Sementara Peter sedang sibuk melayani pasien terakhir, seorang pria muda berjas putih berjalan dengan langkah arogan menuju ruang pengobatan tradisional.Endi Wang, dokter muda lulusan universitas ternama yang baru menyelesaikan spesialisasi penyakit dalam, memiliki wajah tampan yang dipenuhi kesombongan dan mata yang memancarkan superioritas intelektual."Dokter kampungan tanpa ijazah itu mendapat lebih banyak pasien daripada saya," gumam Endi dengan nada penuh iri dan marah. "Padahal aku sudah belajar bertahun-tahun di universitas terbaik negara Rastal, menghabiskan ratusan juta untuk pendidikan, dan mendapat gelar spesialis dengan nilai tertinggi."Endi memang hanya bekerja di klinik ini dua hari dalam seminggu sebagai sambilan.Pekerjaan utamanya adalah di rumah sakit swasta mewah di pusat kota Wada. Namun melihat seorang "tabib kampungan" tanpa pendidikan formal mendapat respek dan popularitas yang tidak pernah dia dapatkan membuat harga dirinya tercabik-cabik.Tanpa mengetuk pin
Pagi menjelang, udara penuh dengan aroma kopi murahan dan asap knalpot yang menyeruak masuk melalui jendela apartemen Peter yang tidak pernah ditutup rapat. Sinar matahari pagi menerangi ruangan sederhana yang dipenuhi kantong-kantong bahan herbal dan peralatan racik pil yang berserakan di meja makan.Peter bangkit dari kasur yang sudah kempes sambil meregangkan tubuh yang masih kaku. Malam yang panjang untuk meracik pil Forging Qi dalam jumlah besar telah membuahkan hasil yang memuaskan.Seratus lima puluh butir pil berkilau keemasan tersusun rapi dalam kotak kayu, siap untuk dijual dengan harga yang akan membuat kantongnya kembali tebal."Seratus lima puluh juta rupiah," gumam Peter sambil menghitung dalam hati. "Cukup untuk melunasi hutang pada Tuan Goro dan masih tersisa untuk modal bisnis selanjutnya."Rencananya hari ini cukup simpel: jual pil kepada para pelanggan yang sudah mengantri sejak kemarin, kumpulkan uang sebanyak mungkin, dan bersiap menghadapi drama keluarga Bernadus
Peter Davis menatap layar ponselnya dengan ekspresi bingung bercampur curiga. Nomor yang tidak dikenal itu berdering lagi dengan nada yang mengganggu ketenangan malam.‘Siapa gerangan yang menelepon selarut ini? Jangan-jangan debt collector dari kelompok Arit Merah sudah menemukan nomor ponselnya dan berencana melakukan teror psikologis?’Dengan gerakan hati-hati, Peter mengangkat telepon sambil mempersiapkan mental untuk menghadapi ancaman atau gertakan preman kelas bawah."Halo?" Peter menjawab dengan nada waspada."Peter Davis," suara wanita yang dingin dan angkuh menyeruak dari speaker ponsel, seperti hembusan angin kutub yang bisa membekukan darah. "Kamu masih ingat dengan suaraku?"Peter hampir menjatuhkan ponselnya ketika mengenali suara yang sudah bertahun-tahun tidak didengarnya. Amanda Bernadus.Tunangan yang sudah mempermalukannya di depan umum, wanita yang pernah diselamatkan kakeknya dari penyakit serius di masa kecil, namun kini menghianati kebaikan keluarga Davis dengan
Nina merasakan sensasi yang semakin menguat. Tubuhnya bergetar kecil, tidak terkendali, seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Rasa geli bercampur hangat menjalar dari dada hingga ke ujung jari kaki."Dokter," Nina mengerang pelan sambil mencengkeram ujung sofa. "Saya merasa... aneh. Seperti ada aliran listrik..."Peter tetap mempertahankan ekspresi profesionalnya, meski dalam hati dia sedang berpesta pora. Energi Qi yang diserap sudah mencapai 70% dari kapasitas maksimal dantiannya. Sedikit lagi, dia akan memiliki cukup energi untuk membuat ratusan pil Forging Qi."Mohon tenang, Nona Nina," Peter berkata dengan nada menenangkan. "Jangan sampai Anda bergerak terlalu banyak. Hal itu dapat mengganggu aliran energi dan justru membahayakan proses pengobatan."Nina menutup mata rapat-rapat, berusaha mengontrol reaksi tubuhnya yang semakin tidak terkendali. Sebagai artis yang sudah berpengalaman dalam adegan-adegan romantis, dia tahu persis apa yang sedang terjadi.Namun sikap Peter
Nina Yap merasakan rasa sakit yang menusuk seperti ribuan jarum menghujam perutnya. Keringat dingin mengucur deras di pelipis, membasahi alis tebal yang sudah dipoles dengan makeup mahal.Wajah cantiknya yang biasanya tampil sempurna di layar kaca kini pucat pasi, seperti hantu yang kehilangan darah."Dokter..." Nina mengerang tertahan sambil memegangi perut bagian bawah. "Saya... saya tidak tahan lagi. Rasanya seperti ada pisau yang merobek perut dari dalam."Peter Davis berdiri dengan tenang, mengamati kondisi wanita cantik di hadapannya dengan mata yang tajam bagaikan elang yang membidik mangsa. Sebagai tabib agung dari Benua Zicari, dia sudah terbiasa melihat berbagai macam penderitaan manusia. Namun yang membuatnya tertarik bukanlah rasa kasihan, melainkan energi Qi yang mengalir kuat dari tubuh Nina."Nona Nina," Peter berkata dengan nada dokter profesional yang menenangkan. "Kondisi Anda memang sudah sangat kritis. Kista ovarium tersebut dapat pecah kapan saja, dan jika itu ter
Peter menerima jabatan tangan Nina sambil secara tidak langsung 'mengecap' kualitas energi Qi yang mengalir dari tubuh wanita itu. Sungguh luar biasa! Energi vital Nina terasa sangat murni dan kuat, bahkan melebihi Norma yang sudah dia anggap berkualitas tinggi."Oh, Reyhan Pratama," Peter tersenyum sambil melepaskan jabatan tangan dengan sedikit enggan. "Silakan masuk terlebih dahulu, Nona Nina. Malam sudah larut, tidak baik berbicara di luar."Nina masuk ke apartemen sederhana Peter sambil menatap sekeliling dengan mata yang tidak menghakimi.Meski tempat tinggal Peter jauh dari kata mewah, dia tidak menunjukkan ekspresi jijik atau meremehkan seperti yang biasa dilakukan orang kaya. Dia duduk di sofa bekas yang sudah robek di beberapa bagian dengan sikap anggun layaknya sedang duduk di kursi kerajaan."Jadi, ada yang dapat aku bantu?" Peter duduk di kursi berhadapan sambil mengamati gerak-gerik Nina dengan seksama."Begini, Dokter Peter," Nina tampak sedikit gugup sambil merapikan u