendela. Pasang telinganya bekerja lebih keras untuk mendengar lagu Rock. Ia sempat melirik Yanuar yang santai melihat jalanan depan. Tak terpengaruh sama sekali pada keadaan di mobil selain suara musik yang sengaja dinyalakan.

“Buruan gih, jangan pakai lama,” titah Yanuar begitu mobilnya tiba di depan indekos Chiara. “Kalau lebih dari setengah jam, saya nggak segan-segan ninggalin kamu sendiri.”

Menelan ludah, Chiara mengangguk pelan. “I-iya, Pak. Saya usahakan.”

Kalau saja bisa menolak permintaan Sukma, Chiara bisa saja meminta bantuan dari supir pribadi atau memesan taksi online untuk mengambil sebagian barangnya. Rasanya aneh sekali mendapati Yanuar yang ditelepon Sukma  untuk mengantar si pembantu rumah tangga. Mengingat bagaimana hubungan Chiara dan Yanuar yang kurang bisa dikatakan baik, kemungkinan hal itu menyulut Sukma untuk membuat keduanya akrab.

Padahal dari hati yang paling dalam, Chiara ogah satu mobil bersama Yanuar. Dan sekarang malah diantar sampai indekos. Belum nanti saat perjalanan pulang, haruskah telinganya bekerja keras untuk kedua kalinya?

“Nah itu anaknya pulang juga!”

Chiara terkesiap mendapati ibu kos berserta anak kebanggaannya sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Namun, ada hal lain yang justru menarik perhatiannya sekarang. Barang-barangnya sebagian sudah ditaruh di depan kamar, padahal ia ingat tadi pagi barang miliknya masih berada di tempat biasanya. Apa mungkin ibu kosnya yang menyuruh orang untuk memindahkan barang-barang itu?

“Bu, ini kok barang saya di luar?” tanya Chiara panik. Langsung melihat barang pribadinya, seperti buku kuliah dan beberapa tumpukan pakaian.

“Dari mana aja kamu, Chiara?” todong ibu kos, menghiraukan pertanyaan Chiara. “Saya dari tadi hubungi kamu, tapi nggak ada respon. Sengaja ya kamu begitu biar mangkir dari kewajiban bayar sewa kos?”

Gadis itu terduduk di ubin dingin sembari merapikan pakaian dan memasukkannya ke dalam tas. Beberapa hari terakhir ibu kosnya itu memang sering menghubunginya, baik menelepon maupun mengirimkan chat. Namun, Chiara tak bisa meresponnya karena terlalu sibuk mencari pekerjaan baru. Ia tidak tahu kalau ancaman yang diberikan ibu kos ternyata benar-benar direalisasikan begitu saja—seperti sekarang.

“Ini sudah tanggal berapa, kamu belum bayar!” cecar ibu kos lagi.

“Sudahlah, Bu. Chiara baru saja pulang, mungkin besok dia bisa ke rumah buat bayar sewanya.” Putra ibu kos itu mulai melerai, tapi matanya yang jelalatan justru memberikan kedipan menggoda pada Chiara.

“Joko, kamu nggak usah ya belain anak ini. Dia sering mangkir dan nggak bayar sewa tepat waktu!” balas ibu kos makin sebal. “Jangan sampai kamu kepincut sama Chiara, dia nggak cantik-cantik amat. Paling pakai susuk biar narik perhatian kamu, Nak.”

“Ibu ini bicara apa?” Joko, putra ibu kos itu tak terima. “Jangan asal nuduh Chiara dong, Bu.”

Mendengkus pelan, Chiara hanya melirik sekilas. Lalu kembali sibuk mengemasi pakaian. Hampir semua penghuni indekos tahu peringai anak ibu kos yang kerap menggoda perempuan di sini. Tak terkecuali Chiara.

Bahkan Joko senang menggoda Chiara dan mengajaknya makan bersama di warteg. Sayang seribu sayang, gadis itu jelas menolak. Bukan karena wajah Joko yang kurang menarik, tapi memang Chiara-nya saja yang tak ada waktu untuk itu semua.

Namun, justru penolakan itu yang membuat bumerang bagi Chiara. Joko mengadu pada sang ibu dan masalah pun terjadi beberapa kali. Chiara dituduh menggunakan pelet ini dan itu, ditambah ibu kos sekarang jadi membencinya.

“Tenang aja, Bu.” Chiara angkat suara. “Saya nggak akan bayar karena saya sudah berniat pindah dari sini. Bu Wati jangan khawatir.”

“P-pindah?” Joko tampak terkejut sekali. “Kenapa pindah, Ra? Biar Abang yang bayar sewa kamarmu sebulan ke depan, asal kamu tetap di sini ya?”

Pria itu sudah duduk di samping Chiara. Tangannya hendak meraih lengan si gadis agar mau menerima tawarannya. Chiara segera mengambil jarak bertepatan dengan ibu kos yang menarik telinga Joko keras-keras. Tak peduli seberapa kencang ringisan sang putra.

“Apa-apaan ini, kenapa jadi kamu yang mau bayar sewanya dia?” Ibu kos tak terima, matanya menatap Chiara tajam. “Benar-benar ya kamu Chiara, sudah berapa lama kamu menggoda Joko? Dia itu anak saya, jelas berbeda sama kamu. Kalian mana bisa satu level! Kamu mahasiswi miskin yang suka nunggak bayar sewa, nggak akan pantas sama Joko anak kesayangan saya!”

Mengerjap pelan, Chiara menundukkan kepala. Hatinya seperti diremas-remas mendengar tuduhan itu. Sebagian besar yang diucapkan ibu kos tentangnya memang benar. Ia hanyalah mahasiswi miskin yang kerap menunggak pembayaran, tapi apa wajar orang sepertinya harus mendapat perkataan seperti itu?

Sekalipun Chiara tak pernah menggoda anak ibu kos. Berpikiran untuk menyukai seseorang pun tak pernah terlintas di kepala. Hal yang memenuhi pikirannya justru keadaan dirinya sendiri. Bagaimana kuliah dan hidupnya ke depan, apakah masih bisa makan atau tinggal di kota ini dengan uang tak seberapa?

“Saya memang miskin, Bu,” sahut Chiara lirih. “Saya juga suka nunggak bayar kos, tapi … saya berani sumpah nggak pernah menggoda Bang Joko. Saya selalu sibuk kuliah sama cari uang tambahan, gimana mungkin bisa menggoda anak Ibu?”

“Di mana-mana maling nggak pada ngaku, sama seperti kamu!”

“Bu, jangan marahin Chiara terus.” Joko masih meringis, tapi keberaniannya tak surut untuk membela Chiara. “Kasihan dia, Bu ….”

“Diam kamu!” tegur ibu kos pada Joko.

Seketika Chiara bangkit dari duduk. Berhadapan langsung dengan ibu kos bersama tatapan tajam, meski ada kemerahan di sana karena menahan tangis. Keberanian Chiara sudah penuh sekarang akibat dipicu amarah yang meluap-luap.

“Jangan karena saya miskin, Ibu bisa sebebas itu mengatai saya!” seru Chiara dengan pundak yang bergerak naik-turun. “Memang Bu Wati punya bukti apa, saya maling apa di indekos reyot seperti ini?”

Sungguh ucapan itu mengalir begitu saja. Chiara tak berniat melabeli tempat yang sudah dihuninya setahun ke belakang itu reyot. Ya, kelihatan dari tampilannya memang sudah tua dan rawan ambruk, sih, tapi tak seharusnya ia blak-blakan seperti itu.

“Beraninya kamu!”

Ibu kos sudah melayangkan tangan, hendak memberi pelajaran. Chiara sudah bersiap memejamkan mata untuk pasrah atas nasibnya ke depan. Namun, yang terjadi beberapa detik kemudian justru ringisan dari wanita paruh baya itu.

“Jangan main kekerasan pada Chiara, kecuali jika Anda mau saya jebloskan ke penjara.”

Suara itu … tentu Chiara kenal. Sontak ia membuka mata dan melihat ke sekeliling. Di hadapannya sudah ada punggung lebar yang berdiri di depannya. Yanuar yang entah kapan datang itu tengah menahan tangan ibu kos sekaligus mengancamnya.

“Nggak usah jadi pahlawan lo! Emang lo siapanya Chiara pakai pegangin tangan emak gue!”

Chiara mengembuskan napas kasar. Malas sekali menghadapi sikap Joko yang gemar mendramatisir sesuatu. Terlebih sekarang ada Yanuar yang mendadak muncul tanpa aba-aba. Mengapa pula pria menyebalkan itu datang membelanya, sih?

Sepersekian sekon, Yanuar menoleh pada Chiara. Menarik sudut bibir hingga membentuk satu lengkungan. Lalu tangannya yang lain merangkul si gadis seakan keduanya memang sedekat itu.

“Perlu aku kasih tahu ke mereka?”

Mata Chiara membelalak seketika. Ini bagaimana ceritanya seorang Yanuar Atmajaya mampu mengubah kata saya menjadi aku dalam beberapa detik saja? Apa Chiara sedang bermimpi ya sekarang?

“M-maksudnya gimana—“

Joko mulai senewen. “Hei, ngapain rangkul-rangkulan, sih?”

“Bukannya wajar ya sebagai pacar, saya rangkul Chiara begini?” Yanuar memiringkan kepala. “Apa perlu saya tunjukkan ke kalian berdua bagaimana panasnya kami saat berciuman?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status