Peter dan Sandra bersiap meninggalkan ruang pesta. Misi sudah selesai, identitas sudah sedikit terekspos namun masih dalam batas yang terkendali, dan yang terpenting adalah nyawa telah diselamatkan tanpa drama berlebihan."Mereka mau pergi?" tanya seorang remaja dengan kecewa."Mungkin tidak suka keramaian," jawab ibunya.Saat mereka berjalan menuju pintu keluar ruang pesta, musik mengalun dengan indah di latar belakang. Lampu kristal berkilau-kilau, menciptakan atmosfer yang romantis namun tenang setelah badai drama medis yang baru saja berlalu."Pasangan yang serasi," komentar seorang nenek dengan senyum."Sandra Steel memang pandai memilih," tambah temannya.Di balkon hotel, Dr. Vincent Chen berdiri sendiri sambil menerima telepon dengan wajah yang gelap. Matanya menatap punggung Peter yang menjauh dengan kilatan dingin yang penuh perhitungan jahat."Ya, dia Peter Davis," Vincent berbisik ke telepon. "Dia mempermalukan kami di depan semua orang malam ini."Suara di seberang telepon
Dr. Vincent Chen yang berdiri di sudut ruangan mencoba memutar narasi dengan suara yang dipaksakan keras. "Tim medis kami siap melanjutkan perawatan lanjutan sesuai protokol rumah sakit. Ini baru tahap awal pemulihan.""Protokol apa lagi? Pasiennya sudah sehat!" seru seorang ibu dengan nada kesal."Mereka masih mau cari perhatian rupanya," tambah suaminya menggeleng.Namun kalimatnya terdengar hambar dan tidak meyakinkan. Semua orang sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang benar-benar menyelamatkan Tuan Hartawan ketika detik-detik kritis terjadi.Dr. Vincent Chen yang kehilangan kesempatan dokumentasi mencoba menawarkan kolaborasi dengan nada yang terdengar putus asa. "Dokter Davis, mungkin kita bisa mengadakan liputan khusus tentang integrasi pengobatan tradisional dan modern?""Sekarang mau kerja sama setelah gagal?" sindir seorang pengacara."Dasar tidak tahu malu," desis istrinya.Peter menggeleng halus dengan senyuman tipis yang sopan. "Terima kasih, Dokter Vincent. T
Musik Bach yang dimainkan orkestra mencapai puncak yang indah, seakan-akan memberikan iringan untuk momen keajaiban medis yang baru saja terjadi di hadapan puluhan pasang mata elite Kota Wada.Peter bangkit perlahan, menggulung lengan jasnya kembali dan memasang jam tangan dengan gerakan yang sangat tenang. Tidak ada ekspresi bangga atau puas di wajahnya, seolah-olah yang baru saja dia lakukan adalah hal yang biasa-biasa saja."Dia tidak sombong sama sekali," kagum seorang ibu muda."Padahal baru saja menyelamatkan nyawa," tambah suaminya.Keheningan memenuhi ruang pesta. Semua mata menatap Peter dengan campuran kagum, penasaran, dan sedikit takut. Mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika kedokteran modern yang mereka kenal."Siapa sebenarnya pria itu?" bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut."Pasti bukan dokter biasa," tebak seorang pengusaha."Mungkin dokter legendaris yang menyamar," tambah istrinya dengan mata berbinar.Dari kejauhan, la
"Berbeda sekali dengan dokter-dokter tadi yang panik," komentar koleganya.Dalam hitungan detik, ekspresi wajah Tuan Hartawan mulai sedikit rileks. Kerutan di dahinya berkurang, napasnya yang tersengal-sengal mulai melambat menjadi ritme yang lebih teratur."Lihat! Ada perubahan!" seru seorang wanita dengan suara tertahan."Baru beberapa detik sudah ada efeknya," takjub suaminya.Titik kedua yang dipilih Peter adalah di pergelangan tangan kanan bagian dalam. Titik ini secara ilmu saraf dapat mempengaruhi sistem saraf otonom yang mengatur detak jantung dan tekanan darah."Bernapas perlahan," Peter berkata dengan suara yang tenang namun jelas. "Ikuti hitungan saya. Tarik napas satu, dua, tiga. Hembuskan satu, dua, tiga."Tuan Hartawan yang setengah sadar mencoba mengikuti instruksi. "Da... da..." suaranya terputus-putus, berusaha bicara namun masih sulit."Jangan paksa bicara," Peter menyarankan dengan nada yang menenangkan. "Jantung butuh ritme, bukan drama.""Kata-katanya bijak sekali
Para dokter elite mulai kehilangan koordinasi mereka. Alexander menyalahkan alat pemantau jantung yang tidak berfungsi, Marcus frustasi dengan alat pengukur oksigen yang terus menunjukkan pesan kesalahan, sementara Vincent mulai panik karena tidak ada dokumentasi yang bisa digunakan untuk publisitas."Ini masalah teknis," Alexander berkata dengan suara bergetar, mencoba menutupi ketidakmampuannya. "Alat-alat ini butuh kondisi laboratorium yang steril.""Masalah teknis? Orang sekarat kok malah salahkan alat," seorang pengusaha muda mencibir."Protokol rumah sakit berbeda dengan lapangan," Marcus menambahkan sambil terus mengotak-atik gadgetnya yang mahal namun tidak berguna di situasi darurat nyata."Alasan saja, dokter macam apa yang tidak bisa bertindak tanpa alat canggih," komentar seorang veteran militer yang hadir.Murong Dewei berdiri di samping meja tamu kehormatan dengan wajah yang sangat cemas. Mata tua yang biasanya tajam dan tegas kini terlihat berkaca-kaca melihat kondisi t
Serpihan kristal berserakan di lantai marmer seperti berlian yang kehilangan cahaya. Suara tumit sepatu para sosialita mengetuk panik di atas karpet Persia, ritme yang tidak beraturan menciptakan simfoni kekacauan di tengah ruang pesta yang semula elegan.Pembawa acara berdiri di podium dengan wajah pucat seperti kertas basah, mikrofon di tangannya bergetar seperti daun di angin badai. Mata lelaki paruh baya itu menatap ke segala arah, mencari solusi instan yang tidak akan pernah ditemukan."Te... tenang, hadirin sekalian," suaranya gagap keluar dari pengeras suara, bergema dengan nada yang tidak meyakinkan. "Ini hanya selingan kecil. Acara akan segera dilanjutkan."Namun tidak ada yang memperhatikan pengumuman hambar itu. Semua mata tertuju pada Tuan Hartawan yang tergeletak setengah sadar di kursinya, napasnya tersengal-sengal seperti ikan yang terlempar ke darat."Astaga, apa yang terjadi dengan Tuan Hartawan?" seorang nyonya berbisik dengan suara panik."Bukankah tadi dia baik-bai