Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.
“Baiklah.”
“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.
Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.
Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.
Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.
Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.
Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.
Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.
“Biar koper Bu Ralin diangkat bodyguard saya,” ucap Lewis.
Kepala Ralin mengangguk kemudian dipersilahkan duduk di kursi tengah dengan memangku Levi. Sedang Lewis duduk di sebelahnya dengan begitu sopan dan berwibawa.
Ralin tidak menyangka jika Levi memiliki seorang ayah yang luar biasa tampan, bersahaja, dan penuh kasih sayang.
Di dalam mobil pun Levi tidak bisa duduk dengan tenang. Akhirnya Ralin mengalihkan perhatian Levi dengan mengajaknya bercanda dan berbicara apapun. Hingga tawa keduanya membuat Lewis tersenyum tipis.
“Halo, Bunda. Levi udah ketemu.”
Ralin melirik Lewis yang tengah menghubungi keluarganya.
Sesampainya di restaurant, Ralin kembali menggandeng Levi dan mengajaknya berbicara. Entah bocah itu memahaminya atau tidak, yang terpenting Levi harus diajak berkomunikasi.
Sedang kedua baby sitternya hanya diam dan mengikuti langkah mereka.
Setelah pramusaji mencatat menu yang Ralin pesan dengan bumbu sederhana yang ia pinta, Levi masih saja tidak bisa duduk dengan tenang.
“Levi, duduk yang manis,” ucap Lewis.
Tapi ia justru memberontak dan ingin mengitari restaurant.
“Tidak masalah, Pak. Biar saya ikuti.” Ralin mengalahi.
Ralin mengikuti kemana Levi berjalan meski sebenarnya kakinya cukup lelah. Tapi bagaimana lagi, Levi seperti ini pasti karena es krim dan coklat yang tadi dilahap.
Dengan sabar dan menahan lelah, Ralin terus mengikuti Levi. Bocah lelaki ini harus menghabiskan energi berlebih dalam tubuhnya. Hingga menu yang dipesan tersaji begitu harum di atas meja.
Ralin segera membujuk Levi untuk kembali ke meja dan beruntunglah bocah itu menurut. Dengan telaten, Ralin menyuapi Levi dan mengajarinya mengenal menu sehat itu.
“Maaf, Bu Ralin, Levi benar-benar lepas kendali.” Lewis meminta maaf.
“Itu hal yang wajar pada anak seperti Levi, Pak. Apalagi dia tadi sempat melahap beberapa makanan mengandung gula saat saya menemukannya.”
Lalu Ralin mengatakan bagaimana dia menemukan Levi. Lewis pun langsung memberi tatapan tajam pada kedua baby sitter Levi yang hanya bisa menundukkan kepala sambil berdiri.
“Anak seperti Levi tidak diperkenankan mengkonsumsi makanan dengan kadar gula berlebih, Pak. Semua makanannya jauh lebih sehat kalau diramu dengan komposisi tepat dan dimasak sendiri dari rumah.”
Kedua alis Lewis berkerut mendengar penjelasan itu.
“Levi tidak boleh mengkonsumsi gula? Mengapa begitu?”
Ralin makin bingung dengan sikap Lewis lalu menjelaskan semuanya. Dan ternyata Lewis sama sekali tidak mengerti tentang aturan diet yang harus Levi terapkan sehari-hari karena kesibukannya.
“Pihak sekolah sering mengingatkan dan memberi referensi beberapa menu sehat yang bisa dikonsumsi anak-anak khusus seperti Levi, Pak.”
Lewis kemudian menatap kedua baby sitter Levi dengan wajah menahan kesal.
“Mengapa saya tidak pernah tahu tentang pola diet yang harus Levi jalani?! Mengapa kalian juga diam saja waktu Levi memakan kue ulang tahun sepupunya kemarin?! Sebenarnya kalian bisa kerja nggak?!”
Kedua baby sitter itu menunduk takut ketika Lewis kembali membentaknya!
“Saya membayar mahal kalian untuk menjaga dan merawat Levi! Bukan membiarkan Levi seenaknya makan menu yang bertentangan dengan gangguannya! Lalu selama ini apa yang kalian lakukan?!”
Akhirnya suasana restaurant menjadi tidak kondusif karena Lewis memuntahkan amarahnya yang tidak bisa dibendung lagi. Dia sangat kesal dengan kedua baby sitter Levi yang tidak becus.
Melihat itu, Ralin pun bertanya-tanya.
‘Kenapa Levi diserahin ke baby sitter? Kemana ibunya?’ Batinnya.
Namun Ralin memilih menyimpan pertanyaan itu dan terus mengajari Levi malahap menu sehat itu meski tidak sepenuhnya habis. Kentara sekali jika Levi hampir tidak menerapkan pola makan yang sehat sesuai anjuran.
“Saya menyerahkan semua urusan Levi pada kedua baby sitternya. Otomatis mereka juga yang mendapatkan informasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh Levi konsumsi. Tapi mereka tidak bilang pada saya, Bu Ralin.” Kesal Lewis.
Karena suasana tidak kondusif, Ralin pun tidak ingin menambahnya dengan kerumitan.
“Tidak apa-apa, Pak. Yang sudah terlanjur, biarkan saja. Yang terpenting untuk selanjutnya, pola asuh dan makan Levi harus lebih diperhatikan. Agar gangguan perilakunya tidak mendominasi.”
Lewis mengangguk kemudian menatap putra semata wayangnya yang sedang belajar mencicipi makanan.
Karena waktu hampir menjelang malam, Ralin pun teringat jika dirinya belum memiliki tempat bernaung.
“Pak, saya permisi dulu. Saya masih ada urusan yang lain.”
“Terima kasih banyak, Bu Ralin. Saya berhutang budi banyak pada anda.”
Kemudian Lewis segera mengeluarkan beberapa uang berwarna merah dari dompet.
“Tolong diterima. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bu Ralin. Saya benar-benar berterima kasih.”
Kepala Ralin menggeleng.
“Saya ikhlas, Pak. Tidak masalah.”
Kemudian Ralin mengusap kepala Levi dan berkata …
“Levi, jangan makan coklat lagi ya? Jadi anak yang pintar ya, sayang. Bu Ralin pergi dulu.”
Lalu Levi menggeser piring makannya ke hadapan Ralin …
“Makan.”
“Levi disuapi Ayah, ya?”
“Makan.”
Levi terus menatap Ralin dan ingin disuapi seperti tadi. Tapi Ralin tidak memiliki banyak waktu.
“Levi, ini sudah malam. Bu Ralin harus pulang.”
“Makan.”
Sedari tadi hanya kata ‘makan’ yang bisa Levi katakan tapi Ralin juga harus mencari penginapan.
“Pak, bisakah anda membujuk Levi? Saya harus pergi.”
Lewis kemudian membujuk Levi dan mengambil piringnya.
“Bu Ralin harus pulang, Lev. Ayah suapin, ya?”
Levi menggeleng dan menatap Ralin dengan wajah tidak berdosanya. Saat Lewis berusaha menyuapi Levi, tiba-tiba saja Levi menyingkirkan tangan Ayahnya itu hingga sendok dan isinya terjatuh ke lantai.
“Levi!” Lewis reflek membentaknya.
Levi nampak ketakutan lalu Ralin segera memeluknya. Dia paham sekali jika anak seperti Levi tidak mudah untuk diajak kerja sama atau mengatakan apa yang dirasakan.
“Maaf, Bu Ralin.”
“Semuanya bisa dibicarakan baik-baik, Pak. Kasihan Levi kalau dibentak.”
Ralin menatap wajah bersalah Lewis sembari memeluk Levi yang melengkungkan garis bibirnya.
“Maaf, dimana rumah Bu Ralin?”
“Maaf … ada apa bertanya rumah saya, Pak?”
“Bisakah Bu Ralin ikut saya pulang sebentar sampai Levi tenang? Nanti saya akan menyuruh sopir untuk mengantar. Bagaimana?”
Ralin berpikir sejenak dan memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Meski itu memalukan.
“Saya … baru saja diusir, Pak. Oleh karena itu, saya pamit pergi karena mau mencari penginapan sebelum hari makin malam.”
Hari-hari Ralin tak lagi sama sejak hasil USG itu keluar. Tubuhnya mulai memberi sinyal mual yang muncul saat matahari belum terbit, kelelahan bahkan hanya untuk naik tangga, dan suasana hati yang mudah berubah drastis.Lewis yang biasanya sibuk di pabrik, kini beradaptasi total. Dia bangun lebih pagi untuk menyiapkan air lemon hangat, mengatur jadwal kerja agar bisa pulang lebih awal, bahkan menyimpan camilan khusus anti-mual di sakunya jika harus keluar bersama Ralin.“Kalau kamu nyium bau parfumku dan pengen muntah, bilang aja. Aku bakal ganti,” ujar Lewis dengan panik satu pagi.Ralin terkekeh meski wajahnya pucat. “Aromanya sih nggak bikin muntah. Tapi cara kamu panik itu bikin aku pengen nangis dan ketawa barengan, Den Mas. Ini hormon atau kamu emang lucu banget?”Namun perubahan fisik hanyalah permukaan. Perubahan emosional jauh lebih kompleks.Suatu malam, ketika Lewis tertidur lebih dulu, Ralin duduk di sisi ranjang dengan tangan memegang perutnya yang belum menunjukkan apa-ap
Malam harinya, Ralin menghubungi kedua orang tuanya melalui video call. Wajah Ibunya muncul di layar, ayahnya duduk di samping.“Bu, Pak, aku punya kabar baik.”“Apa, Lin?”“Lihat ini.”Ia menunjukkan hasil USG.Ibunya sempat bingung, tapi begitu menyadari, ia terharu seketika.“Ya Tuhan, akhirnya. Kami semua mendoakan, Lin. Anakmu akan jadi anak yang kuat seperti ibunya.”Percakapan mereka berlanjut dengan penuh tawa bahagia setelah melewati banyak rintangan. Bahkan ibunya bersedia untuk menginap di rumah Lewis kalau Ralin membutuhkan bantuan.Untuk pertama kalinya, Ralin merasa sangat lengkap.Pernikahannya yang dulu sempat mendapat perlawanan dan hidup dengan pasangan tanpa restu juga membuat beban tersendiri. Tapi kali ini, dia mendapatkan restu dan dukungan dari keluarga.Itu sangat luar biasa berharga di tengah krisis kepercayaan dirinya yang sempat memuncak.Malam itu, semua keluarga tertidur dengan hati yang hangat.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia Ralin dan Lew
Ralin menahan napas dan Lewis menegang ketika menatap Dokter Imelda. Tapi senyum dokter itu membuat keduanya bingung.Jika kabar buruk mengapa dokter itu tersenyum?“Kadar β-hCG Bu Ralin melonjak lebih dari dua kali lipat. Ini tanda bahwa embrio mulai berkembang.”Seketika Ralin dan Lewis senang bukan kepalang. Setidaknya ada satu harapan kecil luar biasa yang sedang mereka nantikan.Keduanya saling bertatapan dengan sorot haru. Pikiran Ralin yang awalnya negatif, berubah menjadi merasa bersalah.Dia seperti mendahului kehendak sang Pencipta dengan melabeli calon anaknya tidak akan berkembang.“Kita belum boleh terlalu senang, ya. Tapi ini arah yang positif. Kita akan lakukan USG awal minggu depan untuk melihat apakah kantung kehamilan mulai terbentuk.”Ralin langsung menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya mulai memenuhi pelupuk mata.Dia terus mendengarkan penjelasan dokter Imelda, tentang apa dan yang tidak boleh dilakukan.Tangannya mengusap perutnya yang masih rata dengan pera
“Kami berhasil mengambil 11 sel telur matang. Itu angka yang bagus. Sekarang kami akan lanjutkan ke tahap fertilisasi hari ini juga. Kita lihat berapa yang berhasil jadi embrio sehat dalam 3–5 hari ke depan.”Lewis lega luar biasa mendengar penjelasan perawat. Dan satu hal yang dia ketahui, bahwa ekspresi wajah sang suster memanglah serius.Karena terlalu tegang dengan kondisi Ralin, akhirnya Lewis menjadi overthinking.“Makasih, Sus,” ucap Lewis.Kemudian perawat pergi meninggalkannya.Tidak berapa lama kemudian, Ralin membuka mata pelan. “Den Mas?”Lewis segera duduk di sebelah ranjang Ralin dan menggenggam tangan istrinya. “Aku disini.”“Gimana?” Tanyanya lemah.Lewis tersenyum lega, “Ada sebelas folikel. Itu artinya, kesempatan terbuka lebar, Lin.”Ralin tersenyum tipis namun sangat bahagia.“Kamu hebat. Tubuhmu kuat,” jawab Lewis. “Sekarang istirahat dulu. Hasil fertilisasi akan dikabari lewat email dan telepon.”Selama menunggu hasil fertilisasi, Ralin tidak pernah berhenti berdo
Lewis menatap wanita yang sangat dicintainya itu telah melewati banyak luka dan pengorbanan. Dan kini siapkah Lewis kembali membuat Ralin berdiri di persimpangan pilihan, apakah akan melanjutkan prosedur bayi tabung atau tidak.“Aku kemarin habis ketemu Mas Tira.”Ralin tetap duduk di pangkuan Lewis dan menatapnya keheranan. “Bukannya luka pasca operasi udah beres?”“Iya. Udah beres.”“Lalu?”Lewis kemudian menyatukan tangannya dengan Ralin lalu dibawa untuk dicium dengan penuh kasih sayang.“Sayang, gimana kalau kita … menjalani program bayi tabung?”Mendengar hal itu, kesedihan di hati Ralin seperti kembali lagi ke tempatnya. Dia teringat kembali dengan keadaannya.“Aku nggak tahu, Den Mas. Apa ini jalan yang benar. Aku takut nanti gagal. Aku takut kecewa lagi. Aku takut tubuhku nggak sanggup.”Benar dugaan Lewis, bahwa Ralin pasti tidak akan percaya dengan dirinya sendiri.Beberapa hari kemudian, setelah Ralin dan Lewis kembali mencoba dan berusaha demi mendapatkan keturunan, pagi h
Hari ini Ralin mengajak Levi untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya. Mendadak ia ingin mencari udara segar di kampung. Sekalian agar Levi bisa bermain di sawah dengan keponakannya.“Hati-hati ya? Maaf aku nggak bisa nemenin. Ini bukan weekend soalnya,” ucap Lewis.Kemudian ia memeluk Ralin dan menciumnya.“Iya, Den Mas.”“Aku bakal kangen kalian dua malam ini. Tidur sendirian.”Ralin tersenyum.“Semalam aja lah, Lin, nginepnya.”“Nanggung, Den Mas. Lagian aku udah lama nggak pulang.”Lewis mengangguk dan menghela nafas panjang. Sekarang, dia tidak terbiasa jauh dari Ralin. Dan ditinggal dua hari saja, dia merasa keberatan.“Ya udah, aku izinin.”Akhirnya Lewis mengizinkan meski dengan berat hati.Dia tahu jika istrinya itu dalam proses menenangkan diri dan berdamai dengan segalanya. Tidak mudah menerima kenyataan hidup bahwa Ralin dihadapkan pada masalah sulitnya hamil.Setelah mengantar Lewis hingga teras rumah, Ralin kemudian masuk ke dalam rumah. Mengajak Levi memasukkan beber