POV : Author Malam itu, Fajar duduk di balai yang terletak di depan halaman rumahnya seorang diri. Ibunya sudah tidur, setelah isya tadi. Ia memeluk radio tua pemberian Kamila, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Laki-laki itu lega, karena telah mengembalikan Lestari kepada kedua orang tuanya. Fajar tinggal memikirkan hidup, dan ibu yang harus dirawatnya. Perlahan, diputarnya radio sembari mencari sinyal yang hilang timbul. Bersyukur, ada sinyal yang nyangkut. Fajar memejamkan mata, menikmati dinginnya angin malam yang membelai wajah. Entah mengapa, bayangan Ratu seolah terus membayang di pelupuk matanya. Sebuah lagu yang berjudul Bunga dari Bondan Prakoso terdengar enak di telinga. Dengar resapiUcapkan, dan jangan berhentiKarena semua pertanyaan perlahan menghampiriMendekat, dan merusak sistim kerja otak kiriSetiap detik berdetak, menusuk-nusuk di hatiKembali terlihat raut wajahmu di anganTaburan cinta mengikuti semua senyuman Tapi dalam hati ini tak bisa ungkapkanNyal
POV : Fajar SuharjhoPagi-pagi sekali, aku datang ke rumah Pakde Jaro. Hari ini, aku akan mulai kerja di kebunnya. Tabunganku menipis. Aku harus bekerja, agar bisa menghidupi Ibu. Kuketuk pintu rumah berulang kali, tetapi keadaan rumah sepi. Sepertinya Pakde Jaro dan Bude Iyem sedang tak ada di rumah. Apakah mereka ke kebun? Meskipun ke kebun, biasanya ada Bude Iyem di rumah ini.“Mas, cari Pak’e?” tanya seseorang yang tiba-tiba ada di belakangku. Aku menoleh. Terlihat seorang gadis berdiri dengan rambut dikuncir ke atas. Ia memakai kaus panjang berwarna cokelat, dan rok panjang berwarna marun.“Dik, sampean sopo?” tanyaku dengan dahi mengerut.“Mas, aku Siti. Dulu, Mas suka kasih permen ke aku sama Mbak Kamila. Em, lali to?” ucapnya menggoda. Ternyata ia anak gadis Pakde Jaro. Dulu masih sangat kecil, sekarang sudah besar hingga aku tak mengenalinya.“Astagfirullah, Mas lali. Kok, koe sak iki ayu tenan to,” pujiku yang membuat pipinya merona malu.“Ah, Mas bisa saja,” sahutnya tertu
Terik matahari siang ini sangat panas. Aku sedang memanen padi di sawahnya Pak RT. Memakai caping anyaman bambu khas pedesaan, celana pendek, dan kaus oblong berwarna hijau. Awalnya Pak RT memintaku menyadap kebun karetnya. Berhubung sudah ada orang yang kerja di sana, kini aku kerja sebagai buruh tani di ladangnya.Ada sekitar 20 orang yang kerja bersamaku sekarang. Sepuluh laki-laki, dan sepuluh perempuan. Masing-masing memiliki peran sendiri. Ada yang memotong padi, ada yang mengangkut, ada yang melepas biji-biji padi dengan cara di geprak-geprak ke balok kayu. Karena di desaku masih memanen dengan cara yang tradisional. Sesekali kulap peluh yang mengalir di kening. Lama sekali aku tak kerja keras seperti ini. Menyesal rasanya pernah menyia-nyiakan nasi jika makan tak habis.***“Bu, kita ke kota, ya,” kataku malam itu, setelah makan malam. Aku, dan Ibu duduk di ruang tamu.“Kenapa, Le?”“Cari kerja di sini susah, Bu. Kerjanya susah, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.”“Apa ndak
Dunia seakan runtuh. Aku tak bisa berpikir jernih. Nasihat semua orang tak dapat kudengar lagi. Aku hanya duduk di samping mayat Ibu yang sudah dibalut kain kafan. Wajahnya ditutup selendang tipis berwarna putih, hingga masih bisa kulihat keteduhan wajah itu. "Jar, yang sabar. Ibu sudah tenang di sisi-Nya. Kamu tahu, kalau kamu bersedih, arwah ibumu juga akan bersedih." Kuhapus air mata yang mengalir di pipi. "Pakde, kenapa Ibu pergi, di saat Fajar sudah kembali dan ingin membahagiakannya? Kenapa Pakde?" ucapku lirih, menahan serak pada tenggorokan. "Segala sesuatu itu sudah digariskan. Semua yang hidup, pasti akan mati. Semua milik Allah, pasti akan kembali. Itulah gunanya kita bersiap dan menyerahkan diri pada Sang Khalik. Kita ndak pernah tahu umur, banyak yang masih muda, sudah lebih dulu meninggal. Beruntung kamu masih sempat mengurusnya, meski hanya beberapa bulan." Pakde Jaro mengelus-ngelus bahuku. Aku menunduk dalam dengan mata terpejam. "Pakde keluar dulu, ya, menemui p
“Aku akan melepaskanmu, tapi dengan satu syarat. Kamu harus menikahi Lestari. Sudah cukup kamu selalu memanfaat rasa cintanya padamu. Jika tidak ...?” Ancamanku semakin menjadi, saat memelintir tangannya.“Aw, aw, awhhh! Sakit!” teriaknya lebih keras.“Aku akan melepaskanmu. Tapi jika kamu berbohong, aku akan katakan pada semua orang kalau kamulah bapaknya Dirga! Reputasi keluargamu menjadi taruhannya. Apa kata orang, anak kepala desa melakukan hal memuakkan seperti itu? Terlebih, ia sering merayu dan memeras perempuan yang telah melahirkan anaknya.”“Kamu mengancam?”“Ini bukan ancaman. Jika kamu melanggar, aku akan melakukannya. Menyedihkan melihat anak orang kaya sepertimu, tetapi terlihat miskin. Introspeksi diri, mengapa kamu sampai dibuang orang tuamu sampai tak diakui! Jangan jadi benalu yang hanya menyusahkan orang tua! Kamu punya akal dan bertubuh sehat, kerja!” teriakku sekali lagi.Bugh! Plak! Plak! Bugh!Aku menghajar, sampai wajahnya babak belur.“Mas! Wes, Mas. Ojo ngono
Tatapan kami bertemu. Nyonya juga sangat kaget, sama sepertiku. Orang-orang di sekitarnya mengajak bicara, tetapi Nyonya bergeming. Ia tetap fokus melihatku, begitupun aku. Teriakan Yogi mengajak jalan tak terdengar lagi. Nyonya berkedip beberapa kali, kemudian menunduk dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara aku, perlahan berjalan maju mendekatinya.Ia ... sungguh berbeda. Melihatku jalan mendekat, Nyonya juga turut melangkah maju. Sampai juga kini ia berada di hadapanku. Aku menatap ke dalam bola matanya dengan saksama, ia pun demikian.“Hai!” kata kami bersamaan, kemudian tertawa.“Apa kabar?” Lagi-lagi, kami bertanya secara bersamaan, membuat tawa kembali berderai.“Fajar! Ayo, pulang!” teriak Yogi. Aku menoleh, dan memberi isyarat sebentar lagi dengan tangan.“Nyonya!” teriak Mbak Desi memanggil Nyonya. Nyonya menoleh ke belakang, juga memberi isyarat dengan tangan. “Bisa ngobrol sebentar?” tanya Nyonya.“Bisa, Nyonya,” jawabku sedikit menundukkan kepala.Ia berjalan
“Ada apa, Nyonya?” tanyaku pura-pura tidak mengerti. Padahal aku tahu, ia pasti bahagia mendengar semua itu. Bahagia? Hei, tunggu dulu! Jangan-jangan ... Nyonya yang telah menikah dan memiliki anak. Bahkan, ia berhijab karena diminta suaminya.“Aku bahagia mendengar Lestari dan anaknya bahagia. Lalu, bagaimana dengan ibumu?” Mendengar kata ibu, ada yang nyeri di dada. Aku menarik napas panjang, rasa sesak mulai terasa.“Fajar?” panggilnya sekali lagi. Aku tersenyum getir, mengingat senyum dan permintaan terakhirnya. “Ibu ... sudah berpulang, Nyonya.” Aku menunduk dalam, berusaha menyembunyikan gurat kesedihan di wajah yang mungkin akan terbaca olehnya.“Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Nyonya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Mata indah itu membulat, dan berkaca-kaca. “Fajar, aku turut berduka,” lirih ucapnya sembari menghapus setitik air mata dengan punggung tangan. “Aku pernah berada di posisi itu. Aku ... tahu sekali rasanya.” “Em, tidak apa-apa, Nyonya. Bukankah ib
Jam menunjukkan pukul 21.00 malam, aku sedang duduk di teras rumah menunggu kedatangan Fajar memakai piama panjang berwarna hijau lumut dan hijab instan berwarna hitam. Dari kejauhan, aku melihat pagar dibuka, dan Fajar sedikit berlari masuk ke halaman rumah. Aku berdiri menyambut kedatangannya. “Maaf, Nyonya. Apa saya terlalu malam?” tanyanya.“Tidak, Fajar. Ayo masuk, Oma sudah menunggumu.”Kami berjalan beriringan ke kamar Oma di lantai dua. Yuli dan Bik Darmi sedikit terpekik, saat berpapasan dengan kami di ruang tamu, ketika akan menaiki anak tangga ke atas.“Masyaallah, Fajar. Kamu apa kabar?” teriak Yuli sedikit berlari menghampirinya.“Alhamdulillah baik, Mbak,” sahutnya tersenyum ramah.“Kamu makin ganteng aja,” sambung Bik Darmi. Fajar langsung mengambil punggung tangan perempuan setengah baya itu, dan menciumnya dengan takzim. “Terima kasih, Bik,” sahut Fajar singkat.“Nanti aja kangen-kangenannya. Oma lagi pengin ketemu Fajar,” ucapku sembari tersenyum. Kemudian kami men